"Benar, Om, cewek ini rumahnya di depan kosan, Syamil. Kenapa memangnya?"
"Bagus kalau begitu, saya minta tolong, kamu jadi mata-mata ya. Awasi saja dari kejauhan. Jangan perhatiin istri orang dari dekat, bisa repot nanti.""Amit-amit, Om. Tipe saya bukan ibu-ibu, walaupun masih muda banget kayaknya, Om. Mungkin beda dua tahun saja dari saya. Lagian, bajunya seksi-seksi terus. Pahanya keliatan. Ketiaknya juga. Aduh, saya kalau lagi lihat cewek itu langsung istighfar.""Istighfar, kemudian alhamdulillah ya, kan ha ha ha.... ""Udah ya, Om, sekian laporan dari Syamil. Mau berangkat kampus dulu. Assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam, Hati-hati, Syamil. Ingat, istri orang cukup dilihat dari jauh saja, jangan dekat-dekat!"Syamil segera mematikan ponselnya. Bicara dengan pria dewasa seperti calon kakak iparnya memang sangat menguras emosi, tapi tak apalah, demi uang wifi yang akan ia dapatkan setiap bulan dari Om Didin, ia rela menjadi mata-mata Hani.Pemuda itu turun dari lantai dua kamarnya sambil menenteng sepatu sneakers bertali. Kos-kosan besar yang letaknya tidak jauh dari kampus, sekitar lima ratus meter saja dari kosannya adalah pilihan Syamil tinggal sampai empat tahun ke depan hingga kuliahnya selesai.Di punggungnya sudah ada ransel besar yang berisi aneka perlengkapan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus atau yang biasa kita sebut Ospek. Ospek sendiri bertujuan untuk mememperkenalkan lingkungan kampus dan dunia perkuliahan bagi mahasiswa baru. Tentu saja Syamil begitu semangat untuk mengikuti Ospek hari pertama. Setelah memastikan Tali sepatu terikat dengan benar, Syamil pun segera keluar dari area kosan dengan mendorong pintu gerbang."Berangkat, Sya," tegur Hani yang kebetulan sedang menyapu teras rumah dengan pakaian seksinya.Syamil dan Hani memang sudah saling kenal, saat keduanya berada di dalam bus yang sama menuju Bandung."Eh, iya, Mbak Hani." Syamil menjawab tanpa menoleh. Ekor matanya sempat melirik sekilas pakaian yang Hani kenakan dan pemuda itu tidak mau matanya ternoda. Masih pagi, pahala salat dhuhanya tadi bisa habis gara-gara melototin pakaian Hani yang seksi."Berangkat ke mana emangnya?" tanya Hani lagi dengan seringainya. Wanita muda itu tahu Syamil akan berangkat ke kampus, ia hanya sedang menggodanya saja."Saya mau ke sawah, Mbak, cari janda." Ucapan Syamil yang sekenanya membuat Hani tertawa terpingkal-pingkal. Pemuda itu meneruskan langkahnya tanpa mau menoleh ke belakang lagi. Samar-samar telinganya masih mendengar teriakan Hani, tetapi ia memilih mengabaikan dan mempercepat langkah menuju kampus tercinta."Syamil, tunggu!" Teriakan seseorang menghentikan langkah pemuda itu yang sudah tiba di gerbang kampus. Pemuda yang berlari menyusulnya itu adalah Joko Suseno. Satu angkatan mahasiswa baru, tetapi beda fakultas. Jika Syamil fakultas Ekonomi, maka Joko di fakultas sastra Inggris. Mereka tinggal di kos yang sama dengan jarak kamar beda dua pintu saja."Kenapa, Ko?" tanya Syamil. Joko merangkul pundak Syamil agar mereka bisa berjalan bersama dan nampak akrab."Gak papa, biar bareng aja jalannya!" Jawab Joko sambil tersenyum, tetapi Syamil tahu, ada maksud lain di balik senyuman teman kosnya itu."Oh, iya, Sya, cewek cantik yang seksi depan kosan itu, sodara lu ya? Barusan gue lihat, tuh cewek negur lu duluan!" Tanya Joko antusias. Benar tebakan Syamil, ada batu di balik udang. Karena sebelumnya Joko tidak pernah menegurnya saat mereka berpapasan di kos, paling hanya saling melempar senyum saja, tetapi pagi ini Joko bersikap sangat manis. Ternyata ada maunya."Bukan sodara gue. Kenal di bus waktu itu. Eh, malah jadi tetangga," jawab Syamil santai."Kuliah juga? Umurnya berapa? Jomlo gak?" cecar Joko penasaran. Syamil menghentikan langkahnya, menatap Joko dengan iba."Sudah punya suami itu cewek, Ko. Lagi hamil. Karena badannya kecil dan selalu pakai baju longgar, makanya gak keliatan. Lu salah alamat kalau lu mau PDKT. Udah ah, gue ke lapangan samping, mau registrasi." Pemuda seumuran Syamil itu mengerutkan kening tidak percaya dengan pernyataan Syamil yang bisa saja berbohong. Ia akan mencari tahu sendiri setelah pulang kuliah nanti.Sementara itu, Hani sudah kembali masuk ke dalam rumah setelah berbelanja sayuran di tukang sayur gerobak yang lewat di depan rumahnya. Awalnya ia ingin masak ayam goreng dengan sambal matah, tetapi mood-nya turun lagi dan saat ini hanya berdiam diri menonton televisi.Jika ingin jujur, ingin sekali dirinya menelepon Arif; sang Suami yang merupakan salah satu dosen di tempat ia menuntut ilmu. Namun, Arif sepertinya sedang asik dengan Grace; istri pertamanya, sehingga ia pun terlupakan.Hingga sore, Hani tidak melakukan apapun selain berbaring malas-malasan. Makanan yang masuk ke dalam perutnya adalah lauk kemarin yang masih enak dimakan karena sudah ia panaskan. Bosan berbaring bolak-balik di ranjang, Hani pun bangun, membuka pintu rumahnya dengan lebar.Sore hari, tentu saja area tempat tinggalnya begitu ramai dengan lalu-lalang mahasiswa yang baru saja pulang kampus atau sekedar mencari makan sore. Mata wanita itu menyipit saat dari kejauhan melihat sosok pemuda yang sangat ia kenal. Di leher pemuda itu ada kalung yang menggantung, tapi bukan kalung emas atau kalung metal, tetapi kalung dari cabe."Hai, Syamil, baru pulang nih!" Sapa Hani ramah sambil tersenyum. Bajunya masih baju tadi pagi yang ia pakai."Eh, iya, Mbak," jawab Syamil tak semangat karena ia lelah. Wajah lelahnya begitu jelas terlihat di mata Hani."Kalung cabenya buat saya saja sini!" Hani menunjuk kalung Syamil. Pemuda itu pun baru sadar kalau kalung cabainya masih melingkar di leher. Tanpa komentar, Syamil memberikan kalung itu untuk Hani. Ia hanya melirik sekilas saat menyebrang jalan. Hani sudah tersenyum menunggu kalung cabai di depan rumahnya."Ini." Syamil langsung berbalik karena ketika Hani keliatan. Ia sungguh tidak mau mata polosnya ternoda."Makasih, Syamil!" Seru Hani sembari tersenyum. Jika Syamil langsung masuk pintu gerbang kos, tidak dengan Hani yang masih berdiri di depan rumahnya. Wanita itu ingin memastikan di mana letak kamar Syamil. Saat Syamil sudah masuk ke kamar, disitulah Hani tersenyum. Wanita itu merasa beruntung memiliki teman kecil seperti Syamil, walau pemuda itu tidak banyak bicara. Ia jadi tidak keras begitu asing karena tidak mengenal siapapun.Suit! Suit!Siulan dari jauh membuat Hani menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari siapa pelakunya, tetapi ia tidak bisa mencurigai siapapun karena lingkungan tempat tinggalnya selalu padat. Hani pun bergegas masuk ke dalam rumah untuk memasak, kemudian mandi.Pukul enam lebih sepuluh menit, Hani sudah berdiri di depan rumahnya untuk menunggu Syamil pulang dari masjid. Ia hapal kebiasaan pemuda solih itu yang selalu melaksanakan salat magrib dan juga subuh di masjid yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Namun hingga pukul sepuluh menit berlalu, Syamil tidak kunjung muncul.Hani memutuskan untuk menemui Syamil di kosannya. Kos-kosan yang bebas tamu, di bawah jam sembilan malam. Hani naik ke lantai dua dan sudah berdiri di depan pintu kamar Syamil.Tok! Tok!"Syamil," panggil Hani. Pintu terbuka dan Syamil terlihat tidak sehat."Eh, Mbak Hani, ada apa?" kali ini Syamil mau melihat Hani karena bajunya lumayan tertutup. Bagian paha dan ketiaknya tidak kelihatan."Pantas saja aku tunggu kamu lewat depan rumah, tidak adaRupanya sedang sakit ya." Syamil mengangguk tanpa semangat."Ini, saya buatkan nasi bakar ikan teri pakai sambal. Cabainya dari kalung yang kamu berikan pada saya tadi." Hani mengulurkan piring bermotif aja jago ke tangan Syamil. Baru saja tangan pemuda itu hendak menahan piring, perutnya bergolak ingin muntah. Syamil berlari menuju kamar mandi yang ada di ujung lorong lantai dua. Hani menaruh piring dengan cepat di dalam kamar Syamil, lalu pergi menyusul pemuda itu."Wah, kamu masuk angin ini. Sini, biar saya kerokin!" Kata Hani menawarkan bantuan."Gak usah, Mbak, saya gak papa. Uek! Uek!" Dengan setengah memaksa, Hani menarik tangan Syamil untuk kembali ke kamar. Ada minyak kayu putih di atas nakas, tanpa babibu lagi, Hani menarik kaus Syamil ke atas, lalu mulai mengerik punggung pemuda itu."Gak usah, Mbak. Saya gak papa!" Syamil mencoba menolak, tetapi karena mual dan kepala yang terasa berputar, membuat Syamil tidak bisa meneruskan keberatannya. Pemuda itu dikerik sampai pulas. Hani menurunkan baju kaus Syamil kembali, tepat disaat ponsel pemuda itu berbunyi.["Halo, Syamil, assalamu'alaikum, Nak. Lagi apa anak solih, Ummi?"]["Halo, Bu, Syamilnya tidur, baru selesai saya kerik!"]["Hah? Apa? Dikerik? K-kamu siapa?"]["Mm... saya.... "]Bersambung"Ummi, kenapa?" tanya pria dewasa yang tidak lain adalah Abah Haji Sulaiman yang merupakan ayah dari Syamil. Ia baru saja pulang dari mengisi majlis ta'lim dan mendapat laporan dari Rukmini dan Nela, bahwa istrinya jatuh pingsan setelah menelepon Syamil. Abah Haji mengusap rambut sang Istri perlaham, sambil menanti cerita yang akan keluRmar dari bibir istrinya. "Bah, besok kita harus ke Bandung. Syamil, Bah, t-tadi Ummi telepon karena rindu, tapi yang angkat perempuan dan perempuan itu bilang, Syamil lagi sakit dan baru aja tidur habis dikerik. Anak kita bukan kuliah di sana, Bah, tapi malah pacaran. Ayo, kita jemput, Bah!" Bu Umi merengek pada suaminya. Bahkan air matanya sudah turun dengan sangat deras karena terus membayangkan hal buruk yang akan terjadi pada putra bungsunya yang solih. "Ummi berarti belum percaya dengan Syamil. Anak lelaki kita tidak mungkin seperti itu. Bisa saja wanita yang di telepon itu adalah teman sesama anak kos yang mungkin memang tengah merawat Syamil.
"Assalamu'alaikum, Syamil, kata ummi kamu sakit. Apa benar itu, Nak?""Wa'alaykumussalam, benar, Bah, tapi sudah baikan. Hanya saja belum bisa ke kampus lagi hari ini. Padahal masih masa pengenalan lingkungan kampus.""Kenapa gak bisa?" "Karena Syamil lagi banting tulang, Bah. Syamil sakit, Bah, gimana mau ke kampus, orang dijemur di bawah sinar matahari.""Ya pasti kalau berjemur itu di bawah matahari, Syamil, kalau di atas matahari namanya apa?" Abahnya mulai konyol. Pasti karena Abahnya senang akan segera mempersunting Nela untuk menjadi istri kedua. Batin Syamil. "Minum obat ya? Semalam kata ummi ada yang kerik, siapa? Lelaki atau perempuan?""Oh itu, iya, Bah, karena saya udah gak kuat masuk angin, jadinya ditolongin sama Mbak Hani.""Siapa Mbak Hani? Kakak kampus kamu atau kakak kos?""Ibu muda tetangga Syamil yang lagi hamil, Bah.""Hah? Apa? Ibu-ibu hamil? Siapa yang menghamili ibu muda itu? Apakah k-kamu... "Bu Umi yang ikut menguping pembicaraan antara suami dan putra bu
"Sudah sana berangkat ngampus! Aku gak papa." Hani mengangkat suaranya begitu ia sudah siuman dari pingsan. "Udah terlambat. Mau masuk juga udah gak semangat." Syamil bangun dari duduknya, lalu mengambilkan minum untuk Hani. Pemuda itu mengulurkan ujung sedotan pada bibir Hani yang seksi. Dengan cepat Syamil menggelengkan kepala agar tidak terlalu fokus pada bibir Hani yang padat. "Udah, Syamil, apa yang mau disedot, orang airnya udah habis!" Syamil menggaruk rambutnya yang tidak gatal, diikuti seringai lebar. Pemuda itu meletakkan kembali gelas yang telah kosong di atas nakas. Ia ingin pulang, tetapi ia tidak tega juga dengan Hani. Ingin bertanya lebih detail tentang suami atau keluarga wanita itu, tetapi rasanya sungkan. "Sya, ini udah jam satu, kamu makan dulu sana! Aku gak papa kok. Kata dokter klinik juga aku cuma kecapean aja. Bayi aku juga sehat. Sore ini mungkin aku sudah boleh pulang juga. Jadi kamu jangan terlalu khawatir." Hani tersenyum penuh hangat. Jauh di dalam hatin
Syamil tengah berjalan di trotoar sambil menenteng nasi bungkus. Awalnya ia ingin makan di tempat, karena sudah tidak kebagian bangku duduk, Syamil memutuskan pulang saja. Perutnya masih tidak nyaman kalau memaksakan makan mie instan lagi. Waktu ia sakit, untunglah Hani memberikan makanan sehat untuknya sehingga ia lekas pulih. "Eh, bungkusan apa itu?" Syamil berjalan lebih cepat untuk melihat bungkus makanan yang terjatuh, rupanya berisi buah jambu potongan. Kepalanya menoleh ke kanan dam ke kiri untuk mencari pemilik buah yang mungkin tanpa sadar sudah menjatuhkan bungkusan tersebut. Syamil mengangkat bungkusan itu dan seketika itu juga ia melihat sandal yang sangat ia kenali. Sandal Hani. Ditambah dengan bungkusan buah jambu, Syamil yakin pemilik buah ini adalah Hani. "Mbak Hani! Mbak Hani!" Syamil berlarian ke sana-kemari mencari keberadaan Hani, tetapi ia tidak menemukan wanita hamil itu. Syamil semakin panik, ia mencoba menghubungi Joko, tetapi tidak diangkat. Suara berisik
Pria yang bernama Didin sudah tiba di Bandung. Hari ini ia memang sedang ingin membawa bus tujuan Bandung untuk menemui Syamil, sekaligus melihat dari kejauhan sosok Hani. Hani adalah anak dari wanita yang hampir membunuh putranya. Ia tidak dendam dengan gadis itu, justru ia iba dengan Hani. Dalam satu keluarga, hanya Hani yang benar, tetapi ia terjebak dengan pernikahan kontrak bersama dosennya. Untuk itu ia meminta Syamil untuk mengawasi Hani memastikan gadis itu baik-baik saja, meskipun di dalam hati dan pikiran gadis itu terluka. "Om!" Teriakan Syamil membuat Didin menoleh. Syamil melambaikan tangan, lalu berlari menghampiri Didin dengan senyuman. Pemusat itu mencium punggung tangan calon kakak ipar yang sampai saat ini belum bisa ia panggil dengan sebutan Mas' , tetapi 'Om. Mereka berada cafe yang letaknya tidak jauh dari kampus Syamil. Didin memang sengaja yang menjumpai Syamil agar ia bisa melihat juga keadaan Hani. "Gimana, Hani?" tanya Didin pada Syamil. "Masih begitu, O
"Abah sudah telepon Syamil lagi? Firasat Ummi gak enak, Bah. Ummi khawatir kalau Syamil memang dekat sama wanita di sana." Bu Umi mengadu pada suaminya, setelah mereka baru saja selesai makan malam. Abah Haji hanya tersenyum samar. "Belum, anak bujang jangan terlalu sering ditelepon. Pasti dia bisa jaga diri, Mi. Lagian yang kemarin itu cuma tetangga yang kebetulan ada di sana pas Syamil sakit. Udah ibu-ibu juga, Mi.""Tuh, apa lagi ibu-ibu, Bah. Justru ibu-ibu itu yang perlu diwaspadai. Soalnya Abah dulu juga pernah dekat ibu-ibu kan? Untung Ummi langsung nyamber, kalau nggak, ya Abah nikahnya sama ibu-ibu itu. Tetangga Abah yang suaminya gak pulang-pulang itu." Bu Umi mengoceh dengan wajahnya yang masam. Wanita itu tidak mau kejadian masa muda suaminya, malah diwariskan pada Syamil. "Jangan suudzon, Mi, nanti malah kejadian, he he he .... " Laila; teteh dari Syamil ikut menghampiri abah dan umminya yang sedang berada di ruang makan. Bu Umi semakin cemberut. Di dalam hatinya mengup
Syamil tidak bisa berhenti tertawa, bahkan setelah ia masuk ke dalam kamar kosnya. Pemuda itu berhenti sejenak saat mengucapkan salam, setelah itu kembali terbahak. Ya ampun, habis ketemu bini orang, Syamil jadi gak waras. Batin Didin yang memperhatikan pemuda itu tanpa berkedip. "Ada apa, Sya? Pulang-pulang malah ngakak. Istighfar, Sya. Kamu kenapa?" tanya Didin saat Syamil tak kunjung berhenti tertawa saat ia sudah duduk di kasur. "Sya!" Didin semakin panik dengan mengguncang tubuh Syamil yang tidak beraksi saat ia tegur. "Audzubillahi minassyaitonirrojiim. Bismillahirrahmanirrahim. Cuih! Cuih!""Jiah, kenapa disembur, Om? Ih, jijay!" Syamil mengambil dua lembar tisu untuk membasuh wajahnya yang terkena air liur Didin yang muncrat. Merasa tidak puas dan sangat mengerikan dengan baunya, Syamil berlari keluar kamar untuk mencuci muka. Kali ini Didin yang tertawa terpingkal-pingkal. Ia sudah salah sangka dengan mengira Syamil kerasukan jin istri tetangga, rupanya bukan. Syamil ma
"Oh, jadi kamu mau pulang ke Jakarta?" tanya Hani pada Syamil yang tengah sibuk di depan laptopnya. Pemuda itu mengangguk, tanpa melepas pandangan dari layar laptop. Sore ini Hani membuat kolak pisang dan ia mengantarkan ke kamar kos Syamil. Pintu kamar terbuka dan Hani duduk di depan sambil menemani Syamil mengerjakan tugas. "Lama gak?" tanya Hani lagi. "Nggak, saya kan kuliah, Mbak. Paling hari senin pagi saya pulang. Besok dari kampus saya langsung ke terminal, gak balik ke kosan lagi," jawab Syamil sambil tersenyum. "Wah, berarti aku gak bisa lihat kamu pergi dong! Apa mau aku antar?" Syamil tidak langsung menjawab, melainkan tawa yang menggelegar membuat teman kos yang kebetulan lewat di depan kamarnya ikut menoleh. "Makasih, Mbak, Hani, tapi saya udah besar, bukan anak TK lagi, jadi gak usah diantar. Lagian Mbak Hani lagi hamil, gak boleh pergi jauh-jauh." Hani diam sejenak, kemudian wajahnya berubah cemberut. "Tapi aku mau antar," kata Hani sedih. Syamil menggelengkan kep
Keduanya sudah mandi dan juga solat magrib berjamaah. Syamil memimpin dengan membaca surah Ar Rahman yang isi surah tersebut adalah tentang cinta kasih. Bahkan Syamil menangis saat membacakan surah tersebut. Hani pun ikut menangis, sehingga Syamil begitu terharu melihat sang Istri. "Sudah, kan sudah selesai solat, air matanya masih turun aja! Neng terharu dengan surah itu ya?" Syamil mengusap kepala Hani dengan lembut. "Saya nangis bukan karena terharu, tapi karena kecapean berdiri. Surahnya kepanjangan. Rokaat pertama surah Ar-Rahman, rokaat kedua Surah Yasin, hiks.... " Syamil tertawa terpingkal-pingkal. Ia benar-benar keterlaluan pada istrinya. Bisa-bisa nanti Isya, Hani gak mau jama'ah lagi gara-gara kepanjangan ayat. Hu hu hu... "Neng, maaf ya. Sini, biar saya pijitin!" Syamil tidak tega dan tentu saja langsung meminta maaf. Kedua kaki istrinya ia pegang dan ia pijat dengan lembut. Hani pun membiarkan Syamil memijat kakinya karena memang rasanya sakit dan pegal. "Maaf ya, sa
"Apa ini, Mi?" tanya Syamil saat ummi-nya menyodorkan sebuah kartu mirip kartu ATM. "Buat kamu bulan madu. Biar gak digangguin pembaca, he he he.... ""Ya Allah, Ummi, makasih ya, Mi." Syamil memeluk ummi-nya dengan penuh rasa haru. "Ummi ini kapok, mungkin karena waktu pernikahan kamu yang pertama Ummi gak kasih hadiah nginep di hotel, makanya jadi gitu. Sekarang Ummi mau memperbaiki kesalahan Ummi. Kamu dan Hani selamat menikmati menginap di hotel selama empat hari. " Kalian bisa jalan-jalan naik speedboat, bisa ke Dufan sekalian, bisa main ke sea world. Menikmati makan malam romantis di depan pantai Ancol." Bu Umi menjelaskan dengan penuh antusias. Ia memang sudah menyiapkan semua untuk Syamil dan juga Hani. "Mi, terima kasih ya," ujar Hani akhirnya, setelah sejak tadi hanya memperhatikan Syamil dan ummi-nya berbincang. "Sama-sama Hani. Ummi lega ternyata kamu ibu kandung Syam, sehingga Ummi dan Syam tidak akan dipisahkan." Bu Umi sudah berkaca-kaca. Hani memeluk mertuanya. "
Salah satu orang yang paling tersedu-sedan di ruangan itu adalah Bu Restu. Dengan baju kebaya sederhana yang dipinjamkan Bu Umi, serta selendang panjang yang ia pakai di kepala, Bu Restu terus terisak. Ia begitu terharu bisa menyaksikan momen anak bungsunya menikah dengan sebenar-benarnya menikah."Mama, maafkan Hani. Mohon ... d-doa restu Mama." Kalimat itu ia ucapkan terbata-bata diantara linangan air matanya. "Pasti Mama doakan, Sayang. Semoga bahagia selalu ya, Nak. Maafkan Mama." Keduanya saling berpelukan erat. Dilanjut dengan sungkem pada Hadi."Akhirnya adik Abang menikah juga. Selamat yq, Hani. Semoga sakinah, mawaddah, wa rohmah." "Makasih, Bang. Hani minta doa dan restunya." Adik dan kakak itu pun saling berpelukan sambil menangis Syamil yang ikut sungkem pada Bu Restu."Mohon doa restunya, Ma," bisik Syamil dengan suara bergetar menahan tangis."Titip Hani ya. Mama pesan, tolong jaga Hani. Jika kamu sedang marah, tolong jangan berkata kasar pada Hani. Mama percayakan an
"Beneran kamu gak mau ikut melamar wanita yang akan menjadi kakak ipar kamu?" tanya Pak Rahmat pada Zahra. Dirinya dan Raka sudah bersiap berangkat karena taksi online sudah menunggu di depan pagar rumah. "Nggak, Pa, semoga acaranya lancar." Zahra tidak berani menoleh pada Raka. Ia hanya menatap papanya saja sambil tersenyum tipis. "Ya sudah kalau begitu, Papa dan Raka berangkat dulu. Besok pagi Papa InsyaAllah sudah ada di rumah." Zahra mengangguk paham. Wanita itu masih berdiri di depan pintu sampai taksi yang ditumpangi papa dan Raka meluncur pergi. Kemarahan Raka kemarin, sangat membuatnya syok dan sadar, bahwa selama bertahun-tahun hanya dirinya yang memendam perasaan itu, sedangkan Raka tetap menganggapnya sebagai adik. Zahra merapikan semua baju untuk ia masukkan ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat untuk kembali bekerja dan tinggal di kosan saja. Jika ia tetap di rumah, maka kenangan almarhumah mamanya dan Raka pasti mengusiknya dan membuatnya susah sadar diri. "Mbak Zahra
Kehadiran Raka di rumah tentu saja membuat Pak Rahmat sedikit lega. Meskipun hanya satu malam saja putranya menginap, paling tidak, pria itu merasa ada teman bicara. Masalah yang menumpuk membuatnya stres memikirkan masalah anak-anaknya.Jika Pak Rahmat senang dengan kehadiran Raka, menemani Raka makan di ruang makan, tetapi tidak dengan Zahra yang masih belum keluar kamar sejak mulai Raka tiba di rumah. "Ck, ya ampun Zahra belom sembuh juga ngambeknya," gumam Raka saat nasi dalam piring hampir habis. "Ya, nanti kamu bicara saja dengan Zahra. Ada hal yang harus kamu ketahui, tetapi lebih baik Zahra sendiri yang memberitahu." "Maksud Papa? Hal penting apa, Pa? Berkaitan dengan Syamil?" Pak Rahmat mengangkat bahunya. "Bisa jadi." Jawaban ambigu Pak Rahmat membuat Raka menghela napas. Pasti ada ha besar yang ditutupi papa dan adiknya. Pak Rahmat memang sudah menimbang untuk tidak membicarakan masalah perasaan putrinya pada Raka. Ia tidak mau ikut campur terlalu dalam, apalagi soal
"Wah, calon pengantin jangan suudzon dulu!" Raka mengulurkan tangan ingin berjabat dengan Syamil. Pemuda itu pun membalas jabat tangan Raka tanpa senyuman. Wajahnya masih masam karena merasa cemburu dengan Raka. "Mas Raka udah tahu status kita, Sya. Mas Raka ke sini hanya mau anter oleh-oleh dan meluruskan masalah dengan saya. Semua udah selesai kok." Hani menambahkan dengan bijak. Syamil tidak menyahut. Ia duduk memutuskan duduk di samping Raka dengan muka yang masih ditekuk. "Ya sudah, menurut saya masalah diantara kita sudah selesai. Doakan masalah saya juga selesai ya, Hani." Raka berdiri dari duduknya. "Mas, habiskan dulu tehnya!" Hani mengangkat cangkir teh yang masih ada setengah cangkir lagi. Raka pun duduk untuk menghabiskan tehnya. Hani dan Syamil saling pandang. Hani mendelik karena wajah Syamil masih saja masam, padahal Raka sudah menjelaskan. "Saya pamit deh, naik taksi online-nya dari depan saja. Oh, iya, Sya, jangan lupa undang saya saat kalian menikah ya. Selagi se
"Zahra, kamu dari mana saja? Ini sudah malam," tanya Pak Rahmat saat membukakan pintu untuk Zahra. Putrinya dengan tampilan amat berantakan pergi sejak siang dan baru kembali pukul sebelas malam. Zahra tidak menjawab pertanyaan papanya. Ia berjalan lunglai menuju kamar. Pak Rahmat hanya bisa menggelengkan kepala. Ia mengunci kembali pintu rumah, lalu mematikan lampu. Tidak mungkin mengajak putrinya bicara dalam keadaan kacau seperti ini. Pak Rahmat memutuskan masuk ke kamar juga. Pagi harinya, tepat pukul lima pagi. Siti sudah sampai di rumah Zahra dan tengah bersih-bersih saat Pak Rahmat baru pulang dari solat subuh di masjid. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaykumussalam." Siti tersenyum sambil mengangguk. "Zahra belom bangun, Ti?" tanya Pak Rahmat, sambil melirik kamar putrinya yang masih tertutup rapat. "Belum, Pak, mungkin sebentar lagi atau bisa juga lagi datang bulan, makanya bangunnya santai," jawab Siti. "Benar juga sih. Oh iya, mulai hari ini saya sudah kerja kembali. Jadi
"Kenapa kamu tega sama aku Hani?" Zahra terisak di depan Hani yang menatapnya dengan wajah bingung."Tega apa, Ra? Coba kamu tenang dulu. Cerita sambil sesegukan gitu, mana aku bisa paham," ujar Hani sembari menyentuh pundak sahabatnya. Zahra menepis tangan Hani dengan cepat. "Kamu kenapa gak bisa menahan diri? Paling tidak sampai aku benar-benar bercerai dari Syamil. Kamu gak mau dibilang pelakor'kan, Hani?" sindiran Zahra tentu saja sama sekali tidak membuat Hani tersinggung. Ujian lebih berat dari ini pernah ia lewati dan ia tidak mau tersulut emosi untuk hal yang tidak jelas."Poligami itu bolehkan? Bukan suatu hal yang dosa. Apalagi setahu saya, istri Syamil yang meninggalkannya. Saya gak masalah jadi istri kedua." Jawaban Hani membuat Zahra semakin menangis. "Kalau bukan karena aku, kamu pasti udah jadi pelacur di luar sana, Hani! Kamu aku berikan tempat tinggal layak. Aku bantu mencarikan pekerjaan. Aku pinjamkan HP untuk kamu jualan. Lalu setelah kamu mandiri, kamu lupa." H
Acara lamaran berlangsung lancar dan juga penuh canda tawa. Pukul dua siang, keluarga Syamil masih betah berbincang dengan keluarga Hani. Bu Umi sudah ingin pulang, tetapi suaminya masih betah di rumah Hani. Entah apa yang mendasari itu, tetapi firasatnya sebagai istri mengatakan, bahwa ada hal lain yang membuat suaminya betah. Begitu juga dengan Nela. Ia tahu, sejak tadi, Hadi selalu mencuri pandang padanya yang sengaja duduk di pojokan. Bahkan saat menikmati makan prasmanan yang disiapkan keluarga Hadi pun, ia memilih mengambil asal saja lauk yang ada di deretan panci prasmanan. Hadi juga tidak menghampirinya, maka ia pun merasa tidak perlu juga berbincang dengan pria itu. Kisahnya dan Hadi adalah kisah masa lalu yang amat buruk, tetapi membuatnya mempunyai tabungan di akhirat. Nela pun tersenyum bila mengingat bagaimana Allah memuliakannya. Mengangkat derajatnya dari wanita malam, menjadi istri sah dari seorang ustadz. "Nela, bilangin abah tuh, ajak pulang! Kaki saya mulai saki