“Saya memahami kekhawatiran Anda, Nyonya Cayson,” ucap dokter Kirana menyela keheningan yang sempat melingkupi pasangan di depannya.Lucius mengerjap, kecurigaan pada Calia perlahan meluruh digantikan dengan kekesalan pada dirinya sendiri mengetahui usaha Calia selama delapan tahun ini. Yang ia pikir hidupnya jauh lebih baik dari dirinya sendiri. Ia kemudian hanya menatap sisi wajah sang istri yang melanjutkan penjelasan, kali ini dengan suara yang lebih tenang.Dokter Kirana mengangguk-angguk pelan, mendengarkan dengan seksama sembari mengisi beberapa hal di berkas yang ada di hadapan wanita itu. Mengajukan beberapa pertanyaan dan akhirnya melakukan beberapa pemeriksaan pada Lucius dan Calia. Setengah jam kemudian, Calia dihempas kelegaan begitu keluar dari ruangan dokter. Semuanya baik-baik saja seperti yang diharapkan oleh Calia. Rahimnya dalam kondisi yang sangat baik. Lagipula, semua yang ia khawatirkan hanyalah sebuah kemungkinan. Jika ia menjaga kehamilannya tetap baik, kemung
Lucius menyambar ponsel di tangan Calia dan mendengus keras melihat panggilan tersebut dari Alex. “Sekarang kau terang-terangan menjawab panggilan darinya?”“Aku sudah mengatakan padamu, Lucius. Hubunganmu dan Alex sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Kami …”Lucius menggeram kesal, memotong kalimat Calia.“Aku tak akan memintamu mempercayaiku. Aku tak layak mendapatkan kepercayaan itu dan aku tak berhak meminta seperti yang kau tegaskan.” Calia mengucapkannya dengan tak kalah tegasnya. “Kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun itu yang kau pikirkan tentang kami. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu meski kau tak mempercayaiku. Dan tenang saja, aku tak akan menjadi lebih menyedihkan untuk mengulang ketololanku di masa lalu. Kau tahu aku tak akan menjadi setolol itu meski harga diri pun aku tak memilikinya. Setidaknya sekarang aku masih memiliki ketiga anakku.”Lucius hanya terdiam mendengarkan kalimat panjang tersebut. Menatap wajah Calia yang kemudian mengambil ponsel di tanganny
“Kenapa kau memiliki fotonya? Apa yang dia lakukan padamu?”“Siapa dia?” Caleb tak menjawab dan malah balik bertanya. Lebih mendekatkan wajahnya pada Calia. “Apakah dia ada hubungannya dengan Lucius? Atau Lukas?”Calia menatap wajah sang kakak. “Kau tidak menjawab pertanyaanku, Caleb.”Mendesah pelan, Caleb pun memutuskan menjawab untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. “Dia datang ke perusahaan, menanyakan sesuatu yang bukan urusannya.”Calia jelas tak puas dengan jawaban itu. “Kenapa dia mendatangimu? Apa kau membuat masalah?”“Kau pikir aku membuat masalah sehingga perlu didatangi oleh orang tak dikenal seperti dia?”Calia terdiam. Hidup Caleb sepenuhnya hanya tentang dirinya dan ketiga kembar. Pria itu hanya fokus mendapatkan uang lebih banyak untuk membantunya membayar biaya perawatan Zayn yang harus menguras seluruh tabungan mereka dan bahkan berpindah ke apartemen yang lebih kecil. “D-dia… hanya perantara perdagangan mulai dari barang bagus, mobil, dan beberapa properti.”
Part 32 Menegaskan PosisiSetelah mendatangi kamar Zsazsa dan Zaiden yang sudah terlelap, juga mencium kedua anaknya untuk Lucius, Calia kembali ke kamarnya. Membaringkan tubuhnya di tengah tempat tidur dengan berbagai kemelut yang masih memenuhi kepalanya. Pandangannya menatap langit-langit yang berwarna abu gelap dalam tarikan napasnya yang panjang. Kemudian menatap sisi lain tempat tidur. Tempat Lucius biasa berbaring.‘Aku hamil.’ Calia meletakkan testpack di tangannya ke meja kecil. Berdiri menatap Lucius yang duduk bersandar di kepala ranjang dengan tab di pangkuan.Pandangan Lucius terangkat pelan, menatap benda pipih tersebut sekilas sebelum kemudian menatap wajah Calia. ‘Kau sungguh memberikan benda itu padaku? Sekarang? Di tengah-tengah kekacauan ini?’ Suara Lucius kasar dan dingin. ‘Aku tak akan memintamu bertanggung jawab.’Lucius membanting tab di tangannya ke lantai tepat di samping kaki Calia. Yang sama sekali tak menghindar meski matanya terpejam ketakutan oleh kemara
“Saya sama sekali tak merasa besar kepala dengan keluarga besar kita, Mama. Tak hanya terlahir dari kelas sosial yang rendah, saya bahkan tidak memiliki orang tua. Saya sadar di mana posisi saya di rumah ini.”Wajah Vania tak bisa lebih pucat dengan penekanan dalam kalimat terakhir Calia. Posisi yang seolah seperti pisau bermata dua.Calia mengangguk sekali dan membalikkan badan. Menyeberangi ruang tamu dan menghilang dari pandangan Vania dengan langkah yang tenang. Berbanding terbalik dengan gemuruh amarah di dadanya.“Apa mungkin dia akan mengatakan semuanya pada Lucius, Tante? Bagaimana jika Lucius mengusirku dari rumah ini? Pertunangan kami sudah dibatalkan, Divya tak punya alasan tetap tinggal di rumah ini.” Divya tiba-tiba sudah berdiri di samping Vania. Memegang lengan wanita itu paruh baya itu dengan wajah pucat yang diselimuti kecemasan. “Lucius akan menendang kita jika wanita sialan itu buka mulut.”“Dia bisa mengatakan apa pun, Divya. Dia tak punya bukti. Jadi kita pun bisa
“Orang yang kau tabrak mengalami luka yang lebih buruk dan mendapatkan cacat permanen. Sudah lima tahun menyendiri di desa asalnya. Dan apa kau tahu yang lebih menarik. Tadi malam aku mendapatkan laporan bahwa pria itu ditemukan tak bernyawa di tempat tidurnya. Entah ini kebetulan atau apa, aku tahu ada yang tak beres dengan kecelakaan itu. Karena dia adalah saksi kunci dari kecelakaanmu. Dan apa kau tahu yang lebih menarik?” Lucius sengaja memberi jeda di antara penjelasan panjang tersebut agar Calia mendengarkan dengan seksama. “Pria itu memang sengaja menunggu di lokasi kejadian, menunggu kemunculanmu untuk mengacaukan pandanganmu. Itulah sebabnya dia tak bisa menuntutmu.”Calia sepenuhnya kehilangan kata-kata. Telapak tangan kanannya membekap mulutnya. Meredam suara tercekatnya. Butuh waktu lebih dari semenit untuk menelaah semua kesimpulan tersebut. Kesimpulan yang tak main-main karena pasti Alan Khu yang memberikan informasi ini pada Lucius. Semua kesimpulan tersebut pasti memili
Lucius baru saja duduk di belakang mejanya ketika pintu ruangan kembali diketuk dua kali dan Vania melangkah masuk. Langsung menyeberangi ruangan dan berhenti tepat di depan meja.“Nyonya Evanthe sudah memberitahu mama apa yang terjadi kemarin.”Lucius mengangguk singkat. “Seharusnya mama memberitahu mereka lebih awal. Atau …” ia mengangkat wajahnya, menatap wajah sang mama sejenak sebelum melanjutkan. “Mama masih berniat melanjutkan rencana ini?”Vania mengerjap sekali kemudian menggeleng. “Ehm, mama hanya … setelah Zayn dan adik-adiknya kembali, kau tahu mama tak sempat memikirkan hal ini dan memberitahu orang tua Divya. Sebenarnya Divya sendiri yang ingin memberitahu mereka secara langsung.”“Bukankan dia sendiri yang meminta pada mereka untuk datang ke tempatku?” Salah satu alis Lucius terangkat. Ya, tentu saja ia mengetahui hal tersebut. Kemarin ia sempat mendengar pembicaraan Divya dan Leana yang menanyakan kunjungan wanita itu malam harinya.Sekali lagi kegugupan melapisi wajah
Calia pikir Caleb tak akan datang malam itu karena sejak kemarin malam tak menghubunginya sama sekali, tetapi rupanya sang kakak malah datang lebih awal. Masih mengenakan pakaian kerja dengan satu kantong yang berisi pakaian ganti dan satu kantung berisi makanan. Yang kemudian disodorkan kepadanya.Kening Calia berkerut tipis. Menatap wajah sang kakak yang kemudian membuang wajah. Ada penyesalan yang kental di kedua mata Caleb sebelum pria itu benar-benar berpaling. “Apa itu?” tanyanya kemudian.“Kau belum makan, kan?” Caleb meletakkan kantong tersebut di meja karena Calia tak juga mengulurkan tangan untuk mengambil. Meletakkan kantong pakaian gantinya di sofa pendek dan duduk di samping Calia. “Cumi asam manis. Kesukaanmu. Dan dari resto langganan kita.”Calia pun mengulurkan tangan, membuka kantong tersebut dan aroma familiar yang lezat segera menyergap hidungnya. Jadi ini alasan Caleb pulang lebih awal. Untuk mengantre makanan favoritnya. “Sebagai permintaan maaf?” tanyanya sembari