Malam yang kelam tanpa gemintang. Dersik angin menyapu dedaunan kerontang hingga kenangan.Wanita itu merintih kesakitan. Berupaya keras mengeluarkan suaranya meskipun senantiasa gagal. Hanya pita suaranya saja yang bergetar dan tatapan merana penuh asa.“Kau siapa?” tanya Malati pada sosok wanita yang mirip dengannya, Xie Mei Ling.Wanita yang tengah duduk di atas kursi hukuman itu hanya mencongak dan menyematkan senyuman tipis meskipun mulutnya disumpal. Wajahnya samar. Hanya terlihat matanya segaris menyipit pertanda ia tersenyum dalam deritanya.Secarik kertas terbang begitu saja, menyentuh wajah Malati sebelum dirinya tiba di hadapan Xie Mei Ling.Malati menemukan sebuah nama yang tertera di ujung kertas itu. Maya.Penasaran, Malati mendekatinya dan berusaha melepaskan ikatan tangan dan kakinya, ingin bertanya siapakah orang yang bernama Maya?Malangnya, sebelum Malati mendekati wanita berwajah oriental itu, pria berwajah sangar menghadangnya dan melemparkan senyum smirk pada ga
Ali mendekati Aldino dengan melayangkan tatapan yang menghunus tajam. Sementara itu Aldino syok akan kehadiran Ali. Mengapa bisa bertemu di tempat itu? Padahal restoran itu cukup dekat dengan rumah yang ditinggali-tempat yang dianggap paling aman membawa Malati. Dengan pertimbangan tempat itu private.Aldino berusaha tenang dan memasang wajah minim ekspresi.“Hai, Ali! Kebetulan kita bertemu di sini,” ucap Aldino tanpa merasa terintimidasi.Saat Ali menyapa Aldino, Malati tengah memunggunginya sehingga tak terlihat wajah Malati. Ali hanya melihat Aldino duduk berdua di sana bersama seorang wanita berhijab.Malati yang baru sadar dengan apa yang ia dengar, menaruh kembali menu masakan di atas meja. Lantas, ia berkata pada Aldino dan mengabaikan Ali yang berdiri di belakangnya.“Pak Aldino, terima kasih lowongan kerjanya. Sepertinya tamu Bapak sudah datang. Saya terima surat perjanjian kontrak mengajar Matematika adik kelas. Tapi, saya tidak bisa mengajar Fisika. Assalamualaikum?!” uca
“Apa kau tak perhatikan? Ada yang aneh dengan Pak Aldino dan istrinya?” ucap salah satu ART di ruang tamu. Seorang wanita sepantaran Mbok Darmi yang sedang mengepel lantai.“Emang ada yang aneh apa?” tanya ART yang berusia sepantaran Malati.“Saya lihat kok cara jalannya Mbak Malati biasa aja? Sejak pertama datang ke sini. Um, biasanya kan kalau habis malam pertama jalannya agak ngangkang begitu. Apalagi, Pak Aldino bertubuh tinggi besar pasti anunya juga besar! Tapi … Mbak Malati biasa aja ya?” sewot wanita itu dengan terkikik geli.“Teh Lilis, kotor ih pikirannya,” jawab Lina-ArT yang bertugas membersihkan furniture.“Bukan kotor! Tapi agak kotor,” sahutnya dengan terkekeh lagi. “Neng Lina mah masih perawan jadi gak bakalan ngerasain sakit sekaligus nikmatnya malam pertama. Apa jangan-jangan mereka belum melakukan malam pertama ya?”Lilis mengetuk-mengetuk jarinya di keningnya.“Hus! Jangan ngomong sembarangan! Ya, mungkin tiap perempuan beda-beda.”Lina kembali mengelap meja denga
Malati merasa iba setelah mendengar pengakuan Lina yang mengatakan bahwa dirinya ‘orang dalam’ yang bekerjasama dengan perampok. Lina mengaku orang yang membocorkan informasi soal rumah Aldino termasuk orang yang berperan dalam melumpuhkan CCTV. Mudah bagi seseorang yang pandai mengoperasikan komputer untuk memanipulasi kamera pengintai CCTV. Motifnya jelas, Lina sedang mengalami kesulitan finansial. Neneknya di kampung butuh uang banyak untuk berobat. Oleh karena itu ia nekad mau diajak kerjasama oleh salah satu anggota kawanan perampok. “Maaf, Lina. Kau seharusnya meminta maaf pada Mas Aldino! Bukan pada saya,” seru Malati menyingkirkan pelan ke dua tangan Lina yang memeluk betisnya. Lina bergerak mundur masih dalam keadaan bersimpuh dan kepala merunduk bagai bunga yang layu. Sungguh, dalam hati Malati merasa iba pada gadis itu. Namun cara ia memutuskan sesuatu sangatlah tidak tepat. Mengapa ia tidak meminjam uang saja pada Aldino. Beres! Urusan selesai! Tunggu dulu, Aldino buk
“Sedang menunggu antrian?”Aldino bertanya pada wanita yang duduk di sampingnya. Malati yang tak lain istri rahasianya.Oh, dunia begitu sempit, hanya selebar daun kelor. Malati mengerjapkan matanya ketika mendengar Aldino menyapanya. Namun ia segera berusaha mengendalikan rasa gugupnya. Beruntung dia melakukan penyamaran sebagai salah satu hal wajib yang dilakukan oleh seorang detektif ketika melakukan tugas spionase.Malati kini memakai pakaian syar'i lengkap dengan burqa. Hanya terlihat matanya yang sipit.Malati hanya mengangguk pelan sebagai respon dari pertanyaan Aldino tanpa memandangnya.Aldino menaikan sebelah alisnya yang tebal. Namun ia tak mempermasalahkan respon super singkat dari wanita itu. Mungkin, ia memang seorang wanita yang membuat batasan dengan lawan jenis.Aldino beringsut kemudian berdiri ketika rekan kerjanya, Guru BK, Linda mendatanginya.“Pak Al, kita pulang sekarang!” katanya pada Aldino. “Anak itu akan dibawa ke RSJ mendapat konseling dari psikiater!”“Ba
Awan kelabu yang berarak di langit sudah berganti warna menjadi jingga. Sayup-sayup dari kejauhan suara azan magrib pula sudah lesap. Senja berganti malam.Aldino rupanya pulang terlambat ke rumah karena ada beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan hari itu. Sebagai kepala sekolah, tugasnya tak hanya sebagai supervisor namun berperan pula dalam mengedukasi para guru yang kurang memahami peran dan fungsinya selama di sekolah.Setiap hari Aldino dihadapkan berbagai masalah entah itu dari guru maupun murid.“Di mana istri saya?” tanya Aldino ketika memasuki rumah dan disambut langsung oleh Mbok Darmi. Aldino melonggarkan dasi berbentuk linear yang dikenakannya dan melepas sepatu pantofel hitamnya di depan pintu rumah.Mbok Darmi langsung meraih tas kerjanya dan mengekori langkahnya menuju lantai dua.“Mbak Malati di ruang makan, Mas. Mas Al, Mbak Malati ternyata jago masak loh!” sahut Mbok Darmi dengan antusias. Ia mengingat bagaimana cekatan gadis bertubuh mungil itu saat memasak. Ia
Malam itu percakapan yang terjadi di antara Malati dan Aldino menjadi tegang. Hal tersebut diwarnai oleh pernyataan Aldino yang mengatakan bahwa dirinya menyesal menikahi Malati.“Maaf, apakah Bapak menyesal setelah mengeluarkan uang banyak untuk menebus hutang Om dan Tanteku?”Akhirnya kata-kata yang sempat tersangkut di tenggorokan Malati lolos tak terbendung.Malati mengubah posisinya dari berbaring menjadi bangun. Pertanyaan Aldino terdengar serius baginya. Jika demikian, Malati lebih baik mencari pekerjaan untuk mengganti uang Aldino. Beres! Meskipun mungkin ia harus bekerja extra untuk mendapatkan uang yang tak sedikit itu. Mungkin juga, butuh bertahun-tahun untuk mengumpulkannya.Toh, Malati sekarang sudah bebas dari cengkraman paman dan bibinya yang menjadikannya sapi perah. Ia bisa mengambil pekerjaan paruh waktu dari Mr Bon. “Um, bukan seperti itu! Sudah lupakan saja!” sahut Aldino dengan santai, kemudian tenggelam di balik selimut tebal dan memutuskan untuk tidur lebih d
Sepanjang jalan menuju kampus Malati termenung hingga tanpa sadar ia sudah tiba di depan gerbang raksasa Universitas Prabu Agung Cakrabuana diantar supir pribadi Aldino.“Mbak ! Sudah sampai!” seru Pak Tejo, memutar lehernya melihat majikannya yang menatap jendela mobil dengan tatapan kosong.“Mbak! Sudah sampai!!” katanya lagi dengan menaikkan suaranya.“Ah, ya, Pak Tejo,” sahut Malati tersentak. Tatapannya terpaku pada gapura berbentuk harimau di depan nya. Gapura yang seolah akan menelan siapa saja yang masuk ke dalamnya.“Tenang Mbak, Mas Al cuma dua hari di luar kota! Kalau kangen ‘kan bisa video call gitu!!” ujar Pak Tejo yang lebih banyak bicara. Pria berkulit sawo matang itu melebarkan tawanya seakan tebakannya benar. Padahal Malati malah merasa ia tengah mengejeknya. Video call kepalamu!Malati hanya mendecakkan lidahnya mendengar perkataan pak Tejo. Yang benar saja! Memang orang rumah percaya betul soal pernikahan mereka. Sungguh, Aldino ternyata diam-diam menyimpan sebuah
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang