Part 75 Wanita Baru Lainnya“Kenapa? Kau keberatan aku akan memindahkan mereka? Kau yang bilang mamaku adalah pengaruh yang buruk untuk mereka, kan?”“A-aku tak mengatakan demikian.”“Berarti aku yang berpikir demikian.” Balasan Lucius sempat membekukan wajah Calia.“Lucius?” Calia menahan lengan Lucius. “Apa maksudnya ini?” Lucius memasukkan ponselnya ke dalam saku celana setelah membalas pesan singkat Haifa.“Kenapa begitu tiba-tiba? Kenapa kau tak pernah membicarakan masalah ini denganku? A-pakah kau …” Calia menelan kembali pertanyaan yang sudah menggantung di benaknya. Tak berani mempertanyakan hal yang ia takutkan. Lucius terdiam, menunggu kelanjutan kalimat sang istri yang malah terhenti. Matanya menatap Calia sejenak dan melepaskan tangan wanita itu dari lengannya. Lalu berjalan ke arah kamar mandi. Kedua kaki Calia melemah dan jatuh terduduk di sofa. Ia merasa terlalu tenang dengan betapa Lucius tak ingin kehilangan dirinya sehingga menyuruhnya membatalkan kehamilan. Juga
Rupanya Calia tak perlu mencari tahu dan menunggu Caleb untuk memberitahunya tentang wanita bernama Haifa. Pagi-pagi sekali, ketika ia baru saja keluar dari kamar mandi. Menyelesaikan rutinitas paginya di depan lubang toilet, ia melihat seorang wanita muda yang berdiri di samping ranjang Zayn.Rambutnya yang lurus dibiarkan terurai, dengan jepit berwarna putih di sisi kepala. Mengenakan dress merah muda berpotongan sederhana. Lengan sepertiga dan panjang di bawah lutut. Terlihat sopan dan elegan di saat yang bersamaan. Menciptakan kekaguman sekaligus rasa iri yang di hati Calia. Tak hanya penampilan yang sempurna, bahkan cara bicara dan setiap gerakan yang dibuat wanita itu seolah begitu menyenangkan untuk dipandang.“Anak yang manis. Kau seperti papamu.” Tangan wanita itu mengusap ujung kepala Zayn dengan lembut. Juga senyum manisnya yang hangat dan tulus. Calia tak bisa menampik kehangatan dan ketulusan wanita yang seolah memancar dari wajah cantik tersebut.Lucius yang duduk di p
Part 77 Masih Tak RelaLukas hanya mendecakkan lidahnya melihat Lucius yang setengah menyeret Calia menuju ke dalam lift. Namun sebelum pintu lift tertutup, Lukas berhasil menahan pintu dengan salah satu tangannya, sengaja membuat sang kakak semakin geram.“Aku harus naik ke lantai lima untuk janji temuku dengan dokter,” ucapnya dengan santai sembari masuk ke dalam. Berdiri di samping Calia. “Keadaanku tak cukup baik untuk menunggu lift selanjutnya, Lucius.”Lucius tak menanggapi apa pun selain menunjukkan wajahnya yang semakin menggelap. Menarik tubuh Calia lebih dekat hingga membentur dadanya.“Lepaskan, Lucius. Kau ingin mematahkan tanganku?” Calia berusaha memutar lengannya lepas dari cengkeraman sang suami.“Diamlah,” sergah Lucius kesal. Menatap angka di atas pintu lift dengan tak sabaran, menghitung setiap detiknya. Dua, tiga, empat. “Sudah waktunya kau keluar,” ucapnya pada Lukas bersamaan denting lift terdengar. Pintu bergeser terbuka dan Lukas pun melangkah keluar. Menyempat
Hubungan Lucius dan Calia masih tetap sedingin dan sedater sebelumnya. Calia sengaja menghindari interaksi apa pun dengan Lucius. Dan semua itu dipermudah dengan keadaan Zayn yang menunjukkan perkembangan signifikan, membuat pria itu mulai aktif pergi ke kantor. Mengurus pekerjaan yang tertunda sejak Zayn masuk rumah sakit.Dan … tanpa Calia rasa, siang itu dokter mengatakan Zayn sudah bisa melakukan rawat jalan. Yang rupanya kepulangan Zayn pun sudah diatur oleh Lucius. Besok pagi, tepat di akhir minggu dan pria itu tidak harus ke kantor.“Wajahnya terlihat muram. Kau tidak senang Zayn pulang lebih cepat?” Caleb tiba-tiba duduk di sampingnya. Mendaratkan kecupan singkat di ujung kepala sang adik dan elusan di pundak.“Kau datang?”“Ya, aku sudah bilang akan langsung ke sini sepulang dari kantor, kan?” Wajah Caleb meneleng, mengamati lebih dalam raut kusut sang adik. “Ck, jangan bilang karena berengsek itu, Calia. Hanya memperburuk suasana hatimu saja. Ingat kehamilanmu.”“Dokter bilan
Lucius mengamati Calia yang terpaku pada foto pernikahan mereka di dinding. Cukup lama wanita itu hanya bergeming di tengah ruangan, hingga membuatnya terheran dan menatap bergantian sang istri dan pigura besar tersebut. “Kenapa? Kau tak suka aku memasangnya di sana?”Calia tersadar, mengerjapkan mata dan menoleh ke arah Lucius yang baru saja melepaskan jam tangan. Kepalanya menggeleng dengan cepat. “Kupikir …” Suaranya yang semakin melirih terhenti. Setelah melihat semua pemandangan di ruangan ini, mendadak ia merasa begitu tolol dengan semua pemikirannya tentang Lucius.“Kau pikir apa?” Lucius berjalan mendekat, berhenti tepat di depan Calia yang tampak kebingungan. “Atau kau tak suka rumah baru ini?”Calia menggeleng lagi. “A-aku … aku hanya memikirkan sesuatu yang tidak penting.”“Apa itu?”“Bukan apa-apa.”“Bukan apa-apa itu berarti sesuatu, kan?”Calia menurunkan pandangannya dengan tatapan menelisik Lucius yang semakin intens. “Akhir-akhir ini … aku hanya memikirkan tentang pe
“Jadi sejak kapan?” Lucius memecah keheningan malam itu. Keduanya tengah berbaring di tempat tidur. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan mereka baru saja menyelesaikan makan malam dengan ketiga kembar dan Haifa satu jam yang lalu. Dan ia masih tak menjelaskan kenapa Haifa masih ada di rumah ini, meski tahu Calia yang merasa tak percaya diri dengan keberadaan wanita itu.Setelah lebih dari sepuluh tahun cintanya bertepuk sebelah tangan, meredam rindu dan kecemburuan. Keegoisannya ingin membuat Calia membayar semua itu dengan tuntas. Ia ingin kecemburuan wanita itu lebih jelas, yang akan semakin memperjelas bahwa perasaan cinta sang istri padanya bukanlah sekedar mimpi. Tetapi harapan yang sudah menjadi kenyataan. Kepala Lucius menoleh, menatap punggung Calia yang berbaring memunggunginya. Sudah setengah jam keduanya berbaring di ranjang yang empuk dan tubuh yang ditutup selimuti hingga perut. Tetapi ia tahu sang istri belum tidur.Calia menoleh, tubuhnya kemudian berbaring t
Lamunan Calia teralih ketika pandangannya tanpa sengaja menangkap gerakan dari area depan rumah. Ya, jendela kaca kamar memang mengarah langsung ke sana. Membuatnya bisa melihat dengan jelas kesibukan dari gerbang rumah, taman dan teras depan.Sebuah mobil hitam mengkilat diparkir tak jauh dari taman, seorang pria bersetelan rapi serba hitam melangkah turun dari balik kemudi. Rambutnya yang bergelombang disisir rapi ke belakang. Berjalan dengan langkah tenangnya menuju undakan teras.Mata Calia menyipit, mengamati wajah yang tampak familiar tersebut. Tetapi ingatannya tak bisa menemukan apa pun. Kemudian gerakan dari dalam rumah membuat perhatian Calia kembali teralih. Melihat Haifa yang berjalan dengan langkah terburu menghampiri si pria. Begitu tubuh keduanya saling bertabrakan, Haifa mengalungkan kedua lengan di leher si pria. Mendaratkan bibir di bibir pria itu.Kedua bola mata Calia membeliak terkejut. Merasakan panas dan malu yang bercampur aduk menyaksikan adegan intim ters
“Jadi apa yang dikatakannya benar?”“Ya, tuan Cayson. Rutin berhubungan badan dapat menurunkan tekanan darah, sehingga baik untuk ibu hamil. Sekarang usia kehamilan nyonya Cayson sudah cukup aman dan kuat. Akan tetapi anda perlu memperhatikan beberapa hal yang bisa membuat nyonya Cayson tidak nyaman atau .…” Lucius mendengarkan dengan seksama setiap kata yang dijelaskan dokter Kirana dari seberang sana. Tanpa melepaskan pandangan dari Calia yang berbaring di sampingnya dengan mata terpejam. Wajah wanita itu tampak lelah, tetapi ia bisa melihat kepuasan dan ketenangan yang menyelimuti. Tangannya terjulur, menyelipkan beberapa helaian rambut Calia ke balik telinga. Menarik selimut hingga menutupi pundak sang istri yang telanjang.“Baik, Dokter. Saya akan memperhatikan semua itu dengan baik. Terima kasih sudah mengganggu waktu Anda.” Lucius mengakhiri panggilan. Mendaratkan satu kecupan di kening sebelum bergerak ke tepi ranjang dan menurunkan kedua kakinya. Meraih celana karet yang ada