Bagaimana Kaif tidak sakit hati, pria itu telah menyakiti dua perempuan yang sangat ia sayangi, istri dan Adiknya.Perihal Hana, Kaif selalu merasa ada sesuatu yang ganjil setiap kali ingin menggauli Hana, istri keduanya. Dibandingkan dengan Salwa, Hana seolah menyelimuti Kaif dengan dingin yang menghapus semua keinginannya.Maka, ketika berita kehamilan Hana terdengar, kejutan membelah pikiran Kaif karena ia tahu, ia tidak pernah bersatu dengan Hana.Misteri itu segera terkuak, ternyata Hana tengah mengandung buah hati Halik, sang adik ipar yang selama ini bersembunyi di balik topeng kesetiaan. Diam-diam mereka telah menyalahi batas, melukis duka di balik tabir keluarga yang tak menaruh curiga.Masih di kamar Salwa, Kaif tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Salwa yang tenang, matanya kemudian terpaku pada perut Salwa yang membesar, simbol dari keajaiban yang tengah tumbuh di dalamnya.Tangannya dengan lembut bergerak, menyentuh perut itu, tempat dimana calon buah hatinya sedan
"Salwa, memang tak ada kata yang cukup untuk menebus dosaku terhadapmu," ucap Kaif sambil menundukkan kepala, suaranya tercekat oleh rasa penyesalan yang mendalam. "Kesalahanku sungguh keterlaluan, telah membawamu pada air mata dan penghinaan," lanjutnya .Mata Salwa memalingkan pandang, ia tidak kuasa menahan pilu di rongga dadanya saat teringat perlakuan Kaif dan keluarganya yang kini mencoba ia lupakan dengan mengganti nama menjadi Ana. Namun, kedatangan Kaif seakan membongkar kembali beban yang sudah ia tinggalkan. "Salwa, jangan hanya berdiam diri, lepaskanlah kemarahanmu padaku, lontarkan kata-kata terpedasmu, atau pukullah aku sesukamu, aku layak untuk itu!" Kaif mendesaknya, nada suaranya menggema penyesalan yang tak termaafkan. Salwa menatap mata Kaif, dan dengan suara yang penuh kepahitan, ia bertanya, "Dan setelah semua itu, apa yang akan aku dapatkan, Tuan? Kesembuhan? Kepuasan? Tidak! Kau hanya membangkitkan kembali luka yang telah aku usahakan untuk sembuh." Rasa sa
Ucapan Salwa terhujam bagai belati di dada Kaif, seolah membelah jantungnya menjadi dua. Pria itu terhuyung keluar dari kamar, hati diperlak oleh rasa penyesalan yang tak berujung. "Tuan, baik-baik saja?" tanya Pak Toha, yang langsung mengernyit melihat wajah pucat pasi majikannya, yang matanya memerah seakan-akan menceritakan seribu luka batin.Kaif melangkah ke dalam kamar yang sesak dan sempit, tempat dia akan menghabiskan malam dengan kasur tipis yang seolah tak lebih baik dari tanah keras. Malam itu, Kaif bukan tidur, melainkan pria itu duduk di atas sajadah. Tangannya terangkat, memegang Al Qur'an dengan gemetar. Ayat demi ayat mulai dilantunkannya, setiap kata mengalir seperti air mata yang membawa keluh kesahnya pada Sang Pencipta. Kaif berharap lelah jiwanya bisa terobati, berharap Allah menjadi tempat berlabuh dalam gelombang duka yang tengah dihadapinya. Malam beralih menjadi siang, dan wajah Kaif yang semula muram perlahan disulam dengan kedamaian. Pria itu selalu m
"Kasur ini adalah sebagai kata terima kasih karena ibu dan bapak memberikan tuan Kaif dan saya tempat tinggal di desa ini," tambah Pak Toha lagi.Kedua kasir itu segera dibawa ke dalam rumah Pak Mahdi, satu kasur diletakkan di kamar Pak Mahdi dan satunya lagi di kamar Salwa. Bu Nia tercengang, nyaris tidak percaya bahwa ia kini akan merasakan tidur di kasur yang begitu empuk. Sementara itu, Salwa hanya bisa menatap kasur yang teratur di kamarnya, rasanya ia tidak sanggup menyentuh kasur tersebut, seolah-olah segala kenangan akan terbang bersama sentuhannya. "Dia sudah kembali ke Jakarta, apa dia benar-benar pergi? " Gumam Salwa. "Baguslah kalau dia pergi dari desa ini, tapi kenapa aku merasa sedih?"Salwa mulai teringat dengan ucapannya tadi malam pada Kaif, ia akui ucapannya itu begitu tajam. Mungkinkah pria itu tersinggung dengan ucapan Salwa?Salwa terus bertanya-tanya, bahkan seharian ini pikirannya terus melayang pada wajah sendu Kaif yang memohon maaf padanya tadi malam. Nyata
"Hush, Nduk. Bicara baik-baik, ini Nak Kaif sudah berbaik hati akan mengambilkan mangga untukmu. Minta maaf sekarang," tegas Pak Mahdi. Salwa hanya menggeleng, bibirnya menggumam kesal. "Kenapa harus minta maaf, Pak. Aku tidak salah." "Kamu terus berkata kasar pada Nak Kaif, itu yang salah. Sekarang minta maaf padanya," Pak Mahdi memerintah lagi dengan nada yang lebih serius. "Iya, Bapak," ujar Salwa, menghela napas dalam-dalam, suaranya berat karena pasrah. Dalam diam, Kaif menahan senyum tipis, matanya tanpa sengaja menangkap ekspresi wajah Salwa, meskipun terlihat ditekuk tapi dimata Kaif terlihat begitu menggemaskan. Salwa memandang Kaif dengan tatapan tajam, bibirnya mulai berkata, "Maaf," suaranya terdengar ketus. "Tidak apa-apa," jawab Kaif, suaranya lembut menatap Salwa. Salwa menghela napas, matanya memutar dengan ekspresi kesal. 'Dia ke Jakarta pasti untuk mendatangi istri tersayangnya, kenapa juga masih harus datang ke sini, ngeselin banget,' batin Salwa
Kegelisahan menguasai setiap sudut wajah Salwa. Di hadapannya, potongan mangga yang seharusnya menyegarkan hanya tersentuh angin. Pikirannya tidak dapat lepas dari Kaif, ia gelisah mengingat keadaan kaki pria itu, bayang-bayang kekhawatiran menghantuinya. Hati Salwa yang terpenjara rasa cemas, akhirnya mendorongnya berdiri, mengambil langkah demi langkah menuju rumah di sebelah, hanya beberapa langkah saja dari rumah yang ia tempati. Kebetulan saja, di depan pintu ia berpapasan dengan Pak Toha yang baru saja melangkah keluar. Dengan mata yang mencari, Salwa bertanya dengan nada sopan, "Dimana dia, Pak?" Mata Pak Toha berbinar penuh pengertian, "Eh, Tuan Kaif ya, Non?" Salwa hanya mengangguk, tak sabar menunggu jawaban. "Tuan ada di dalam, Non. Silahkan masuk." Pak Toha langsung membukakan pintu lebar-lebar bagi Salwa untuk lewat, setelah itu menutup pintu pelan di belakangnya. Pak Toha ersenyum simpul, ia berbisik pada diri sendiri, "Lebih baik aku jalan-jalan saja, hati Tua
“Tolong biarkan seperti ini dulu, Sayang,” rayu Kaif dengan suara yang lembut tetapi penuh autoritas. Itu adalah tangan Kaif, pria itu sengaja membiarkan Salwa memasuki kamar pribadinya karena ia lebih dekat dengan istrinya, kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang lagi.Salwa berusaha melepaskan diri dari tangan besar itu, namun sia-sia. Tangan Kaif seakan dibuat dari baja, kuat dan tak tergoyahkan. Dalam keputusasaan, Salwa mencubit lengan Kaif, namun bukan kesakitan yang terpancar dari wajah pria itu, melainkan ketenangan yang mengganggu. Ia mulai mengelus perut besar Salwa dengan kelembutan, membuat Salwa dengan segala kebingungannya merasa nyaman di bawah sentuhan itu. "Bagaimana kabar anak Papa, hm?" suara Kaif lembut, berbicara kepada bayi dalam kandungan Salwa. "Maafkan Papa yang baru datang. Sungguh, Papa sangat bahagia karena bisa bertemu dengan kalian lagi" kata Kaif, matanya sesekali melirik wajah Salwa. "Bantu Papa untuk membujuk Mama, ya Sayang. Kamu dan Mama
"Kenapa Mbak Ana ada di rumah yang ditempati Pak Kaif?" tanya seorang warga dengan nada tinggi, mata membelalak penuh keheranan. Selama ini, Salwa, perempuan yang dikenal sebagai perempuan baik-baik dan taat dalam agamanya "Kenapa harus ditanya, sudah pasti janda ini berzina dengan Tuan kota itu. Padahal perutnya sudah membuncit, janda itu masih berani bermain api dengan Tuan kota!" sindir Abdul, pria muda yang baru kembali dari rantau, nada suaranya penuh kecaman. Pria itulah yang mengajak para warga untuk menggerebek mereka. "Astaghfirullahaladzim, hati-hati dengan ucapanmu, Abdul!" tegas Bu Nia, melindungi martabat anak angkatnya dari tuduhan yang menyakitkan. Namun, bisikan lain muncul, "Tapi Bu, yang Abdul katakan ada benarnya. Kenapa juga Ana berada di rumah Pak Kaif, mereka berduaan dalam rumah ini. Sementara supirnya berada di lokasi pembangunan masjid? " kecurigaan dan prasangka di antara mereka. Wajah-wajah penuh tanya, desas-desus yang tidak berkesudahan, semuanya mu
"Saya atas nama warga di sini, dengan segala kerendahan hati memohon maaf, Pak Kaif. Kami seharusnya menyelidiki lebih dahulu sebelum berkata kasar pada Mbak Ana secara tidak adil," kata seorang wanita dengan mata berkaca-kaca dan nada suara bergetar yang menunjukkan penyesalan mendalam. "Kalian semua, bubar!" teriak Kaif, suaranya menggema, tegas dan tak terbantahkan. Namun, para warga masih berkerumun, harapan dan kecemasan terpatri di wajah mereka, takut bahwa Syakir mungkin akan menghentikan pembangunan masjid yang telah lama dinantikan."Apa tuan Kaif akan menghentikan pembangunan masjid di desa ini?" tanya seorang laki-laki paruh baya, terlihat kecemasan di wajahnya. "Lihat saja nanti , tapi jika kalian masih berdiri di depan rumah ini dipastikan bangunan itu akan saya hancurkan hari ini juga," ancam Kaif, pria itu masih kesal pada mereka.Segera para warga bubar, begitupun dengan Abdul. Dalam diam, dia menyimpan perasaan pada Salwa, wanita yang telah menolaknya beberapa har
"Kenapa Mbak Ana ada di rumah yang ditempati Pak Kaif?" tanya seorang warga dengan nada tinggi, mata membelalak penuh keheranan. Selama ini, Salwa, perempuan yang dikenal sebagai perempuan baik-baik dan taat dalam agamanya "Kenapa harus ditanya, sudah pasti janda ini berzina dengan Tuan kota itu. Padahal perutnya sudah membuncit, janda itu masih berani bermain api dengan Tuan kota!" sindir Abdul, pria muda yang baru kembali dari rantau, nada suaranya penuh kecaman. Pria itulah yang mengajak para warga untuk menggerebek mereka. "Astaghfirullahaladzim, hati-hati dengan ucapanmu, Abdul!" tegas Bu Nia, melindungi martabat anak angkatnya dari tuduhan yang menyakitkan. Namun, bisikan lain muncul, "Tapi Bu, yang Abdul katakan ada benarnya. Kenapa juga Ana berada di rumah Pak Kaif, mereka berduaan dalam rumah ini. Sementara supirnya berada di lokasi pembangunan masjid? " kecurigaan dan prasangka di antara mereka. Wajah-wajah penuh tanya, desas-desus yang tidak berkesudahan, semuanya mu
“Tolong biarkan seperti ini dulu, Sayang,” rayu Kaif dengan suara yang lembut tetapi penuh autoritas. Itu adalah tangan Kaif, pria itu sengaja membiarkan Salwa memasuki kamar pribadinya karena ia lebih dekat dengan istrinya, kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang lagi.Salwa berusaha melepaskan diri dari tangan besar itu, namun sia-sia. Tangan Kaif seakan dibuat dari baja, kuat dan tak tergoyahkan. Dalam keputusasaan, Salwa mencubit lengan Kaif, namun bukan kesakitan yang terpancar dari wajah pria itu, melainkan ketenangan yang mengganggu. Ia mulai mengelus perut besar Salwa dengan kelembutan, membuat Salwa dengan segala kebingungannya merasa nyaman di bawah sentuhan itu. "Bagaimana kabar anak Papa, hm?" suara Kaif lembut, berbicara kepada bayi dalam kandungan Salwa. "Maafkan Papa yang baru datang. Sungguh, Papa sangat bahagia karena bisa bertemu dengan kalian lagi" kata Kaif, matanya sesekali melirik wajah Salwa. "Bantu Papa untuk membujuk Mama, ya Sayang. Kamu dan Mama
Kegelisahan menguasai setiap sudut wajah Salwa. Di hadapannya, potongan mangga yang seharusnya menyegarkan hanya tersentuh angin. Pikirannya tidak dapat lepas dari Kaif, ia gelisah mengingat keadaan kaki pria itu, bayang-bayang kekhawatiran menghantuinya. Hati Salwa yang terpenjara rasa cemas, akhirnya mendorongnya berdiri, mengambil langkah demi langkah menuju rumah di sebelah, hanya beberapa langkah saja dari rumah yang ia tempati. Kebetulan saja, di depan pintu ia berpapasan dengan Pak Toha yang baru saja melangkah keluar. Dengan mata yang mencari, Salwa bertanya dengan nada sopan, "Dimana dia, Pak?" Mata Pak Toha berbinar penuh pengertian, "Eh, Tuan Kaif ya, Non?" Salwa hanya mengangguk, tak sabar menunggu jawaban. "Tuan ada di dalam, Non. Silahkan masuk." Pak Toha langsung membukakan pintu lebar-lebar bagi Salwa untuk lewat, setelah itu menutup pintu pelan di belakangnya. Pak Toha ersenyum simpul, ia berbisik pada diri sendiri, "Lebih baik aku jalan-jalan saja, hati Tua
"Hush, Nduk. Bicara baik-baik, ini Nak Kaif sudah berbaik hati akan mengambilkan mangga untukmu. Minta maaf sekarang," tegas Pak Mahdi. Salwa hanya menggeleng, bibirnya menggumam kesal. "Kenapa harus minta maaf, Pak. Aku tidak salah." "Kamu terus berkata kasar pada Nak Kaif, itu yang salah. Sekarang minta maaf padanya," Pak Mahdi memerintah lagi dengan nada yang lebih serius. "Iya, Bapak," ujar Salwa, menghela napas dalam-dalam, suaranya berat karena pasrah. Dalam diam, Kaif menahan senyum tipis, matanya tanpa sengaja menangkap ekspresi wajah Salwa, meskipun terlihat ditekuk tapi dimata Kaif terlihat begitu menggemaskan. Salwa memandang Kaif dengan tatapan tajam, bibirnya mulai berkata, "Maaf," suaranya terdengar ketus. "Tidak apa-apa," jawab Kaif, suaranya lembut menatap Salwa. Salwa menghela napas, matanya memutar dengan ekspresi kesal. 'Dia ke Jakarta pasti untuk mendatangi istri tersayangnya, kenapa juga masih harus datang ke sini, ngeselin banget,' batin Salwa
"Kasur ini adalah sebagai kata terima kasih karena ibu dan bapak memberikan tuan Kaif dan saya tempat tinggal di desa ini," tambah Pak Toha lagi.Kedua kasir itu segera dibawa ke dalam rumah Pak Mahdi, satu kasur diletakkan di kamar Pak Mahdi dan satunya lagi di kamar Salwa. Bu Nia tercengang, nyaris tidak percaya bahwa ia kini akan merasakan tidur di kasur yang begitu empuk. Sementara itu, Salwa hanya bisa menatap kasur yang teratur di kamarnya, rasanya ia tidak sanggup menyentuh kasur tersebut, seolah-olah segala kenangan akan terbang bersama sentuhannya. "Dia sudah kembali ke Jakarta, apa dia benar-benar pergi? " Gumam Salwa. "Baguslah kalau dia pergi dari desa ini, tapi kenapa aku merasa sedih?"Salwa mulai teringat dengan ucapannya tadi malam pada Kaif, ia akui ucapannya itu begitu tajam. Mungkinkah pria itu tersinggung dengan ucapan Salwa?Salwa terus bertanya-tanya, bahkan seharian ini pikirannya terus melayang pada wajah sendu Kaif yang memohon maaf padanya tadi malam. Nyata
Ucapan Salwa terhujam bagai belati di dada Kaif, seolah membelah jantungnya menjadi dua. Pria itu terhuyung keluar dari kamar, hati diperlak oleh rasa penyesalan yang tak berujung. "Tuan, baik-baik saja?" tanya Pak Toha, yang langsung mengernyit melihat wajah pucat pasi majikannya, yang matanya memerah seakan-akan menceritakan seribu luka batin.Kaif melangkah ke dalam kamar yang sesak dan sempit, tempat dia akan menghabiskan malam dengan kasur tipis yang seolah tak lebih baik dari tanah keras. Malam itu, Kaif bukan tidur, melainkan pria itu duduk di atas sajadah. Tangannya terangkat, memegang Al Qur'an dengan gemetar. Ayat demi ayat mulai dilantunkannya, setiap kata mengalir seperti air mata yang membawa keluh kesahnya pada Sang Pencipta. Kaif berharap lelah jiwanya bisa terobati, berharap Allah menjadi tempat berlabuh dalam gelombang duka yang tengah dihadapinya. Malam beralih menjadi siang, dan wajah Kaif yang semula muram perlahan disulam dengan kedamaian. Pria itu selalu m
"Salwa, memang tak ada kata yang cukup untuk menebus dosaku terhadapmu," ucap Kaif sambil menundukkan kepala, suaranya tercekat oleh rasa penyesalan yang mendalam. "Kesalahanku sungguh keterlaluan, telah membawamu pada air mata dan penghinaan," lanjutnya .Mata Salwa memalingkan pandang, ia tidak kuasa menahan pilu di rongga dadanya saat teringat perlakuan Kaif dan keluarganya yang kini mencoba ia lupakan dengan mengganti nama menjadi Ana. Namun, kedatangan Kaif seakan membongkar kembali beban yang sudah ia tinggalkan. "Salwa, jangan hanya berdiam diri, lepaskanlah kemarahanmu padaku, lontarkan kata-kata terpedasmu, atau pukullah aku sesukamu, aku layak untuk itu!" Kaif mendesaknya, nada suaranya menggema penyesalan yang tak termaafkan. Salwa menatap mata Kaif, dan dengan suara yang penuh kepahitan, ia bertanya, "Dan setelah semua itu, apa yang akan aku dapatkan, Tuan? Kesembuhan? Kepuasan? Tidak! Kau hanya membangkitkan kembali luka yang telah aku usahakan untuk sembuh." Rasa sa
Bagaimana Kaif tidak sakit hati, pria itu telah menyakiti dua perempuan yang sangat ia sayangi, istri dan Adiknya.Perihal Hana, Kaif selalu merasa ada sesuatu yang ganjil setiap kali ingin menggauli Hana, istri keduanya. Dibandingkan dengan Salwa, Hana seolah menyelimuti Kaif dengan dingin yang menghapus semua keinginannya.Maka, ketika berita kehamilan Hana terdengar, kejutan membelah pikiran Kaif karena ia tahu, ia tidak pernah bersatu dengan Hana.Misteri itu segera terkuak, ternyata Hana tengah mengandung buah hati Halik, sang adik ipar yang selama ini bersembunyi di balik topeng kesetiaan. Diam-diam mereka telah menyalahi batas, melukis duka di balik tabir keluarga yang tak menaruh curiga.Masih di kamar Salwa, Kaif tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Salwa yang tenang, matanya kemudian terpaku pada perut Salwa yang membesar, simbol dari keajaiban yang tengah tumbuh di dalamnya.Tangannya dengan lembut bergerak, menyentuh perut itu, tempat dimana calon buah hatinya sedan