“Kau kembali?” Calia terheran melihat Lucius yang kembali ke kamar perawatan Zayn. Ia pikir pria itu akan langsung ke kantor setelah mendapatkan hasil tesnya dari dokter yang tak akan mengubah apa pun. Seberapa pun keras kepalanya Lucius, dokter jelas tak akan membahayakan nyawa pasiennya.Lucius mengangguk, menyandarkan tubuhnya di ranjang dengan kedua tangan bersilang dada dan menatap sang putra lama kemudian beralih pada Calia.Calia yang tak tahan dengan tatapan lekat Lucius akhirnya memilih bersuara lebih dulu. “Kenapa kau menatapku seperti itu?”“Kau berpikir aku tak sanggup menyelamatkan nyawanya?”“Aku tak pernah meragukan usahamu, Lucius.”Ujung bibir Lucius tersenyum. “Aku sudah bicara dengan dokter.”Kedua alis Calia menyatu. Ya, pria itu pergi sudah satu jam yang lalu. Jika tidak pergi ke kantor, pasti ada banyak pembahasan yang Lucius bicarakan. “Mengenai kemoterapi Zayn besok?”Lucius mengangguk. “Salah satunya.”Calia tak mengatakan apa pun. Jika sebelumnya ialah yang s
Setelah menyuapi dan membacakan cerita untuk Zayn, putranya itu akhirnya kembali terlelap ketika jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 2 siang. Caleb mengirim pesan akan menjemput Zsazsa dan Zaiden jadi memintanya untuk menghubungi sopir yang diutus Lucius dan membiarkan kedua anaknya ikut bersama sang paman untuk makan siang dan akan membawa mereka ke rumah sakit. Ia tengah melamun dengan tangan menggenggam tangan Zayn yang ditempeli jarum infus ketika pintu ruangan diketuk dari luar. Calia memutar kepalanya dan menatap lubang kaca di tengah pintu. Sepertinya seorang pria melihat setelan jas berwarna biru gelap yang dikenakan orang itu. Lucius tak mungkin mengetuk pintu dan Caleb sedang bersama si kembar.Wajah Calia segera memucat menyadari siapa yang tengah berdiri di balik pintu tersebut. Ia sudah bangkit berdiri, mencegah pria itu masuk. Namun terlambat, pintu sudah digeser terbuka dan Lukas melangkah masuk.“Apa yang kau lakukan di sini, Lukas?” Calia menghadang
“Aku sama sekali tak memiliki masalah dengannya, Lucius.”Wajah Lucius mengeras. “Kalian bertemu di rumah sakit.”“Caleb memintaku untuk memberikan berkas padanya.”“Dan dia datang ke sini untuk mengambilnya?” sinis Lucius dengan kekesalan yang semakin menumpuk.“Dia sedang ada urusan di sekitar sini.”“Kau pikir ini sebuah kebetulan?”Calia mendesah pelan. “Aku tak peduli ini sebuah kebetulan atau tidak, Lucius. Tapi kau tahu ini hal yang berbeda. Tidak bisakah kau memisahkan hal ini?”“Kau istriku, Calia.”“Ya. Dan pekerjaanku tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita.”“Apa?” Mulut Lucius menganga tak percaya dengan pernyataan tersebut.“Aku mendapatkan pekerjaan ini untuk bertahan hidup dan aku menyukai pekerjaanku. Tidak ada hubungannya dengan perusahaan itu milik Alex Morgan atau fakta bahwa kalian saling bermusuhan. Apakah alasan itu tidak cukup bagimu membiarkan hal ini?”Lucius bergeming, menatap lurus ke kedua mata sang istri.“Delapan tahun, Lucius. Aku berusaha memperta
Lucius menoleh ke samping, menatap sisi wajah Calia yang dipucati kecemasan. Kedua tangan wanita itu saling meremas di pangkuan, tak berhenti menatap pintu putih di depan mereka sambil menggigit bibir bagian dalam. Ia pun tak kalah cemasnya dengan Calia, membuatnya mau tak mau membayangkan ketika wanita itu menghadapi semua ini seorang diri.Calia tersentak pelan ketika tangan Lucius menyentuhnya. Membawa kedua tangannya dalam genggaman pria itu. Kepalanya berputar perlahan, menatap Lucius yang juga menatapnya.“Kau bilang dia anak yang kuat, kan?” gumam Lucius rendah. Menambah tekanan dalam genggamannya dan ujung bibir yang tersenyum. “Dia pasti bisa melewatinya kali ini.”Kata-kata Lucius perlahan menguatkan hatinya. Ia mengangguk pelan dan merasakan dukungan yang besar merangkulnya. Salah satu tangan pria itu bergerak merangkul pundaknya. Membawa tubuhnya bersandar pada pria itu. “Ya. Dia terlihat rapuh dan lemah tetapi selalu berhasil menguatkanku.”“Dia selalu menguatkan kami se
"Kau hanya pamannya, Caleb. Aku ayah kandungnya. Hakmu tak akan lebih besar atasku. Bahkan untuk delapan tahun penuh kebohongan kalian.""Kau tak menjawab pertanyaanku." Caleb lalu mendengus mengejek. "Jangan gunakan alasan ini hanya untuk mengikat Calia dengan pernikahan kalian yang seperti cangkang kosong."Lucius sama sekali tak terpengaruh dengan ejekan tersebut. Lebih karena genggaman tangan Calia di lengannya yang semakin menguat. "Kau tak akan mendapatkan jawaban yang kau inginkan dariku, Caleb. Kau hanya perlu tahu Zayn akan menjadi tanggung jawabku dan keinginanku agar dia sembuh, tak akan melebihi keinginanmu.""Dia sudah seperti anakku.""Aku bisa melihatnya. Tapi … kau bukan ayah kandungnya, kan?"Wajah Caleb mengeras. Pandangannya menajam dan kedua tangannya mengepal kuat di kedua sisi tubuh. Jika tak ingat mereka tengah berada di ruang perawatan Zayn, bisa ia pastikan tubuhnya sudah melayang ke arah Lucius dan mendaratkan satu tinjunya tepat di hidung sang ipar."Caleb?"
"Apa kau juga tak akan memberitahuku apa yang coba direncanakan oleh Lucius?" tanya Caleb begitu Lucius keluar karena mendapatkan panggilan dari seseorang. Sesaat ia yakin pria itu mendapatkan panggilan yang mencurigakan melihat ketegangan yang sempat muncul di wajah sang ipar, tapi ada satu hal yang masih mengganggunya yang harus ia dapatkan dari Calia."Aku percaya padanya, Caleb. Dia tidak akan membahayakan anak kami." Calia memastikan suaranya terdengar normal."Ck," decak Caleb akan kata sang adik yang menggunakan kata 'anak kami'. "Sepertinya hubunganmu sudah membaik dengannya, kan?"Calia menghela napas rendah. "Apakah itu buruk?""Kau seharusnya tak semudah itu memaafkannya, Calia.""Dialah yang memberiku kesempatan, Caleb. Kau tahu apa yang sudah kulakukan padanya."Caleb terdiam, meski sorot matanya tetap tak terima dengan Calia yang selalu lebih membela Lucius. "Tetap saja ...""Aku mengkhianatinya. Akulah yang menghancurkan pernikahan kami.""Tapi kau tetap tak berhak deng
“Aku tak tahu apa yang kau katakan, Divya.” Calia memastikan suaranya tenang. Menatap lurus kedua mata licik Divya. “Alex menyewa pengacara untukku? Kenapa dia harus repot-repot melakukan itu untuk istri dari musuhnya sendiri?”Divya mendengus mengejek. “Hanya karena kau menyangkalnya, bukan berarti hubunganmu dan Alex Morgan tidak pernah benar-benar ada, Calia.”“Dan hubungan apa yang kau bicarakan, Divya?” tandas Calia dengan tegas.“Pembohong.”“Satu-satunya pengkhianatan yang kulakukan di belakang Lucius adalah dengan Lukas. Kau memastikan semua orang tahu tentang ini, kan? Kenapa sekarang mencari kambing hitam lain di tengah masalah dalam pernikahan kami? Berapa banyak lagi kau harus ikut campur dengan rumah tangga kami?”“Kau memang tak pernah puas dengan satu pria saja, kan? Kau merasa bangga dengan semua perhatian para pria …“Lalu bagaimana denganmu?” Mata Calia menatap lurus ke kedua mata Divya, kali ini ada ancaman yang tersirat di sana. Yang seketika membuat Divya menutup
Pegangan Alex pada ponselnya semakin menguat. Mencengkeram kuat hingga buku-buku jarinya memutih sebelum kemudian melempar benda pipih tersebut ke dinding. Memantul di dinding lalu lantai dan berhamburan menjadi tiga bagian.Bukannya suara Calia yang ia dengar begitu panggilannya tersambung, melainkan suara desahan dan erang kenikmatan. Menunjukkan betapa panasnya suasana di seberang sana. Dan semua ini pasti perbuatan Lucius.Amarah di dadanya bergemuruh, naik hingga ke ubun-ubun. Seolah belum cukup dengan Calia yang menolak perasaannya, sekarang wanita itu sudah kembali menjadi istri Lucius dengan begitu tololnya.Setelah pecampakan Lucius selama bertahun-tahun dan hubungan keduanya yang tak lagi saling berkontak, ia berpikir hanya perlu menunggu. Sedikit lebih lama lagi setelah Zayn tiba-tiba mendapat penyakit sialan itu. Yang malah menjadi gerbang baru untuk hubungan Lucius dan Calia tanpa ia duga.Sial beribu sial. Semua gara-gara anak itu usahanya berakhir hancur lebur seperti i
Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam
Zaiden melangkah ke depan Lauren. “Kau benar-benar membuatku muak, Lauren. Sekali lagi jika kau menyentuh seujung rambut istriku, kupastikan kau akan menyesal telah muncul di hidupku.”Lauren terhuyung ke belakang. Keterkejutannya seketika berubah menjadi ketakutan yang begitu pekat merambati dadanya. Tatapan Zaiden begitu mengerikan, hingga membuat bulu kuduknya meremang.Zaiden berbalik, berhadap-hadapan dengan Roland yang tak kalah pucatnya dengan Lauren. “Bisakah aku mendapatkan istriku kembali?”“I-istri?” Suara Roland nyaris tertelan suara mesin mobil yang melintasi jalan.“Ya, sesuatu terjadi dan membuat kami harus berakhir sebagai suami istri. Juga hubunganmu dengannya yang harus diakhiri sesegera mungkin.”Roland menggeleng. Kepalanya berputar menatap Zesil yang tak mengatakan apa pun di sampingnya. “A-apakah itu benar, Zesil?”Zaiden mendengus tipis. Meraih tangan Zesil, menunjukkan kedua cincin yang melingkari jari manis mereka. “Apakah ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu
Zesil memindahkan tubuhnya dari pangkuan sang kakak dan duduk di sofa. Lekas memperbaiki pakaiannya begitu napas keduanya sudah kembali normal. Dengan wajah yang merah padam, panas sekaligus terasa lembab di seluruh tubuh, kepalanya tertunduk dalam oleh rasa malu. Memasang kembali pengait branya dan menarik tertutup resleting di punggung. Dengan pikiran yang kacau akan apa yang baru saja keduanya lakukan di sofa ini.Zaiden terkekeh, tangannya terjulur ke wajah Zesil. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan membawa perhatian Zesil kepadanya. “Aku tak pernah mengira seks di ruang kerja akan terasa sememuaskan ini.”Rasanya wajah Zesil tak bisa lebih merah padam lagi.“Lain kali aku akan memanggilmu untuk makan siang bersama.”Tentu saja Zesil itu tak hanya akan menjadi sekedar makan siang. “Zesil ingin ke kamar mandi,” lirihnya. Melepaskan wajahnya dari tangan Zaiden dan beranjak menuju pintu yang ada di sudut ruangan. Nyaris tersamar dengan dinding yang dilapisi kayu, tapi ia tahu kamar ma
Satu jam kemudian, pesan yang masuk ke ponsel Luca membuat keduanya harus lekas turun dari tempat tidur. “Ken mencariku,” gumam Luca menatap Zsazsa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali dengan posisi memunggunginya.“Ya, pergilah.”“Kita pergi bersama.”Zsazsa yang baru saja memasukkan lengan bajunya langsung menoleh. “Kita? Kenapa?”Luca beranjak berdiri, mengenakan celananya. “Karena kau istriku dan Ken anakku, Zsazsa. Apakah kau tidak ingin berusaha mendekatinya?”Zsazsa kembali membelakangi Luca. “Di sana sudah ada ibunya, Luca. Aku sama sekali tidak …”Luca berjalan memutari ranjang, berhenti tepat di depan sang istri. membawa pandangan Zsazsa ke arahnya. “Aku tidak memintamu berada di sana sebagai ibunya. Kau tahu posisi Joanna tak akan pernah terganti oleh siapa pun di hati Ken, Zsazsa. Tapi aku ingin kau berada di sana sebagai istriku.”Zsazsa menelan kembali bantahan yang sudah nyaris terlepas. Sungguh, ia tak suka setiap kali berinteraksi dengan Joanna meski cukup denga