Awan kelabu yang berarak di langit sudah berganti warna menjadi jingga. Sayup-sayup dari kejauhan suara azan magrib pula sudah lesap. Senja berganti malam.Aldino rupanya pulang terlambat ke rumah karena ada beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan hari itu. Sebagai kepala sekolah, tugasnya tak hanya sebagai supervisor namun berperan pula dalam mengedukasi para guru yang kurang memahami peran dan fungsinya selama di sekolah.Setiap hari Aldino dihadapkan berbagai masalah entah itu dari guru maupun murid.“Di mana istri saya?” tanya Aldino ketika memasuki rumah dan disambut langsung oleh Mbok Darmi. Aldino melonggarkan dasi berbentuk linear yang dikenakannya dan melepas sepatu pantofel hitamnya di depan pintu rumah.Mbok Darmi langsung meraih tas kerjanya dan mengekori langkahnya menuju lantai dua.“Mbak Malati di ruang makan, Mas. Mas Al, Mbak Malati ternyata jago masak loh!” sahut Mbok Darmi dengan antusias. Ia mengingat bagaimana cekatan gadis bertubuh mungil itu saat memasak. Ia
Malam itu percakapan yang terjadi di antara Malati dan Aldino menjadi tegang. Hal tersebut diwarnai oleh pernyataan Aldino yang mengatakan bahwa dirinya menyesal menikahi Malati.“Maaf, apakah Bapak menyesal setelah mengeluarkan uang banyak untuk menebus hutang Om dan Tanteku?”Akhirnya kata-kata yang sempat tersangkut di tenggorokan Malati lolos tak terbendung.Malati mengubah posisinya dari berbaring menjadi bangun. Pertanyaan Aldino terdengar serius baginya. Jika demikian, Malati lebih baik mencari pekerjaan untuk mengganti uang Aldino. Beres! Meskipun mungkin ia harus bekerja extra untuk mendapatkan uang yang tak sedikit itu. Mungkin juga, butuh bertahun-tahun untuk mengumpulkannya.Toh, Malati sekarang sudah bebas dari cengkraman paman dan bibinya yang menjadikannya sapi perah. Ia bisa mengambil pekerjaan paruh waktu dari Mr Bon. “Um, bukan seperti itu! Sudah lupakan saja!” sahut Aldino dengan santai, kemudian tenggelam di balik selimut tebal dan memutuskan untuk tidur lebih d
Sepanjang jalan menuju kampus Malati termenung hingga tanpa sadar ia sudah tiba di depan gerbang raksasa Universitas Prabu Agung Cakrabuana diantar supir pribadi Aldino.“Mbak ! Sudah sampai!” seru Pak Tejo, memutar lehernya melihat majikannya yang menatap jendela mobil dengan tatapan kosong.“Mbak! Sudah sampai!!” katanya lagi dengan menaikkan suaranya.“Ah, ya, Pak Tejo,” sahut Malati tersentak. Tatapannya terpaku pada gapura berbentuk harimau di depan nya. Gapura yang seolah akan menelan siapa saja yang masuk ke dalamnya.“Tenang Mbak, Mas Al cuma dua hari di luar kota! Kalau kangen ‘kan bisa video call gitu!!” ujar Pak Tejo yang lebih banyak bicara. Pria berkulit sawo matang itu melebarkan tawanya seakan tebakannya benar. Padahal Malati malah merasa ia tengah mengejeknya. Video call kepalamu!Malati hanya mendecakkan lidahnya mendengar perkataan pak Tejo. Yang benar saja! Memang orang rumah percaya betul soal pernikahan mereka. Sungguh, Aldino ternyata diam-diam menyimpan sebuah
Tawa pecah di ruang cafetaria siang itu. Semua mata terpacak pada seorang gadis yang jatuh tersungkur ke lantai. Nampan berisi makanan yang ia bawa tumpah hingga tercecer di lantai. Piring porselen pecah menjadi kepingan beberapa bagian.Gelas jus juga pecah dan menyebabkan cairan berwarna kuning meluber ke lantai. Benar-benar pemandangan yang menyedihkan.Malati jatuh ketika merasa kakinya terantuk sesuatu. Ia cukup berhati-hati saat berjalan. Namun sesuatu menghadang kakinya secara tiba-tiba!Dugaan Risa benar!Erlangga berbuat onar lagi.Erlangga yang tengah duduk, mengayunkan sebelah kakinya pada kaki Malati sehingga gadis itu terjatuh. Kemudian ia kembali mengobrol dengan kawan-kawannya dengan wajah tanpa dosa. Sedetik kemudian Erlangga menikmati detik-detik penderitaan Malati. Ia ingin melihat ekspresi amarahnya. Seharusnya, Malati marah dan mencak-mencak padanya atau membalasnya. Beberapa kali ia mengerjainya. Mengapa ia tak bereaksi. Jangan-jangan sebetulnya Malati robot hum
Setelah membujuk wanita yang mengaku sebagai orang yang menggadai rumah peninggalan ke dua orang tuanya, akhirnya Malati bisa masuk rumah dan duduk di ruang tamu.Mereka kini tengah duduk berdua dengan atmosfer tegang di sekelilingnya. Ke duanya terlihat sama-sama tengah menahan amarah dengan urat leher yang menegang.Malati marah karena rumah peninggalan ke dua orang tuanya digadaikan tanpa sepengetahuannya. Sementara itu wanita paruh baya itu kecewa karena Nia telah membohonginya dengan mengatakan bahwa rumah itu memang miliknya.Nia yang pandai bersilat lidah begitu mudah mengelabui wanita itu bahkan tanpa memperlihatkan sertifikat rumah. Dan, wanita itu begitu saja percaya.“Baiklah, Bu Marini, saya akan mengambil jalan tengah. Masalahnya ini rumah peninggalan ke dua orang tua saya. Rumah ini takkan pernah saya jual ataupun saya gadaikan!Saya juga sudah memberikan uang pada Om dan Tante saya untuk membeli rumah karena mereka menumpang di sini. Oleh karena itu saya akan menebus r
Setiba di rumah Eyang Waluyo, Malati langsung membongkar peti kayu berisi barang peninggalan ke dua orang tuanya. Malati menyunggingkan senyuman dengan mata yang berembun tatkala menemukan sebuah dompet mendiang ayah dan ibunya yang berisi identitas pribadi seperti KTP dan surat nikah. Jarinya langsung menarik sebuah album foto yang berada di tumpukan paling bawah. Ia mengusap album foto kenangan itu dengan tisu. Barulah ia membuka helai demi helai lembaran foto yang terselip di dalamnya. Ia menatap foto ayah dan ibunya bergantian dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hanya ia yang bisa merasakannya. Bahagia tak terperi jauh dalam relung sanubari. Selain itu ada beberapa pakaian milik ke dua orang tuanya dan sebuah buku catatan. Sebuah buku berisi laporan keuangan rumah tangga. Tak ada hal yang istimewa ditemukan semisal buku diary yang memberikan sebuah informasi penting. Adapun secarik surat terakhir milik ibunya tersimpan rapi di dalam dompet usang milikny
‘Dasar Erlangga sialan! Kacung kampret! Fuck*ng shit! Brengs*k! Tukang bully! Gue laporin lo ke Komnas Anak dan perempuan!’Malati terus mengumpat sembari menjambak rambut Erlangga sangat kuat hingga membuatnya menangis tersedu-sedan dan mencium kakinya meminta pengampunan.‘Ampun, Putri Melati!’“Woi! Sadako! Lo ngelamun ya?” tanya Reynaldi-kakak tingkat berambut agak ikal dengan menatap sinis Malati.Yang benar saja, baru saja Malati tengah menjambak rambut Erlangga. Sayangnya, itu semua ternyata hanya ilusi. Malati mana punya nyali melawan ke tiga kakak tingkat itu.Tunggu, ada satu orang lagi teman satu kelasnya ikut namun di manakah dirinya? Mengapa ia tidak bergabung?“Kalian udah mulai belum?” Suara cempreng terdengar di telinga Malati hingga membuatnya meringis. Lantas, ia menoleh. Orang yang ia cari akhirnya muncul.“Serena?” gumam Malati.“Hai, Malati! Akhirnya kau mau juga kerja kelompok di sini,” cicitnya sembari menaruh satu kantong kain berisi cemilan untuk menemani wak
“Tumben, Pak mau cepat pulang,” sindir Linda yang ikut hadir dalam seminar dan workshop pendidikan tingkat provinsi yang dihadiri oleh para civitas akademik dan praktisi pendidikan di Sukabumi.“Biasanya jalan ke mall dulu. Eh, saya lupa, Bapak gak bawa Bestie. Bapak cuma ajak ibu guru cantik yang rempong,” lanjutnya dengan tersenyum narsistik dan penuh percaya diri. Masalahnya wakil kepala sekolah Yuda Tarumanegara absen karena ibunya sakit.“Iya kali betah di sini,” jawab Aldino acuh tak acuh. Ia menyambar jaket denim miliknya yang berada di lengan kursi dan langsung mengenakannya. Ia keluar dari ruang seminar lebih dulu dan berjalan menuju pelataran parkir mobil.Linda berjalan tergesa-gesa menyusul Aldino sembari membawakan tas kerja miliknya. Dua orang guru wanita muda nan cantik menyusul mereka dengan berjalan lamban mirip pinguin, mengingat mereka memakai setelan kemeja dan rok span.“Mau beli apa dulu? Oleh-oleh? Di pertigaan ada toko oleh-oleh,” ucap Linda menatap kepala se
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang