“Maaf, Sayang … aku tidak bisa menemanimu seharian di kantor hari ini.” Aksa meraih jemari Agnes, mengecupnya hangat. Pancaran gelisah masih memantul jelas dari manik matanya. “Ada apa?” Agnes berharap tidak ada kejadian buruk yang menimpa keluarga Aksa. Walaupun lelaki itu telah terusir dari rumah, mustahil emosinya tak tersentuh ketika ada sesuatu yang terjadi dalam keluarganya. “Aku harus pulang sekarang.” Ah, perkiraan Agnes sepertinya benar. Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk. Tunggu! Pada keluarga Ainun atau keluarga mertuanya? Agnes harus memastikannya. “Ke mana?” selisik Agnes. “Aku boleh ikut?” “Sayang, bukankah kau mau ke kantor?” Aksa balik bertanya. “Aku tak ingin kau kelelahan.” “Setidaknya, beritahu aku apa yang terjadi sampai-sampai suamiku jadi cemas begini.” Senyuman senang spontan merekah dari sudut bibir Aksa. Agnes benar-benar tahu cara menghiburnya, walaupun secara tidak langsung. “Nenek Ainun baru saja meninggal dunia.” “Innalillahi wainna ilaihi roji
Bisik-bisik tak jelas semakin santer terdengar. Raut-raut wajah yang menaruh kasihan pada Ainun melayangkan tatapan penuh kebencian pada Clarissa. Dasar manusia tak punya hati! Mungkin begitu maki mereka dalam hati. Namun, tak satu pun dari kerumunan orang-orang yang menonton itu berani ikut campur. Terlebih saat mulut Clarissa terus mengeluarkan sumpah serapah pada Ainun. “Lepaskan Ainun, Ma!” Agnes berusaha mengungkai jemari Clarissa yang masih menempel erat pada hijab Ainun. “Jangan ikut campur, Agnes!” bentak Clarissa sambil menyikut menantunya itu. “Malu dilihat orang, Ma! Ainun sedang tertimpa musibah! Neneknya baru saja meninggal!” Agnes balas membentak Clarissa. Melecut kesadaran wanita tersebut selama beberapa detik. Clarissa mengedarkan pandangan berkeliling. Tampak barisan emak-emak saling berbisik dan melirik sinis kepadanya disertai seringai mengejek. Clarissa melepaskan cekalannya dari kepala Ainun seraya mendorong wanita itu dengan keras. Membuat Ainun nyaris terje
“Apa?! Tidak mungkin!” Sekujur tubuh Clarissa berkeringat dingin. Berkali-kali dia menggeleng dan menggumamkan kata tidak mungkin. Tubuhnya mendadak terasa seringan kapas. Dia seperti melayang di udara dan berjalan di atas awan saat melangkah menuju sofa. “Aksa anak yang penurut. Dia tidak mungkin tega melakukan hal segila itu.” Clarissa terus mengingkari berita yang disampaikan Agung. “Mama lihat saja sendiri!” Agung menyodorkan ponselnya kepada Clarissa. Tadi, sebelum meninggalkan pekarangan rumah Ainun, dia masih berusaha curi-curi kesempatan untuk merekam sisa-sisa pembakaran yang dilakukan Aksa. Mata Clarissa melotot seolah-olah akan meloncat keluar dari rongganya. Dia sungguh tak percaya dengan apa yang disaksikannya. “Oh, gaun-gaun mahalku,” ratapnya. “Ini tidak bisa dibiarkan, Ma!” Marsha yang sedari tadi diam menangisi nasib gaun-gaun mewahnya mulai kebakaran jenggot setelah melihat langsung aksi pembakaran yang dilakukan Aksa. “Kita harus minta ganti rugi! Enak saja dia
“Kamu yakin akan membiarkan Ainun dan anaknya tinggal di sini?” Ranty memandang serius pada Agnes dengan ekspresi yang rumit. Dia sungguh tak memahami jalan pikiran putrinya sendiri. “Hanya untuk sementara, Ma,” sahut Agnes, memandang lepas panorama di luar jendela kamar Ranty. Pepohonan dan segala sesuatu di luar sana tak lagi berbayang. Pertanda perputaran waktu tepat tengah hari. Terdengar helaan napas berat dari mulut Ranty. “Terserah kamu saja! Kamu sudah dewasa. Tahu mana yang baik dan buruk untuk dirimu.” “Iya, Ma. Tenang saja! Aku sudah mempertimbangkannya masak-masak.” Agnes berlutut di samping kanan mamanya. Seulas senyuman manis merekah dari bibir merahnya saat tangannya mengelus kulit keriput Ranty. “Ainun wanita yang baik, Ma. Aku yakin Mama pasti akan menyukainya.” Promosi Agnes tentang sosok Ainun sukses membuat alis Ranty saling bertaut. Matanya menyipit heran. Dia benar-benar tak mengenali anak gadisnya. Bagaimana bisa Agnes tak merasa cemburu pada Ainun? Apa semu
Agnes tercacak pada tempatnya berdiri. Memandang tak berkedip pada sepasang insan berlainan jenis dengan tubuh yang masih saling menempel satu sama lain. “Demi Allah! Ini tidak seperti apa yang kau pikirkan.” Keringat dingin mengucur di kening dan pelipis Aksa. Dia tidak pernah mengira Agnes akan memergokinya dalam adegan seperti itu. Adegan di mana Ainun menelungkup di atas tubuhnya dengan kedua tangan tepat berada di dadanya. Buru-buru Aksa menyingkirkan tubuh Ainun yang mengimpitnya. Ainun pun bergegas bangkit. Dia tegak dengan kepala tertunduk. Jari-jarinya saling bertaut dan gemetar. Dia tak ubahnya seperti seorang pencuri yang tertangkap basah saat beraksi. Seperti tersadar dari hipnotis, Agnes mengerjap cepat. Dipungutnya kantong bawaannya yang tadi terempas ke lantai. Dia melangkah ke sofa di ruang tamu rumah baru itu dengan wajah datar. Sama sekali tak melirik pada Aksa. Entah malu menyaksikan adegan suaminya dengan Ainun tadi, atau mungkin juga berusaha meredam marah. Ak
Agnes tak peduli ketika Aksa berlalu dari hadapannya. Biar saja lelaki itu pergi. Ternyata dia kecele. Aksa tidak meninggalkan kamar. Lelaki itu beranjak ke kamar mandi. “Sekarang aku sudah bersih, kan?” Aksa mengenyakkan pantat di samping Agnes. Agnes bergeser ke kiri tanpa mengalihkan matanya dari majalah financial yang dibacanya. “Hei! Aku sudah mandi lo.” “EGP!” Agnes keluar dari kamar itu setelah menyambar ponselnya dari atas meja. Dia tak menggubris panggilan Aksa. Saat melintasi ruang tengah, sudut mata Agnes menangkap siluet seorang anak kecil berlari mengejar ibunya, menuju kamar tamu. 'Ainun … cepat juga geraknya,' batin Agnes dalam hati. Diurungkannya niatnya untuk ikut bersantai dengan mamanya di teras depan. Dia berbelok ke belakang. Sudah lama dia tak merasakan embusan angin segar di taman belakang membelai permukaan kulitnya. Memanjakan matanya tarian ikan koi pada kolam berair bening, Agnes merogoh kantong ketika gawainya bergetar. [Mbak … aku benar-benar min
“Tidak! Aku tidak mau dipenjara!” jerit Marsha. “Aku tidak bersalah!” Marsha memberontak sekuat tenaga ketika dua orang polisi menyeretnya untuk bertapa di balik jeruji besi. “Mas Agung, tolong! Mereka yang seharusnya dipenjara, bukan aku!” Jari-jarinya yang masih bergerak bebas mengacung pada Serra, Agnes, dan juga Aksa. Dia tidak terima diperlakukan bak narapidana. Saat polisi membeberkan fakta tentang kejadian yang sebenarnya, Agung hanya bisa ternganga. Dia tidak menyangka selesai Serra diinterogasi, Aksa dan Agnes akan menemui polisi yang mem-BAP Serra. Rekaman CCTV dan video yang mereka pegang cukup menjadi bukti siapa pelaku kriminal yang sesungguhnya. Pada rekaman tersebut tampak jelas Marsha datang marah-marah. Terjadi perang mulut selama beberapa waktu, yang berakhir dengan Marsha menyerang Serra. Marsha mencekik leher Serra dengan beringas. Demi membela diri, Serra yang kebetulan juga memiliki kemampuan bela diri, menguak tangan Marsha dan mendorongnya sekuat tenaga.
Agnes melangkah ke teras belakang. Purnama di langit malam bertengger anggun pada pucuk pohon. Berpagar cincin emas dan berhiaskan taburan bintang. Baru saja Agnes hendak duduk di kursi, sayup-sayup telinganya menangkap suara seseorang tengah bercakap-cakap. Agnes membatalkan niatnya untuk duduk di kursi. Dia kembali tegak lurus. Rasa penasaran menuntun langkah kakinya menuju sumber suara. “Aksa?” bisik Agnes tak percaya. Lelaki yang selalu dihindarinya semenjak pulang dari membebaskan Serra itu terlihat berbicara serius melalui ponsel. Entah apa yang dibahas Aksa. Agnes tidak dapat mendengar dengan jelas. Tampaknya Aksa sengaja berbincang dengan nada pelan dan sangat hati-hati. Satu hal yang tertangkap cukup jelas di telinga Agnes hanyalah sebuah perintah tak terbantah yang meluncur dari bibir Aksa. “Terus awasi! Aku akan terbang ke sana besok pagi.” Tak ingin Aksa memergokinya sedang menguping pembicaraan, Agnes berjinjit mundur. “A—” Cepat-cepat dia membekap mulutnya sendiri
Dada Haidar bergemuruh karena darah yang mendidih. Di sampingnya, Jovanta—pengacara yang dipercayainya untuk menangani kasus Agung—mengimbangi langkah cepatnya memasuki ruang tahanan. Haidar mengeritkan gigi ketika melihat Agung meringkuk di balik jeruji besi. Begitu menyadari kehadiran Haidar, Agung bergegas bangkit menemui papanya. “Keluarkan aku dari sini, Pa!” Tangan Agung menggapai udara, berusaha menjangkau Haidar yang tegak dua langkah darinya. Wajahnya tampak lebih tirus. Tulang pipinya mulai mencuat, padahal dia baru mendekam di sel tahanan sementara selama dua minggu. Melihat kulit wajah Agung terlihat kusam dan pucat, hati Haidar terenyuh. Marahnya perlahan memudar, berganti rasa iba. Bagaimanapun, Agung tetaplah anak sulungnya. Mana ada orang tua yang tidak merasa tertekan saat anaknya masuk penjara. Namun, Haidar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Agung. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar jaminan. Perusahaan keluarga yang selama ini dikelola oleh A
Mobil Aksa meninggalkan butik Agnes dengan kecepatan rendah. Di sebelah Aksa, Agnes duduk tenang. Seulas senyuman tipis menghias wajahnya. “Kelihatannya kau senang sekali dengan pertemuan ini,” goda Aksa di sela-sela kesibukannya mengendalikan roda kemudi. “Ini pertama kalinya aku bisa makan di luar semenjak kecelakaan itu,” timpal Agnes, “Bohong kalau aku bilang aku tidak senang, apalagi … ini juga pengalaman pertama kita menikmati makan siang bersama keluarga Eksa.” “Kau benar. Sampai sekarang, terkadang aku masih merasa seperti mimpi bisa bertemu Eksa lagi.” “Kalian pasti telah melewati hari-hari yang sangat sulit.” Agnes dapat melihat betapa dekatnya hubungan mereka berdua. Setelah menyimak kisah pilu kehidupan masa kecil Aksa, dia mengerti mengapa Aksa mau mengorbankan status lajangnya demi menjaga dan melindungi Ainun. Alih-alih cemburu pada masa lalu Aksa, dia malah bersyukur mendapatkan lelaki sebaik Aksa. Seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga ser
“Pa, Aksa tidak pernah berniat untuk mempermalukan Papa ataupun Mama,” ujar Agnes, merasa tidak nyaman dengan perdebatan mertua dan suaminya. “Ainun memang bukan istri Aksa. Selama ini, dia hanya berusaha melindungi Ainun dan Kyra.” Muka Haidar menggelap. Dia paling benci dibohongi. “Kalau dia bukan istri dan anakmu, untuk apa kau peduli pada mereka?” semburnya, menatap garang pada Aksa. “Mereka keluarga Eksa, Pa. Bagaimana mungkin aku menelantarkan mereka?” “Apa? Jangan bercanda, Aksa! Eksa sudah lama mati! Mayatnya bahkan tidak pernah bisa ditemukan.” Aksa membuang pandang ke lantai. “Ya. Bagi Papa sama Mama Eksa sudah mati. Kalian tidak pernah peduli setelah dia melarikan diri.” Bulir bening di sudut mata Clarissa menggelinding jatuh mendengar penuturan Aksa. Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan mereka, dia memang tidak pernah mempertanyakan keberadaan Eksa semenjak anaknya itu memberontak dan minggat dari rumah. Dia tidak pernah tahu bahwa Eksa telah mengganti nama pangg
Agnes menyeka kristal bening yang meluruh dari sudut matanya. Emosinya terhanyut mendengar kidung lara kehidupan masa kecil Aksa. “Kau menangis? Membuat aku benar-benar terlihat menyedihkan!” Meskipun bibirnya melontarkan keluhan mengejek kepada Agnes, Aksa merasakan hatinya menghangat ketika menyadari bahwa Agnes berempati terhadap nasibnya yang kurang beruntung di masa lalu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Agnes mengumbar senyuman hangat. “Dengan begitu aku yakin kamu akan lebih menghargai orang lain dan memahami makna kata bahagia yang sesungguhnya.” Agnes juga semakin paham sekarang mengapa Aksa begitu melindungi Ainun dan Kyra. Dia sudah merasakan pahitnya diabaikan. Jadi, wajar jika dia tidak ingin Kyra mengalami hal yang sama. “Kamu enggak dendam kan sama mama?” “Entahlah. Aku hanya merasa berat untuk menemuinya lagi.” Agnes sangat mengerti. Siapa pun yang pernah disakiti—apalagi dalam jangka waktu lama—tentu sulit untuk benar-benar bersikap normal. Mungkin me
“Di mana kau sekarang?” Haidar menodong Aksa dengan pertanyaan interogasi tanpa basi-basi tentang kabar. Aksa mendengkus kecewa. Sepertinya Haidar benar-benar tak peduli apakah dia masih hidup atau sudah mati. “Yang jelas, bukan di rumah Papa!” Aksa menyahut dengan nada dingin. “Anak kurang ajar!” umpat Haidar. “Kalau di rumahku, apa perlu aku bertanya seperti itu?” “Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bertengkar,” sahut Aksa. “Aku masih ngantuk.” Selesai berkata begitu, Aksa langsung memutus sambungan telepon. Di ujung telepon. Haidar mengomel panjang pendek lantaran kesal dengan perbuatan Aksa. Berkali-kali dia mencoba memanggil ulang nomor telepon Aksa, tetapi Aksa tidak lagi mengangkat panggilannya. Dengan kesal dan mulut tak henti mengumpat dan memaki, dia mengetik pesan untuk Aksa. Aksa turun dari ranjang dengan tampang kusut. Niatnya untuk melanjutkan tidur sedikit lebih lama gagal total akibat gangguan dering telepon dari papanya. “Lelaki itu masih belum menyerah!” ejek Aks
Aksa mematung di depan pintu. Awalnya, dia berniat untuk mengetuk pintu rumah orang tuanya itu. Namun, mendengar suara ribut dari dalam, dia pun membatalkan niatnya. Dia tetap tegak mematung di sana. Menguping pertengkaran yang sedang berlangsung antara mama dan kakak iparnya. Dia merasa aneh mengetahui dua orang yang biasanya sangat akur tersebut berubah seperti musuh. “Ma … Ma … Mama pikir aku naif? Aku tahu Mama tidak pernah membesarkan Aksa dan saudara kembarnya dengan tangan Mama sendiri,” cemooh Marsha. “Mama bahkan tidak pernah memberi mereka ASI. Mereka adalah dua anak sapi yang diasuh oleh pembantu.” “Kamu?” Clarissa mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Ingin sekali dia bisa mencabik-cabik mulut Marsha. “Apa aku salah?” Marsha semakin merasa bahwa dirinya berada di atas angin ketika melihat Clarissa tidak berani melayangkan tangan kepadanya. Sudut bibir Marsha mencebik sinis. “Mama bahkan tak peduli Eksa masih hidup atau sudah mati!” Sentilan telak itu membungkam mu
Melangkah mundur dengan kaki gemetar, muka Nevan memucat seperti kain kafan. Pantatnya kini telah membentur bagian belakang mobilnya. Ke mana dia harus lari sekarang? Nevan bergeser ke kiri. Dia harus bisa menemukan celah untuk berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Dia tidak mau mati konyol di tangan Aksa. “Kupikir kau tak akan muncul lagi di hadapan istriku karena kau sudah belajar dari kesalahanmu,” ejek Aksa dengan seringai menakutkan. “Ternyata kau bertindak terlalu bodoh. Kali ini aku akan memberimu pelajaran yang lebih keras.” Sebuah mobil melintas dan berhenti di dekat Aksa. “Papa!” Krya berteriak dari jendela dengan kaca yang sudah diturunkan. Nevan memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun, teringat gadis kecil itu memanggil papa pada Aksa, langkahnya terhenti. Seringai licik terbit di wajahnya. Dia belum kalah. Krya turun dari mobil dan berlari ke pelukan Aksa yang sudah berjongkok untuk menyambutnya. Ainun mengiring di belakangnya. Seringai Nevan makin leb
Sepasang kaki terbalut celana berwarna navy menjulur dari dalam mobil, diikuti keseluruhan tubuh sang pemilik kaki. Nevan berjalan ke belakang mobilnya dengan dada membusung. Dia melendehkan pantat pada bagian belakang mobil itu dengan bersilang kaki. Sebelah tangannya bersembunyi di dalam saku celana. Sudut bibir Nevan mencebik sinis kepada Aksa. Seringai mengejek pun menggenapi tatapan penuh kebencian yang membidik tepat ke netra gelap Aksa. “Sebaiknya kau menjauh dari sana, Agnes Fan!” sarannya dalam nada perintah. “Kemarilah dan masuk ke mobilku!” Darah Aksa mendidih mendengar anjuran dan perintah Nevan kepada Agnes. Lelaki itu terkesan sengaja menganggapnya sebagai patung batu. Kedua tangan Aksa terkepal erat membentuk tinju. “Apa hakmu memerintah istriku?” Nevan mengungkai kakinya dan tegak lurus. Dia maju selangkah. Berpaling pada Agnes seolah-olah pertanyaan Aksa hanya embusan angin lalu. “Lelaki seperti itu tidak pantas menjadi suamimu,” tegasnya. “Kau desainer ternama d
“Sayang … itu kan Papa Aksa,” jelas Ainun. “Papa yang selama ini bersama kita.” Mata Kyra berpaling pada Gugun dengan tatapan penuh tanya, 'Kalau itu Papa Aksa, lalu yang ini siapa?' “Nah, yang ini ….” Ainun menepuk pelan lengan atas Gugun, “Papa Gugun. Papa kandung Kyra yang selama ini bekerja jauuuh banget.” Gugun mengelus lembut rambut Kyra. “Iya, Sayang … selama papa pergi, Papa Aksa yang menjaga Kyra sama mama,” jelasnya. “Benarkah?” Senyuman dan anggukan kepala dari empat orang dewasa yang duduk semeja dengannya menghalau ketakutan Kyra. Dia melompat turun dari bangku. “Yeaaay! Aku punya dua papa!” serunya dengan wajah berbinar cerah, berlari mengelilingi meja untuk menghampiri Aksa. Aksa segera mengangkat tubuh mungil Kyra untuk duduk di pangkuannya. Dia terkekeh geli ketika Kyra menyerangnya dengan kecupan bertubi-tubi, nyaris memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Setelah puas melepas rindu pada Aksa, mata bening Kyra beralih pada Agnes. “Tante Cantik … apa aku boleh man