Beberapa jam setelah operasi sumsum tulang belakang, Elea sudah mulai tersadar meski agak lemas dan bicaranya tidak jelas, tidak nyambung. Memastikan benar keadaan Elea membaik, dokter juga sudah menyatakan tentang kondisi Elea, Edward kini mulai merasa agak tenang.
“Untuk beberapa waktu ke depan nanti, pasien akan terus dipantau kesehatannya. Sel kanker tidak mudah dikalahkan, jelas kita membutuhkan waktu yang cukup lama. Setelah di rasa sembuh nanti, pasien juga harus memastikan lagi setiap 3 bulan sekali karena takutnya sel kanker akan kembali aktif,” ucap sang dokter menjelaskan sedetail mungkin apa saja yang akan dijalani oleh Elea setelah operasi itu.Julia mengangguk, bibirnya tersenyum senang karena perasaan bahagia yang dia rasakan. Walaupun untuk jangka panjang anaknya harus terus mendatangi rumah sakit, setidaknya tak mengerikan jika harus dibandingkan dengan kematian.Meski Edward sudah merasa lega, entah mengapa dia jadi mulai fokus memikirMuak mendengar ucapan Julia, Edward memutuskan untuk segera melangkahkan kakinya, meninggalkan Julia di tempat tersebut tanpa menoleh sama sekali. Sekarang, Edward benar-benar sedang berpikir keras, bagaimana dia akan mencari keberadaan Alenta yang sulit sekali diketahui keberadaannya. Langkah kaki Edward melambat saat tak sengaja melihat dokter yang menangani pengobatan Elea masuk ke dalam sebuah kamar rumah sakit. Awalnya Edward tidak ingin terlalu banyak memikirkannya. Tapi, entah mengapa dia tiba-tiba saja ingin menoleh, melihat dari pintu yang ada bagian terbuka dari kaca. Deg!Edward mengerutkan dahinya, meski tidak terlihat full wajahnya, Edward merasa sangat tidak asing dengan wanita yang duduk di brankar rumah sakit tersebut. Edward melangkahkan kakinya, dia sejenak mematung di sana untuk memperhatikan lebih jelas lagi, berharap segera seragam dokter yang menutupi pandangannya pada sebagian wajah wanita itu cepat menyingkir.
Edward berjalan cepat menuju ruangan rumah sakit, tempat di mana dia dan Benjamin bertemu tadi. Brak!Edward terdiam, jelas dia terlihat sangat terkejut sekaligus kesal karena nyatanya ruangan itu sudah kosong. “Sial!” Maki Edward frustasi. Tak ingin membuang waktu, Edward segera menghubungi orang suruhannya untuk segera mendapatkan alamat tinggal Benjamin. Sementara itu, Edward coba untuk mencari keberadaan Alenta di sekitaran rumah sakit sembari menunggu. Edward berlarian kesana kemari, naik turun lantai tak perduli seberapa melelahkannya. Kali ini, dia tidak akan mau kehilangan Alenta apapun yang terjadi. Masih belum menemukan Alenta, Edward memutuskan untuk menunjukkan foto Alenta kepada orang-orang yang dia lihat. “Apakah ada melihat orang ini?” seperti itu terus, tapi Edward tak mendapatkan jawaban seperti yang dia inginkan. Frustasi sekali rasanya, tapi dia tidak ingin menyerah. Edward bergegas berjalan ke luar, mencoba mencari ke sana kemari di sekitaran rumah sakit. “A
Alenta kini tengah berada pada posisi berbaring setelah Benjamin membantu untuk melakukan itu. Setelah mendengar dari Benjamin bahwa Edward bahkan sudah berada di kamar rawat tempat dia berada, Alenta bergegas memohon kepada dokter agar dia dibiarkan kembali pulang ke rumah. Walaupun memang benar Benjamin tidak dikenali oleh Edward, tapi Alenta terlalu takut, dan tak bisa merasa tenang. “Kau bisa tenang sekarang, Alenta?” tanya Benjamin, mencoba untuk memastikan benar. Alenta memaksakan senyumnya, mengangguk dengan cepat meski hatinya tak merasa tenang sama sekali. “Iya. Sekarang, aku sudah aman di rumah Bibi Lien, jadi kau juga bisa tenang, dan istirahat dulu di rumah, oke?” ucap Alenta, dia tahu benar bagaimana Benjamin sangat lelah beberapa hari belakangan ini. Benjamin menghela nafasnya, sebenarnya memang dia merasa lelah. Tapi, karena dia lihat Ron sedang bermain di halaman rumah bersama dengan Lien, Benjamin jadi ingin sebentar saja bermain dengan Ron. “Baiklah, kau juga i
Edward mengendarai mobilnya menuju sebuah alamat yang di kirimkan oleh orang suruhannya. Sungguh, Edward tidak menyangka kalau Alenta akan pergi sejauh itu, bahkan tinggal di sebuah pedesaan yang sangat jauh dari kota. Melihat alamat melalui maps, sepertinya Edward akan sampai di sana 4 atau 5 jam lagi. Tidak ada rasa kantuk, meski benar sebelumnya dia sempat tidur, nyatanya beberapa waktu sebelumnya Edward tidak bisa merasakan tidur dengan nyaman dan nyenyak. Hampir lima jam dilalui, akhirnya Edward sampai dengan alamat yang ingin dia tuju. Sebuah rumah berukuran sedang, bangunannya nampak kuno, tapi terasa menyejukkan karena ada begitu banyak pohon buah dan bunga di sekitarnya. “Aku harap, kau tidak akan melarikan diri dariku lagi, Alenta,” ucap Edward penuh harap. Dengan langkah yang cepat, Edward mulai menuju ke pintu utama rumah tersebut, lalu mengetuk pintu itu. Sengaja Edward menggunakan kaca mata hitam, meski saat Alenta memb
Grep!Edward langsung memeluk tubuh Alenta erat, rasa rindu yang luar biasa itu membuat ia lupa bahwa Alenta belum lama ini menjalani operasi pengambilan sumsum tulang belakang untuk Elea. Alenta terkejut, dia tidak menyangka kalau yang akan dilakukan pertama kali oleh Edward adalah memeluknya. “Apa kau tahu aku sudah hampir mati karena menunggumu yang tidak kunjung kembali, Alenta?” tanya Edward, pelukannya masih enggan untuk dia lepaskan. Tubuh kurus Alenta begitu terasa, lantas bagaimana bisa wanita dengan tubuh kurus seperti itu mendonorkan sumsum tulang belakang. Belum lagi, penderitaan yang harus dijalani Alenta selama ini tidaklah main-main. Alenta masih tidak tahu harus mengatakan apa, dipeluk Edward, dan mendengar ucapan Edward barusan adalah hal yang tidak ada dalam ekspetasinya. Edward mengendurkan pelukannya, netranya kini tertuju untuk menatap sepasang bola mata indah berwarna coklat milik Alenta dengan sendu, namun kesan serius untuk tiap kata yang akan keluar dari m
“Kak Edward, kali ini percayalah padaku aku tidak bisa meninggalkan tempat ini. Sekarang, kembalilah dulu ke keluargamu, kak. Sungguh, aku benar-benar memohon padamu....”ucap Alenta, menatap Edward dengan tatapan memohon karena dia tahu benar Edward pasti akan bersikeras untuk membawanya pergi. Edward terdiam mendengarkan ucapan Alenta, meski ingin sekali dia bicara, nyatanya Edward tetap menahan dirinya. “Kak,” panggil lagi Alenta, namun Edward juga masih tidak mengatakan apapun. “Kak, cepatlah pergi karena aku benar-benar membutuhkan istirahat sekarang!” titah Alenta frustasi. Mendengar Alenta yang terus memberikan reaksi penolakan, Edward mulai bereaksi. “Apa kau sudah selesai bicara, Alenta?” tanya Edward, sorot matanya yang dingin itu membuat Alenta justru merasa semakin tertekan.Tak bisa mengatakan apapun, Alenta sadar dia menang tidak akan pernah bisa menolak Edward. Namun, membayangkan akan kembali kepada keluarga, Alenta merasa begitu
“Saat ini Alenta sedang dalam masa pemulihan, kalau bisa tunda dulu untuk pergi ke kota, ya?” Pinta Lien kepada Edward. Edward tak langsung menanggapi ucapan Lien. Sebenarnya, dia benar-benar ingin langsung membawa Alenta untuk kembali ke kota. Ada banyak hal yang ganjal harus segera dia selesaikan. “Kak, tolong turuti ucapan Bibi Lien, ya? Aku benar-benar masih lemas, juga mudah sekali gemetaran,” ucap Alenta, berharap benar Edward mendengarkan. Mendengar Alenta memohon seperti itu, Edward tak kuasa untuk menolak. Pada akhirnya, Edward menganggukkan saja kepalanya menurut apa yang diminta oleh Alenta. Ron ada dipangkuan Alenta, dia benar-benar mengkerut karena takut akan adanya Edward. Kini, kedua bola mata Edward mulai tertuju dengan anaknya. Sungguh, dia benar-benar sangat bahagia karena memiliki anak dengan Alenta. Mungkin Alenta memang tidak akan menceritakan tentang ketakutannya untuk kembali ke kota, tapi Edward bena
“Jangan pernah datang lagi untuk menemui Elea, apa kau paham?!” peringat Julia kepada Michael. Saat ini mereka berdua berada di luar ruangan dengan alasan mengobrol tentang Edward.Michael menghela nafasnya, senyum kecut timbul di wajahnya, sedang matanya menatap Julia dengan tatapan heran. “Aku sendiri juga sudah cukup paham bahwa aku tidak boleh membiarkan semua orang curiga. Tapi, memang apa salahnya jika aku datang sekali saja?” Protes Michael. Julia mengepalkan tangannya, pikirannya menjadi rancu karena terlalu banyak hal yang ia pikirkan belakangan ini. Sedikit saja orang salah di matanya, reaksinya mungkin akan berlebihan. “Ke depannya, jangan pernah datang lagi untuk menemui Elea apapun yang terjadi dengan Elea, apa kau paham?!” Mata Julia membelalak tajam kepada Michael. Mendengar dan melihat ancaman Julia, Michael seperti kehabisan kata-kata. Cukup sadar bahwa dia tak ada ubahnya dari seorang pemuas saat Julia merasa lapar a
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y