Siang itu Malati terlihat gelisah. Beberapa kali ia menengok jam dinding yang menggantung di ruang tamu yang luas tersebut. Ia tengah menunggu kedatangan seseorang. Tamu istimewa yang sudah lama dinantikan kehadirannya.
Malati kesulitan membuat janji temu dengannya mengingat ia sangat sibuk. Malati juga tak bisa keluar rumah sendirian. Oleh karena itu mereka berjanji bertemu di kediamannya.
Malati menyambut kedatangan tamunya dengan sukacita. Ia pun mempersilahkannya masuk. Mereka duduk dan saling pandang serta sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Sulis, bagaimana hasil penyelidikan?”
Malati memperhatikan wajah Sulis yang terlihat kecut hari itu. Ia diundang Malati untuk datang ke kediamannya.
&nbs
Degup jantung Malati berdenyut cepat sekali saat melihat ekspresi yang ditunjukan oleh Aldino. Tak menyangka, jika Sulis profesional. Ia memberikan bukti-bukti yang mengarah pada Ana sebagai pelakunya. Meskipun ada bukti yang terlewat yaitu sidik jari.Namun Sulis sudah cukup mengumpulkan bukti lainnya. Di antaranya ialah rekaman suara saat Ana meminta salah satu karyawan di perusahaan ayahnya, membawakannya botol berisi sianida berbentuk serbuk. Botol yang sama dan ditemukan di TKP.Urat-urat hijau tampak menyembul di balik punggung tangan Aldino yang tengah melihat dokumen penting, soal hasil investigasi kasus racun sianida yang nyaris melenyapkan istri dan anaknya. Tangannya mencngkeram kertas itu dengan erat hingga tampaklah buku-buku jarinya.Rahangnya terli
Sore itu, awan biru berarak menghiasi langit. Angin berembus dengan begitu kencang menerbangkan dedaunan kering kerontang dan debu jalanan.Saking kencang, beberapa jendela rumah bergerak dan menutup secara tiba-tiba disertai suara yang begitu berisik. Tak berselang lama, awan biru pun kini telah menghilang dan berganti dengan awan berwarna kelabu seperti suasana hati Aldino saat ini. Awan pembawa hujan segera bertandang.Mengabaikan itu semua, Aldino menatap sekeliling halaman rumahnya yang dipenuhi oleh bebungaan. Sembari merapatkan jaketnya, ia berteriak pada tukang kebun yang sedang menyiangi rumput liar yang sudah tumbuh subur di sana.“Ganti semua tanaman hias ini! Tidak boleh ada mawar di halaman ini! Ganti dengan tabulampot!” pekik Aldino dengan tanpa bas
“Apakah tidak ada setitik rasa yang tersimpan di hatimu untuk Ana?”Ali berbicara dengan nada rendah setelah mendengar perkataan Aldino yang terdengar kejam di telinganya. Setidaknya untuk saat ini, ia harus menahan emosinya demi menyelamatkan Ana dari kasus sianida. Ia harus membujuknya.Pria itu-pria yang sangat dicintai adiknya akan menjebloskannya ke sel penjara. Tidakkah ada rasa simpatik pada adiknya mengingat ia tengah sakit. Mungkin, Ana juga melakukan itu saat kondisi pikirannya kacau balau. Ia berada dalam fase terberat dalam hidupnya.Aldino mendesis dengan ke dua tangan yang mengepal sempurna. Jika ditanya apakah masih ada perasaan Aldino pada Ana?Tentu saja, masih ada rasa padanya. Hanya saja, pera
Suasana terasa hening. Seakan-akan waktu merangkak lambat. Ke dua netra Ana dan Aldino bersitatap. Sontak, ke dua busur di wajah Ana tertarik mengulas senyum simpul saat melihat sosok yang begitu ia puja dan rindukan. Sosok yang setiap malam bertandang dalam bunga tidurnya.Seperti mimpi, Aldino berada di sana. Apa yang sedang dilakukan pria itu?Namun dalam hitungan sepersekian detik, senyuman Ana memudar tatkala melihat sosok pujaan hatinya membuang tatapannya. Seolah Ana ialah seonggok sampah di matanya. Sampah yang tak berharga!“Ana, kenapa kau datang kemari? Siapa yang mengantarmu?”Pertanyaan Ali mengusik Ana yang tengah mengamati raut wajah tampan Aldino
Pria itu berjongkok lalu membantu Ana untuk berdiri. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya dengan bernada khawatir.Ana langsung menepis tangan dokter itu. “Aku gak apa-apa, Zain,”Sungguh, Ana tidak tahu berterima kasih. Padahal Zain berniat membantunya.Namun sekali lagi, cinta Zain pada Ana ialah cinta pada pandangan pertama. Ia sama sekali tidak tersinggung akan sikap Ana padanya. Ia berusaha memakluminya. Katakanlah Zain seorang dokter yang cerdas dalam karirnya namun bodoh soal percintaan. Lamarannya ditolak oleh Ana namun tak membuatnya menyerah untuk mendapatkan hatinya.Saat itu Zain yang juga berdinas malam di rumah sakit tersebut langsung mengejar Ana saat melihatnya. Namun siapa sangka, ia melihat pema
Malam itu Aldino pun menceritakan apa yang terjadi saat ia mengunjungi Ana pada Malati. Malati tak kalah syok saat mendengar tentang Hanum yang tiba-tiba terkena serangan jantung secara mendadak.Wajah Malati terlihat sedih dengan hati yang mencelos. “Mas,” imbuh Malati meraih tangan suaminya lalu meletakkannya pada pipinya. Diciumnya beberapa kali telapak tangannya. Malati kini lebih bebas mengekspresikan rasa cintanya padanya. Sebelumnya ia sangat kaku saat menghadapi Aldino. Namun setelah tahu betapa besar kasih sayang padanya, ia pun akan membalasnya dengan kasih sayang yang melimpah pula.Aldino menatap lembut sikap istrinya. Malati begitu menghormati dirinya sebagai seorang suami. Ia bersyukur akan hal itu.“Mas tak perlu merasa bersalah. Semua terjadi bukan karena Mas.”Malati berusaha menenangkan suaminya yang tampak gusar. Ia bisa menangkap raut gelisah pada diri suaminya. Yang pasti, Aldino tampak merasa sebagai penyebab dari awal mula kejadian itu. Aldino yang telah mengga
Malati merasa gelisah ketika mendapat pertanyaan semacam itu dari suaminya. Aldino menanyakan siapa cinta pertamanya? Yang benar saja!Malati mendesah pelan lalu menjawab dengan pelan.“Masa laluku adalah milikku. Masa lalumu adalah milikmu. Masa depan adalah milik kita bersama.”Malati mengatakan itu dengan spontan. Kata-kata yang secara tidak langsung menyiratkan sebuah makna yang mendalam. Ada sebuah harapan dalam untaian kalimat tersebut selain doa.Aldino mengulum senyum mendengar perkataan istrinya, “mendiang Eyang Habibie mengatakan hal itu. Hum, jawaban diplomatis.”Malati mengangguk lalu berdiri dan mengabaikan ukiran tulisan tangan hasil karyanya yang
Malati merasa heran melihat Aldino yang sejak kemarin sepulang sekolah terlihat ceria. Tak ada raut kekesalan ataupun kemarahan di wajahnya sama sekali. Aneh adalah satu kata yang mewakili perasaan Aldino saat ini.Keesokan harinya, Aldino mengajak Malati jogging menuju alun-alun kota menikmati moment car free day hari itu. Usai menghabiskan waktu berolahraga di sana, mereka pun pulang. Mereka mandi dan akan bersiap-siap untuk sarapan pagi.“Sayang! Sayang!”Aldino memanggil istrinya dengan begitu lembut dan sedikit terdengar hiperbolis. Malati yang mendengarnya hanya mendesah pelan menoleh ke arahnya.“Apa, Mas?”Wanita dengan perut yang membuncit itu berjalan menghampiri suaminya yang sedang menikmati secangkir kopi di balkon lantai dua yang menghadap taman belakang.“Sini!” titahnya sembari menepuk-nepuk kursi rotan di sebelahnya. Malati pun menurut lalu duduk di kursi sebelahnya.Aldino menggeser kursi miliknya agar bisa berhadapan dengan istrinya. Diraihlah ke dua tangan istrinya
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang