Neo tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Tapi, menyadari kekhawatirannya pada Naya justru lebih besar ketimbang pada Nara membuat pria itu kesal luar biasa. Dia merasa buruk. Secara tidak langsung, pikirannya sudah berpaling dan selingkuh dari sang kekasih---Nara. Seharusnya, Neo lebih memikirkan keadaan Nara yang masih berada di rumah sakit sekarang.Bukan malah bertanya-tanya ada di mana Naya sekarang dan apakah perempuan itu sudah makan. Neo ingin mencoba memaklumi dan berpikir bahwa kekhawatirannya tidak lebih karena perempuan itu tengah mengandung anaknya.Hanya saja ... tetap saja semuanya terasa salah. Neo seharusnya tidak perlu peduli seberlebihan ini pada perempuan menyebalkan itu."Nak, kau tidak menjemput istrimu? Dia belum pulang juga sampai sekarang," tanya Abia sambil membuka pintu kamar sang putra pagi ini.Neo menoleh sejenak sebelum kemudian menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan selimut. Tidak ingin mendengar pembahasan apa pun tentang perempuan yang sial
"Loh, Naya mana, Neo? Bukankah kau pergi menjemputnya tadi?" Abia bertanya bingung begitu melihat putranya pulang tanpa sang istri lagi.Neo menoleh pada sang Mama dengan helaan napas berat. Dia sedang tidak ingin membahas perempuan itu sekarang. Kepalanya terasa hampir meledak karena bimbang."Jangan bilang kau hanya pergi menemui Nara?" tebak Abia lagi begitu teringat kebiasaan putranya.Bukannya menjawab, perempuan itu malah menghela kasar sebelum kemudian beranjak menuju tangga rumah. Tapi, belum sampai tangga pertama, pria itu meringis sakit begitu punggungnya terhantam sesuatu."Argh!" erang pria sipit itu kesakitan sambil memandangi sandal jepit rumahan yang tiba-tiba dilempar Arya."Kau sudah merasa begitu besar sehingga berani mengabaikan pertanyaan Mamamu?" tanya sang ayah dengan wajah mengeras karena amarah.Seketika, Neo bergidik takut. Sadar bahwa kelakuannya memancing emosi pria galak yang begitu menyayangi istrinya tersebut."Maaf, Daddy." Neo menyahut lirih."Minta maa
"Kamu sudah siapkan materi 'meeting' besok pagi?" Pria dengan netra cokelat terang yang tertutup kacamata itu bersuara.Abia mengangguk. "Sudah, Pak. Hanya tinggal dicetak saja." "Berarti belum. Segera selesaikan hari ini!" titah pria dengan tulisan 'Chief Executive Officer' di meja tersebut tegas.Abia menghela napas berat. Oh ayolah! Ini sudah sangat sore. Mungkin, hanya tinggal mereka berdua di kantor berlantai sepuluh ini. Dia tahu gajinya cukup besar, tapi dia tidak pernah berpikir akan lembur setiap hari."Ini sudah hampir malam, Pak. File-nya bisa saya kirim ke Bapak dulu jika ingin diperiksa. Meeting-nya juga besok sore, jadi masih banyak waktu," jelas Abia hati-hati."Lalu? Apa karena masih banyak waktu, kamu boleh lalai? Apa perusahaan ini menggajimu hanya untuk itu?" tanya pria yang kini melepas kacamatanya dengan nada sarkas.Abia menggeleng cepat. Beberapa saat kemudian membungkuk hormat. "Maaf, saya akan cetak materinya sekarang."Tanpa berani menoleh pada makhluk meny
"Bagaimana keadaannya?" Arya bertanya begitu Dokter sekaligus sepupunya keluar dari ruang rawat."Bagaimana menjelaskannya, ya? Luka bekas kecelakaannya tidak terlalu parah. Tapi, tensinya 80. Sepertinya dia juga kelelahan dan sangat kurang tidur. Jika stress sedikit lagi, mungkin dia akan pingsan." Penjelasan perempuan berkaca mata dengan rambut sebahu itu hanya dibalas Arya dengan anggukan."Hei, dia pegawaimu, kan? Aku yakin dia sampai seperti ini karena bekerja padamu," tebak Dokter dengan name tag 'Cintya A.' itu dengan senyum jahil.Arya mendelik tajam. "Pergilah! Tugasmu sudah selesai, kan?" usir Arya pedas sebelum kemudian berjalan masuk ke ruang rawat Abia.Begitu sampai di dalam, pria jangkung itu menemukan Abia tengah menatap langit-langit ruangan gusar. Sepertinya perempuan itu masih memikirkan bagaimana cara mengganti rugi pada Arya."Sudah merasa lebih baik?" tanya Arya sambil duduk di kursi samping ranjang.Abia mengangguk kikuk. Perempuan itu ingin bangkit duduk karena
"Di mana kamu, Abia?!"Teriakan bernada amarah itu membuat Abia menahan napas. Saat ini, dia sedang bersembunyi di balik pohon besar belakang rumahnya. Setelah mendengar bahwa Bisma akan menjualnya pada seorang pria tua, perempuan itu mencoba kabur. Sayangnya, tepat setelah berhasil keluar melalui jendela kamar, Bisma juga masuk.Abia sempat mengambil ponsel dan menelepon Arya---satu-satunya orang yang terlintas di kepala. Sayangnya, benda itu jatuh entah di mana saat Abia tersandung. "Saya tahu kamu ada di sini. Ponsel kamu ada di saya," ucap pria itu lagi dengan suara yang semakin dekat dari tempat Abia bersembunyi.Abia membekap mulut. Mencoba meredam suara deru napasnya yang tidak beraturan. Kakinya gemetar ketakutan. Lebih takut ketimbang saat ia menghancurkan mobil Arya.Abia pikir, waktu itu adalah saat paling mengerikan di hidupnya. Rupanya, menyadari Bisma---Ayahnya sendiri malah berniat menjual tubuhnya jauh lebih menakutkan.Krek!Terlalu sibuk mengontrol tangisnya yang h
"Daddy!" Arya mendelik terkejut begitu mendapati Neo berdiri di ambang pintu kamarnya. Kontan, pria jangkung itu menaruh telunjuk di depan bibir---kode agar bocah sipit itu diam."Kenapa Daddy tidak kembali ke kamarku?!" Neo malah berteriak semakin kencang.Arya yang takut Abia terbangun oleh teriakan sang putra, segera berlari dan menyeret Neo keluar. Setelah menutup pintu dengan pelan dan hati-hati, pria itu menyorot putranya tajam."Daddy kan sudah menyuruhmu tidur. Kenapa kau ke sini? Lalu apa maksudmu berteriak seperti tadi? Bibi Abia sedang tidur, jangan sampai kau mengganggu istirahatnya!" tegur Arya tegas."Daddy marah padaku?" tanya bocah sipit itu malah hampir menangis.Arya mengusap wajahnya frustasi. "Bukan begitu, Neo! Kau---""Daddy sudah tidak menyayangiku lagi? Apa dia akan jadi mama tiriku?" tanya Neo menyela ucapan Arya. Mengabaikan pertanyaan putranya, Arya segera mengangkat tubuh Neo kemudian menggendongnya menuju kamar. "Aku tidak mau mama tiri! Di film yang ku
"Apa ini bisa disebut menikah?"Pertanyaan dengan nada sinis itu hanya ditanggapi Abia dengan anggukan polos. Selepas akad, Abia menolak acara resepsi dan sejenisnya. Bahkan meski Arya menawarkannya pesta paling sederhana.Tentu saja Abia tahu 'sederhana' di mata Arya berbeda makna. Jadi, Abia memilih menolak. Alasannya satu saja, perempuan itu tidak mau rekan sekantornya mengetahui pernikahan mereka. "Apa menikah dengan seorang duda sepertiku begitu memalukan bagimu?" tanya Arya lagi. Tidak habis pikir."Bukan begitu, Pak! Saya malah takut Pak Arya yang malu karena menikah dengan perempuan miskin dan jelek seperti saya," sanggah Abia cepat."Dengan penampilan seperti ini, apa kau masih merasa jelek?" Arya bertanya takjub.Abia mengangguk jujur. Arya mengusap wajah frustasi. Demi Tuhan, jika saja bisa mengatakannya, Arya akan memberi tahu Abia seberapa cantiknya dia sekarang.Dengan gaun putih susu yang elegan, rambut cokelat terang yang dibuat berantakan namun tetap terlihat menawan
"Terima kasih untuk tumpangannya. Sampai jumpa, Keanu!" Begitu Keanu menghentikan mobil tepat di halaman Star Group, perempuan itu turun dan berlari masuk. Keanu bahkan belum mengatakan apa-apa. Karena belum puas melihat wajah Abia, pria beralis tebal itu akhirnya memarkirkan mobil. Beberapa saat kemudian turun dan ikut berlari masuk ke kantor berlantai 10 itu."Keanu? Kenapa kau ke sini?" tanya Lintang---ketua tim hiburan di Star Group."Kau pasti mengerti, kan? Untuk apa aku datang sepagi ini ke sini?" tanya pria berwajah Timur Tengah itu balik sambil melepaskan kacamata hitamnya."Ooo ... bertemu Abia?" tebak pria berkacamata itu tepat sasaran."Yap!" jawab Keanu sambil berlari menuju ruang CEO."Katanya mau bertemu Abia, kenapa malah ke ruangan Pak Arya?" gumam Lintang bingung sambil membenarkan letak kacamatanya.Aktor terkenal satu itu memang aneh.***"Selamat pagi, Tuan Malik!" Keanu menyapa begitu membuka pintu ruangan pria itu.Arya yang tengah memeriksa laporan penjualan
"Loh, Naya mana, Neo? Bukankah kau pergi menjemputnya tadi?" Abia bertanya bingung begitu melihat putranya pulang tanpa sang istri lagi.Neo menoleh pada sang Mama dengan helaan napas berat. Dia sedang tidak ingin membahas perempuan itu sekarang. Kepalanya terasa hampir meledak karena bimbang."Jangan bilang kau hanya pergi menemui Nara?" tebak Abia lagi begitu teringat kebiasaan putranya.Bukannya menjawab, perempuan itu malah menghela kasar sebelum kemudian beranjak menuju tangga rumah. Tapi, belum sampai tangga pertama, pria itu meringis sakit begitu punggungnya terhantam sesuatu."Argh!" erang pria sipit itu kesakitan sambil memandangi sandal jepit rumahan yang tiba-tiba dilempar Arya."Kau sudah merasa begitu besar sehingga berani mengabaikan pertanyaan Mamamu?" tanya sang ayah dengan wajah mengeras karena amarah.Seketika, Neo bergidik takut. Sadar bahwa kelakuannya memancing emosi pria galak yang begitu menyayangi istrinya tersebut."Maaf, Daddy." Neo menyahut lirih."Minta maa
Neo tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Tapi, menyadari kekhawatirannya pada Naya justru lebih besar ketimbang pada Nara membuat pria itu kesal luar biasa. Dia merasa buruk. Secara tidak langsung, pikirannya sudah berpaling dan selingkuh dari sang kekasih---Nara. Seharusnya, Neo lebih memikirkan keadaan Nara yang masih berada di rumah sakit sekarang.Bukan malah bertanya-tanya ada di mana Naya sekarang dan apakah perempuan itu sudah makan. Neo ingin mencoba memaklumi dan berpikir bahwa kekhawatirannya tidak lebih karena perempuan itu tengah mengandung anaknya.Hanya saja ... tetap saja semuanya terasa salah. Neo seharusnya tidak perlu peduli seberlebihan ini pada perempuan menyebalkan itu."Nak, kau tidak menjemput istrimu? Dia belum pulang juga sampai sekarang," tanya Abia sambil membuka pintu kamar sang putra pagi ini.Neo menoleh sejenak sebelum kemudian menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan selimut. Tidak ingin mendengar pembahasan apa pun tentang perempuan yang sial
Abia mengernyit heran begitu mendapati putranya pulang sendiri tanpa sang istri. Pria itu juga tampak kesal entah karena apa membuat mulut Abia gatal untuk bertanya.“Mana istrimu? Kenapa kau hanya pulang sendiri?” tanya Arya yang malah mewakili pertanyaan di dalam hatinya.“Kutinggal di rumah sakit bersama Om Bintang,” jawab Neo santai sambil segera duduk di samping sang Mama yang juga duduk di sofa ruang tengah.Pria sipit itu mengambil tempat di antara Daddy dan Mamanya. Membuat Arya yang kesal karena makhluk itu menghalanginya berdekatan dengan sang istri, segera menggeplak lengan Neo.“Kenapa kau tidak mengajaknya pulang bersamamu?” tanya Abia cepat.“Istri kurang ajar seperti dia seharusnya memang dibiarkan saja. Kenapa aku harus repot-repot membawanya pulang?” jawab Neo sensi yang kontan saja membuat Abia melotot tidak terima.Baru saja akan melayangkan pukulan pada punggung putranya, rupanya lagi-lagi sang suami lebih dulu mendaratkan pukulan pada punggung pria sipit itu. Sua
Neo kembali ke rumah sakit dengan perasaan kesal yang tergambar jelas di raut wajahnya. Pria itu terus mendengkus sebal sambil menendang bangku besi di lorong sesekali. Hal itu tentu saja langsung disadari oleh Arya yang juga duduk menunggu di luar. Membiarkan sang istri dan besannya sibuk dengan Nara yang baru saja sadar di dalam ruang rawat.“Kau kenapa? Bertengkar dengan Naya? Kendalikan dirimu! Jangan sampai Ayah mertuamu melihat kelakuanmu!” tegur Arya yang hanya dibalas Neo dengan dengkusan.“Bagaimana aku tidak kesal, Daddy?! Tadi sebenarnya dia menelepon dan bilang sakit perut, makanya aku segera pulang. Tapi karena takut membuat kalian khawatir, aku tidak memberitahu lebih dulu. Saat sampai rumah, aku memberikannya obat dan makanan. Tapi setelah itu dia malah marah-marah dan malah mengusirku. Apa yang salah dengan pemikirannya? Kenapa dia begitu sensitif?!” Neo mengomel panjang lebar yang anehnya malah dibalas Arya dengan kekehan geli.“Jangan terlalu marah. Para perempuan, a
Begitu mendapati panggilan telepon dari sang istri, Neo segera bergegas pulang ke rumah. Begitu ditanya oleh Arya dan Bintang, pria itu hanya bilang ingin mengabari Naya bahwa mereka semua ada di sana.Tentu saja Neo tidak ingin membuat sang mertua juga orang tuanya bertambah panik. Berita tentang kecelakaan yang dialami Nara tadi saja sudah cukup menggemparkan mereka.Sambil menjalankan mobil lumayan cepat, Neo kembali menghubungi Naya lewat telepon. Tapi, hingga percobaan panggilan kelima sekali pun, perempuan itu tidak juga mengangkat teleponnya.Membuat Neo bertambah panik dan kembali menambah laju kendaraan roda empatnya. Dia tidak tahu kenapa dia sepanik ini. Tapi yang jelas, dia uanya ingin memastikan keadaan sang istri sekarang.Perasaan Neo benar-benar tidak tenang. Pria itu bahkan sejenak melupakan Nara yang tadi masih berada di rumah sakit dengan tubuh dipenuhi luka akibat kecelakaan."Apa susahnya mengangkat teleponku sekali saja? Ck ... dia memang sangat menyebalkan! Ken
Begitu terbangun dari tidurnya, Naya segera beranjak menuju dapur guna mengambil minum. Entah sudah berapa lama dia tertidur. Yang jelas, rupanya hari sudah gelap dan rumah sudah sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Entah kemana semua saja orang itu pergi. Atau mungkin, mereka malah sudah masuk tidur ke kamar? Tapi, kenapa tadi dia tidak menemukan Neo di kamar mereka?Begitu melirik jam dinding, rupanya sudah pukul 12 malam. Perempuan itu lupa menaruh hp-nya di mana, jadi Naya memilih duduk sejenak di sofa ruang tengah.Sejenak, perempuan itu menghela berat begitu teringat tadi siang Ayahnya sempat ke sini. Tapi, bisa-bisanya Naya malah tidur bukannya berbincang banyak dengan sang Ayah. Padahal, ada banyak sekali hal yang sangat ingin Naya ceritakan pada pria itu seperti biasanya."Eh, Non Naya sudah bangun?" Bi Wati---salah satu pembantu di rumah itu, menyapa Naya yang dibalas perempuan itu dengan senyum ramah."Iya, Bi. Aku sepertinya tidur terlalu lama, hehe." Naya menjawab kikuk
Setelah menidurkan Naya di kamar mereka, Neo segera turun menuju lantai bawah. Begitu tidak menemukan kehadiran Nara di sana, pria itu mengernyit bingung."Nara ke mana?" tanya pria sipit itu yang dibalas Abia dengan gendikan bahu tidak peduli."Dia tiba-tiba bilang ingin pulang tadi. Tapi karena Ayah ingin bertemu Naya dulu, jadi Ayah tidak ikut dan membiarkan saja dia pulang duluan." Bintang menjawab yang diangguki Neo mengerti.Seingatnya, tadi perempuan itu lah yang paling semangat ke sini. Kenapa tiba-tiba Nara malah meminta pulang begini? Bahkan tanpa pamit lebih dulu pada Neo."Kalau begitu ... ayo kita makan!" ajak Abia pada sang suami, anak juga besannya.Neo dan Bintang menggeleng bersamaan. "Nanti saja, kita tunggu Naya bangun tidur. Lagipula, ini juga masih belum jam makan siang, kan?" sahut Neo yang diangguki Bintang setuju."Aku juga akan makan bersama Naya saja. Sudah lama aku tidak makan bersamanya," gumam Bintang sedikit berlebihan.Karena biasanya, Naya bahkan hanya
Setelah membantu Neo bersiap-siap tadi, Naya kembali masuk ke kamar. Perempuan itu ingin ikut membantu Abia membereskan rumah sebenarnya. Tapi, entah kenapa, tubuhnya terasa letih luar biasa.Padahal, dia hanya melakukan sedikit olahraga bersama Arya tadi. Iya, bagi Naya yang seorang atlet bulutangkis nasional, itu adalah latihan paling sederhana yang pernah ia lakukan.Naya bahkan tidak pernah melompat karena takut. Dia juga tidak terlalu banyak berlari karena Neo terus berteriak dan memperingatinya untuk hati-hati. Rasanya menyebalkan begitu menyadari gerakannya terlalu banyak dibatasi.Tapi kali ini, dia sadar kemampuannya memang sudah tidak seperti dulu lagi. Naya merasa lelah terlalu cepat. Hanya karena beberapa aktivitas ringan, perempuan itu mulai letih dan ingin segera beristirahat sekarang."Kenapa para perempuan begitu mendambakan hamil? Padahal ... ini sangat tidak menyenangkan," gumam Naya tidak habis pikir.Perempuan itu sudah akan berbaring kalau saja suara Abia yang mem
Selesai beristirahat sebentar, Naya memutuskan untuk bermain bulutangkis lagi. Tentu saja setelah perdebatan panjang lebar dengan si cerewet Neo."Kau tidak mau berhenti? Lihat wajah suamimu sudah semenyeramkan itu," tanya Arya di sela permainan seru mereka.Sedari tadi, pria sipit itu memang duduk menunggu di sisi area permainan sambil terus melotot pada sang istri. Naya yang dipelototi tentu saja tidak merasa sama sekali. Sebab jika sudah terlalu fokus pada permainannya, perempuan itu tidak akan memperhatikan hal lain lagi."Biarkan saja, Yah. Dia memang selebay itu," jawab Naya santai yang hanya dibalas Arya dengan kekehan kecil.Pria itu juga bermain dengan kelewat fokus melawan sang menantu. Meski hanya mengeluarkan sebagian kecil kemampuan bermainnya, pukulan yang dilayangkan Naya begitu berbahaya.Perempuan itu juga jarang sekali 'error'. Bidikan-bidikannya pun tepat dan cepat membuat Arya tidak bisa menjangkau dan menebak ke mana bola tersebut diarahkan.Sejujurnya, bermain de