“Surprise!!”Ana berkata dengan riang gembira.Sementara itu Aldino tergugu dan mengerjapkan matanya beberapa kali berusaha menajamkan penglihatannya.Tanpa tedeng aling-aling, Ana langsung menghambur memeluk Aldino dengan begitu intim. Hal tersebut membuat Aldino bereaksi tak nyaman. Entahlah, perasaan Aldino tak nyaman dipeluk oleh Ana-kekasihnya.Aldino mendorong pelan Ana hingga membuat Ana mengernyitkan keningnya.“Kenapa Sayang?” tanya Ana masih merangkul lengan Aldino. “Kau tak senang aku sudah bisa berjalan normal? Aku sehat?”“Hum, bukan begitu Ana. Mas senang. Alhamdulillah kau sudah membaik. Kau mengejutkan Mas saja.”Aldino berkata dengan sedikit tergeragap dan tawa hambar.Aldino melepas tangan Ana begitu saja lalu memilih duduk kembali di sofa.Ana merasa Aldino telah berubah. Ada apa dengan Aldino? Apakah perasaannya saja Aldino bersikap tak sehangat lagi sebelumnya?Mengabaikan itu semua, mungkin Aldino punya masalah di sekolah hingga membuat suasana hatinya buruk.“An
“Apa?”Mira Gumilar panik. Jantungnya berdegup kencang. Keringat sebesar biji kopi muncul di keningnya. Ia berjalan mondar-mandir ke sana kemari dengan menghentak-hentakkan kakinya.“Aduh. Bagaimana? Pasti Pak Aldino marah besar,” sahut Linda tak kalah panik. Ketika panik ia justru bolak balik ke toilet. “Aduh, aku mau pipis, Bu. Bentar ya,”“Tunggu! Bagaimana ini? Pak Aldino sebentar lagi datang. Dia pasti mengamuk pada semua guru.”Mira Gumilar menahan kepergian Linda. Linda tidak boleh pergi meninggalkannya. Mereka harus sama-sama siap menerima kemarahan Aldino. Aldino orang yang disiplin. Ia tidak menyukai guru yang tidak disiplin. Ia akan memberi hukuman pada guru yang tidak disiplin dan lalai dalam mengerjakan tugas dan kewajibannya. Minimal ia akan memarahi guru itu hingga mentalnya jatuh dan lebih parah ia akan memberi hukuman yang tak main-main. Hukuman yang berat semisal meminta guru itu menggantikan tugas penjaga sekolah.Tap, tap, tap,Yuda Tarumanegara menghampiri ke dua
Di sebuah rumah mewah yang mengusung arsitektur timur tengah, terjadi perdebatan kecil di antara ibu dan putrinya.“Sekarang jadwal kau check up ke dokter, Sayang! Tolong! Kau harus berobat demi kebaikanmu. Mama ingin kau pulih lagi.”Hanum mengingatkan putrinya untuk tetap menjalani pengobatan. “Mama, aku sudah sembuh. Sudah deh Mama jangan berlebihan! Sekarang aku mau jalan-jalan ke mall. Sudah lama Mama aku kepengen jalan-jalan. Aku bosan di rumah terus. Mas Aldino juga sekarang sibuk. Dia sudah tak punya waktu lagi untukku,” cerocos Ana. “Aku ingin mencari outfit buat nanti Photoshoot!”“Ana, Mama sekarang tak bisa ikut menemanimu. Ali juga sedang mengajar. Mama gak mau kau bepergian sendiri,” peringat Hanum tak menyerah.“Ya ampun, Mama! Serius, aku sudah sehat. Aku bisa bepergian sendiri!”Ana menatap kesal ibunya. Mengabaikan nasehat ibunya, ia menyampirkan tas selempangnya dan bersiap-siap pergi.“Ya udah, Mama suruh supir mengantarmu.”“Ckck!” Ana memutar ke dua bola matany
Malati terlonjak kaget saat Aldino yang terbaring di pangkuannya tiba-tiba mengecup bibirnya. Ia diam dan tak menolak, sial.Malati merasa Aldino tengah menyampaikan perasaannya lewat kecupan lembut itu. Namun ia sukar untuk mengungkapkannya.Malati menggeleng dengan perasaan bersalah. “Bapak, ini keliru!”Malati tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia seolah terhipnotis oleh apa yang Aldino lakukan padanya. Sikapnya yang lembut dan manis.Alih-alih mendengar perkataan Malati, Aldino yang sudah bangun dari pangkuannya menangkup wajahnya dengan lembut lalu kembali menikmati ranum bibir itu yang begitu menggoda sejak tadi.‘Bagaimana ini? Aku tak kuasa menolak. Aku juga jatuh cinta padanya,’ batin Malati mencoba untuk menyadarkan dirinya. Tiba-tiba saja air matanya menggenang di pelupuk matanya. Lalu menetes. Ia merasa terharu karena dicintai. Ciumannya bukan ciuman hasrat namun ciuman penuh kasih sayang.Aldino menatap Malati dengan tatapan sayu. Namun ia tersentak melihat manik mata di
“Halo, cantik!” sapa Abhizar pada Ana yang baru saja keluar dari kantor model agency.Ana tersentak atas kedatangan Abhizar. Apa yang akan sepupunya lakukan saat ini? Dia makin gencar mendekatinya. Ana mulai merasa muak dan kesal. Pun, kekesalannya bertambah karena Aldino sudah tidak memiliki waktu untuknya.Ana menghela nafas panjang sebelum merespon sepupunya. “Aku bawa mobil sendiri, sekarang!”“‘I don’t care. I really miss you, Cantik!”Abhizar sama sekali tidak peduli apa yang ia lakukan. Ana memutar ke dua bola matanya jengah. “Abhizar, kau harus bangun! Bangun dari tidur panjangmu! Kau mabok? Aku ini pantas jadi kakakmu! Sadar diri Abhi! Kemarin kita baru bertemu dan sekarang kau bilang rindu? Gilakk! Orang yang pacarannya saja tidak selebay itu!”Ana mulai berani melawan Abhizar. Lama kelamaan Abhizar memanfaatkan kediamannya selama ini.“Ayolah! Kau berhutang budi padaku. Kemarin aku mentraktirmu shopping apapun yang kaumau. Sekarang giliranmu, menemaniku makan siang.”Ana t
“Ada apa Mas?” tanya Mbok Darmi saat melihat raut wajah majikannya yang panik. Aldino terlihat tengah mengatur nafas. Ia merasa cemas karena Malati belum pulang sedangkan Ana mengalami kecelakaan. Apa yang harus ia lakukan? Aldino pun memutuskan untuk menjenguk Ana terlebih dahulu lalu akan mencari Malati. Alih-alih menjawab pertanyaan Mbok Darmi, Aldino berkata lain. “Mbok, saya mau keluar sebentar. Kalau Mbak Malati pulang kabari ya!” Aldino buru-buru melajukan kendaraan beroda duanya agar segera bisa tiba di rumah sakit. Dalam kurun waktu setengah jam, Aldino mengendarai kuda besi seperti orang tidak waras demi melihat Ana. Kendati perasaannya sudah mulai berubah padanya, ia tetap mengkhawatirkannya. Sampai detik itu Aldino merasa bersalah atas kecelakaan yang menimpa Ana. Mendengar Ana kembali mengalami kecelakaan, ia khawatir jika Ana akan mengalami trauma dan jiwanya semakin terguncang. “Al! Maaf Ana meneleponmu ya?” Saat tiba di depan ruangan instalasi gawat darurat,
“Makasih tawaran Pak Ali dan Pak Aldino! Saya akan naik taxi saja pulang ke rumah.”Malati akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti ke duanya.Malati berencana pulang sendiri dengan taxi. Ia tidak menerima tawaran ke dua pria tampan itu. Jika demikian, ke dua pria tadi tidak bisa memaksa Malati.Seorang perawat membawa kursi roda, ia akan membantu Malati menaiki taxi. Sementara itu Ali sibuk dengan adiknya sedangkan Aldino tidak langsung menyusulnya sebab Hanum mengajaknya mengobrol. Padahal Aldino sudah berpamitan padanya. Wanita itu terus menahannya.“Mama, maaf sudah larut malam. Saya harus segera pulang. Assalamu’alaikum!” pamit Aldino memaksakan diri. Pikirannya kalut. Ia tak bisa berpikir jernih melihat Malati sakit. Lalu Aldino menoleh ke arah Ana. “Saya pulang,”Ana hanya mencebik melihat sikap Aldino yang dingin padanya.“Mama, tuh lihat Mas Aldino sekarang! Sudah berubah ‘kan!” keluh Ana yang mengira jika Aldino akan menemaninya seperti biasa saat ia sakit. Nyatanya, Aldino
Di depan cermin kamar mandi, Malati mendengus kesal. Ada luka di sekujur tubuhnya. Mulai wajah yang lebam karena kena pukul Abhizar yang sedang mabuk. Lalu turun ke tangannya yang lebam hingga berwarna keunguan. Belum bekas kaca pada telapak tangannya yang sudah mengering.Tatapannya turun menuju pahanya lalu ke arah betisnya yang baru saja dijahit. Pun, kakinya sempat terkilir. Luka-luka itu mengingatkan Malati pada luka yang diperoleh atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tantenya.“Aduh, aku belum bisa mandi normal sekarang,” keluhnya seraya melenguh pelan. Ia hanya mengelap bagian atas tubuhnya. Setelah itu ia keluar dari kamar mandi setelah memakai pakaian lengkap. Malati ijin tidak masuk kuliah hari itu karena masih merasa sakit di bagian betisnya.Setelah itu, ia pun menelepon Risa.[Assalamualaikum!][Waalaikumsalam, hei, kemana kau tidak masuk?][Ris, maaf hari ini aku tidak masuk kuliah. Kemarin aku jatuh dari motor. Motormu sekarang di bengkel. Maaf ya … nanti aku s
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang