Begitu masuk ke kamar, Naya mendapati wajah Neo yang mendadak terlihat murung. Perempuan dengan tangan memegang senampan berisi makan siang itu, tentu saja merasa sedikit kebingungan.Kenapa suaminya terlihat murung secepat itu? Bukankah tadi masih terlihat baik-baik saja? Atau Naya tidak terlalu memperhatikannya?"Kau kenapa? Kelihatannya murung sekali," tanya Naya penasaran sambil meletakkan makan siang milik dia dan Neo di atas nakas."Hah? Tidak apa-apa." Neo menjawab cepat.Pria itu melirik pada nampan berisi makanan di atas nakas. "Itu makan siang, Bunda menyuruhku untuk makan siang bersamamu di kamar saja." Naya berucap cepat, mencoba menjawab pertanyaan di benak Neo yang belum tersampaikan.Neo menjawab dengan oh singkat. Naya menyodorkannya sepiring nasi beserta lauk yang diterima pria itu dengan cepat. Dia memang lumayan lapar sekarang."Mana ponselku? Apa kau pernah melihatnya?" tanya Naya begitu duduk di sisi ranjang yang lain sambil bersiap untuk makan."Itu, di dekat ban
Jam menunjukkan pukul 2 siang saat sang Ayah berkunjung ke rumah Neo. Tepatnya rumah baru Naya juga. Pria itu beralasan ingin bermain catur dengan Arya---sang ayah mertua, dan Naya mempercayai saja.Padahal, nyatanya Bintang datang hanya untuk melihat keadaan sang putri. Apa perempuan itu betah di rumah suaminya juga apakah perempuan itu baik-baik saja. Bintang hanya ingin mengetahui hal tersebut."Kenapa kau tidak mengajakku main catur daritadi?" tanya Bintang heran begitu pria itu hanya menyuguhkan kopi dan makanan ringan di atas meja ruang tengah."Kau tidak perlu terlalu banyak bersandiwara. Jika memang ingin melihat keadaan putrimu, kau bisa datang kapan saja. Jangan gunakan alasan murahan seperti ini lagi!" tegur Arya to the point.Bintang terkekeh kikuk. Memang lumayan susah untuk berbohong pada pria yang juga rekan bisinis sekaligus sahabatnya ini. Pria galak ini terlalu jujur dalam menghujatnya."Aku masih agak malu pada Naya. Setelah menamparnya waktu itu, aku masih merasa b
Begitu Ayahnya pulang dari rumah sang suami, Naya segera kembali ke kamarnya. Entah kenapa, dia jadi mudah merasa lelah akhir-akhir ini. Sekarang, Naya bahkan merasa mengantuk. Tapi, baru saja akan memejamkan mata, suara bantingan pintu membuat perempuan itu terlonjak kaget.BRAK!"Apa kau tidak bisa membuka pintu dengan biasa-biasa saja?" tanya Naya tidak habis pikir dengan putra tunggal Arya Januar Malik itu."Kenapa kau mengaturku? Apa pedulimu tentang caraku membuka atau menutup pintu?" tanya Neo malah sensi sendiri.Naya mengernyit heran dengan jawaban bernada sarkas sang suami. Ada apa dengan pria ini? Kenapa suasana hatinya terus berubah dalam jangka waktu yang sangat singkat?"Kau mau apa berbaring di kamar saat masih siang begini? Seharusnya kau di luar menemani Biya atau melakukan kegiatan yang lain," komentar Neo begitu melihat perempuan itu kembali berbaring di ranjang sambil memejamkan mata."Kenapa kau mengaturku? Apa pedulimu tentang di mana aku jam segini?" tanya Naya
Begitu terbangun dari tidurnya, Naya mendapati dirinya sudah berada di kamar. Seingatnya, tadi dia masih berbaring di sofa karena bosan menunggu Neo yang malah sibuk dengan game di ponselnya.Lalu, siapa yang memindahkannya ke kamar? Tidak mungkin dia berjalan sendiri ke sini. Begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, Naya menoleh cepat."Eh, kau sudah bangun?" tanya Neo sambil mengacak-acak rambutnya yang masih basah setelah mandi dan keramas.Sejenak, Naya terpaku melihat betapa se ksi pria itu. Dengan telan jang dada serta handuk yang hanya melilit sampai perutnya, sang suami entah kenapa terlihat bertambah menawan berkali-kali lipat.Gambaran pria dewasa dengan tubuh sempurna yang ada dalam hayalan Naya. Meski dikenal bahkan dirumorkan sudah tidak tertarik pada lawan jenis, tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya kriteria Naya begitu tinggi untuk urusan lelaki.Perempuan itu tidak suka tubuh atlet, karena dia sudah terlalu bosan melihatnya. Dia menyukai pria dengan proporsi
Pagi ini, Neo tidak berangkat bekerja karena hujan. Meeting yang sudah mereka jadwalkan dengan client pun terpaksa dilakukan secara daring atau online. Tidak terkecuali Arya yang juga lebih memilih bolos ke kantor dan sibuk bermanja pada istri cantiknya.Ini memang sudah memasuki musim hujan. Biasanya, saat hujan mulai gemar datang begini, Naya akan bermalas-malasan di asrama bersama atlet lain. Karena ada begitu banyak alasan untuk tidak latihan."Biasanya aku bahkan menyeduh mie instan dengan kopi hangat bersama Tama," gumam Naya sambil bersila pada dinding kaca belakang rumah yang langsung menampilkan pemandangan taman belakang.Perempuan itu jadi teringat pada Bagas sekarang. Aditama Bagaskara, satu-satunya atlet ganda campuran yang mampu bertahan menjadi pasangannya di pertandingan internasional juga mampu menyeimbangkan permainan Naya.Peringkat mereka bahkan sudah berada di 10 besar dunia. Mana mungkin dia bisa lupa pada pria itu? Bagas selalu menemaninya pada setiap moment pen
"Pak, ada putrinya Tuan Bintang yang menunggumu di luar." Cindy, sekretaris pribadi Neo memberitahu."Kenapa dia mencariku ke kantor? Apa dia begitu tidak punya pekerjaan di rumah?" gumam Neo sambil meletakkan berkas yang tadi dibacanya sejenak."Bilang saja tunggu dulu. Aku masih punya banyak pekerjaan. Kau tidak lihat?" tanya Neo galak yang sejenak membuat perempuan itu sedikit terperangah."Bapak serius menyuruh Bu Nara menunggu? Biasanya kan Bapak langsung menemuinya. Apa karena Bapak sudah menikah jadi Pak Neo ingin menjaga perasaan istri Anda?" tanya Cindy serius yang kontan membuat Neo menoleh terkejut."Maksudmu yang ada di luar itu Nara? Kenapa tidak bilang?! Kan kukira Naya!" maki Neo malah semakin emosi.Cindy menggaruk tengkuknya bingung. Dia memang selalu terlihat serba salah begini di hadapan atasannya yang satu ini.Padahal, sudah sekitar enam tahun Cindy bekerja pada pria itu. Bagaimana bisa dia kadang masih merasa kebingungan menghadapi makhluk sipit ini?"Yasudah, Pa
"Eh ... eh eh! Kenapa dia terus memberikan pukulan panjang?! Kenapa dia begitu bodoh?! Sepertinya dia hanya bermain dengan tenaga tanpa otak!" Naya terus memaki sambil menatap fokus pada layar pipih yang ada di ruang tengah tersebut.Abia yang penasaran dengan suara ribut itu dari arah dapur, kontan segera keluar dan melihat apa alasan kehebohan menantunya. Begitu menyadari perempuan itu tengah menonton pertandingan bulutangkis super series antar negara di televisi, Abia tersenyum senang."Kau sepertinya fokus sekali menonton, ya?" komentar Abia sambil berjalan mendekat dan duduk di samping perempuan yang terlihat sangat berat mengalihkan pandangan dari arah televisi itu."Eh, Bunda. Maaf, apa suaraku begitu berisik sampai Bunda bisa mendengarnya meski di dapur?" tanya Naya sambil menatap Abia sesekali."Iya, ini pertama kalinya Bunda mendengarmu seheboh itu. Ini juga pertama kalinya Bunda melihat matamu berbinar seantusias itu saat melihat sesuatu," jujur Abia yang sejenak membuat Na
Sejak kembali dari supermarket, Abia menyadari wajah sang menantu sedikit murung. Perempuan itu terus diam sedari tadi tanpa mengatakan apa-apa setelah pertemuannya dengan sang suami juga sang adik. Abia yakin perempuan itu merasa sedikit dikhianati oleh kelakuan Neo yang malah pergi berkencan dengan sang adik bukannya menemaninya selaku istri pria itu.“Apa kau butuh sesuatu? Atau ada yang membuatmu merasa terganggu?” tanya Abia meski sebenarnya dia sudah tahu betul masalah perempuan itu.“Hah? Tidak ada, Bunda. Kenapa malah bertanya begitu?” tanya Naya sambil menggeleng keras.“Tidak apa-apa. Bunda hanya sedikit khawatir karena kau terus diam dari tadi,” jawab Abia yang dibalas Naya dengan oooh singkat.“Aku tidak apa-apa. Mungkn aku hanya sedikit mengantuk, apa aku boleh pergi tidur?” tanya Naya sekaligus meminta izin untuk kembali ke kamar.“Tentu saja! Jika kau takut tidak bisa ikut memasak, Bunda akan menunggumu. Lagipula ini juga belum waktunya untuk memasak, kan?” tanya Abia
"Loh, Naya mana, Neo? Bukankah kau pergi menjemputnya tadi?" Abia bertanya bingung begitu melihat putranya pulang tanpa sang istri lagi.Neo menoleh pada sang Mama dengan helaan napas berat. Dia sedang tidak ingin membahas perempuan itu sekarang. Kepalanya terasa hampir meledak karena bimbang."Jangan bilang kau hanya pergi menemui Nara?" tebak Abia lagi begitu teringat kebiasaan putranya.Bukannya menjawab, perempuan itu malah menghela kasar sebelum kemudian beranjak menuju tangga rumah. Tapi, belum sampai tangga pertama, pria itu meringis sakit begitu punggungnya terhantam sesuatu."Argh!" erang pria sipit itu kesakitan sambil memandangi sandal jepit rumahan yang tiba-tiba dilempar Arya."Kau sudah merasa begitu besar sehingga berani mengabaikan pertanyaan Mamamu?" tanya sang ayah dengan wajah mengeras karena amarah.Seketika, Neo bergidik takut. Sadar bahwa kelakuannya memancing emosi pria galak yang begitu menyayangi istrinya tersebut."Maaf, Daddy." Neo menyahut lirih."Minta maa
Neo tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Tapi, menyadari kekhawatirannya pada Naya justru lebih besar ketimbang pada Nara membuat pria itu kesal luar biasa. Dia merasa buruk. Secara tidak langsung, pikirannya sudah berpaling dan selingkuh dari sang kekasih---Nara. Seharusnya, Neo lebih memikirkan keadaan Nara yang masih berada di rumah sakit sekarang.Bukan malah bertanya-tanya ada di mana Naya sekarang dan apakah perempuan itu sudah makan. Neo ingin mencoba memaklumi dan berpikir bahwa kekhawatirannya tidak lebih karena perempuan itu tengah mengandung anaknya.Hanya saja ... tetap saja semuanya terasa salah. Neo seharusnya tidak perlu peduli seberlebihan ini pada perempuan menyebalkan itu."Nak, kau tidak menjemput istrimu? Dia belum pulang juga sampai sekarang," tanya Abia sambil membuka pintu kamar sang putra pagi ini.Neo menoleh sejenak sebelum kemudian menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan selimut. Tidak ingin mendengar pembahasan apa pun tentang perempuan yang sial
Abia mengernyit heran begitu mendapati putranya pulang sendiri tanpa sang istri. Pria itu juga tampak kesal entah karena apa membuat mulut Abia gatal untuk bertanya.“Mana istrimu? Kenapa kau hanya pulang sendiri?” tanya Arya yang malah mewakili pertanyaan di dalam hatinya.“Kutinggal di rumah sakit bersama Om Bintang,” jawab Neo santai sambil segera duduk di samping sang Mama yang juga duduk di sofa ruang tengah.Pria sipit itu mengambil tempat di antara Daddy dan Mamanya. Membuat Arya yang kesal karena makhluk itu menghalanginya berdekatan dengan sang istri, segera menggeplak lengan Neo.“Kenapa kau tidak mengajaknya pulang bersamamu?” tanya Abia cepat.“Istri kurang ajar seperti dia seharusnya memang dibiarkan saja. Kenapa aku harus repot-repot membawanya pulang?” jawab Neo sensi yang kontan saja membuat Abia melotot tidak terima.Baru saja akan melayangkan pukulan pada punggung putranya, rupanya lagi-lagi sang suami lebih dulu mendaratkan pukulan pada punggung pria sipit itu. Sua
Neo kembali ke rumah sakit dengan perasaan kesal yang tergambar jelas di raut wajahnya. Pria itu terus mendengkus sebal sambil menendang bangku besi di lorong sesekali. Hal itu tentu saja langsung disadari oleh Arya yang juga duduk menunggu di luar. Membiarkan sang istri dan besannya sibuk dengan Nara yang baru saja sadar di dalam ruang rawat.“Kau kenapa? Bertengkar dengan Naya? Kendalikan dirimu! Jangan sampai Ayah mertuamu melihat kelakuanmu!” tegur Arya yang hanya dibalas Neo dengan dengkusan.“Bagaimana aku tidak kesal, Daddy?! Tadi sebenarnya dia menelepon dan bilang sakit perut, makanya aku segera pulang. Tapi karena takut membuat kalian khawatir, aku tidak memberitahu lebih dulu. Saat sampai rumah, aku memberikannya obat dan makanan. Tapi setelah itu dia malah marah-marah dan malah mengusirku. Apa yang salah dengan pemikirannya? Kenapa dia begitu sensitif?!” Neo mengomel panjang lebar yang anehnya malah dibalas Arya dengan kekehan geli.“Jangan terlalu marah. Para perempuan, a
Begitu mendapati panggilan telepon dari sang istri, Neo segera bergegas pulang ke rumah. Begitu ditanya oleh Arya dan Bintang, pria itu hanya bilang ingin mengabari Naya bahwa mereka semua ada di sana.Tentu saja Neo tidak ingin membuat sang mertua juga orang tuanya bertambah panik. Berita tentang kecelakaan yang dialami Nara tadi saja sudah cukup menggemparkan mereka.Sambil menjalankan mobil lumayan cepat, Neo kembali menghubungi Naya lewat telepon. Tapi, hingga percobaan panggilan kelima sekali pun, perempuan itu tidak juga mengangkat teleponnya.Membuat Neo bertambah panik dan kembali menambah laju kendaraan roda empatnya. Dia tidak tahu kenapa dia sepanik ini. Tapi yang jelas, dia uanya ingin memastikan keadaan sang istri sekarang.Perasaan Neo benar-benar tidak tenang. Pria itu bahkan sejenak melupakan Nara yang tadi masih berada di rumah sakit dengan tubuh dipenuhi luka akibat kecelakaan."Apa susahnya mengangkat teleponku sekali saja? Ck ... dia memang sangat menyebalkan! Ken
Begitu terbangun dari tidurnya, Naya segera beranjak menuju dapur guna mengambil minum. Entah sudah berapa lama dia tertidur. Yang jelas, rupanya hari sudah gelap dan rumah sudah sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Entah kemana semua saja orang itu pergi. Atau mungkin, mereka malah sudah masuk tidur ke kamar? Tapi, kenapa tadi dia tidak menemukan Neo di kamar mereka?Begitu melirik jam dinding, rupanya sudah pukul 12 malam. Perempuan itu lupa menaruh hp-nya di mana, jadi Naya memilih duduk sejenak di sofa ruang tengah.Sejenak, perempuan itu menghela berat begitu teringat tadi siang Ayahnya sempat ke sini. Tapi, bisa-bisanya Naya malah tidur bukannya berbincang banyak dengan sang Ayah. Padahal, ada banyak sekali hal yang sangat ingin Naya ceritakan pada pria itu seperti biasanya."Eh, Non Naya sudah bangun?" Bi Wati---salah satu pembantu di rumah itu, menyapa Naya yang dibalas perempuan itu dengan senyum ramah."Iya, Bi. Aku sepertinya tidur terlalu lama, hehe." Naya menjawab kikuk
Setelah menidurkan Naya di kamar mereka, Neo segera turun menuju lantai bawah. Begitu tidak menemukan kehadiran Nara di sana, pria itu mengernyit bingung."Nara ke mana?" tanya pria sipit itu yang dibalas Abia dengan gendikan bahu tidak peduli."Dia tiba-tiba bilang ingin pulang tadi. Tapi karena Ayah ingin bertemu Naya dulu, jadi Ayah tidak ikut dan membiarkan saja dia pulang duluan." Bintang menjawab yang diangguki Neo mengerti.Seingatnya, tadi perempuan itu lah yang paling semangat ke sini. Kenapa tiba-tiba Nara malah meminta pulang begini? Bahkan tanpa pamit lebih dulu pada Neo."Kalau begitu ... ayo kita makan!" ajak Abia pada sang suami, anak juga besannya.Neo dan Bintang menggeleng bersamaan. "Nanti saja, kita tunggu Naya bangun tidur. Lagipula, ini juga masih belum jam makan siang, kan?" sahut Neo yang diangguki Bintang setuju."Aku juga akan makan bersama Naya saja. Sudah lama aku tidak makan bersamanya," gumam Bintang sedikit berlebihan.Karena biasanya, Naya bahkan hanya
Setelah membantu Neo bersiap-siap tadi, Naya kembali masuk ke kamar. Perempuan itu ingin ikut membantu Abia membereskan rumah sebenarnya. Tapi, entah kenapa, tubuhnya terasa letih luar biasa.Padahal, dia hanya melakukan sedikit olahraga bersama Arya tadi. Iya, bagi Naya yang seorang atlet bulutangkis nasional, itu adalah latihan paling sederhana yang pernah ia lakukan.Naya bahkan tidak pernah melompat karena takut. Dia juga tidak terlalu banyak berlari karena Neo terus berteriak dan memperingatinya untuk hati-hati. Rasanya menyebalkan begitu menyadari gerakannya terlalu banyak dibatasi.Tapi kali ini, dia sadar kemampuannya memang sudah tidak seperti dulu lagi. Naya merasa lelah terlalu cepat. Hanya karena beberapa aktivitas ringan, perempuan itu mulai letih dan ingin segera beristirahat sekarang."Kenapa para perempuan begitu mendambakan hamil? Padahal ... ini sangat tidak menyenangkan," gumam Naya tidak habis pikir.Perempuan itu sudah akan berbaring kalau saja suara Abia yang mem
Selesai beristirahat sebentar, Naya memutuskan untuk bermain bulutangkis lagi. Tentu saja setelah perdebatan panjang lebar dengan si cerewet Neo."Kau tidak mau berhenti? Lihat wajah suamimu sudah semenyeramkan itu," tanya Arya di sela permainan seru mereka.Sedari tadi, pria sipit itu memang duduk menunggu di sisi area permainan sambil terus melotot pada sang istri. Naya yang dipelototi tentu saja tidak merasa sama sekali. Sebab jika sudah terlalu fokus pada permainannya, perempuan itu tidak akan memperhatikan hal lain lagi."Biarkan saja, Yah. Dia memang selebay itu," jawab Naya santai yang hanya dibalas Arya dengan kekehan kecil.Pria itu juga bermain dengan kelewat fokus melawan sang menantu. Meski hanya mengeluarkan sebagian kecil kemampuan bermainnya, pukulan yang dilayangkan Naya begitu berbahaya.Perempuan itu juga jarang sekali 'error'. Bidikan-bidikannya pun tepat dan cepat membuat Arya tidak bisa menjangkau dan menebak ke mana bola tersebut diarahkan.Sejujurnya, bermain de