Emily keluar dari balik pohon setelah mobil Sean pergi. Dia menatap lajuan mobil itu.
Air mata itu tak bisa dia tahan. Bayangan perjuangannya selama enam tahun terulas jelas di benaknya. Dia hampir meregang nyawa kala itu. Untung saja, temannya datang tepat waktu. Emily sempat koma satu bulan, yang sangat dia syukuri adalah, kandungannya sangat kuat.Kala itu, dia hampir tertabrak truk. Namun, Emily membanting setir dan menabrak pohon di pinggir jurang. Untung Emily sudah menghubungi temannya dan ponselnya terus dalam keadaan on, jadi dia ditemukan di saat yang tepat. Setelah dia dikeluarkan dari mobil itu, sengaja temannya mendorong mobil Emily ke jurang untuk menghilangkan jejak.Menjadi ibu tunggal tidak mudah baginya. Apalagi, dengan membawa endapan rasa sakit hati yang sangat dalam. Rasa sakit dan sisa cinta pada Sean terus bergelut dalam jiwanya. Dan hingga saat ini, dalam keyakinan Emily, Sean-lah yang mengatur kecelakaan untuknya. Ya, Emily masih ingat, siapa yang menyuruhnya mengemudi mobil Sean kala itu."Axel!" Emily teringat anaknya. Dia menyeka air matanya dan cepat berlari ke tengah."Axel sayang. Maafkan mama datang terlambat. Kamu boleh marah karena hal ini.""Mama, lihat! The winner." Axel memperlihatkan piala dan hadiah.Emily membelalak. "Kenapa bisa, dengan siapa kamu melakukannya tadi?"Axel tersenyum bangga. "Apa mama meremehkan anakmu yang pintar ini? Aku tahu, jika mama akan terlambat. Jadi aku mencari pria dewasa yang mau membantuku. Dia lumayan hebat dan tampan."Perasaan Emily semakin gelisah. "Apa kamu bisa mengatakan ciri-ciri pria dewasa itu, Sayang?""Dia mirip denganku, semua temanku juga mengatakan hal sama. Tadi, aku sudah memberinya upah. Cake bekal buatan mama. Jadi, aku tidak berutang budi padanya."Emily tersentak. Sean, dugaanya tidak salah lagi, jika Sean-lah pria dewasa yang Axel maksud. Wanita itu menoleh ke sembarang arah. Dia langsung menggendong anaknya."Kita pulang!""Acara belum selesai, Ma. Sebentar lagi," protes Axel."Mama kurang enak badan. Kita kembali sekarang." Emily pulang lebih awal dari anak lainnya.Sedang dalam lajuan mobil.Sean membuka kotak bekal itu. Dia tersenyum lebar mengingat tingkah anak itu."Dario, apa memang ada wajah yang mirip di dunia ini?" Dario adalah asisten Sean."Ada, Tuan. Bisa sampai 7 orang orang yang mirip dengan kita di dunia ini.""Sifatnya juga sepertiku." Sean terkekeh.Sepotong red velvet cake. Wajah Sean menjadi pias. Dia kembali teringat sosok Emily yang sering membuatkannya kue semacam itu. Sean langsung memakannya. Dia kembali tersentak, rasa itu ... sangat persis dengan buatan Emily. Dadanya sesak."Dario, putar balik. Kita kembali ke taman itu!" seru Sean.Dengan kecepatan tinggi, Sean bisa cepat kembali ke taman itu. Namun, setelah menyibak keramaian di sana, dia sudah tidak menemukan keberadaan Axel."Aku mau data soal anak yang tadi memaksaku bermain. Segera!"Sedang Emily dan Axel sudah tiba di restoran. Emily membawa masuk anaknya cepat."Apa yang terjadi, Ma? Kenapa dari tadi Mama terlihat gelisah dan ketakutan. Apa ada pria dewasa yang menyakiti Mama lagi, siapa? katakan padaku!" Axel menatap tajam ibunya.Emily tersenyum kaku, Axel selalu bisa menebak perasaannya. "Tidak ada, Sayang. Hanya sedikit pusing, kita masuk ke ruangan mama.""Aku tidak suka Mama berbohong." Axel memicing raut wajah ibunya seolah menangkap ketidakjujuran di wajah itu."Hai, Jagoan. Bagaimana soal perlombaan, aku yakin kali ini kamu kalah karena Mamamu terlambat." Dayana mencegat keduanya."Jangan terlalu yakin dulu, Tante. Aku terlalu pintar untuk kalah. Lihatlah! The winner." Axel tersenyum bangga."Wow, apa mamamu sudah pintar berlari sekarang?""Berlari? Dia membawa mobil saja terlambat datang. Untung saja aku berhasil mencari pria tampan untuk menjadi ayah palsuku sebentar." Axel mendesis."What! Ayah palsu? Apa maksudnya, Emily?" Mata Dayana melebar."Axel, kamu masuk dan bermain di dalam. Mama mau bicara dengan Tante Dayana dulu.""Oke." Axel mengangkat jempolnya."Tunggu, Axel. Apa maksud ayah palsu itu? Jelaskan dulu padaku!""Malas!" Axel berlari masuk ke ruangan ibunya. Di dalam, dia biasa bermain puzzle atau lego.Sedang Emily menyeret Dayana ke ruangan lain."Sean. Dia ada di sini. Tadi, Axel sempat bertemu dengannya." Mata Emily berkaca."Apa? Kenapa bisa. Lantas, apa yang Sean lakukan pada Axel? Apa dia menyakiti anak kandungnya?" cecar Danaya, dia memegang tangan Emily.Emily menggeleng. "Tidak. Mereka tidak menyadari hubungan darah itu. Sean, adalah pria dewasa yang membantu Axel menang tadi.""Dia? Takdir tidak bisa kita tebak. Tapi syukurlah, Sean tidak menyadari siapa Axel. Apa kamu bertemu dengannya?"Emily kembali menggeleng. "Aku bersembunyi. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi, Dayana.""Jangan sampai kamu lupa saat dia ingin menyingkirkanmu dulu. Dan bagaimana jika itu terjadi pada Axel?""Tidak, Dayana. Axel tidak boleh bertemu dengan Sean.""Tenangkan dirimu. Aku yakin Sean tidak akan tahu soal Axel. Dia sudah menganggapmu mati enam tahun yang lalu.""Aku berharap begitu. Aku sudah cukup bahagia dengan kehidupan baru ini. Saat ini, aku hanya ingin Axel tumbuh dengan baik. Jika dia masuk pada kehidupan ayah kandungnya, aku tidak yakin dia akan hidup tenang.""Apalagi yang kamu butuhkan saat ini? Kamu sudah punya restoran besar. Jika butuh pria, yang lebih baik dari Sean sudah mengantri. Jangan sia-siakan sisa hidupmu dengan kembali pada pria brengsek itu.""Terima kasih. Waktu itu kamu dan David datang tepat waktu."Dayana membusungkan dada sembari tersenyum bangga. "Pacarku memang luar biasa.""Benar, dia juga mengajariku mengurus restoran."Emily memulai karir dari membuat catering. Menjadi restoran kecil, karena kegigihan dan kepintarannya, dia kini memiliki restoran besar itu."Ma, lihat! Akhirnya aku menyelesaikan puzzle rumit ini. Sungguh aku tidak percaya dengan kepintaranku yang luar biasa ini." Axel berdiri dengan sedekap. Dia menatap hasil karyanya itu. Puzzle ukuran lumayan besar dengan potongan kecil-kecil.Emily tersenyum, dia memeluk putranya. "Anak Mama memang yang terbaik.""Wow, otakmu memang level seratus, Tampan." Mulut Dayana terbuka melihat hasil kerja otak Axel."Bagaimana kalau kita makan ice cream? Sepertinya, kali ini aku ingin makan rasa vanila." Axel mengecup pipi ibunya."Hanya itu?""Red velvet, kenapa aku tidak bisa bosan dengan cake buatan Mama yang itu. Sayang sekali tadi aku berikan pada pria dewasa itu.""Mama akan siapkan." Mata Emily sedikit berkaca. Bahkan cake buatannya menjadi kesukaan dua pria itu. Sean dan Axel.Waktu berputar. Saat Emily dan Axel menikmati kebersamaan. Dayana masuk."Emily, ada tamu vvip yang ingin bertemu dengan pemilik restoran ini.""Bisakah kamu gantikan? Paling juga seperti biasa. Mereka komplain atau rewel soal makanan. Aku sedang malas hari ini.""It's ok. Nikmati harimu, jangan berpikir terlalu berat.""Tunggu! Biar aku saja, kamu jaga Axel. Aku harus profesional."Emily pergi ke private room. Sampai di ambang pintu, baru sedikit dia membuka pintu itu, matanya membulat. Pria yang ingin bertemu dengannya adalah ... Sean."Aku ingin bertemu pemilik restoran ini. Panggil dia!"Emily kaget, dia berjingkat mundur."Sean ada di sini!" seru Emily, lalu menatap Axel yang sedang bermain game. Dayana membulatkan mata, dia meletakkan jarinya di depan mulut. "Apa yang sedang dia lakukan?" Kali ini Emily melirihkan suara agar anaknya tidak mendengar."Cepat pergi! Dia sumber masalahmu. Aku tidak tahu ini hanya kebetulan atau dia sudah mengendus keberadaanmu. bawa Axel pergi sekarang!" cemas Danaya.Axel terus melirik dua orang dewasa itu. Dia menajamkan pendengarannya. Bahkan, dia bergeser pelan mendekat, meski tetap dengan gaya bermain game. 'Siapa Sean? Kenapa mama panik dan tampak ketakutan? Aku harus mencari tahu. Dia pasti pria dewasa yang menyakiti mamaku!' batinnya.Emily masih bergeming. Dia masih berpikir dan mencoba untuk tenang."Cepat pergi Emily. Kenapa masih diam saja?! Dia terus membuat kekacauan dan tidak mau bertemu selain pemilik restoran ini!" kesal Danaya."Ada apa, Ma. Apa ada yang membuat kekacauan di restoran ini? Biarkan aku ikut campur. Anakmu ini yang akan menyelesaikan denga
"Axel!" Emily melangkah pelan mendekat pada anaknya yang sedang duduk di lantai.Jantung Axel berdetak kencang. Anak pintar itu segera mengatur laju nafasnya. Segera dia berdiri. "Aku sedang mengambil tas Mama. Kenapa bisa ada di lantai?" Axel tersenyum lebar, menyembunyikan kegugupannya."Oh, tadi mama sakit perut dan harus segera ke kamar mandi. Letakkan di sana!" Emily menunjuk dengan arah pandang. Lalu, dia duduk di sisi tempat tidur.Axel meletakkan di atas meja rias, lalu mendekat pada ibunya. Dia melihat jika mata sang ibu agak bengkak seperti habis menangis."Apa perut Mama sakit sekali, kenapa sampai menangis?" Padahal tebakan Axel, ibunya menangis karena Sean, tapi dia tidak mau ibunya canggung."Sudah tidak lagi, Sayang. Apa yang ingin kamu lakukan sekarang, apa kamu mendapat tugas dari gurumu? Mari mama bantu mengerjakan." Emily tersenyum lebar, dia mengusap kepala anaknya.Axel memegang tangan ibunya yang ada di kepalanya. "Tidak ada tugas tapi ...." Anak itu menggantung
"Emily, benar dia Emily. Tidak salah lagi." Mata Sean membelalak berkaca. Dia ingin turun dari mobil, tapi diurungkan.Sean sudah merencanakan sejak tadi malam, jika pagi ini dia akan menyambangi sekolah Axel. Sejak tiba, dia sudah melihat sosok Emily dari jauh. Namun, dia akan mendekat secara hati-hati, jadi dia harus menekan semua keinginannya saat itu.Sean keluar setelah Emily pergi."Axel! seru Sean, saat melihat anak kecil yang dia tunggu keluar. Senyumnya mengembang. Dalam hati dia berharap jika Axel adalah anaknya.Mata Axel membelalak, dia menggeram sampai mengeratkan rahang dan mengepal tangan. Pria dewasa itu yang sudah membuat ibunya menangis."Bisakah kita bicara sebentar, Tampan?" Sean kini berjongkok di depan Axel."Urusan kita sudah selesai kemarin, Om. Apa bayarannya kurang? Jika kurang, aku pastikan kamu tidak punya hati nurani pada anak kecil sepertiku," ketus Axel.Dada Sean tersentak, tapi dia tersenyum. "Tidak, kali ini om datang untuk urusan lain."Axel melihat
Tidak, Sean tidak boleh tahu soal Axel. Siapa ayah kandungnya? Sean tidak berhak atas Axel! "Maaf, saya tidak bisa menjawab soal pribadi. Ayah anak itu sudah meninggal. Anda hanya akan membuat hati saya pilu mengingat pria yang sangat saya cintai."Sean hampir terhuyung. Dadanya bagai dikoyak bilah pedang. Sangat sakit. Emily mencintai pria lain? Jiwa Sean tersayat tak terima. Apa di depannya itu masih Emily istrinya? Selain penampilannya yang sangat berbeda, wanita itu tampak tenang dan lugas. Tidak tampak jika Emily masih mencintainya."Tidak mungkin, aku tahu jika kamu tidak menikah selama ini. Dan kamu sudah hamil anakku enam tahun yang lalu," elak Sean. Bisa saja Emily berbohong, pikirannya."Kami menikah siri. Dan sayang sekali, dia tidak bisa menemaniku dalam waktu lama." Emily meremas kepalan tangannya."Kita belum bercerai, dan kamu tidak mungkin menikah. Anak itu pasti buah cinta kita, Emily!" seru Sean, dia tidak terima jawaban itu."Maaf, Tuan. Apa saya telah membuat Anda
"Om, apa dia pria tua yang menyakiti mamaku?" Axel duduk di kursi depan. Dia bersedekap dengan wajah kesal."Menurutmu?" David menoleh sebentar."Kita sama-sama pria, Om. Jadi harus bicara jujur. Kemarin aku sedikit nakal mengintip ponsel mamaku. Aku yakin Om pria sejati yang bisa menjaga rahasia ini.""Kalau dia pria yang membuat mamamu sedih, apa yang akan kamu lakukan?" David tersenyum, dia penasaran dengan pemikiran cerdas Axel."Tentu saja harus membuat dia menyesal telah merusak senyuman mamaku. Aku Axel, tidak akan membiarkan siapa pun merengut kebahagiaan mamaku!" ucap Axel menggebu."Aku menunggu aksimu, Tampan.""Aku juga mengharap kerjasama Om nanti. Dan jangan katakan apa pun pada mama soal hari ini. Aku tidak mau dia ketakutan.""Siap, Tampan."Tiba di restoran. Axel turun tanpa menunggu David. Dia berlari masuk."Axel, apa kamu baik-baik saja, tidak ada yang terjadi, kan?" Emily menghadang anaknya dengan wajah cemas.Axel mencium kening dan dua pipi, lalu memeluk ibunya.
"Sean!" Pertahanan hati Emily hampir saja roboh. David menarik Emily dan mengambil alih.Sean tidak berpura-pura. Dia mendengar Emily yang memanggil namanya dan mendekat padanya. Dia tersenyum sangat tipis sebelum menutup matanya.Dario datang membawa obat, tapi ... apa terlambat?***"Bagaimana keadaannya? Kenapa dia sangat bodoh!" Emily menangis dan menyalahkan diri sejak tadi."Tenang Emily, dia pasti baik-baik saja." Dayana tidak tahu harus bagaimana melihat kegusaran Emily dari tadi."Bagaimana kalau dia tidak baik-baik saja, Dayana? Aku benar-benar hampir mencelakainya. Kenapa dia nekat, dia benar-benar ... akh-" Emily menghempas tangannya ke udara, frustasi."David sudah ada di rumah sakit mewakilimu. Awas, kamu jangan berani berniat pergi ke sana. Ingat, ini hanya sebuah alergi biasa saja. Dia hanya pingsan atau pura-pura pingsan untuk mengambil simpatimu. Dan akan membaik tidak lama lagi. Ini tidak sebanding dengan dia yang ingin membunuhmu!" Dayana sangat kesal."Aku tidak t
"Carikan aku alasan untuk tidak datang ke pesta itu, Dayana!" Emily sudah memakai gaun maroon panjang tanpa lengan, wajahnya juga sudah dipoles natural, kaki jenjangnya ditopang heels, tapi wajahnya murung tak ada semangat."Singkirkan pria pecundang itu dari pikiranmu! Dia sudah merusak masa lalumu jangan sampai merusak masa depanmu, Emily. Aku akan sangat marah padamu, jika kamu terus memikirkannya." Dayana mendengkus malas."Baiklah, tapi aku tidak akan lama di pesta itu.""Hati-hati, di sana banyak pria tampan. Aku sangat berharap kamu pulang dengan wajah binar dan memilih salah satunya." David menyahut, pria itu sedang duduk di sofa bersama Axel."Jangan menyukai pria dewasa atau pria tua tanpa izinku, Mama!" seru Axel."Dasar, Bocah bawel! Kapan Mamamu akan merasakan kisah romansa kembali jika kamu terus cerewet?" Dayana mendecih."Benar, Mamaku harus bahagia, tapi kalau malah sedih? Memangnya Tante Dayana mau tanggung jawab ganti nangisnya? Dasar Tante bawel!" Axel menajamkan m
"Tolo-""Sean!" Felisha mengepal tangan kuat, dia tidak menyangka jika Sean akan meresponsif. "Apa benar dia Emily yang sudah pernah aku singkirkan. Kenapa dia sangat berbeda? Aku tidak bisa diam saja!"Emily mencoba mengayuh kaki, tapi salah satu kakinya terkilir saat terjatuh. Sedang dua pria kini berlomba untuk meraih Emily. Jarak mereka hanya berselang sangat pendek. Sean mengayuh sangat kuat hingga keduanya hampir bersamaan tiba di sisi Emily."Emily!" Sean meraih tangan Emily. Berhasil dan saat hendak ditarik ke pelukannya, Emily menolak."David." Emily meraih David, nafasnya tersengal, dia langsung merangkulkan tangan di leher David. Sean mengerat rahang, dia memukul kuat genangan air. Nyeri ... apalagi melihat pemandangan itu, dada Sean hendak meledak."Kamu baik-baik saja?" David langsung membawanya ke pinggir."Bawa aku pergi, Vid." Emily menggigil.David memakaikan jas-nya pada Emily. Lalu, mengangkat ala bridal style, membawa pergi.Sean sudah naik, nafasnya menderu karen
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."