Makasih ya supportnya Ramaikan komennya Kalau di sini Salwa sudah merit sama si Mister ...
“Makasih tawaran Pak Ali dan Pak Aldino! Saya akan naik taxi saja pulang ke rumah.”Malati akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti ke duanya.Malati berencana pulang sendiri dengan taxi. Ia tidak menerima tawaran ke dua pria tampan itu. Jika demikian, ke dua pria tadi tidak bisa memaksa Malati.Seorang perawat membawa kursi roda, ia akan membantu Malati menaiki taxi. Sementara itu Ali sibuk dengan adiknya sedangkan Aldino tidak langsung menyusulnya sebab Hanum mengajaknya mengobrol. Padahal Aldino sudah berpamitan padanya. Wanita itu terus menahannya.“Mama, maaf sudah larut malam. Saya harus segera pulang. Assalamu’alaikum!” pamit Aldino memaksakan diri. Pikirannya kalut. Ia tak bisa berpikir jernih melihat Malati sakit. Lalu Aldino menoleh ke arah Ana. “Saya pulang,”Ana hanya mencebik melihat sikap Aldino yang dingin padanya.“Mama, tuh lihat Mas Aldino sekarang! Sudah berubah ‘kan!” keluh Ana yang mengira jika Aldino akan menemaninya seperti biasa saat ia sakit. Nyatanya, Aldino
Di depan cermin kamar mandi, Malati mendengus kesal. Ada luka di sekujur tubuhnya. Mulai wajah yang lebam karena kena pukul Abhizar yang sedang mabuk. Lalu turun ke tangannya yang lebam hingga berwarna keunguan. Belum bekas kaca pada telapak tangannya yang sudah mengering.Tatapannya turun menuju pahanya lalu ke arah betisnya yang baru saja dijahit. Pun, kakinya sempat terkilir. Luka-luka itu mengingatkan Malati pada luka yang diperoleh atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tantenya.“Aduh, aku belum bisa mandi normal sekarang,” keluhnya seraya melenguh pelan. Ia hanya mengelap bagian atas tubuhnya. Setelah itu ia keluar dari kamar mandi setelah memakai pakaian lengkap. Malati ijin tidak masuk kuliah hari itu karena masih merasa sakit di bagian betisnya.Setelah itu, ia pun menelepon Risa.[Assalamualaikum!][Waalaikumsalam, hei, kemana kau tidak masuk?][Ris, maaf hari ini aku tidak masuk kuliah. Kemarin aku jatuh dari motor. Motormu sekarang di bengkel. Maaf ya … nanti aku s
Malati mulai bosan tinggal di rumah seharian. Ia ingin cepat sembuh dan kembali beraktifitas. Ada banyak PR yang harus ia kerjakan. Tugas kuliah yang menumpuk, mencari bukti tentang kejahatan Abhizar dan mencari tahu sosok pembunuh ibunya.Aldino mendadak lebih protektif padanya. Ia hanya mengijinkan Malati istirahat di kamar, tidak boleh berjalan jauh dulu karena lukanya masih basah. Agar Malati diam, Aldino menyiapkan beberapa buku di kamar agar gadis itu bisa membacanya. Pun, ia menyiapkan beraneka macam camilan.Hingga akhirnya ia tertidur di kursi karena suasana sangat mendukung. Hujan lebat di luar rumah dan udara dingin. Gadis itu menjatuhkan bukunya begitu saja ke lantai saking mengantuk berat. Aldino yang sedari tadi berada di ruang kerjanya menyudahi pekerjaannya sebab ia ingin melihat kondisi istri kecilnya yang ditahan di kamar.Senyum terbit di wajahnya saat ia melihat betapa menggemaskannya istri kecilnya itu. Malati tertidur dengan kepala terkulai pada meja belajar. T
Hujan telah reda, menyisakan aroma petrichor yang membangkitkan kenangan indah. Sembari menyeruput bandrek hangat, Aldino menikmati bunga anggrek yang tengah mekar di teras rumah. Tak pernah ia merasa begitu tenang seperti saat itu sebelumnya. Ternyata tidur bersama orang yang kau sayangi, kau merasa nyaman. Tubuh mengeluarkan hormon endorfin. Malati tidak sadar, mereka tidur bersama dan berpelukan cukup lama siang itu. Bertambah syahdu dengan suhu udara yang dingin akibat hujan menyapa. Untungnya, Aldino bangun lebih dulu. Jika Malati yang bangun lebih dulu, alamak sedikit beradu mulut perkara siapa yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. “Sudah bangun?” tanya Aldino saat melihat Malati dalam kondisi setengah mengantuk, menguyek matanya dan berjalan menuju teras. Ia seperti tengah melantur. “Mbok, sudah siang? Aduh, kenapa gak ada yang bangunin aku?” Alih-alih menjawab pertanyaan Aldino, Malati berbicara pada Mbok Darmi yang baru saja keluar sembari membawa goreng pisang untu
Tubuh Ana nyaris oleng jika Guntur tak buru-buru menangkapnya.“Mbak Ana, kau tidak apa-apa?” tanya Guntur dengan perasaan cemas.Air mata gadis berhidung bangir itu sudah menganak sungai. Pundaknya berguncang.Perasaan Guntur makin kalang kabut. Ia benar-benar tidak tahu persoalan apa yang menimpa majikannya. Ia terbilang pengawal baru karena baru beberapa bulan bekerja di kediaman Sulaiman Basalamah.“Mas Aldino, Gun! Mas Aldino …” imbuh Ana tak bisa menguasai dirinya. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Cara Aldino menatap dan berbicara pada gadis itu terlihat penuh sayang.Ana yang memang masih belum pulih kondisi fisik dan psikisnya pasca koma membuatnya mudah terguncang.Itulah alasan mengapa Aldino belum berbicara dengannya soal hubungan mereka sebab kondisi Ana belum memungkinkan menerima kabar itu.Naasnya, di luar dugaan, Ana sudah keburu tahu pernikahan Aldino dan Malati.‘Sejak kapan mereka menikah? Apa mungkin mereka menjalani pernikahan kontrak? Tapi mengapa cara
Malati syok belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.Tak hanya itu, kembali Ana menamparnya untuk ke dua kalinya.Barulah Malati menyadari sesuatu.“Mbak!! Apa yang kau lakukan?” imbuh Malati dengan meringis pelan memegangi pipinya yang terasa sangat kebas. Bekas tamparannya langsung membekas di pipinya.Tanpa tedeng aling-aling, Ana mencengkeram dagu gadis itu dan menatapnya dengan tatapan menghunus. Perbedaan tubuh Malati dan Ana yang berbeda membuat Malati tak berdaya. Postur tubuh Ana mencapai 170 cm.“Katakan! Berapa Aldino membayarmu?” tanya Ana dengan wajah penuh emosi.Mendengar pertanyaan itu, jantung Malati berdegup kencang dengan segala pikiran rumit yang berkecamuk di kepalanya.‘Apakah Mbak Ana sudah mengetahui pernikahanku dengan Pak Aldino? Siapa yang membocorkannya? Tidak, jangan sampai itu terjadi, Pak Aldino akan marah besar padaku.’ Malati bermonolog dalam batinnya.“Jangan pura-pura bego, jalang kecil! Jilbab ini hanyalah sekedar topeng,” seru Ana dengan se
“Apa? Kau tak becus sama sekali! Kau hanya tinggal membuka password laptopnya! Atau kau membongkarnya, mengambil hardisknya? Mengambil laptop itu kalau perlu? Masa kau tak bisa? Kau tak melakukan apapun?” salak Ana pada salah satu orang suruhannya. Sepulang dari kafe, Ana langsung memanggil orang itu, untuk membicarakan soal keberhasilan tugasnya. Pria itu gemetar saat melihat majikannya. Tak pernah menyangka wanita cantik nan lembut di depannya bisa menjadi impulsif dan frontal. Ia sangat terkejut. Ana meminta seseorang untuk mengambil file video dirinya dengan Abhizar atau menghapusnya. Namun jauh panggang dari api, orang itu tak mampu mewujudkan keinginan Ana karena sistem keamanan di kantor Abhizar sangatlah baik. Jangankan membuka laptopnya, memasuki ruangannya saja tidak bisa. “Maaf, Nona Ana. Keamanan kantor Pak Abhi ketat. Soalnya sebelumnya pernah terjadi perampokan dan dilakukan oleh orang dalam yang bekerja sama dengan perampok tersebut. Oleh karena itu sistem keamananny
“Tidak ada yang menamparku, Pak. Aku alergi dingin jadi terkadang kulitku merah-merah dan gatal,” jawab Malati dengan tenang. “Bapak, makasih sudah menolongku.” Malati hanya mengucapkan terima kasih dengan wajah minim ekspresi. Namun Aldino tak lantas percaya pada perkataan gadis itu. Malati sering menyembunyikan sesuatu darinya. Tak ingin melihat Malati merasa terintimidasi, Aldino memberi waktu bagi gadis itu istirahat. Ia akan mencari tahunya sendiri. Sudah saatnya ia mencari tahu siapa sebenarnya istrinya itu. Namun sebelum itu, Aldino meminta ijin Malati untuk memijat kakinya yang kram. “Saya mau pijat kakimu boleh? Pelan-pelan untuk menghilangkan kram. Saya hanya mengompres dengan air hangat.” Malati mengangguk. Tak lama kemudian Aldino memijat kakinya yang kram hingga kondisi kaki Malati membaik. Aldino membiarkan istri kecilnya istirahat di kamar. Tak terasa malam beranjak, saat Malati duduk menikmati udara yang dingin di balkon, Aldino tiba-tiba teringat Ana. Perasaa
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang