Malam sudah sangat larut. Agnes masih belum jua dapat memejamkan mata. Tubuhnya golak-golek di atas kasur. Hati dan pikirannya tak mau diajak kompromi untuk segera menginvansi alam mimpi. Keduanya terlalu sengit berdebat tentang Aksa. Agnes masih belum menemukan benang merah mengapa Aksa harus rela menerima siksa dari para rentenir karena uang seratus juta, padahal dia adalah pemilik perusahaan ternama. Perusahaannya menjadi salah satu sponsor untuk kegiatan pameran perhiasaan berkelas internasional. Itu artinya aset perusahaannya tidak bisa dianggap main-main. Mengingat orang tuanya yang bekerja sebagai pejabat di negeri kelahirannya, Agnes sedikit menangkap kewajaran dari kekayaan yang dimiliki Aksa. Sedetik kemudian, dia meragukan pendapatnya sendiri. Keluarga Aksa sepertinya tidak tahu apa-apa tentang hal itu. Buktinya, mereka selalu memandang rendah Aksa, bahkan menendangnya dari rumah sejak lebih dari lima tahun yang lalu. “God! Aku seperti beli kucing dalam karung!” Agnes m
Tatapan Agnes masih terpaku pada wajah Gugun. Bibirnya masih enggan melontar kata. Rasa malu lantaran pernah salah sangka membelit erat kepercayaan dirinya. “Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan, Nona!” Berpikir bahwa ada kemungkinan wanita di depannya itu segan untuk mulai bicara, akhirnya Gugun membuka percakapan. “Kalau kau datang tanpa tujuan, sebaiknya kau pulang.” Gugun yakin, Agnes tidak mungkin terbang sejauh itu hanya untuk mampir menyapa. Mereka bukan teman. Dia juga tidak bodoh. Pasti wanita itu sengaja datang untuk menemuinya setelah menyelidiki latar belakang kehidupannya. Teguran Gugun menyatukan kembali kesadaran Agnes yang terpecah-belah. Agnes membersihkan tenggorokannya yang tersumbat karena rasa grogi dengan sebuah dehaman kecil. “Aku ke sini untuk beberapa hal,” tutur Agnes. “Pertama, aku ingin minta maaf atas kesalahpahaman yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu.” Bola mata Gugun memancarkan sebersit kilat yang menyimpan misteri. Pengakuan teru
“Anda akan datang, Tuan?” Peter—asisten pribadi Gugun—menunggu dengan sabar di depan meja bosnya itu. “Undangan makan siang ini begitu mendadak,” sahut Gugun. “Aku tidak yakin bisa menghadirinya.” “Tapi, Tuan … undangan itu Tuan Seth sendiri yang mengantarnya kemari.” “Apa?!” “Benar, Tuan. Tadi dia ingin menemui Anda secara langsung,” beritahu Peter. “Hanya saja ….” Peter tak meneruskan kata-katanya. Keraguan mengikat lidahnya. Sebelah alis Gugun terangkat tinggi. Dia meletakkan penanya. Tatapannya kini menusuk tajam bola mata Peter. “Tu–Tuan Seth tidak ingin mengganggu kebersamaan Anda dengan Nona Aileen.” “Hubungi dia secepatnya!” titah Gugun. “Bilang aku akan datang.” “Siap, Tuan!” Peter membungkuk, lalu undur diri. Gugun bersandar pada kursi putarnya. Jari-jarinya saling terkait. Seth menyempatkan diri untuk mengantar undangan itu secara langsung ke kantornya. Padahal, sebenarnya lelaki itu bisa saja meneleponnya. “Mencurigakan!” desis Gugun. “Apa ini ada hubungannya deng
Agnes baru saja selesai membersihkan wajah dari sisa-sisa make-up. Wajahnya terasa ringan dan segar. Masih tersisa waktu lebih dari satu jam sebelum check-out dari hotel. Tidak buruk jika dia memanfaatkan waktu tersebut untuk tidur siang sejenak. Tiga puluh menit pun sudah cukup. Agnes hendak merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk hotel tersebut ketika suara ketukan pintu memaksanya untuk menunda keinginan itu. Berpikir bahwa itu mungkin Pamela yang berubah pikiran, Agnes bergegas membuka pintu. “Ka–kamu?” Aksa mematung selama beberapa detik, sama terkesimanya dengan Agnes. “Agnes?!” desisnya. Agnes tersadar dari kekagetannya. Secepatnya dia membanting pintu. Sial! Dia salah menduga. Ternyata orang yang berdiri di depan pintu kamarnya adalah Aksa. Lebih sial lagi, dia sudah tidak dalam mode penyamaran. Dia tampil dengan wajah asli. Aksa mendorong pintu kamar Agnes agar tidak tertutup. Lelah dan mengantuk membuat Agnes kalah tenaga dari Aksa. Lelaki itu berhasil masuk. Tatapan ta
“Mau ngapain?” Gugun mencekal pergelangan tangan Seth. “Ngetuk pintulah! Kau pikir apa lagi yang akan kulakukan?” “Tidak baik mengganggu privasi orang!” “Ini bukan masalah mengganggu privasi atau bukan,” sewot Seth. “Ini tentang sebuah pembuktian. Benar enggak Aksa tadi ke sini?” “Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu!” Seth mengabaikan wejangan Gugun. Dia yakin sekali bahwa Aksa pasti menemui perempuan bernama Red itu. Seth mengetuk pintu kamar. Semakin lama suaranya bertambah kencang. Di sampingnya, Gugun tegak mematung sambil melempar pandang ke segala arah. Memperhatikan kalau-kalau ada penghuni kamar lain yang terganggu dengan keributan yang ditimbulkan Seth. “Sudahlah! Ayo kembali! Kita tunggu di kamar saja!” ajak Gugun. “Tidak. Aku akan tetap menunggu di sini.” “Sampai kapan? Ya kalau Aksa di dalam sana. Kalau tidak? Buang-buang waktu!” “Aku sangat yakin dengan firasatku.” Kembali Seth mengetuk pintu. Aksa baru saja keluar dari kamar mandi dengan tubuh terba
“Kau bisa membawa ini bersamamu.” Aksa meletakkan beberapa dokumen dan barang penting di depan mata Gugun. Gugun masih tergugu, memandangi kertas yang terkembang di genggaman tangannya. Perlahan dia mulai melipat kertas itu. Dia juga melipat amplop itu menjadi lipatan kecil, lalu memasukkan ke kantong pada bagian dalam jas yang dikenakannya. Dengan jari-jari yang masih gemetar, dia menarik tanda pengenal dari dalam dompetnya. Dia juga merogoh saku. Mengeluarkan sebuah ponsel dari sana. “Ini nomor pribadiku,” ujarnya saat meletakkan gawai itu di atas meja. Aksa dan Agnes serentak menghela napas lega. Begitu pula Seth. “Pilihan yang sangat bijak, Bro!” puji Seth seraya menepuk pundak Gugun. Agnes sudah melangkah ke pintu. Gugun mengiringinya dengan perasaan berkecamuk tak menentu. Langkah Gugun terhenti kala dia merasakan tangan Aksa menahan pundaknya. Dia menoleh, lalu memeluk saudara kembarnya itu selama beberapa waktu. “Apa kau ingin aku membelikan sesuatu untuk istri dan anak
Refleks tangan gemetar Gugun mengusap kepala Kyra penuh kasih. Setelah cukup lama membiarkan Kyra melepas rindu, Gugun berjongkok. Bibirnya mengukir senyum. “Apa sekarang tante cantik sudah sembuh?” tanya Kyra. “Kata mama, papa tidak pulang karena harus merawat tante cantik.” Kepolosan Kyra membuat hati Gugun terenyuh. Dia benar-benar bersalah. Dia telah menelantarkan istri dan anaknya dalam jangka waktu yang lama. “Mulai sekarang, papa akan selalu pulang.” Getar rindu memicu gerak tangan Gugun untuk mendekap erat putrinya. Tanpa dapat dicegah, dua bulir bening menggelinding jatuh dari sudut matanya. Memandang takjub dari tempatnya berdiri, Ainun ikut menyeka air mata. Hatinya berkata penuh damba. 'Ah, andai Mas Gugun yang kembali ….' Dia masih belum tahu bahwa lelaki yang saat ini memeluk putrinya adalah suami yang selama ini sangat dirindukannya. Gugun mengangkat tubuh mungil Kyra dalam gendongannya. Berjalan mendekati Ainun. Rasa hatinya tak menentu saat itu. “Kau lebih ringa
Senyuman di wajah Aileen sirna dalam sekejap. “Ini tidak mungkin!” gumamnya. Tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Isi paket yang baru dibukanya itu sungguh tidak sesuai dengan apa yang dibayangkannya. Tidak ada kotak perhiasan besar seperti yang dilihatnya di pameran. Hanya amplop berwarna cokelat dan lembaran koran. Aileen mengacak-acak isi kotak itu dengan kedua tangannya. Mencari-cari benda yang diinginkannya. Matanya terbelalak tatkala menemukan sebuah kotak kecil berwarna merah. Itu kotak berisi cincin. Dia masih mengingat dengan sangat jelas ketika menyematkan cincin pertunangan ke jari manis Gugun. Detak jantungnya tiba-tiba saja berpacu cepat. Gugun mencintainya. Lelaki itu tidak mungkin memutuskan pertunangan setelah membeli kalung idamannya, bukan? Dia melihat langsung lelaki itu menyodorkan kartu untuk membayar harga pembelian kalung tersebut. Di saat Aileen masih termangu dan hanyut dalam pemikirannya tentang Gugun, Nyonya Alberto ikut memeriksa isi paket tersebut
Dada Haidar bergemuruh karena darah yang mendidih. Di sampingnya, Jovanta—pengacara yang dipercayainya untuk menangani kasus Agung—mengimbangi langkah cepatnya memasuki ruang tahanan. Haidar mengeritkan gigi ketika melihat Agung meringkuk di balik jeruji besi. Begitu menyadari kehadiran Haidar, Agung bergegas bangkit menemui papanya. “Keluarkan aku dari sini, Pa!” Tangan Agung menggapai udara, berusaha menjangkau Haidar yang tegak dua langkah darinya. Wajahnya tampak lebih tirus. Tulang pipinya mulai mencuat, padahal dia baru mendekam di sel tahanan sementara selama dua minggu. Melihat kulit wajah Agung terlihat kusam dan pucat, hati Haidar terenyuh. Marahnya perlahan memudar, berganti rasa iba. Bagaimanapun, Agung tetaplah anak sulungnya. Mana ada orang tua yang tidak merasa tertekan saat anaknya masuk penjara. Namun, Haidar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Agung. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar jaminan. Perusahaan keluarga yang selama ini dikelola oleh A
Mobil Aksa meninggalkan butik Agnes dengan kecepatan rendah. Di sebelah Aksa, Agnes duduk tenang. Seulas senyuman tipis menghias wajahnya. “Kelihatannya kau senang sekali dengan pertemuan ini,” goda Aksa di sela-sela kesibukannya mengendalikan roda kemudi. “Ini pertama kalinya aku bisa makan di luar semenjak kecelakaan itu,” timpal Agnes, “Bohong kalau aku bilang aku tidak senang, apalagi … ini juga pengalaman pertama kita menikmati makan siang bersama keluarga Eksa.” “Kau benar. Sampai sekarang, terkadang aku masih merasa seperti mimpi bisa bertemu Eksa lagi.” “Kalian pasti telah melewati hari-hari yang sangat sulit.” Agnes dapat melihat betapa dekatnya hubungan mereka berdua. Setelah menyimak kisah pilu kehidupan masa kecil Aksa, dia mengerti mengapa Aksa mau mengorbankan status lajangnya demi menjaga dan melindungi Ainun. Alih-alih cemburu pada masa lalu Aksa, dia malah bersyukur mendapatkan lelaki sebaik Aksa. Seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga ser
“Pa, Aksa tidak pernah berniat untuk mempermalukan Papa ataupun Mama,” ujar Agnes, merasa tidak nyaman dengan perdebatan mertua dan suaminya. “Ainun memang bukan istri Aksa. Selama ini, dia hanya berusaha melindungi Ainun dan Kyra.” Muka Haidar menggelap. Dia paling benci dibohongi. “Kalau dia bukan istri dan anakmu, untuk apa kau peduli pada mereka?” semburnya, menatap garang pada Aksa. “Mereka keluarga Eksa, Pa. Bagaimana mungkin aku menelantarkan mereka?” “Apa? Jangan bercanda, Aksa! Eksa sudah lama mati! Mayatnya bahkan tidak pernah bisa ditemukan.” Aksa membuang pandang ke lantai. “Ya. Bagi Papa sama Mama Eksa sudah mati. Kalian tidak pernah peduli setelah dia melarikan diri.” Bulir bening di sudut mata Clarissa menggelinding jatuh mendengar penuturan Aksa. Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan mereka, dia memang tidak pernah mempertanyakan keberadaan Eksa semenjak anaknya itu memberontak dan minggat dari rumah. Dia tidak pernah tahu bahwa Eksa telah mengganti nama pangg
Agnes menyeka kristal bening yang meluruh dari sudut matanya. Emosinya terhanyut mendengar kidung lara kehidupan masa kecil Aksa. “Kau menangis? Membuat aku benar-benar terlihat menyedihkan!” Meskipun bibirnya melontarkan keluhan mengejek kepada Agnes, Aksa merasakan hatinya menghangat ketika menyadari bahwa Agnes berempati terhadap nasibnya yang kurang beruntung di masa lalu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Agnes mengumbar senyuman hangat. “Dengan begitu aku yakin kamu akan lebih menghargai orang lain dan memahami makna kata bahagia yang sesungguhnya.” Agnes juga semakin paham sekarang mengapa Aksa begitu melindungi Ainun dan Kyra. Dia sudah merasakan pahitnya diabaikan. Jadi, wajar jika dia tidak ingin Kyra mengalami hal yang sama. “Kamu enggak dendam kan sama mama?” “Entahlah. Aku hanya merasa berat untuk menemuinya lagi.” Agnes sangat mengerti. Siapa pun yang pernah disakiti—apalagi dalam jangka waktu lama—tentu sulit untuk benar-benar bersikap normal. Mungkin me
“Di mana kau sekarang?” Haidar menodong Aksa dengan pertanyaan interogasi tanpa basi-basi tentang kabar. Aksa mendengkus kecewa. Sepertinya Haidar benar-benar tak peduli apakah dia masih hidup atau sudah mati. “Yang jelas, bukan di rumah Papa!” Aksa menyahut dengan nada dingin. “Anak kurang ajar!” umpat Haidar. “Kalau di rumahku, apa perlu aku bertanya seperti itu?” “Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bertengkar,” sahut Aksa. “Aku masih ngantuk.” Selesai berkata begitu, Aksa langsung memutus sambungan telepon. Di ujung telepon. Haidar mengomel panjang pendek lantaran kesal dengan perbuatan Aksa. Berkali-kali dia mencoba memanggil ulang nomor telepon Aksa, tetapi Aksa tidak lagi mengangkat panggilannya. Dengan kesal dan mulut tak henti mengumpat dan memaki, dia mengetik pesan untuk Aksa. Aksa turun dari ranjang dengan tampang kusut. Niatnya untuk melanjutkan tidur sedikit lebih lama gagal total akibat gangguan dering telepon dari papanya. “Lelaki itu masih belum menyerah!” ejek Aks
Aksa mematung di depan pintu. Awalnya, dia berniat untuk mengetuk pintu rumah orang tuanya itu. Namun, mendengar suara ribut dari dalam, dia pun membatalkan niatnya. Dia tetap tegak mematung di sana. Menguping pertengkaran yang sedang berlangsung antara mama dan kakak iparnya. Dia merasa aneh mengetahui dua orang yang biasanya sangat akur tersebut berubah seperti musuh. “Ma … Ma … Mama pikir aku naif? Aku tahu Mama tidak pernah membesarkan Aksa dan saudara kembarnya dengan tangan Mama sendiri,” cemooh Marsha. “Mama bahkan tidak pernah memberi mereka ASI. Mereka adalah dua anak sapi yang diasuh oleh pembantu.” “Kamu?” Clarissa mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Ingin sekali dia bisa mencabik-cabik mulut Marsha. “Apa aku salah?” Marsha semakin merasa bahwa dirinya berada di atas angin ketika melihat Clarissa tidak berani melayangkan tangan kepadanya. Sudut bibir Marsha mencebik sinis. “Mama bahkan tak peduli Eksa masih hidup atau sudah mati!” Sentilan telak itu membungkam mu
Melangkah mundur dengan kaki gemetar, muka Nevan memucat seperti kain kafan. Pantatnya kini telah membentur bagian belakang mobilnya. Ke mana dia harus lari sekarang? Nevan bergeser ke kiri. Dia harus bisa menemukan celah untuk berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Dia tidak mau mati konyol di tangan Aksa. “Kupikir kau tak akan muncul lagi di hadapan istriku karena kau sudah belajar dari kesalahanmu,” ejek Aksa dengan seringai menakutkan. “Ternyata kau bertindak terlalu bodoh. Kali ini aku akan memberimu pelajaran yang lebih keras.” Sebuah mobil melintas dan berhenti di dekat Aksa. “Papa!” Krya berteriak dari jendela dengan kaca yang sudah diturunkan. Nevan memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun, teringat gadis kecil itu memanggil papa pada Aksa, langkahnya terhenti. Seringai licik terbit di wajahnya. Dia belum kalah. Krya turun dari mobil dan berlari ke pelukan Aksa yang sudah berjongkok untuk menyambutnya. Ainun mengiring di belakangnya. Seringai Nevan makin leb
Sepasang kaki terbalut celana berwarna navy menjulur dari dalam mobil, diikuti keseluruhan tubuh sang pemilik kaki. Nevan berjalan ke belakang mobilnya dengan dada membusung. Dia melendehkan pantat pada bagian belakang mobil itu dengan bersilang kaki. Sebelah tangannya bersembunyi di dalam saku celana. Sudut bibir Nevan mencebik sinis kepada Aksa. Seringai mengejek pun menggenapi tatapan penuh kebencian yang membidik tepat ke netra gelap Aksa. “Sebaiknya kau menjauh dari sana, Agnes Fan!” sarannya dalam nada perintah. “Kemarilah dan masuk ke mobilku!” Darah Aksa mendidih mendengar anjuran dan perintah Nevan kepada Agnes. Lelaki itu terkesan sengaja menganggapnya sebagai patung batu. Kedua tangan Aksa terkepal erat membentuk tinju. “Apa hakmu memerintah istriku?” Nevan mengungkai kakinya dan tegak lurus. Dia maju selangkah. Berpaling pada Agnes seolah-olah pertanyaan Aksa hanya embusan angin lalu. “Lelaki seperti itu tidak pantas menjadi suamimu,” tegasnya. “Kau desainer ternama d
“Sayang … itu kan Papa Aksa,” jelas Ainun. “Papa yang selama ini bersama kita.” Mata Kyra berpaling pada Gugun dengan tatapan penuh tanya, 'Kalau itu Papa Aksa, lalu yang ini siapa?' “Nah, yang ini ….” Ainun menepuk pelan lengan atas Gugun, “Papa Gugun. Papa kandung Kyra yang selama ini bekerja jauuuh banget.” Gugun mengelus lembut rambut Kyra. “Iya, Sayang … selama papa pergi, Papa Aksa yang menjaga Kyra sama mama,” jelasnya. “Benarkah?” Senyuman dan anggukan kepala dari empat orang dewasa yang duduk semeja dengannya menghalau ketakutan Kyra. Dia melompat turun dari bangku. “Yeaaay! Aku punya dua papa!” serunya dengan wajah berbinar cerah, berlari mengelilingi meja untuk menghampiri Aksa. Aksa segera mengangkat tubuh mungil Kyra untuk duduk di pangkuannya. Dia terkekeh geli ketika Kyra menyerangnya dengan kecupan bertubi-tubi, nyaris memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Setelah puas melepas rindu pada Aksa, mata bening Kyra beralih pada Agnes. “Tante Cantik … apa aku boleh man