Belum sempat Alice meralat keputusan, sang suami sudah lebih dulu merapat. Tak tahu lagi harus berbuat apa, ia akhirnya memejamkan mata. Tangannya terkepal erat di depan dada, bersiap menghadapi letupan besar dalam jantungnya.Namun, ketika bibir Edmund tiba, ketegangan luntur. Kehangatan perlahan bercampur dengan rasa bingung. Saat ia membuka mata, Edmund menyambutnya dengan senyum."Kenapa kau mengecup keningku?" Alice berbisik."Itu yang selalu kulakukan setiap kali kau tidak bisa tidur. Apakah cukup?"Alice berkedip-kedip dalam diam. Mulutnya yang membuka kesulitan memilih kata. "Kau bilang mau mencicipiku?"Sebelah sudut bibir Edmund terangkat lebih tinggi. "Ya, aku bilang mau mencicipimu, bukan memakanmu. Kau mengharapkan sesuatu yang lebih?"Napas Alice kembali tertahan. Kakinya merapat. "Tidak. Tadinya kupikir kau mau melewati batas.""Bukankah ini melewati batas?" Edmund mengulang kecupan, tetapi di pipi. "Bukankah aturannya aku harus menjaga jarak darimu? Lihat jarak kita se
"Apakah itu Sky? Kenapa dia mengetuk begitu kencang?" gumam Alice heran. Tanpa berpikir panjang, ia pergi membuka pintu. "Ada apa, Sa—" Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimat. Otaknya sudah lebih dulu dikuasai oleh keterkejutan. Ia seketika lupa dengan apa yang sudah ia latih bersama Sky kemarin. "Mama?" Mata Elizabeth nyaris terlepas dari rongganya. Ia sudah cukup terkejut mendapati keberadaan sang menantu. Ia sempat berpikir kalau Alice adalah hantu. Namun, Alice baru saja memanggilnya. Menyadari bahwa sosok di hadapannya itu nyata, wajahnya memucat. "K-kau ... sungguh masih hidup?" Alice berusaha melukiskan senyum. "Senang dapat berjumpa lagi dengan Mama. Bagaimana kabarmu?" Alih-alih menjawab, Elizabeth malah mendesah tak percaya. Lututnya goyah. Badannya mendadak lemah. Melihat ibu mertuanya berpegangan pada pintu, Alice cepat-cepat membantu. "Ada apa, Ma? Apakah Mama sedang kurang sehat?" Dada Elizabeth semakin sesak melihat sang menantu menyentuhnya. Tanpa berpikir pan
Tiba-tiba, Sky melangkah maju. Elizabeth hendak bergerak mundur. Namun, kakinya terlalu kaku. "Sebagai hadiah perkenalan, aku punya sesuatu untuk Nenek. Tada!" Sky memperlihatkan sebuah bros kuning di atas kedua telapak tangannya. Tidak ada daun di situ. Hanya stiker bintang yang lebih besar. "Aku membuat ini sendiri. Tadinya aku mau memakai pita hijau karena itu warna kesukaanku," terang Sky, tidak peduli dengan raut aneh Elizabeth. "Tapi, Paman Ed bilang, kau suka emas. Jadi akhirnya, aku menggunakan pita kuning karena warnanya mirip emas. Lalu aku menggunakan stiker bintang yang paling besar karena ini adalah bros yang paling spesial." Elizabeth mengerjap. Sebelumnya, ia memang sempat takut melihat kehadiran Sky. Namun, kupingnya baru saja menangkap kelemahan. "Tunggu," sela Elizabeth saat Sky sedang menarik napas. "Kau memanggil Edmund apa barusan?" Sky berkedip-kedip lugu. Ketegangan telah kembali merambat dalam tubuhnya. Ia ingat tentang sifat sang nenek yang galak, dan ju
Melihat wajah yang asing Giselle, dahi Alice berkerut. Ia sama sekali tidak ingat siapa wanita itu. Edmund tidak pernah mengungkit tentangnya. Sementara itu, mata Giselle telah berkaca-kaca. Ia menatap Alice dengan beragam emosi yang didominasi oleh kerinduan. "Alice? Itu sungguh dirimu? Kau masih hidup!" Kebingungan Alice semakin pekat. Mengapa wanita itu terlihat seolah menantikan dirinya? Kalau memang mereka akrab, mengapa Edmund tidak menunjukkan fotonya? Tiba-tiba, Giselle berlari ke arahnya. Mulutnya sesekali meloloskan desah tawa. Namun, ketika tangannya terentang hendak memberi pelukan, Edmund menghadang. "Kau sudah lupa bahwa aku melarangmu untuk datang ke sini?" tanyanya dengan nada dingin. Alice terbelalak mendengar suara sang suami. Edmund seperti menyimpan dendam dan kebencian yang teramat besar terhadap Giselle. Sambil bertanya-tanya, ia pun mencondongkan kepala ke samping, mengintip si wanita asing dari balik pundak Edmund. Giselle ternyata juga membulatkan mata.
"Karena itu, Mama tidak boleh sedih lagi." Sky mengelus wajah Alice dengan lembut. "Paman Ed dan Mama sudah kembali bersama. Tidak usah Mama khawatir perempuan jahat itu. Kalau dia datang lagi, aku akan melemparinya dengan batu." Mendengar suara mantap sang putri, Alice menggeleng sigap. "Tidak, Sayang. Kamu tidak boleh melakukannya. Kalau batu itu mengenai kepalanya bagaimana? Kamu bisa masuk penjara." Tiba-tiba, Sky terkekeh geli. "Tenang, Mama. Aku tidak mungkin sejahat itu. Aku ini anak baik. Paling-paling, aku akan memarahinya dan mengusirnya seperti Paman Ed tadi." Alice tersenyum kecut menyadari bahwa dirinya telah tertipu oleh sandiwara Sky. Namun, berkat keisengan putrinya itu, sakit di kepalanya banyak berkurang. Edmund juga gemas pada Sky. Akan tetapi, ada hal yang lebih penting untuk dibahas selain itu."Sky, bisakah kau menolong Mama?" Edmund mengusap pundak sang putri. "Tolong ambilkan minum dari dispenser di sebelah situ. Tekan tombol yang biru dan berhati-hatilah. J
Begitu memasuki ruang di balik penyekat resepsionis, Sky langsung tercengang. Matanya berbinar menatap tanaman buatan yang ditata seperti hutan hujan. "Apakah Paman Ed yang mendesain tempat ini?" Edmund menggeleng. "Ini desain yang diminta oleh ibumu." Mulut Sky membulat. "Mama juga suka nuansa hutan? Sama sepertiku?" "Ya. Kamu memang sangat mirip dengan ibumu. Karena itu, aku bisa dengan mudah mengenalimu saat pertama kali kita bertemu." Tawa Sky pun bergema. Ia maju beberapa langkah lalu menoleh ke sisi lain. Dengan merenggangnya pepohonan, ia bisa melihat ruangan dihias dengan berbagai macam tema. Semakin jauh, semakin sedikit warna hijau yang tampak. "Oh, aku tahu. Ini adalah peta bioma! Hutan hujan menandakan wilayah yang panas dan basah. Semakin ke kiri, wilayahnya semakin kering. Karena itu, di pojok sana ada gurun pasir. Lalu semakin ke ujung, wilayahnya akan semakin dingin. Karena itu, ada padang rumput, taiga, dan tundra di sebelah sana!" terang Sky dengan penuh semang
Sementara kebanyakan pegawai berbisik-bisik membicarakan kemesraan Alice dan Edmund, salah seorang wanita melangkah maju. Ia menekuk lutut di hadapan Sky, tersenyum manis. "Halo, Nona Hills. Senang bisa bertemu langsung denganmu. Sejak mendengar cerita dari Tuan Young, aku sudah tidak sabar ingin berjumpa." Wanita itu menyodorkan salam. "Perkenalkan, aku Carol White." Senyum Carol begitu ramah. Gerak-geriknya bersahabat. Akan tetapi, Sky malah mengernyitkan dahi. Tangannya yang terkepal melekat di sisi celana. "Carol, aku juga senang berkenalan denganmu. Tapi," bibir Sky mulai mencebik, "apa yang kau kenakan itu? Apakah itu terbuat dari bulu hewan?" Mata Carol melebar dan berbinar. Ia mengira rencananya berhasil. Ia memang sengaja menyiapkan pakaian terbaiknya untuk memenangkan hati istri dan anak sang presdir. "Jaket ini maksudmu?" Ia menyentuh bulu-bulu cokelat di sepanjang kerah jaketnya. "Matamu jeli sekali, Nona Hills. Ya, ini terbuat dari—" Tiba-tiba, tangis Sky pecah. Ed
Hati Alice berdebar saat ia melangkah keluar dari kamar mandi. Tangannya terkepal erat, kepalanya tertunduk dalam. Sejak tadi, ia tidak bisa berhenti menerka bagaimana reaksi Edmund saat melihat kostumnya. Namun, begitu mendapati Edmund sudah berbaring dengan mata terpejam, kegugupannya memudar. "Apa ini? Dia sudah tidur?" Alice pun mendekat. Ia perhatikan wajah sang suami dari jarak beberapa senti. Bola mata di balik pelupuk lebar itu sama sekali tidak bergerak. "Dia benar-benar sudah tidur?" batin Alice tak percaya. Tanpa sadar, alisnya berkerut dan sudut bibirnya turun. "Apakah aku terlalu lama di kamar mandi? Atau dia terlalu lelah hari ini?" Alice tertunduk memperhatikan diri sendiri. Selang satu kedipan, ia berdecak. "Sia-sia aku mengenakan pakaian ini. Edmund tidak bisa melihatnya." Sambil membendung kekecewaan, Alice pun naik ke atas kasur. Tak ingin Edmund tiba-tiba terbangun dan mendapati kekesalannya, ia berbaring miring membelakangi sang pria. "Dia bilang dia juga