“Bu, Ibu....” panggil Ron, dia masih memukul pintu berharap Ibunya segera membukakan pintu. Alenta menatap Edward dengan tatapan memohon, smebatar itu Edward tak mau mengalah karena dia dalam keadaan tanggung. Sedikit lagi, jadi mana mau dia berhenti?“Kak Edward, kasihan Ron!” peringat Alenta. Mendengar ucapan Alenta, Edward jadi sedikit sebal. “Memangnya aku tidak kasihan kalau gagal mencapai puncak padahal sedikit lagi selesai?”Mendengar itu, Alenta menelan ludah tak mampu menanggapinya lagi. “Jangan membuat konsentrasi ku hilang, kalau tidak terpaksa kita harus mulai dari awal!” Ancam Edward. Dilema sekali! Di luar ada anaknya yang terus memanggil, nadanya seperti ingin menangis. Sedang Edward juga tidak mau mengalah, jelas juga dia tidak bisa kabur dari Edward. Hanya bisa mempercepat ritme pinggulnya yang bergerak, Edward pada akhirnya mendapatkan puncak kenikmatan beberapa saat setelah itu.
Hari terus berlalu, sidang kedua kembali digelar. Hanya ada Julia saja, Edward tak memiliki niat untuk datang. Padahal, besar harapan Julia untuk bisa bertemu dengan Edward guna sebentar bicara dengannya. Julia hanya bisa menahan nestapa, meski menolak untuk bercerai, tapi dia tidak memilki apapun sebagai kekuatan. Hatinya tak terima, tapi terpaksa melaluinya saja. Bukti Elea bukan anak kandungnya Edward disertakan, Julia yang manipulatif membuat proses perceraian berjalan sangat mulus. Dalam sekejap saja, Julia bukan lagi istrinya Edward. “Nak, sabar ya...” ucap Herin pilu. Sebagai seorang ibu, tentu dia ingin menguatkan anaknya. Diusap punggung Julia begitu mereka keluar dari ruang sidang, berharap itu dapat membuat Julia sedikit tabah. Penolakan yang pada akhirnya diterima Herin, Julia enggan menerima perlakuan Ibunya. “Tidak usah mengusap punggung ku, aku kesal!” ucap Julia marah.
“Kau tidak buruk seperti yang sedang kau pikirkan tentang dirimu sendiri. Kau selalu saja merendahkan diri mu, padahal kau tahu kau jauh lebih baik daripada mereka semua. Hanya karena Tuhan memberikan satu jari lebih padamu, kau merasa dirimu sangat bodoh dan buruk?” tanya Edward, dengan jelas dia menunjukkan ekspresi wajahnya yang kecewa. “Bagiku, kau adalah bentuk dari kesempurnaan, kau tidak kurang apapun bagiku dan juga Ron.”Alenta menggigit bibir bawahnya, ucapan Edward barusan benar-benar sangat mengharukan. Dia tidak pernah mendengar kalimat itu sebelumnya, itu membuat matanya memerah menahan tangis. Melihat istrinya tak bisa berkata-kata, segera Edward memeluk tubuh kurus Alenta. Beberapa kali kecupan diberikan Edward kepada dahi Alenta. “Percaya dirilah, kau cantik, kau baik, dan kau sempurna. Tidak perlu mendengarkan ucapan orang lain, aku dan Ron akan selalu ada untukmu.” ucapan Edward barusan membuat air mata yang sempat tertahan t
“Kau siapa?” tanya Julia. Gadis cantik yang baru saja keluar dari ruang tengah, berjalan ke depan karena ingin melihat Michael yang terlalu lama melihat siapa tamu yang datang. Gadis itu menatap Michael dan Julia secara bergantian, dia tak terlihat bersalah sementara Julia terus menatapnya dengan tatapan menyelidik membuat gadis itu bingung. “Kau yang siapa, kenapa masuk ke apartemen Michael?” tanya gadis itu kembali, dia kini benar-benar bingung dan mulai berpikir buruk terhadap Michael. Tak ingin terjadi perdebatan, Michael mencoba untuk menjauhkan mereka berdua. “Olivia, kau lanjutkan saja apa yang sedang kau kerjakan tadi. Aku akan bicara dengannya,” ucap Michael, dia benar-benar berharap gadis bernama Olivia itu menjauh sejenak. Mendengar ucapan Michael, Olivia nampak kecewa. Namun, dia juga tidak bisa menolak ucapan Michael sehingga dia memutuskan untuk akan melanjutkan aktivitasnya tadi. “Kau siapa, aku ber
“Apa yang kau lakukan, Michael?” protes Olivia saat dia berhasil menghentikan ciuman bibir mereka. Michael benar-benar seperti orang yang sangat rakus, mencium bibir begitu penuh nafsu membuat Olivia merasa tidak nyaman. Mendengar pertanyaan dari Olivia, Michael tak mengatakan apapun. Matanya benar-benar tertuju pada wajah Olivia, dengan detail dia tengah menatap dengan dalam pada sepasang mata indah milik Olivia. Tangannya mengerat, membuat tubuh mereka semakin menempel hingga Olivia merasa sedikit sesak. “Aku tidak tahu mengapa situasi yang membuatku ingin melakukan sesuatu yang lain. Aku tidak yakin apakah ini terdorong dari perasaan takut, dan khawatir. Aku hanya, akan melakukan apa yang ingin aku lakukan saat ini.” ucap Michael, dia terlihat sangat serius dengan ucapannya. Hanya bisa mencoba untuk menjauhkan tubuhnya dari Michael, dia merasa saat ini Michael seperti sedang kehilangan kendali. Olivia tahu bena
Mendengar ucapan Herin, tentulah hati Alenta sakit. Namun, ia tidak merasa heran kalau Herin akan mengatakan hal semacam itu karena sudah biasa juga dilakukan oleh Herin kepada Alenta. Herin masih menatap Alenta, dia menunggu dengan harapan bahwa Alenta akan memenuhi harapannya tersebut. Alenta tersenyum kelu, ingin sekali melampiaskan kekecewaan dan juga rasa kesal kepada wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu. Akan tetapi, Alenta merasa itu tidak pantas untuk dia lakukan. “Ibu, lagi-lagi Ibu meminta sesuatu untuk kebaikan Kak Julia.” ucap Alenta dengan jelas memperlihatkan ekspresi wajah yang kecewa. “Sebenarnya, mau sampai kapan Ibu seperti itu? Kalaupun Ibu memang tidak menyayangiku sama sekali, tidak bisa kah Ibu tidak menyakiti hatiku?” Alenta jelas menunjukkan sebuah tekanan kepada Herin. Kali ini, Alenta tidak ingin mengalah untuk hal apapun. Edward mengatakan kepadanya, semua orang berhak mendapatkan apa yang
“Lain kali, tidak usah keluar dari rumah kalau sudah tahu ada anggota keluargamu. Bukanya ingin memaksamu memutuskan hubungan keluarga dengan mereka, hanya saja kau akan terus tidak dihargai karena mereka hanya menganggap mu keluarga saat kau mau diperalat oleh mereka.” ucap Edward, jelas dia benci mendengar kabar bahwa Alenta menangis saat berbicara dengan ibunya. Pesan itu dikirimkan oleh penjaga pintu gerbang, kemudian mereka melakukan panggilan telepon dan penjaga gerbang menceritakan pembicaraan apa yang membuat Alenta sampai menangis. Mendengar peringatan dari Edward, Alenta tertunduk lesu. Jemari tangannya saling bertautan, dia sendiri tidak menyangka kalau pada akhirnya dia akan berbicara panjang lebar seperti itu, bahkan sampai menangis. Sebenarnya, masih ada begitu banyak hal yang ingin dia sampaikan kepada Alenta. Tapi, melihat Alenta yang hanya tertunduk sejak tadi memandangi jemarinya, Edward menjadi tidak tega. Segera d
Pesta ulang tahun Elea digelar di ruang tunggu rumah sakit dengan dekorasi sederhana, balon berwarna-warni menghiasi dinding, kue ulang tahun bertumpuk dengan lilin berwarna merah yang menyala. “Selamat ulang tahun, kesayangan nenek.” ucap Herin, memberikan kecupan di kepala sang cucu. Dia baik Herin panjatkan, semoga Tuhan memberikan kesembuhan kepada cucunya itu. Edward berdiri di samping Elea yang duduk di atas tempat tidurnya, dengan raut wajah yang mencoba menunjukkan kebahagiaan. Dia berusaha keras untuk menjadi ayah yang baik bagi Elea, meski bukan ayah kandungnya.“Selamat ulang tahun, Elea. Semoga, setelah ulang tahun ke-3 mu ini, Tuhan angkat semua sakit mu, dan bisa beraktivitas seperti dulu,” ucap Karina, berharap dalam kata. Melihat cucunya yang lemas, tapi masih bisa tersenyum, jelas Horrison merasa begitu melas. Tapi, cancer yang sedang bersarang di tubuh cucunya itu perlahan juga akan mati. “Selamat
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y