Part 66 Antara Dua Pilihan“Aku akan membuat surat yang baru.” Hanya itu kata-kata yang Calia ucapkan. Lalu mengangguk sekali dan berjalan keluar pintu.Begitu mendengar suara pintu yang tertutup, Alex mengerjap dengan cepat. Seolah tersadar dengan emosi yang seharusnya tak ditampakkannya di hadapan Calia. Yang meruntuhkan semua reputasi yang sudah ia bangun susah payah di hadapan wanita itu selama bertahun-tahun ini.Alex gegas melompat berdiri daru kursinya, menyeberangi ruangannya yang luas dan menyusul Calia yang sudah setengah menyusuri lorong. “Calia?” panggil Alex. Menangkap pergelangan tangan Calia.Calia tersentak kaget, memutar kepala dan beringsut menjauh melihat wajah Alex yang sebelumnya tampak garang, kini terlihat penuh penyesalan. Tak menyisakan sedikit pun ekspresi yang mengejutkannya di ruangan pria itu. “Maafkan aku. A-aku …” ucap Alex terbata. Mendesah perlahan sebelum melanjutkan. “Aku begitu terkejut dengan hal ini.”Calia tak menjawab, menarik tangannya dari ge
“Bagaimana mungkin kau mengatakan hal semacam itu, Lucius? Mereka anakmu.”“Kau yang memaksaku, Calia. Seharusnya kau mengatakan padaku sejak awal semua kondisimu. Kau pikir kebohongan ini untuk kebaikan kami semua? Tidak. Kebohongan itu tak lebih dari keegoisanmu,” sergah Lucius. Menyentakkan tangan Calia hingga wanita itu terhuyung satu langkah ke belakang. Membuang muka dengan kasar karena tak ingin melihat wajah basah wanita itu yang pasti akan membuatnya luluh. Tangannya mengusap rambut di kepalanya dengan penuh kegusaran. Sebanyak ia mencintai Calia, sebanyak itu pula kemarahan dan kebenciannya akan wanita itu. Ketidak siapannya akan kehilangan wanita yang bahkan baru saja melengkapi hidupnya. Sudah cukup kekosongan dan kehampaan yang sudah wanita itu berikan selama delapan tahun ini. Sekarang, ia tak akan kehilangan apa pun lagi.“Kau ayah mereka. Tidak bisakah kau menyelamatkan mereka.”“Kau tahu aku akan melakukannya, Calia. Hanya dengan nyawaku. Bukan denganmu.”“Dan seperti
“Apa kau sudah tahu hasil tes mama dan aku sudah keluar?” Leana duduk di samping Rhea yang mengamati putri dan kedua keponakannya tengah bermain kejar-kejaran di halaman berumput. Senyum Rhea seketika membeku. Tentu saja ia tahu kalau Lucius berniat menggugurkan kandungan Calia dan menerima tawaran sang mertua untuk mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Zayn. Ada kecemasan yang sempat hinggap di hatinya dengan keputusan tersebut. Akan hubungan Calia dan Lucius yang akan kembali merenggang. Yang memungkinkan harapan di hati Lukas akan kembali tumbuh untuk Calia. Sementara dirinya masih tak berhasil menyentuh hati sang suami.“Hasil tes kami tidak bisa menjadi pendonor untuk Zayn.” Leana mendesah lega sembari mengelus dadanya. “Aku sudah merasa ngeri jika hasilku akan cocok dan harus menjalani operasi itu. Dokter sudah memperingatkan dampak-dampaknya, tapi mama tetap memaksaku melakukannya. Ya, meski … aku juga tak tega melihat Zayn yang kurus dan pucat di rumah sakit. Bagaimana pun
“Lucius bahkan tak bertanya apa pun padaku, Divya. Jangan membuat kesalah pahaman tak berarti seperti ini," balas Calia dengan ketenangan yang berusaha keras ditanpilkan di wajahnya. Lalu kepalanya berputar ke arah ranjang pasien. Melanjutkan langkah menghampiri sang putra.Lucius menggeser tempat duduk lebih jauh, memberi tempat untuk Calia meski perhatiannya kini sepenuhnya tertuju pada Alex yang melangkah masuk. Entah kebetulan atau memang kesengajaan, Calia dan Alex datang bersama-sama.Caleb pun menghampiri Alex, membawa pria itu duduk di sofa dan mulai membuka kantong berisi kotak makan malam yang dipesannya."Mama sangat merindukan Zayn." Calia memeluk sang putra dengan penuh kehati-hatian meski kerinduan yang membuncah di dadanya tak tertahankan. Melepas rangkulannya dengan berat dan merangkum wajah pucat sang putra."Kenapa mama lama sekali? Apa Zsazsa rewel lagi?"Sejenak Calia kesulitan menjawab pertanyaan sederhana tersebut. Jika bukan karena Caleb, ia tak akan tahu kalau
Lucius benar-benar setuju Lukas yang akan menjadi pendonor untuk Zayn. Kedua pria itu sibuk mengurus berbagai macam tes dengan dokter yang menangani Zayn. Beberapa kali Calia tak sengaja mendengarkan pembicaraan Lucius dengan sang dokter bahwa hasilnya cukup memuaskan. Operasi akan dilaksanakan satu atau dua minggu yang akan datang. Setelah memastikan Lukas dan Zayn dalam keadaan yang tepat untuk melakukan operasi besar itu.Ia dan Lucius pun masih tak saling bicara dengan baik. Pria itu tetap bersikap dingin dan terkadang marah setiap kali tubuhnya mulai terasa tak nyaman. Bahkan ketika jadwal kontrol ke dokter Kirana tiba, pria itu sama sekali tak peduli padanya.“Tekanan darah Anda masih tinggi, Nyonya Cayson. Melihat riwayat medis yang diberikan suami Anda, sepertinya hal ini memang bukan hal baru.”“Saya akan berusaha tetap baik-baik saja, Dok. Bukankah janinnya berkembang dengan baik. Keadaannya juga baik-baik saja. Gejala kehamilan kali ini memang sedikit menyulitkan, tapi tak l
Part 71 Keterlibatan Caleb“Apa?” Calia membelalak, napasnya tercekat dan mundur satu langkah menjauh.“Aku tahu Lukas sangat mencintaimu. Tapi sekarang dia adalah suamiku. Kau sudah memiliki hatinya, Calia. Kau tak lagi berhak atas tubuhnya. Bahkan kau sama sekali tak berhak atas hidupnya. Hidupnya sekarang milikku dan Cailey, juga anak dalam kandunganku.”Bibir Calia membeku, sepenuhnya kehilangan kata-kata.“Tidakkah kau merasa dirimu terlalu serakah dengan kembali ke hidup kami sekarang? Kau datang kembali untuk mendapatkan kembali posisimu sebagai istri Lucius, kan? Dan kau sudah mendapatkannya. Lalu kenapa kau masih menginginkan hidup Lukas?”“Apa Lukas tahu kau melakukan hal semacam ini di belakangnya?”Mata Rhea seketika membeku, mengerjap dengan kaku.“Seperti kau yang menghancurkan hubungan kami hingga aku tak punya pilihan untuk menerima Lucius di hidupku, apakah kau memiliki keberanian seperti yang kaulakukan sekarang untuk mengakuinya pada Lukas?”“Meski begitu, aku tak
Part 72 Kelicikan Lainnya Sang MertuaKepala Caleb bergerak menoleh. Langsung berhadapan dengan tuduhan di mata Lucius. “Kau masih berpikir aku terlibat dalam kecelakaan Calia?”“Kau memang terlibat, Caleb. Kita berdua tahu itu.”Mata Caleb mengerjap. Ada keterkejutan melintasi mata Caleb, yang membuat napasnya tertahan dengan keras. Keduanya saling pandang, mencoba mendominasi satu sama lain. Caleb memutus kontak mata lebih dulu, menatap ranjang Calia lalu beranjak berdiri. “Kita bicara di luar, Lucius,” ucapnya berjalan lebih dulu ke arah pintu.Lucius pun mengikut. Keduanya berdiri saling berhadap-hadapan di samping dinding kaca yang ada di ujung lorong.“Apa maksudmu?”“Aku punya lebih dari cukup bukti yang bisa menyeretmu ke penjara, Caleb. Keterlibatanmu dengan orang yang merusak mesin mobilku, kau pikir dengan kematian satu-satunya saksi hidup kecelakaan tersebut membuatmu bisa lolos dari semua ini.”Mulut Caleb yang terbuka tampak membeku. Tampak memikirkan setiap detail kata-
“Dari mana kau tahu?”Caleb mendesah kasar. “Aku tak pernah menceritakannya padamu. Kupikir Rhea akan membantuku bicara denganmu. Aku tak menyangka dia akan memilih jalan yang licik untuk memisahkanmu dari Lukas. Hingga kecelakaan itu terjadi.”Calia menatap tak percaya pada Caleb. “A-apa?”“Dan kau malah menikah dengan Lucius. Semuanya berjalan begitu cepat, aku bahkan tak benar-benar tahu bagaimana semua itu terjadi. Apakah menurutmu mama Lucius terlibat dalam kecelakaanmu?” ulang Caleb, mencoba memecah ketercengangan Calia. Berusaha mencerna semua informasi tersebut.Kerutan di kening Calia semakin menukik tajam. Mencoba mengingat setiap detail yang terjadi malam itu. Tetapi ia hanya bisa memberikan satu gelengan, tak bisa mengingat dengan pasti. Malam itu, semua terjadi begitu tiba-tiba. Melihat Rhea da Lukas yang saling bercumbu, hatinya yang hancur dan dengan tangisan yang berderai membasahi seluruh wajah, ia turun ke basement. Naik ke mobil Lucius dan ia hanya ingin menjauh d
Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam
Zaiden melangkah ke depan Lauren. “Kau benar-benar membuatku muak, Lauren. Sekali lagi jika kau menyentuh seujung rambut istriku, kupastikan kau akan menyesal telah muncul di hidupku.”Lauren terhuyung ke belakang. Keterkejutannya seketika berubah menjadi ketakutan yang begitu pekat merambati dadanya. Tatapan Zaiden begitu mengerikan, hingga membuat bulu kuduknya meremang.Zaiden berbalik, berhadap-hadapan dengan Roland yang tak kalah pucatnya dengan Lauren. “Bisakah aku mendapatkan istriku kembali?”“I-istri?” Suara Roland nyaris tertelan suara mesin mobil yang melintasi jalan.“Ya, sesuatu terjadi dan membuat kami harus berakhir sebagai suami istri. Juga hubunganmu dengannya yang harus diakhiri sesegera mungkin.”Roland menggeleng. Kepalanya berputar menatap Zesil yang tak mengatakan apa pun di sampingnya. “A-apakah itu benar, Zesil?”Zaiden mendengus tipis. Meraih tangan Zesil, menunjukkan kedua cincin yang melingkari jari manis mereka. “Apakah ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu
Zesil memindahkan tubuhnya dari pangkuan sang kakak dan duduk di sofa. Lekas memperbaiki pakaiannya begitu napas keduanya sudah kembali normal. Dengan wajah yang merah padam, panas sekaligus terasa lembab di seluruh tubuh, kepalanya tertunduk dalam oleh rasa malu. Memasang kembali pengait branya dan menarik tertutup resleting di punggung. Dengan pikiran yang kacau akan apa yang baru saja keduanya lakukan di sofa ini.Zaiden terkekeh, tangannya terjulur ke wajah Zesil. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan membawa perhatian Zesil kepadanya. “Aku tak pernah mengira seks di ruang kerja akan terasa sememuaskan ini.”Rasanya wajah Zesil tak bisa lebih merah padam lagi.“Lain kali aku akan memanggilmu untuk makan siang bersama.”Tentu saja Zesil itu tak hanya akan menjadi sekedar makan siang. “Zesil ingin ke kamar mandi,” lirihnya. Melepaskan wajahnya dari tangan Zaiden dan beranjak menuju pintu yang ada di sudut ruangan. Nyaris tersamar dengan dinding yang dilapisi kayu, tapi ia tahu kamar ma
Satu jam kemudian, pesan yang masuk ke ponsel Luca membuat keduanya harus lekas turun dari tempat tidur. “Ken mencariku,” gumam Luca menatap Zsazsa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali dengan posisi memunggunginya.“Ya, pergilah.”“Kita pergi bersama.”Zsazsa yang baru saja memasukkan lengan bajunya langsung menoleh. “Kita? Kenapa?”Luca beranjak berdiri, mengenakan celananya. “Karena kau istriku dan Ken anakku, Zsazsa. Apakah kau tidak ingin berusaha mendekatinya?”Zsazsa kembali membelakangi Luca. “Di sana sudah ada ibunya, Luca. Aku sama sekali tidak …”Luca berjalan memutari ranjang, berhenti tepat di depan sang istri. membawa pandangan Zsazsa ke arahnya. “Aku tidak memintamu berada di sana sebagai ibunya. Kau tahu posisi Joanna tak akan pernah terganti oleh siapa pun di hati Ken, Zsazsa. Tapi aku ingin kau berada di sana sebagai istriku.”Zsazsa menelan kembali bantahan yang sudah nyaris terlepas. Sungguh, ia tak suka setiap kali berinteraksi dengan Joanna meski cukup denga