Malati termangu sejenak di depan balkon sembari menyeruput susu hangat usai menunaikan sholat subuh. Semalam Ali meneleponnya saat Malati tengah tidur. Karena ia tidak mengangkat teleponnya Ali mengirim pesan padanya yang berisi bahwasanya ajakan makan malam di kediamannya bersama keluarga besar Basalamah. Menurut Ali nanti malam adiknya sudah pulang dari rumah sakit. Oleh karena itu ia ingin mempertemukan langsung Malati dengan adiknya membahas soal kecelakaan itu. Sebagai seorang kakak yang teramat mencintai adiknya, Ali akan menuntut keadilan untuk siapapun yang berusaha mencelakai dan melukai adiknya. Akhirnya dengan alasan itu, Malati mengiyakan. Bagaimanapun, saat ini tengah belajar menjadi seorang detektif profesional di mana ia akan mengerjakan tugasnya secara profesional. Ia tidak akan melibatkan perasaan di dalam menjalankan aksinya. Semoga bisa … Setelah bersiap dengan pakaian casualnya, Malati turun ke lantai bawah, ke ruang makan bergabung dengan Aldino untuk menyanta
Malati pun menghampiri Ana dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. “Hi, saya Ana.” Suara Ana yang lembut dan mendayu-dayu dengan senyum yang memukau makin membuat Malati insecure. Beberapa detik ia berpikir jika Aldino tak mungkin tertarik padanya karena kekasihnya tampak sempurna. “Saya, Putri Melati. Biasa dipanggil Malati.” Ana lebih dulu melepas jabat tangannya. “Kau imut sekali, Malati.” Ana cukup terhenyak melihat sosok Malati yang pernah diceritakan oleh Ali. Sosok anak mahasiswi cerdas dan bekerja sebagai seorang detektif. Ia mengira gadis itu berwajah dingin dan bergaya eksentrik. Ternyata, gadis itu bahkan berpenampilan agamis. Sungguh, di luar ekspektasinya. Sebetulnya, Ana tidak terlalu tertarik dengan rencana kakaknya yang menyewa detektif untuk menyelidiki kecelakaan yang menimpa dirinya dan Aldino. Ia hanya berpikir jika itu kecelakaan murni. Dan, Ali terlalu berlebihan menganggap itu sebuah kecelakaan yang terencana dan terstruktur terhadap mereka. Ali keb
“Okay, coba jelaskan kenapa kau bisa diundang Ali?”Aldino duduk bersandar pada bantal yang ditumpuk di atas ranjang sedangkan Malati duduk di atas ranjang portable miliknya.Kali ini Aldino lebih bisa mengendalikan diri. Entah mengapa setiap melihat wajah Malati yang ditekuk, rasanya hatinya seperti tersentil. Tak ingin membuatnya bersedih hati.Sepanjang jalan Aldino berpikir, jika sikapnya pada Malati berlebihan. Ia mulai mengatur Malati semaunya. Bahkan ia sudah menjilat air ludahnya sendiri dengan melanggar perjanjian kontraknya yakni mengintervensi urusan Malati terlalu jauh. Ia berubah menjadi pria yang egois. “Pak Ali mengundang saya karena dia do-sen saya ya … tapi tenang saja Pak, rahasia kita aman.”Malati tak menemukan jawaban. Ia merasa tak perlu menjelaskan alasan apapun soal undangan makan malam itu. Biarkan Ali atau Ana yang menjelaskan soal posisinya sebagai detektif bayaran.Aldino melenguh pelan. “Ya sudahlah. Emang dia dosenmu. Kau menyukainya?”Aldino merasa pena
Di tempat yang berbeda, Malati kini tengah menyeruput susu hangat di perpustakaan sembari membuka berkas-berkas penting. Ia sudah mengumpulkan beberapa fakta yang ia temukan mengenai kecelakaan yang menimpa Ana dan Aldino setahun silam.Senyum tipis menghias bibirnya.Meskipun barang bukti baru tiga puluh persen namun ia yakin atas hasil observasinya. Ia sudah mengecek kondisi mobil porsche yang dikemudikan Aldino malam itu bersama Ana di tempat penampungan mobil bekas. Tentu saja, ia memiliki akses pada pihak kepolisian melalui Mr Bon.Dari hasil analisisnya, selain mobil itu menabrak pembatas jalan, ternyata mobil itu sempat ditabrak oleh mobil lain. Hanya saja, rekaman CCTV tidak ada. Padahal jika ada rekaman CCTV maka akan mempermudah penyelidikan.Dengan mudah pihak kepolisian akan menemukan siapa pelaku mobil yang menabrak Aldino; menyalip kendaraan itu hingga terpental jauh. Sementara itu Aldino berada di bawah pengaruh alkohol.Anehnya, Malati penasaran. Jika malam itu Aldino
“Yup, begitu! Betul sekali … Angkat dan ayunkan! Serang!” Seorang instruktur Anggar tengah berbicara pada salah satu muridnya dengan semangat yang menggebu-gebu. Ia begitu puas karena memperoleh murid yang cekatan. Muridnya bertubuh minimalis namun mungkin karena itu ia terlihat tangkas dan gesit mengayunkan foil dengan sangat ringan. Padahal ia baru beberapa kali mengikuti latihan. Foil ialah pedang terkecil yang paling ringan digunakan dalam olahraga Anggar dan terbuat dari stainless steel. Murid itu ialah Putri Melati. Akhirnya gadis berwajah minim ekspresi itu menemukan olahraga yang cocok untuk dirinya. Ia sangat bersyukur akan hal itu. Entahlah, Anggar seolah dekat dengan dirinya. Ia menjadi teringat mimpi-mimpi buruk yang dilewatinya. Xie Mei Ling, wanita yang mirip dirinya dalam mimpi itu ahli memainkan Anggar. Entah karena itu, Malati merasa terbawa suasana. Atau mungkin kebetulan ia menemukan olahraga yang sesuai dengan minatnya. Terkadang Malati tak habis pikir. Ia taku
“Mohon maaf Pak Aldino dan Pak Abhizar, mengganggu waktunya.”Sekonyong-konyong Malati maju dan menghadap Abhizar yang tengah beradu mulut dengan AldinoKedatangannya membuat ke dua pria dewasa itu menoleh kaget.Aldino yang kaget karena Malati menghampiri mereka. Sementara itu Abhizar kaget karena gadis itu memgenalnya. Terbukti memanggil namanya.“Pak Aldino, waktu saya tidak banyak. Jadi bagaimana pembicaraan kita? Apa dilanjutkan besok saja? Sepertinya kalian memiliki urusan penting yang tak bisa ditunda.”Lagi, Malati membuat pernyataan yang membingungkan.Aldino tercenung mendengar pernyataan Malati. Aish, Malati tengah bersandiwara. Aldino baru menyadarinya.“Sebentar, saya punya urusan dengan pria ini!” Aldino tak peduli dengan apapun saat ini. Ia hanya ingin memberi pelajaran pada mulut jahanam Abhizar yang sedari tadi menyudutkannya.“Well tunggu, sandiwara kalian sungguh tidak lucu!”Abhizar menatap Aldino dan Malati dengan tatapan remeh. “Kau memang mengenalku hah?” telis
“Surprise!!”Ana berkata dengan riang gembira.Sementara itu Aldino tergugu dan mengerjapkan matanya beberapa kali berusaha menajamkan penglihatannya.Tanpa tedeng aling-aling, Ana langsung menghambur memeluk Aldino dengan begitu intim. Hal tersebut membuat Aldino bereaksi tak nyaman. Entahlah, perasaan Aldino tak nyaman dipeluk oleh Ana-kekasihnya.Aldino mendorong pelan Ana hingga membuat Ana mengernyitkan keningnya.“Kenapa Sayang?” tanya Ana masih merangkul lengan Aldino. “Kau tak senang aku sudah bisa berjalan normal? Aku sehat?”“Hum, bukan begitu Ana. Mas senang. Alhamdulillah kau sudah membaik. Kau mengejutkan Mas saja.”Aldino berkata dengan sedikit tergeragap dan tawa hambar.Aldino melepas tangan Ana begitu saja lalu memilih duduk kembali di sofa.Ana merasa Aldino telah berubah. Ada apa dengan Aldino? Apakah perasaannya saja Aldino bersikap tak sehangat lagi sebelumnya?Mengabaikan itu semua, mungkin Aldino punya masalah di sekolah hingga membuat suasana hatinya buruk.“An
“Apa?”Mira Gumilar panik. Jantungnya berdegup kencang. Keringat sebesar biji kopi muncul di keningnya. Ia berjalan mondar-mandir ke sana kemari dengan menghentak-hentakkan kakinya.“Aduh. Bagaimana? Pasti Pak Aldino marah besar,” sahut Linda tak kalah panik. Ketika panik ia justru bolak balik ke toilet. “Aduh, aku mau pipis, Bu. Bentar ya,”“Tunggu! Bagaimana ini? Pak Aldino sebentar lagi datang. Dia pasti mengamuk pada semua guru.”Mira Gumilar menahan kepergian Linda. Linda tidak boleh pergi meninggalkannya. Mereka harus sama-sama siap menerima kemarahan Aldino. Aldino orang yang disiplin. Ia tidak menyukai guru yang tidak disiplin. Ia akan memberi hukuman pada guru yang tidak disiplin dan lalai dalam mengerjakan tugas dan kewajibannya. Minimal ia akan memarahi guru itu hingga mentalnya jatuh dan lebih parah ia akan memberi hukuman yang tak main-main. Hukuman yang berat semisal meminta guru itu menggantikan tugas penjaga sekolah.Tap, tap, tap,Yuda Tarumanegara menghampiri ke dua
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang