Pria itu terkejut dan spontan langsung menemuinya ke sana, khawatir Mutia terpeleset. Tapi setelah sampai, Firheith dibuat tercengang karena langsung disuguhi pemandangan punggung mulus Mutia. Oh, sial! Firheith lekas membuang mukanya ke arah lain seraya bertanya, “Ada apa?” Juga setengah mati menyeret ludah. Telunjuk lentik Mutia mengarah ke sudut lubang pembuangan air dengan ekspresi ketakutan. “I-itu, ada kecoa!”“Mana… Aku tidak melihatnya?” Firheith tidak menemukan serangga itu di mana-mana. Kecuali dirinya dan Mutia yang hanya mengenakan legging mini dengan menyilangkan tangan ke depan dada karena —bra nya belum dikaitkan. “Tadi ada di sana, Fir. Besar sekali!” Mutia bergidik. “Coba aku periksa sekali lagi.”Mutia menganggukkan kepala dengan sikap waspada ke sekitar saat mengekori Firheith, khawatir kecoa itu kembali muncul. “Aaaaa… Sudah pindah di bawah kakiku!” jerit Mutia panik seketika membuat Firheith berbalik badan.Tanpa aba-aba, Mutia yang panik langsung melompat ke
Otak Firheith seketika mendidih, darahnya memanas. Tidak mungkin Mutia berhubungan dengan duda jarang dibelai ini dan bayi dalam perutnya adalah hasil hubungannya dengan Adam.Karena Firheith tahu—meskipun Mutia dan dirinya tidak saling mencintai. Mutia adalah wanita paling setia di muka bumi ini, ketimbang dirinya. “Brengsek!”Kesabaran Firheith yang setipis tisu dibelah tujuh, membuatnya seketika melayangkan kepalan tangan di wajah Adam. BUGH! Adam terpelanting karena pukulan Firheith yang begitu keras, bibirnya sampai terlihat robek dan berdarah. “Sshh…” Adam mengusap sudut bibirnya yang berdarah dengan jari, lalu menatap geram pada rivalnya ini yang sudah berani mencelakainya. “Kurang ajar.”“F*cking jerk! Kau pikir aku akan memercayaimu? Tidak, Adam! Di perut Mutia adalah anakku, bukan anakmu!”Rupanya, kemarahan belum selesai membelenggu Firheith yang kemudian mendekat dan menyerang Adam lagi. “Kyaaa!”Dan siapa sangka kali ini Adam tak tinggal diam? Sebelum bogem mentah dar
‘Kemana wanita itu? Baru saja tadi pagi aku hukum, ternyata dia masih berani juga melawanku!’ gerutu Firheith penuh khawatir jika Adam menggunakan kelemahan Mutia yang suka dengan anak-anak. Sebenarnya Firheith juga sama menyukai anak kecil, seperti pada Noah—putra pertama dari Richard dan Alda. Sayangnya kalau dengan Neil, tidak! Itu karena Neil anak dari Adam Janssen. Tetapi Firheith tidak ingin gegabah kali ini dan memilih untuk menyelidikinya lebih dulu. “Permisi Tuan Muda, sekarang kita harus ke mana?” Melihat mata merah Firheith, Sopir agak gugup menanyakan. Firheith yang mengusap rahang dan tengah berpikir lantas menatap ke depan. “Putar arahnya pulang ke rumah!” Siapa tahu Mutia pulang berjalan kaki dan belum jauh? Jadi Firheith bisa mengajaknya pulang bersama-sama agar dia yang mengandung tidak kelelahan.“Baik, Tuan.”“Tapi mengemudikannya pelan-pelan saja!” Di sepanjang jalan menuju rumah, Firheith tak menemukan keberadaan Mutia. Sampai akhirnya tak terasa mobilnya
Liukan tubuh Mutia bagai geliat ular, jemarinya yang lentik menyengkak rambut coklat Firheith saat merasakan buncahan gairah mengalir ke setiap nadi darahnya. “Mmmhhh… Berhenti, Fir…” Mutia menggigit kuat bibir bawahnya seraya terpejam, menikmati usapan panas yang menekan titik intinya. Sudut bibir Firheith Croussant Lander melengkung, manik tembaganya yang terkungkung hasrat menyambangi wajah sayu Mutia penuh damba. Dia semakin seksi ketika terengah napas dan lezat, seperti kini Firheith mengecup kelembutannya dengan gerakan sensual. “Ugh… Fir…” Mutia kalang kabut, kenikmatan yang Firheith berikan membuatnya melayang dan napasnya tersengal-sengal ketika sesuatu akan menyembur. “Tidak, berhenti!”“Benarkah baby?” tanya Firheith dengan tatapan mengejek. Mutia menolak tapi Sialnya, Mutia terus menjerit nikmat. Firheith juga semakin menggila di bawahnya. Kontan, Mutia yang malu jika sampai itu terjadi. Cepat-cepat mencegahnya.Dengan sekuat tenaga Mutia menyingkirkan Firheith yang se
Mutia masih terbatuk-batuk karena kaget mendengar ucapan Firheith barusan. Tetapi suaminya yang mesum ini, mengejutkannya lagi dengan perhatian menyodorinya segelas air putih. “Baby,” katanya dengan berbisik ke telinga Mutia penuh kelembutan dan mengusap punggungnya, “Minumlah, lain kali makannya jangan terburu-buru.”Terpaksa Mutia meminum air pemberian itu, walau matanya tajam melirik Firheith. ‘Ini semua karena ulahmu! Malah menyuruhku makan pelan-pelan!’ omel Mutia dalam hati. Melihat itu, senyum bertebaran di wajah Gabriel. Akhirnya apa yang ia rencanakan waktu itu mengancam Mutia agar tidak bercerai dari Firheith tidak sia-sia. “Bagaimana Pa? Kau setuju dengan resepsi pernikahanku dan Mutia?” Firheith bertanya lagi, karena Gabriel belum menjawab. “Papa setuju sekali dengan idemu, Fir. Malah senang agar semua kolega bisnis kita mengetahui pernikahan kalian,” jawab Gabriel kemudian melarikan matanya pada Glady yang masih stroke itu, “Mamamu juga pasti setuju.”Padahal mata G
“Mutia, kita sudah sampai.”Ada apa dengan istrinya ini yang terlihat melamun? "Mutia...," panggilnya sekali lagi. Tangan Firheith ingin menyentuh bahu atau menggenggam tangan Mutia, tapi ia urungkan teringat janjinya malam itu.Lebih baik Firheith memutuskan keluar dan membukakan pintu untuknya. Berkat derit pintu, lamunan Mutia yang memikirkan soal Celine buyar. “Sudah sampai, ya?”Bibir Firheith mengulas senyum, namun tatapan hangat Mutia itu menjadikannya kikuk. “Sejak tadi, Mutia.”“Kenapa kau tidak memberitahuku?” tanya Mutia seraya keluar dari mobil. Firheith pun menggeser tubuhnya memberi jalan agar Mutia leluasa keluar. “Aku sudah memanggilmu, tapi kau tidak mendengar.”“Kau ‘kan bisa mengguncang bahuku supaya aku dengar,” kata Mutia sambil menatap pada Firheith yang kini menyandarkan dagunya ke atas pintu yang terbuka. “Aku sudah berjanji tak akan menyentuhmu, bukan?” Ah, iya. Mutia lupa, gara-gara ini dia sendiri yang malu dengan rona di pipinya. “A-aku masuk ke dal
Bahkan tawaran Adam yang memberinya tumpangan juga Mutia tolak, karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi di antara Firheith dan Adam yang berujung pertengkaran atau hukuman di ranjang yang akan Mutia dapat.“Ah, ini sudah akan gelap!” Mutia menaikkan pandangannya ke langit yang mulai berganti kelabu. Kilatan petir membelah, angin berembus cukup kencang menerpa kulit Mutia yang diusap karena merasa kedinginan. Hujan sepertinya akan turun, Mutia juga tak membawa payung atau pun jas hujan. Daripada pulang basah kuyup, lebih baik Mutia pulang sekarang berjalan kaki. ***Mansion Lander. “Fir, istrimu papa lihat belum pulang? Apa kau tidak menjemputnya?” tanya Gabriel saat menemui putranya di kamar. Firheith malah terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaannya di laptop. Pria tampan berlesung pipi ini mendongak, menatap Gabriel. Diam lalu menghubungi Tobi, sopir rumahnya untuk menjemput Mutia. Keheranan, setelah telepon berakhir. Gabriel perlahan mensejajari duduk Firheith lalu bert
Ringis kesakitan hadir di wajah Mutia, bukannya Celine membantu kakak iparnya ini yang kesulitan bangun. Tetapi malah menertawakannya bersama Esmeralda, sehingga Mutia berusaha menopang tubuhnya sendiri dengan berpegangan pada kursi.“Nona Mutia!” pekik Espen. Melihat sang Nona muda kepayahan, Espen berlari menolong. “Anda tidak apa-apa?” tanyanya khawatir sambil memapah. Ia takut akibat jatuh kandungan Mutia dalam masalah. “Tenanglah, Espen. Aku baik-baik saja,” jawab Mutia pelan yang tidak ingin dianggap lemah di hadapan Esmeralda dan Celine. Namun, Espen yang kesal menatap berani pada Esmeralda yang tak ia sukai sejak menginjakkan kaki di mansion ini. “Apa kau lihat-lihat?! Turunkan matamu pelayan!” hardik Celine dengan bertolak pinggang angkuh. Seketika wajah Espen menunduk. “Maaf, Nona Celine.”“Dan kau?!” tunjuk Esmeralda pada Mutia yang kemudian menoleh nanar, “Jangan bangga mengandung anaknya Fir. Kalau hanya bayi saja, aku juga bisa memberinya. Itu mudah, karena kami
Gabriel langsung keluar dari mobil pasca berhenti. Situasi jalanan yang ramai membuat Gabriel yang buru-buru harus berhati-hati menyebrang. "Pak, tunggu!" Gabriel memanggil seseorang yang dikenalinya dengan pakaian compang-camping. "Berhenti! Tolong berhenti sebentar saya ingin bicara!" Sayangnya orang itu sekalipun tak menggubris Gabriel. Sopir keheranan dengan yang dilakukan Gabriel lalu menahan senyum. "Dia pergi sejauh ini hanya ingin mencari orang gila? Pakai bahasa Inggris lagi? Mana dia mengerti? Ada-ada saja kelakuan bule zaman sekarang." Tanpa sopir itu tahu, sebenarnya orang yang dianggap tak waras itu mengerti perkataan Gabriel. Bahkan mengenalnya tapi berpura-pura sebaliknya. "Aku harus cepat pergi sebelum Gabriel menemuiku," kata orang itu berjalan dengan cepat saat Gabriel mengikutinya dari belakang. "Goddamn it! Dia memang Ekadanta, walau rambutnya menggimbal, wajah dan tubuhnya burik seperti pakaiannya itu? Ck, gila!" gumam Gabriel mengatainya, "Apa tujuan dia beg
Sejurus kemudian mobil telah sampai di rumah Mutia. Kedua jantung Ayah dan putranya itu berdebar kencang padahal hanya melihat depan rumah itu. "Kita turun, Fir!" suruh Gabriel duluan tanpa menunggu dibukakan sopir. Firheith menyusulnya. Gabriel berdiri di tepi jalan, mengatur napas dan nyalinya sebelum menemui istri dari mendiang temannya. Rumah itu tampak sepi dan pintunya tertutup rapat. Mungkinkah penghuninya keluar? Dan tak ada siapapun di dalam! "Pa."Gabriel menoleh pada Firheith. Seakan tahu arti tatapan putranya, Gabriel langsung menjawab, "Ketuklah pintunya."Firheith mengangguk. Hanya dengan sekali ketukan, seorang wanita paruh baya menggunakan kebaya putih membuka pintu. "Siapa?" tanya Ida sebelum pintunya terbuka dengan lebar. Firheith dan Gabriel sesaat bertukar pandangan. "Saya, Bu." "Fi-Fir??"Tubuh Ida tersentak dan membeku melihat Firheith di hadapannya tiba-tiba. "Maafkan saya, Bu." Gegas Firheith merendahkan diri dengan memegangi tangan Ida. "Saya tidak be
"Kau yakin dengan keputusanmu bercerai dari Fir, Muti?" tanya Ida pada putrinya yang beranjak ke ruang tamu menemui Jerome siang itu. Ida sengaja menemui Mutia di kamar dan membahas topik itu sebelum Mutia keluar. Tapi Mutia tetap kukuh bercerai, bahkan kedatangan Jerome bermaksud untuk menemani putrinya ke kantor polisi membuka kembali laporan kematian Ekadanta yang sudah ditutup sejak lama. "Keputusan Mutia sudah benar, Bu Ida." Jerome menyahut ketika Mutia terlihat berjalan ke arah ruang tamu. Pandangan Ida dan Mutia tersapu ke Jerome yang bangkit dari duduk. Menyapa Ida dengan anggukan dan senyuman. Tapi entah kenapa dari awal bertemu Jerome, Ida tak begitu menyukainya walau pria itu bersikap ramah? "Maaf Nak Jerome, ini urusan keluarga kami. Tolong jangan ikut campur," ucap Ida sopan.Tapi Mutia yang tak enak dengan Jerome, karena ibunya yang terlalu sarkas. Lalu membisikkan sesuatu pada ibunya, "Bu, jangan begitu. Jerome ke sini niatnya baik.""Iya, Bu. Tolong maafkan saya
Firheith teralihkan suara Celine yang begitu geger. Kini ia sendiri pun dapat melihat Glady berdiri tegak di depannya setelah lama lumpuh, sehingga pria itu refleks menjatuhkan ponselnya ke lantai. “Ma.”Sepasang mata Glady basah memandangi putranya, tangannya menggapai wajah Firheith yang bergeming sebelum ia peluk. “Tolong dengarkan mama kali ini, Sayang. Percaya mama, kalau papamu tidak membunuh ayahnya Mutia? Tolong jangan salah paham, ya?” bisik Glady coba membujuk. Sontak Firheith melepas tangan Glady dari tubuhnya. Dan tanpa berkata apapun Firheith sedikit menjauhi ibunya itu, hingga Glady merasa cemas karena ia melihat ketidak percayaan Firheith dari tatapannya yang lesu. “Jika papa terbukti membunuh Tuan Ekadanta, silakan kau bunuh papa,” ucap Gabriel tiba-tiba mengejutkan keluarganya.Celine syok dan hampir terhuyung lalu Adam merangkulnya. “Kau baik-baik saja, Celine?” tanya Adam khawatir. Hubungan keduanya kini membaik lantaran Celine berhasil memenangkan hati duda
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Setelah sarapan bersama di restoran Hotel Crousant pagi itu dengan mesra saling menyuapi dan bersenda gurau, Firheith berniat memberi kejutan untuk Mutia yang baru diangkatnya ke atas pangkuan."Kejutan apa honey?" tanya Mutia menatap Firheith, kali ini suaminya tampak segar dan seksi. Dalam balutan kemeja hitam, membentuk tubuhnya yang proporsional dengan dua kancing terbuka—memperlihatkan dada bidangnya.“Tapi kau harus menutup matamu dengan kain ini.” Firheith mengeluarkan kain warna hitam yang baru saja dimintanya dari Toni.Mutia terperangah. “A-aku harus menutup mataku?” ulangnya lagi dengan nada tak percaya, “Kejutan seperti apa yang akan kau berikan? Wow! Ini pasti sangat menakjubkan.”Firheith tak menjawabnya namun tersenyum. Menunjukkan kain hitam panjang yang berada di telapak tangannya itu, sebagai isyarat permohonan dan Mutia pun mengangguk pertanda setuju.“Baiklah…” Firheith lalu memasangkan kain itu menutupi mata istrinya dan menali nya di belakang kepala, “Selesai.”K
“Honey, kau dari mana saja?” tanya Mutia yang duduk di atas ranjang, menoleh ke arah pintu saat Firheith masuk ke dalam kamar dan menutupnya.Firheith melempar senyumnya pada Mutia lalu berkata, “Tadi aku hanya berbincang dengan Rich, Baby.”“Oh, jadi dia belum pulang? Lalu ke mana Noah? Apa masih di sini juga?” tanya Mutia beruntun yang pertanyaanya terhenti sewaktu Firheith memeluknya dari belakang.Memeluk istri di saat kalut adalah obat mujarab yang membuat hati gelisah menjadi tentram. Nyatanya hal itu yang belakangan inis sering Firheith lakukan.“Kenapa malah diam?” Mutia menoleh, Firheith menaikkan wajahnya yang semula terbenam di ceruk Mutia dan mencium bibir istrinya dengan lumatan lembut.Ciuman Firheith memang memabukkan, Mutia mengimbanginya dengan lidah yang bertali di mulut suaminya itu dan hanya berakhir ketika Mutia kehabisan napas.“Ahh, kau menciumku sangat brutal, Honey,” keluh Mutia napasnya terengah-engah saat Firheith merebahkannya di atas ranjang dan menarik ta