"Apa yang harus aku rasakan saat ini?" Kaki Emily hampir luruh, dia berjalan lunglai dengan berpegang tembok. Wanita itu baru saja keluar dari ruang periksa kandungan. Tangannya menggenggam sebuah amplop.Emily duduk, dia mengusap pelan perutnya yang datar. "Kamu sudah hadir dan mama pasti akan menjagamu."Apa ini bisa disebut buah cinta? karena Emily mencintai Sean tanpa imbal balik. Namun, kehadiran janin itu memberi secercah harapan pada Emily, dia berharap Sean akan menerima dan berubah sikap.Beberapa bulan ini, hubungan keduanya berjalan wajar, kecuali sikap dingin Sean pada Emily. Wanita itu selalu melakukan tugasnya sebagai istri dalam hal apa pun. Dia tetap menunjukkan sikap lembut dan tulusnya, berharap hati Sean akan tersentuh dan menjadi hangat.Ponsel Emily, berdering tertulis 'suamiku memanggil'."Ya," singkat Emily."Cepat datang kemari, aku akan kirim lokasinya!"Sambungan langsung diputus sepihak boleh Sean.Emily menghela nafas berat. Sebuah restoran. Dia tersenyum t
Enam tahun kemudian. Di perbatasan ibu kota."Titip restoran ini sebentar. Aku harus segera menyusul Axel ke taman. Jika tidak, dia akan berorasi sepanjang malam karena kecewa padaku." Emily bersiap cepat. Saat ini, dia masih berada di restoran-nya. Restoran mewah yang dia bangun dengan perjuangan berat.Emily merapikan blazer putihnya. Dengan rok span hitam dan kaki tertopang heels. Wajahnya sudah dipoles natural, surai hitamnya dia biarkan terurai, sangat cantik dan elegan."Cepat berangkat. Anak itu sangat anti kekalahan. Bagaimana jika kamu terlambat mengikuti sesi perlombaan? Aku pasti kena getahnya. Dia akan mengomel dengan kata sok hebatnya itu!" Dayana, sahabat Emily terkekeh."Ok, bye. Aku pergi dulu." Emily menepuk pundak Dayana dan langsung berlari.Hari ini, Taman kanak-kanak anak Emily mengadakan kegiatan outdoor. Sebuah kegiatan berpasangan dengan orang tuanya.Jarak dari restoran dengan taman itu lumayan jauh. Apalagi ditambah kemacetan, Emily tidak yakin akan selamat
Emily keluar dari balik pohon setelah mobil Sean pergi. Dia menatap lajuan mobil itu.Air mata itu tak bisa dia tahan. Bayangan perjuangannya selama enam tahun terulas jelas di benaknya. Dia hampir meregang nyawa kala itu. Untung saja, temannya datang tepat waktu. Emily sempat koma satu bulan, yang sangat dia syukuri adalah, kandungannya sangat kuat.Kala itu, dia hampir tertabrak truk. Namun, Emily membanting setir dan menabrak pohon di pinggir jurang. Untung Emily sudah menghubungi temannya dan ponselnya terus dalam keadaan on, jadi dia ditemukan di saat yang tepat. Setelah dia dikeluarkan dari mobil itu, sengaja temannya mendorong mobil Emily ke jurang untuk menghilangkan jejak. Menjadi ibu tunggal tidak mudah baginya. Apalagi, dengan membawa endapan rasa sakit hati yang sangat dalam. Rasa sakit dan sisa cinta pada Sean terus bergelut dalam jiwanya. Dan hingga saat ini, dalam keyakinan Emily, Sean-lah yang mengatur kecelakaan untuknya. Ya, Emily masih ingat, siapa yang menyuruhnya
"Sean ada di sini!" seru Emily, lalu menatap Axel yang sedang bermain game. Dayana membulatkan mata, dia meletakkan jarinya di depan mulut. "Apa yang sedang dia lakukan?" Kali ini Emily melirihkan suara agar anaknya tidak mendengar."Cepat pergi! Dia sumber masalahmu. Aku tidak tahu ini hanya kebetulan atau dia sudah mengendus keberadaanmu. bawa Axel pergi sekarang!" cemas Danaya.Axel terus melirik dua orang dewasa itu. Dia menajamkan pendengarannya. Bahkan, dia bergeser pelan mendekat, meski tetap dengan gaya bermain game. 'Siapa Sean? Kenapa mama panik dan tampak ketakutan? Aku harus mencari tahu. Dia pasti pria dewasa yang menyakiti mamaku!' batinnya.Emily masih bergeming. Dia masih berpikir dan mencoba untuk tenang."Cepat pergi Emily. Kenapa masih diam saja?! Dia terus membuat kekacauan dan tidak mau bertemu selain pemilik restoran ini!" kesal Danaya."Ada apa, Ma. Apa ada yang membuat kekacauan di restoran ini? Biarkan aku ikut campur. Anakmu ini yang akan menyelesaikan denga
"Axel!" Emily melangkah pelan mendekat pada anaknya yang sedang duduk di lantai.Jantung Axel berdetak kencang. Anak pintar itu segera mengatur laju nafasnya. Segera dia berdiri. "Aku sedang mengambil tas Mama. Kenapa bisa ada di lantai?" Axel tersenyum lebar, menyembunyikan kegugupannya."Oh, tadi mama sakit perut dan harus segera ke kamar mandi. Letakkan di sana!" Emily menunjuk dengan arah pandang. Lalu, dia duduk di sisi tempat tidur.Axel meletakkan di atas meja rias, lalu mendekat pada ibunya. Dia melihat jika mata sang ibu agak bengkak seperti habis menangis."Apa perut Mama sakit sekali, kenapa sampai menangis?" Padahal tebakan Axel, ibunya menangis karena Sean, tapi dia tidak mau ibunya canggung."Sudah tidak lagi, Sayang. Apa yang ingin kamu lakukan sekarang, apa kamu mendapat tugas dari gurumu? Mari mama bantu mengerjakan." Emily tersenyum lebar, dia mengusap kepala anaknya.Axel memegang tangan ibunya yang ada di kepalanya. "Tidak ada tugas tapi ...." Anak itu menggantung
"Emily, benar dia Emily. Tidak salah lagi." Mata Sean membelalak berkaca. Dia ingin turun dari mobil, tapi diurungkan.Sean sudah merencanakan sejak tadi malam, jika pagi ini dia akan menyambangi sekolah Axel. Sejak tiba, dia sudah melihat sosok Emily dari jauh. Namun, dia akan mendekat secara hati-hati, jadi dia harus menekan semua keinginannya saat itu.Sean keluar setelah Emily pergi."Axel! seru Sean, saat melihat anak kecil yang dia tunggu keluar. Senyumnya mengembang. Dalam hati dia berharap jika Axel adalah anaknya.Mata Axel membelalak, dia menggeram sampai mengeratkan rahang dan mengepal tangan. Pria dewasa itu yang sudah membuat ibunya menangis."Bisakah kita bicara sebentar, Tampan?" Sean kini berjongkok di depan Axel."Urusan kita sudah selesai kemarin, Om. Apa bayarannya kurang? Jika kurang, aku pastikan kamu tidak punya hati nurani pada anak kecil sepertiku," ketus Axel.Dada Sean tersentak, tapi dia tersenyum. "Tidak, kali ini om datang untuk urusan lain."Axel melihat
Tidak, Sean tidak boleh tahu soal Axel. Siapa ayah kandungnya? Sean tidak berhak atas Axel! "Maaf, saya tidak bisa menjawab soal pribadi. Ayah anak itu sudah meninggal. Anda hanya akan membuat hati saya pilu mengingat pria yang sangat saya cintai."Sean hampir terhuyung. Dadanya bagai dikoyak bilah pedang. Sangat sakit. Emily mencintai pria lain? Jiwa Sean tersayat tak terima. Apa di depannya itu masih Emily istrinya? Selain penampilannya yang sangat berbeda, wanita itu tampak tenang dan lugas. Tidak tampak jika Emily masih mencintainya."Tidak mungkin, aku tahu jika kamu tidak menikah selama ini. Dan kamu sudah hamil anakku enam tahun yang lalu," elak Sean. Bisa saja Emily berbohong, pikirannya."Kami menikah siri. Dan sayang sekali, dia tidak bisa menemaniku dalam waktu lama." Emily meremas kepalan tangannya."Kita belum bercerai, dan kamu tidak mungkin menikah. Anak itu pasti buah cinta kita, Emily!" seru Sean, dia tidak terima jawaban itu."Maaf, Tuan. Apa saya telah membuat Anda
"Om, apa dia pria tua yang menyakiti mamaku?" Axel duduk di kursi depan. Dia bersedekap dengan wajah kesal."Menurutmu?" David menoleh sebentar."Kita sama-sama pria, Om. Jadi harus bicara jujur. Kemarin aku sedikit nakal mengintip ponsel mamaku. Aku yakin Om pria sejati yang bisa menjaga rahasia ini.""Kalau dia pria yang membuat mamamu sedih, apa yang akan kamu lakukan?" David tersenyum, dia penasaran dengan pemikiran cerdas Axel."Tentu saja harus membuat dia menyesal telah merusak senyuman mamaku. Aku Axel, tidak akan membiarkan siapa pun merengut kebahagiaan mamaku!" ucap Axel menggebu."Aku menunggu aksimu, Tampan.""Aku juga mengharap kerjasama Om nanti. Dan jangan katakan apa pun pada mama soal hari ini. Aku tidak mau dia ketakutan.""Siap, Tampan."Tiba di restoran. Axel turun tanpa menunggu David. Dia berlari masuk."Axel, apa kamu baik-baik saja, tidak ada yang terjadi, kan?" Emily menghadang anaknya dengan wajah cemas.Axel mencium kening dan dua pipi, lalu memeluk ibunya.
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."