Neo terbangun karena merasa terganggu dengan gerakan gelisah di sampingnya. Begitu melihat sang istri rupanya masih terjaga, pria sipit itu mengernyit heran. Ada apa dengan perempuan ini sehingga masih bangun di tengah malam begini?“Hei, bodoh! Kenapa kau masih bangun?” tanya Neo tidak habis pikir begitu perempuan itu menoleh terkejut padanya yang juga ikut bangun.“Apa aku mengganggu tidurmu? Aku hanya tidak bisa tidur,” tanya Naya merasa sedikit tidak enak hati.“Setidaknya jika tidak bisa tidur, kau jangan mengganggu tidur orang lain! Kenapa kau begitu menyebalkan? Apa kau tidak tahu ini jamnya orang normal untuk beristirahat? Ck ... kau memang bukan orang normal sepertinya,” omel Neo kelewat sebal.“Iya-iya! Maafkan aku, aku akan berusaha untuk tidak bersuara lagi.” Naya menyahut cepat sambil membenarkan posisi berbaringnya.Berikutnya, Neo memilih untuk memejamkan mata lagi sambil berbaring menghadap sang istri. Tapi, beberapa saat kemudian pria itu kembali membuka mata dan mena
Selesai beristirahat sebentar, Naya memutuskan untuk bermain bulutangkis lagi. Tentu saja setelah perdebatan panjang lebar dengan si cerewet Neo."Kau tidak mau berhenti? Lihat wajah suamimu sudah semenyeramkan itu," tanya Arya di sela permainan seru mereka.Sedari tadi, pria sipit itu memang duduk menunggu di sisi area permainan sambil terus melotot pada sang istri. Naya yang dipelototi tentu saja tidak merasa sama sekali. Sebab jika sudah terlalu fokus pada permainannya, perempuan itu tidak akan memperhatikan hal lain lagi."Biarkan saja, Yah. Dia memang selebay itu," jawab Naya santai yang hanya dibalas Arya dengan kekehan kecil.Pria itu juga bermain dengan kelewat fokus melawan sang menantu. Meski hanya mengeluarkan sebagian kecil kemampuan bermainnya, pukulan yang dilayangkan Naya begitu berbahaya.Perempuan itu juga jarang sekali 'error'. Bidikan-bidikannya pun tepat dan cepat membuat Arya tidak bisa menjangkau dan menebak ke mana bola tersebut diarahkan.Sejujurnya, bermain de
"Kamu sudah siapkan materi 'meeting' besok pagi?" Pria dengan netra cokelat terang yang tertutup kacamata itu bersuara.Abia mengangguk. "Sudah, Pak. Hanya tinggal dicetak saja." "Berarti belum. Segera selesaikan hari ini!" titah pria dengan tulisan 'Chief Executive Officer' di meja tersebut tegas.Abia menghela napas berat. Oh ayolah! Ini sudah sangat sore. Mungkin, hanya tinggal mereka berdua di kantor berlantai sepuluh ini. Dia tahu gajinya cukup besar, tapi dia tidak pernah berpikir akan lembur setiap hari."Ini sudah hampir malam, Pak. File-nya bisa saya kirim ke Bapak dulu jika ingin diperiksa. Meeting-nya juga besok sore, jadi masih banyak waktu," jelas Abia hati-hati."Lalu? Apa karena masih banyak waktu, kamu boleh lalai? Apa perusahaan ini menggajimu hanya untuk itu?" tanya pria yang kini melepas kacamatanya dengan nada sarkas.Abia menggeleng cepat. Beberapa saat kemudian membungkuk hormat. "Maaf, saya akan cetak materinya sekarang."Tanpa berani menoleh pada makhluk meny
"Bagaimana keadaannya?" Arya bertanya begitu Dokter sekaligus sepupunya keluar dari ruang rawat."Bagaimana menjelaskannya, ya? Luka bekas kecelakaannya tidak terlalu parah. Tapi, tensinya 80. Sepertinya dia juga kelelahan dan sangat kurang tidur. Jika stress sedikit lagi, mungkin dia akan pingsan." Penjelasan perempuan berkaca mata dengan rambut sebahu itu hanya dibalas Arya dengan anggukan."Hei, dia pegawaimu, kan? Aku yakin dia sampai seperti ini karena bekerja padamu," tebak Dokter dengan name tag 'Cintya A.' itu dengan senyum jahil.Arya mendelik tajam. "Pergilah! Tugasmu sudah selesai, kan?" usir Arya pedas sebelum kemudian berjalan masuk ke ruang rawat Abia.Begitu sampai di dalam, pria jangkung itu menemukan Abia tengah menatap langit-langit ruangan gusar. Sepertinya perempuan itu masih memikirkan bagaimana cara mengganti rugi pada Arya."Sudah merasa lebih baik?" tanya Arya sambil duduk di kursi samping ranjang.Abia mengangguk kikuk. Perempuan itu ingin bangkit duduk karena
"Di mana kamu, Abia?!"Teriakan bernada amarah itu membuat Abia menahan napas. Saat ini, dia sedang bersembunyi di balik pohon besar belakang rumahnya. Setelah mendengar bahwa Bisma akan menjualnya pada seorang pria tua, perempuan itu mencoba kabur. Sayangnya, tepat setelah berhasil keluar melalui jendela kamar, Bisma juga masuk.Abia sempat mengambil ponsel dan menelepon Arya---satu-satunya orang yang terlintas di kepala. Sayangnya, benda itu jatuh entah di mana saat Abia tersandung. "Saya tahu kamu ada di sini. Ponsel kamu ada di saya," ucap pria itu lagi dengan suara yang semakin dekat dari tempat Abia bersembunyi.Abia membekap mulut. Mencoba meredam suara deru napasnya yang tidak beraturan. Kakinya gemetar ketakutan. Lebih takut ketimbang saat ia menghancurkan mobil Arya.Abia pikir, waktu itu adalah saat paling mengerikan di hidupnya. Rupanya, menyadari Bisma---Ayahnya sendiri malah berniat menjual tubuhnya jauh lebih menakutkan.Krek!Terlalu sibuk mengontrol tangisnya yang h
"Daddy!" Arya mendelik terkejut begitu mendapati Neo berdiri di ambang pintu kamarnya. Kontan, pria jangkung itu menaruh telunjuk di depan bibir---kode agar bocah sipit itu diam."Kenapa Daddy tidak kembali ke kamarku?!" Neo malah berteriak semakin kencang.Arya yang takut Abia terbangun oleh teriakan sang putra, segera berlari dan menyeret Neo keluar. Setelah menutup pintu dengan pelan dan hati-hati, pria itu menyorot putranya tajam."Daddy kan sudah menyuruhmu tidur. Kenapa kau ke sini? Lalu apa maksudmu berteriak seperti tadi? Bibi Abia sedang tidur, jangan sampai kau mengganggu istirahatnya!" tegur Arya tegas."Daddy marah padaku?" tanya bocah sipit itu malah hampir menangis.Arya mengusap wajahnya frustasi. "Bukan begitu, Neo! Kau---""Daddy sudah tidak menyayangiku lagi? Apa dia akan jadi mama tiriku?" tanya Neo menyela ucapan Arya. Mengabaikan pertanyaan putranya, Arya segera mengangkat tubuh Neo kemudian menggendongnya menuju kamar. "Aku tidak mau mama tiri! Di film yang ku
"Apa ini bisa disebut menikah?"Pertanyaan dengan nada sinis itu hanya ditanggapi Abia dengan anggukan polos. Selepas akad, Abia menolak acara resepsi dan sejenisnya. Bahkan meski Arya menawarkannya pesta paling sederhana.Tentu saja Abia tahu 'sederhana' di mata Arya berbeda makna. Jadi, Abia memilih menolak. Alasannya satu saja, perempuan itu tidak mau rekan sekantornya mengetahui pernikahan mereka. "Apa menikah dengan seorang duda sepertiku begitu memalukan bagimu?" tanya Arya lagi. Tidak habis pikir."Bukan begitu, Pak! Saya malah takut Pak Arya yang malu karena menikah dengan perempuan miskin dan jelek seperti saya," sanggah Abia cepat."Dengan penampilan seperti ini, apa kau masih merasa jelek?" Arya bertanya takjub.Abia mengangguk jujur. Arya mengusap wajah frustasi. Demi Tuhan, jika saja bisa mengatakannya, Arya akan memberi tahu Abia seberapa cantiknya dia sekarang.Dengan gaun putih susu yang elegan, rambut cokelat terang yang dibuat berantakan namun tetap terlihat menawan
"Terima kasih untuk tumpangannya. Sampai jumpa, Keanu!" Begitu Keanu menghentikan mobil tepat di halaman Star Group, perempuan itu turun dan berlari masuk. Keanu bahkan belum mengatakan apa-apa. Karena belum puas melihat wajah Abia, pria beralis tebal itu akhirnya memarkirkan mobil. Beberapa saat kemudian turun dan ikut berlari masuk ke kantor berlantai 10 itu."Keanu? Kenapa kau ke sini?" tanya Lintang---ketua tim hiburan di Star Group."Kau pasti mengerti, kan? Untuk apa aku datang sepagi ini ke sini?" tanya pria berwajah Timur Tengah itu balik sambil melepaskan kacamata hitamnya."Ooo ... bertemu Abia?" tebak pria berkacamata itu tepat sasaran."Yap!" jawab Keanu sambil berlari menuju ruang CEO."Katanya mau bertemu Abia, kenapa malah ke ruangan Pak Arya?" gumam Lintang bingung sambil membenarkan letak kacamatanya.Aktor terkenal satu itu memang aneh.***"Selamat pagi, Tuan Malik!" Keanu menyapa begitu membuka pintu ruangan pria itu.Arya yang tengah memeriksa laporan penjualan