Edward membawa Alenta kembali, sesampainya di rumah Alenta langsung mencari keberadaan anaknya untuk dia peluk.
“Ron...” ucap Alenta, matanya sendu karena dia benar-benar ingin memeluk bocah kecil itu.Ron berada di dalam pelukannya, dengan begitu penuh cinta Alenta menebarkan ciuman di wajah mungil bocah itu.“Ibu benar-benar sangat menyayangimu, nak.” ucap Alenta, dia memeluk kembali putranya yang nampak kebingungan.Edward tersenyum, entah mengapa dia merasa bangga kepada dirinya sendiri. Kalau saja bukan karena dia yang memiliki nafsu luar biasa kepada Alenta, tentu saja Ron tidak akan pernah ada.Dia bangga karena mampu memberikan sebuah alasan agar Alenta bisa merasa bahagia.“Haruskah aku buat dia melahirkan banyak anak?” tanya Edward di dalam hatinya.Melihat Alenta yang begitu bersemangat hingga tak terlihat ingin melepaskan Ron yang terlihat tidak nyaman karena Alenta terus menciumi wajahnya, Edward memuMalam itu, suasana di meja makan keluarga Edward dan Alenta begitu hangat. Meja makan telah dihiasi dengan berbagai macam hidangan yang lezat, dan di tengah-tengah meja terlihat Ron, anak mereka yang sedang asyik makan. Edward dan Alenta berdua saling berpandangan, lalu kompak menggoda Ron yang sedang menikmati makanannya. “Ron, hati-hatilah, jangan terlalu cepat makannya ya!” goda Edward sambil tersenyum ke arah Alenta. “Kau seperti anak yang sudah setahun tidak makan makanan enak!” Edward terkekeh setelah mengatakan itu. Alenta pun ikut tertawa dan menambahkan, “Iya Ron, pelan lah sedikit, bisa-bisa kami tidak kebagian nanti.” Ron yang mendengar godaan orang tuanya hanya menatap sambil melanjutkan makan malamnya.Ron tidak terlalu paham, dia hanya fokus memakan makanan yang sesuai dengan seleranya. “Dia pasti sangat menyukai makanan ini, ditambah dia juga belum makan sejak siang tadi.” ujar Alenta.Dalam hati, Alenta merasakan benar
“Tidak ada alasan khusus untuk Ayah dan Ibu datang kemari, kan? Aku harap, kedepannya jangan pernah lagi datang ke tempat ini, setidaknya jangan sembarangan datang karena jelas itu tidak nyaman untuk Alenta dan anak kami.” ucap Edward, menatap Ayah dan juga Ibunya secara bergantian.Tahu ucapannya pasti menyakiti Ayah dan Ibunya, tapi Edward tidak ada pilihan lain selain memperingatkan mereka berdua dengan kalimat semacam itu. Karina terperangah kesal begitu mendengar ucapan Edward. Padahal, dia adalah orang yang telah melahirkan Edward ke dunia ini. Tapi, entah bagiamana bisa Edward memperlakukan dirinya seperti seorang musuh bebuyutan saja. “Kau ini gila atau apa sih, Edward?” tanya Karina, jelas dia terlihat marah. Horrison terdiam di tempatnya, dia tahu tak boleh memperkeruh suasana. “Aku justru tidak pernah merasa se-waras ini, ibu.” jawab Edward yakin. Karina semakin kesal, tapi dia coba meredam kekesalannya karena tid
“Ini semua pasti karena Alenta!” ucap Julia marah, dia nampak frustasi. “Kalau saja Alenta tidak kembali ke sini, Edward tidak akan mungkin menceraikan ku!” Julia mulai menangis. Herin yang berada di sana hanya bisa menutup mulutnya menahan tangis, dia tahu betapa sedihnya Julia saat ini. Julia merasa kurang puas melampiaskan kekesalannya, dengan cepat dia berjalan dan menginjak-injak dokumen perceraian itu. Herin tak berani mencegah, apalagi berucap karena dia tahu pada akhirnya dia juga akan disalahkan untuk apa yang terjadi. “Brengsek kau, Alenta! Kenapa kau melakukan ini padaku? Kenapa kau tidak mati saja saat melahirkan?!” protes Julia. Dia sudah terbiasa memiliki hidup yang sempurna, seperti yang dia inginkan. Dia merasa sangat bangga saat orang lain melihatnya dengan tatapan iri, dia tidak ingin kehilangan semua itu. “Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk memakluminya, tapi Alenta selalu saja menguji kesa
Dasar cacat! Kata itu benar-benar cukup hebat untuk bisa mengguncang perasaan Alenta. Memangnya kenapa kalau jarinya lebih dari 10? Bahkan, Tuhan pasti sudah merencanakan itu dengan sangat matang. Alenta sendiri tidak pernah menginginkan untuk lahir dengan 11 jari pada tangannya, tapi dia tidak bisa menolak kehendak Tuhan yang valid dan tidak bisa dielak. Dengan sorot matanya yang tajam, Alenta menatap Julia. “Aku benar-benar tidak tahu sudah berapa ratus kali Kakak mengatai ku dengan sebutan cacat. Tapi, Entah mengapa aku merasa aku jauh lebih baik karena dilahirkan dengan fisik yang tidak seperti manusia pada umumnya. Apalagi, melihat kakak yang berpendidikan tinggi dan terkenal sangat hebat, nyatanya tidak pernah bisa mengendalikan mulut saat Kakak marah.”Mendengar ucapan Alenta barusan, Julia menjadi lebih frustasi dalam menghadapi kemarahan yang dia rasakan. Tangannya terulur, rasanya ingin sekali dia meraih Alenta dan memberika
Julia terpaksa menghadiri sindang perdana perceraiannya dengan Edward, padahal dia sudah susah payah mengelak. Beberapa waktu terakhir ini, dia sudah mengupayakan yang terbaik supaya perceraian itu tidak terjadi. Namun, sungguh sulit baginya untuk bisa bertemu secara langsung dengan Edward. Edward seperti angin yang tidak bisa digenggam. Bahkan, beberapa waktu terakhir ini dia selalu datang ke rumah sakit untuk melihat bagaimana keadaan Elea saat Julia sedang tidak berada di dalam ruangan. Julia benar-benar sangat kecewa, sangat marah, dan sangat membenci situasi ini. Sidang perdana kasus perceraian Edward dan juga Julia berjalan dengan sangat lancar. Pengacara Julia kehilangan kata saat Edward menyertakan begitu banyak bukti yang menyudutkan Julia. “Ahhhhhh” teriak Julia frustasi, memukul setir kemudi mobilnya berkali-kali. Dia sungguh tidak ingin bercerai dengan Edward, tapi sadar dia tidak mungkin bisa melawan Edward. Tidak ada jalan lain, perceraian itu jelas pasti terjadi.
“Bu, Ibu....” panggil Ron, dia masih memukul pintu berharap Ibunya segera membukakan pintu. Alenta menatap Edward dengan tatapan memohon, smebatar itu Edward tak mau mengalah karena dia dalam keadaan tanggung. Sedikit lagi, jadi mana mau dia berhenti?“Kak Edward, kasihan Ron!” peringat Alenta. Mendengar ucapan Alenta, Edward jadi sedikit sebal. “Memangnya aku tidak kasihan kalau gagal mencapai puncak padahal sedikit lagi selesai?”Mendengar itu, Alenta menelan ludah tak mampu menanggapinya lagi. “Jangan membuat konsentrasi ku hilang, kalau tidak terpaksa kita harus mulai dari awal!” Ancam Edward. Dilema sekali! Di luar ada anaknya yang terus memanggil, nadanya seperti ingin menangis. Sedang Edward juga tidak mau mengalah, jelas juga dia tidak bisa kabur dari Edward. Hanya bisa mempercepat ritme pinggulnya yang bergerak, Edward pada akhirnya mendapatkan puncak kenikmatan beberapa saat setelah itu.
Hari terus berlalu, sidang kedua kembali digelar. Hanya ada Julia saja, Edward tak memiliki niat untuk datang. Padahal, besar harapan Julia untuk bisa bertemu dengan Edward guna sebentar bicara dengannya. Julia hanya bisa menahan nestapa, meski menolak untuk bercerai, tapi dia tidak memilki apapun sebagai kekuatan. Hatinya tak terima, tapi terpaksa melaluinya saja. Bukti Elea bukan anak kandungnya Edward disertakan, Julia yang manipulatif membuat proses perceraian berjalan sangat mulus. Dalam sekejap saja, Julia bukan lagi istrinya Edward. “Nak, sabar ya...” ucap Herin pilu. Sebagai seorang ibu, tentu dia ingin menguatkan anaknya. Diusap punggung Julia begitu mereka keluar dari ruang sidang, berharap itu dapat membuat Julia sedikit tabah. Penolakan yang pada akhirnya diterima Herin, Julia enggan menerima perlakuan Ibunya. “Tidak usah mengusap punggung ku, aku kesal!” ucap Julia marah.
“Kau tidak buruk seperti yang sedang kau pikirkan tentang dirimu sendiri. Kau selalu saja merendahkan diri mu, padahal kau tahu kau jauh lebih baik daripada mereka semua. Hanya karena Tuhan memberikan satu jari lebih padamu, kau merasa dirimu sangat bodoh dan buruk?” tanya Edward, dengan jelas dia menunjukkan ekspresi wajahnya yang kecewa. “Bagiku, kau adalah bentuk dari kesempurnaan, kau tidak kurang apapun bagiku dan juga Ron.”Alenta menggigit bibir bawahnya, ucapan Edward barusan benar-benar sangat mengharukan. Dia tidak pernah mendengar kalimat itu sebelumnya, itu membuat matanya memerah menahan tangis. Melihat istrinya tak bisa berkata-kata, segera Edward memeluk tubuh kurus Alenta. Beberapa kali kecupan diberikan Edward kepada dahi Alenta. “Percaya dirilah, kau cantik, kau baik, dan kau sempurna. Tidak perlu mendengarkan ucapan orang lain, aku dan Ron akan selalu ada untukmu.” ucapan Edward barusan membuat air mata yang sempat tertahan t
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y