Kaif dan Salwa saling bertemu tatapan dalam keheningan yang menegangkan. Mata mereka terkunci, tidak ada dari mereka yang mengeluarkan suara, keduanya sama-sama membisu dengan tatapan penuh arti. "Kenapa, Nduk?" tanya Bu Nia, membuat Salwa tersentak, segera mengalihkan pandangannya. Hatinya berdebar tak terkendali. Tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa Kaif adalah sosok 'Tuan Kota' yang kerap menjadi bahan perbincangan warga desa, yang selalu disanjung. "Kamu baik-baik saja, Nduk?" tanya Bu Nia lagi dengan tatapan penuh kekhawatiran terhadap putri angkatnya. Salwa hanya bisa mengangguk. "Pak Kaif, mari duduk di luar saja," ajak Bu Nia dengan suara lembut, mencoba meredakan situasi. Kaif mengangguk patuh, namun matanya tidak lepas dari sosok Salwa yang tampak resah. "Nduk, temani Pak Kaif di luar ya, ibu mau buat kopi dulu," lanjut Bu Nia. Salwa, dengan suara yang bergetar, bertutur, "A-aku saja yang buat kopi, Bu," Mencoba menghindar. Namun, sebelum Bu Nia dapat merespon,
"Bu, kenapa memberikan kunci rumah sebelah kepada dia?" tanyanya dengan rasa penasaran yang tercampur kekhawatiran. "Nak Kaif akan tinggal di desa kita untuk beberapa hari, Salwa. Dia membutuhkan tempat tinggal dan dia merasa tidak enak jika harus tinggal di kediaman Pak Kades," jelas Bu Nia dengan sabar. "Tapi, Bu. Orang kota seperti dia pasti punya banyak uang. Mengapa tidak menginap di hotel saja?" Salwa masih belum puas, pertanyaannya keluar begitu saja tanpa saringan, namun Bu Nia segera menegur dengan tatapan yang tajam. "Hush kamu ini, di desa kita mana ada hotel Ana. Jangan bicara begitu, Nanti tuan Kaif bisa tersinggung karena ucapanmu ini." Bu Nia merasa tidak enak pada Kaif karena ucapan putri angkatnya itu. "Bukan begitu, Bu. Rumah sebelah itu sangat sederhana, tanpa AC atau kipas. Orang kota seperti dia mana bisa tinggal di tempat seperti itu ," kata Salwa dengan nada penuh kekhawatiran. Dia berharap agar Kaif tidak jadi memilih rumah tersebut yang hanya berja
Kaif duduk di teras rumah, terus memperhatikan rumah disebelahnya.Dari balik kaca, Salwa mengintip, jantungnya berdetak kencang, terganggu oleh keberadaan Kaif yang sedari tadi tak juga masuk ke dalam. "Kenapa juga dia harus diam di teras,?" gumamnya, dengan wajah yang sudah ditekuk.Tidak lama ..."Ibu, mau kemana?" tanya Salwa pada Bu Nia yang ingin keluar dari rumah, perempuan paruh baya itu membawa setoples keripik."Mau ngantar ini untuk Kaif, biar ada cemilannya," ujar Bu Nia.Salwa menghela nafas, orang tua angkatnya itu bergitu perhatian pada Kaif. Bahkan pak Mahdi sudah kembali sehat dan saat ini pergi membeli ikan dengan mengendarai motor tuanya."Kamu itu kenapa ada di sini, toko siapa yang jaga, Nduk?" tanya Bu Nia."Eh, aku Bu. Ini aku mau ke toko, tadi pergi ke kamar mandi sebentar," "Ya sudah, kamu istirahat saja. Biar ibu yang jaga toko, lagi pula sebentar lagi sudah tutup," kata Bu Nia.Selama empat bulan ini, keluarga angkat Salwa memang mulai membuka toko kecil-k
Setelah makan malam, Kaif dan Pak Toha tak langsung meninggalkan rumah Pak Mahdi, kedua pria itu masih terlibat percakapan hangat bersama Pak Mahdi di ruang tamu. Mereka larut dalam obrolan pria yang sepertinya tak berujung.Sementara itu, di sisi lain rumah, Salwa mengurung diri di kamar, menyerah pada kelelahan dan pikiran yang terus menerus kembali pada pria yang telah meninggalkan benih dalam rahimnya.'Mengapa nasib mempertemukan kami lagi? Aku telah berjuang melupakannya, namun mengapa takdir terus mengikat kami?' gumam Salwa dalam kesunyian kamar yang hanya ditemani kasur tipis yang meredam isak tangisnya.Salwa membaringkan diri dalam posisi miring, menghadap pintu dengan bantal yang ia letakkan di belakang tubuhnya, mencari posisi yang paling meringankan beban tubuhnya yang sedang mengandung bayi yang akan lahir ke dunia.Di tengah malam yang sunyi, tiba-tiba pintu kamar Salwa terbuka. Kaif melangkah pelan masuk, rupanya berusaha tidak mengusik istirahat Salwa yang sudah lela
Bagaimana Kaif tidak sakit hati, pria itu telah menyakiti dua perempuan yang sangat ia sayangi, istri dan Adiknya.Perihal Hana, Kaif selalu merasa ada sesuatu yang ganjil setiap kali ingin menggauli Hana, istri keduanya. Dibandingkan dengan Salwa, Hana seolah menyelimuti Kaif dengan dingin yang menghapus semua keinginannya.Maka, ketika berita kehamilan Hana terdengar, kejutan membelah pikiran Kaif karena ia tahu, ia tidak pernah bersatu dengan Hana.Misteri itu segera terkuak, ternyata Hana tengah mengandung buah hati Halik, sang adik ipar yang selama ini bersembunyi di balik topeng kesetiaan. Diam-diam mereka telah menyalahi batas, melukis duka di balik tabir keluarga yang tak menaruh curiga.Masih di kamar Salwa, Kaif tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Salwa yang tenang, matanya kemudian terpaku pada perut Salwa yang membesar, simbol dari keajaiban yang tengah tumbuh di dalamnya.Tangannya dengan lembut bergerak, menyentuh perut itu, tempat dimana calon buah hatinya sedan
"Salwa, memang tak ada kata yang cukup untuk menebus dosaku terhadapmu," ucap Kaif sambil menundukkan kepala, suaranya tercekat oleh rasa penyesalan yang mendalam. "Kesalahanku sungguh keterlaluan, telah membawamu pada air mata dan penghinaan," lanjutnya .Mata Salwa memalingkan pandang, ia tidak kuasa menahan pilu di rongga dadanya saat teringat perlakuan Kaif dan keluarganya yang kini mencoba ia lupakan dengan mengganti nama menjadi Ana. Namun, kedatangan Kaif seakan membongkar kembali beban yang sudah ia tinggalkan. "Salwa, jangan hanya berdiam diri, lepaskanlah kemarahanmu padaku, lontarkan kata-kata terpedasmu, atau pukullah aku sesukamu, aku layak untuk itu!" Kaif mendesaknya, nada suaranya menggema penyesalan yang tak termaafkan. Salwa menatap mata Kaif, dan dengan suara yang penuh kepahitan, ia bertanya, "Dan setelah semua itu, apa yang akan aku dapatkan, Tuan? Kesembuhan? Kepuasan? Tidak! Kau hanya membangkitkan kembali luka yang telah aku usahakan untuk sembuh." Rasa sa
Ucapan Salwa terhujam bagai belati di dada Kaif, seolah membelah jantungnya menjadi dua. Pria itu terhuyung keluar dari kamar, hati diperlak oleh rasa penyesalan yang tak berujung. "Tuan, baik-baik saja?" tanya Pak Toha, yang langsung mengernyit melihat wajah pucat pasi majikannya, yang matanya memerah seakan-akan menceritakan seribu luka batin.Kaif melangkah ke dalam kamar yang sesak dan sempit, tempat dia akan menghabiskan malam dengan kasur tipis yang seolah tak lebih baik dari tanah keras. Malam itu, Kaif bukan tidur, melainkan pria itu duduk di atas sajadah. Tangannya terangkat, memegang Al Qur'an dengan gemetar. Ayat demi ayat mulai dilantunkannya, setiap kata mengalir seperti air mata yang membawa keluh kesahnya pada Sang Pencipta. Kaif berharap lelah jiwanya bisa terobati, berharap Allah menjadi tempat berlabuh dalam gelombang duka yang tengah dihadapinya. Malam beralih menjadi siang, dan wajah Kaif yang semula muram perlahan disulam dengan kedamaian. Pria itu selalu m
"Kasur ini adalah sebagai kata terima kasih karena ibu dan bapak memberikan tuan Kaif dan saya tempat tinggal di desa ini," tambah Pak Toha lagi.Kedua kasir itu segera dibawa ke dalam rumah Pak Mahdi, satu kasur diletakkan di kamar Pak Mahdi dan satunya lagi di kamar Salwa. Bu Nia tercengang, nyaris tidak percaya bahwa ia kini akan merasakan tidur di kasur yang begitu empuk. Sementara itu, Salwa hanya bisa menatap kasur yang teratur di kamarnya, rasanya ia tidak sanggup menyentuh kasur tersebut, seolah-olah segala kenangan akan terbang bersama sentuhannya. "Dia sudah kembali ke Jakarta, apa dia benar-benar pergi? " Gumam Salwa. "Baguslah kalau dia pergi dari desa ini, tapi kenapa aku merasa sedih?"Salwa mulai teringat dengan ucapannya tadi malam pada Kaif, ia akui ucapannya itu begitu tajam. Mungkinkah pria itu tersinggung dengan ucapan Salwa?Salwa terus bertanya-tanya, bahkan seharian ini pikirannya terus melayang pada wajah sendu Kaif yang memohon maaf padanya tadi malam. Nyata
"Astaghfirullahaladzim, Tuan Kaif! Tuan Kaif kenapa?" Pak Toha, supir Kaif datang dengan wajah penuh kekawatiran, pria itu terkejut melihat kondisi wajah majikannya. Bagaimana Pak Toha tidak kawatir, dia sudah diamanahkan untuk menjaga majikannya, kondisi Kaif belum sepenuhnya pulih dari komanya waktu itu. Pak Toha mendekati Kaif yang terbaring di pangkuan Salwa."Apa yang terjadi, Non? Ya Allah. Kenapa sampai berdarah seperti ini, bagaimana kalau Tuan Kaif sakit seperti dulu lagi, tuan Kaif masih belum sepenuhnya pulih, Non," ujar pak Toha."Jangan hanya bicara, Pak. Tolong bantu suami saya, kita bawa ke rumah sakit sekarang juga!" perintah Salwa, suaranya meninggi karena terlalu menghawatirkan keadaan Kaif, apalgi setelah mendengar ucapan Pak Toha mengenai keadaan Kaif.Hasbi mulai merasa bersalah, ia terlalu dikalahkan dengan emosinya."Rumah sakit di sini jauh, Non. Yang ada hanya puskesmas dan itu tidak ada gunanya untuk Tuan Kaif. Kita bawa ke rumah saja, di sana ada obat-obat
"Mau dibawa kemana istriku?" tanya Kaif menghalangi langkah Hasbi yang ingin beranjak dari tempat itu."Menyingkir, jangan sampai saya hilang kendali," tegas Hasbi dengan dingin. Hasbi menatap adiknya yang sedari tadi hanya membisu."Ayo adek, kita pulang," ajak Hasbi pada Salwa."Tidak! Salwa tidak boleh pergi kemana-mana tanpa izin dariku," tegas Kaif.Hasbi menatap Kaif dengan tatapan tajam."Siapa kamu!" "Aku suaminya, bang Hasbi paham Agama bukan? Kenapa sekarang malah ikut campur dalam rumah tangga kami." "Berani sekali kamu membawa-bawa Agama," tegas Hasbi. "Apa kamu sadar bagaimana kamu memperlakukan adik saya selama dua tahun ini, bahkan keluargamu memfitnah Salwa. Adikku adalah perempuan yang terjaga, saya selalu melindunginya, tapi rupanya kamu menyakiti adikku."Ucapan Hasbi membuat dada Kaif terasa sesak, ia menyesali semua yang dilakukan di masa lalu, ia menyesal karena baru menyadari jika Salwa adalah perempuan yang tulus, perempuan yang memang pantas untuk dimuliaka
"Apa kamu benar baik-baik saja? Katakan kalau sakit jangan dipendam. Dimana yang sakit? coba katakan pada Mas?" tanya Kaif penuh dengan kekawatiran.Salwa menggeleng, padahal kenyataannya perempuan itu merasakan perutnya keram dan juga pinggangnya.Kaif tidak percaya begitu saja, pria itu mendudukan bokongnya di pinggir ranjang, tangannya terulur menyentuh perut Salwa."Jauhkan tanganmu!!" ketus Salwa.DeghSeketika Salwa bungkam saat tangan besar Kaif mulai mengelus perutnya yang buncit. Kenapa rasanya begitu nyaman??Kaif mengalihkan pandangan pada wajah Salwa yang masih terpaku, tatapan mereka bertemu."Dari kemarin aku sangat ingin menyentuhnya, sampai detik inipun aku masih belum percaya jika aku akan segera menjadi seorang Ayah," ucap Kaif, suaranya bergetar menahan tangis."Jadi kamu gak percaya jika yang aku kandung ini anakmu?!" ketus Salwa, menatap Kaif dengan tatapan tidak suka."Astaghfirullahaladzim, tidak seperti itu Salwa. Tidak perlu adanya tes DNA, Mas sudah bisa mera
Ada rasa gugup saat Bu Nia mengatakan jika Salwa ingin bicara berdua, senang pasti tapi gugup juga ada. Ceklek ...Pintu kamar sempit itu terbuka perlahan, memperlihatkan Salwa yang duduk di pinggir ranjang, pandangannya jauh menerawang ke luar jendela. Kaif masuk, lalu langsung duduk di lantai dengan sikap yang terasa begitu berat. Salwa menghela nafas panjang, ia masih memiliki tatakrama. Air matanya menggenang, namun dia masih berusaha mempertahankan ketegaran di hadapannya. "Tidak, kamu tetap di situ, Salwa," ucap Kaif dengan suara serak. Namun, Salwa tidak menghiraukan. Dengan perlahan, ia turun dari ranjang, dan duduk di lantai, persis di depan Kaif, hingga mereka berdua duduk berhadapan dalam kesunyian yang melekat. Tidak ada yang membuka suara. Salwa menatap ke dinding dengan tatapan yang terasa membeku, sementara Kaif, dengan mata yang tergenang air mata, tidak bisa berhenti memandang wajah Salwa yang begitu ia rindukan. "Salwa." Suara Kaif akhirnya memecah kesunyian
"Saya atas nama warga di sini, dengan segala kerendahan hati memohon maaf, Pak Kaif. Kami seharusnya menyelidiki lebih dahulu sebelum berkata kasar pada Mbak Ana secara tidak adil," kata seorang wanita dengan mata berkaca-kaca dan nada suara bergetar yang menunjukkan penyesalan mendalam. "Kalian semua, bubar!" teriak Kaif, suaranya menggema, tegas dan tak terbantahkan. Namun, para warga masih berkerumun, harapan dan kecemasan terpatri di wajah mereka, takut bahwa Syakir mungkin akan menghentikan pembangunan masjid yang telah lama dinantikan."Apa tuan Kaif akan menghentikan pembangunan masjid di desa ini?" tanya seorang laki-laki paruh baya, terlihat kecemasan di wajahnya. "Lihat saja nanti , tapi jika kalian masih berdiri di depan rumah ini dipastikan bangunan itu akan saya hancurkan hari ini juga," ancam Kaif, pria itu masih kesal pada mereka.Segera para warga bubar, begitupun dengan Abdul. Dalam diam, dia menyimpan perasaan pada Salwa, wanita yang telah menolaknya beberapa har
"Kenapa Mbak Ana ada di rumah yang ditempati Pak Kaif?" tanya seorang warga dengan nada tinggi, mata membelalak penuh keheranan. Selama ini, Salwa, perempuan yang dikenal sebagai perempuan baik-baik dan taat dalam agamanya "Kenapa harus ditanya, sudah pasti janda ini berzina dengan Tuan kota itu. Padahal perutnya sudah membuncit, janda itu masih berani bermain api dengan Tuan kota!" sindir Abdul, pria muda yang baru kembali dari rantau, nada suaranya penuh kecaman. Pria itulah yang mengajak para warga untuk menggerebek mereka. "Astaghfirullahaladzim, hati-hati dengan ucapanmu, Abdul!" tegas Bu Nia, melindungi martabat anak angkatnya dari tuduhan yang menyakitkan. Namun, bisikan lain muncul, "Tapi Bu, yang Abdul katakan ada benarnya. Kenapa juga Ana berada di rumah Pak Kaif, mereka berduaan dalam rumah ini. Sementara supirnya berada di lokasi pembangunan masjid? " kecurigaan dan prasangka di antara mereka. Wajah-wajah penuh tanya, desas-desus yang tidak berkesudahan, semuanya
“Tolong biarkan seperti ini dulu, Sayang,” rayu Kaif dengan suara yang lembut tetapi penuh autoritas. Itu adalah tangan Kaif, pria itu sengaja membiarkan Salwa memasuki kamar pribadinya karena ia lebih dekat dengan istrinya, kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang lagi.Salwa berusaha melepaskan diri dari tangan besar itu, namun sia-sia. Tangan Kaif seakan dibuat dari baja, kuat dan tak tergoyahkan. Dalam keputusasaan, Salwa mencubit lengan Kaif, namun bukan kesakitan yang terpancar dari wajah pria itu, melainkan ketenangan yang mengganggu. Ia mulai mengelus perut besar Salwa dengan kelembutan, membuat Salwa dengan segala kebingungannya merasa nyaman di bawah sentuhan itu. "Bagaimana kabar anak Papa, hm?" suara Kaif lembut, berbicara kepada bayi dalam kandungan Salwa. "Maafkan Papa yang baru datang. Sungguh, Papa sangat bahagia karena bisa bertemu dengan kalian lagi" kata Kaif, matanya sesekali melirik wajah Salwa. "Bantu Papa untuk membujuk Mama, ya Sayang. Kamu dan Mama
Kegelisahan menguasai setiap sudut wajah Salwa. Di hadapannya, potongan mangga yang seharusnya menyegarkan hanya tersentuh angin. Pikirannya tidak dapat lepas dari Kaif, ia gelisah mengingat keadaan kaki pria itu, bayang-bayang kekhawatiran menghantuinya. Hati Salwa yang terpenjara rasa cemas, akhirnya mendorongnya berdiri, mengambil langkah demi langkah menuju rumah di sebelah, hanya beberapa langkah saja dari rumah yang ia tempati. Kebetulan saja, di depan pintu ia berpapasan dengan Pak Toha yang baru saja melangkah keluar. Dengan mata yang mencari, Salwa bertanya dengan nada sopan, "Dimana dia, Pak?" Mata Pak Toha berbinar penuh pengertian, "Eh, Tuan Kaif ya, Non?" Salwa hanya mengangguk, tak sabar menunggu jawaban. "Tuan ada di dalam, Non. Silahkan masuk." Pak Toha langsung membukakan pintu lebar-lebar bagi Salwa untuk lewat, setelah itu menutup pintu pelan di belakangnya. Pak Toha ersenyum simpul, ia berbisik pada diri sendiri, "Lebih baik aku jalan-jalan saja, hati Tua
"Hush, Nduk. Bicara baik-baik, ini Nak Kaif sudah berbaik hati akan mengambilkan mangga untukmu. Minta maaf sekarang," tegas Pak Mahdi. Salwa hanya menggeleng, bibirnya menggumam kesal. "Kenapa harus minta maaf, Pak. Aku tidak salah." "Kamu terus berkata kasar pada Nak Kaif, itu yang salah. Sekarang minta maaf padanya," Pak Mahdi memerintah lagi dengan nada yang lebih serius. "Iya, Bapak," ujar Salwa, menghela napas dalam-dalam, suaranya berat karena pasrah. Dalam diam, Kaif menahan senyum tipis, matanya tanpa sengaja menangkap ekspresi wajah Salwa, meskipun terlihat ditekuk tapi dimata Kaif terlihat begitu menggemaskan. Salwa memandang Kaif dengan tatapan tajam, bibirnya mulai berkata, "Maaf," suaranya terdengar ketus. "Tidak apa-apa," jawab Kaif, suaranya lembut menatap Salwa. Salwa menghela napas, matanya memutar dengan ekspresi kesal. 'Dia ke Jakarta pasti untuk mendatangi istri tersayangnya, kenapa juga masih harus datang ke sini, ngeselin banget,' batin Salwa