Tatapan pria itu terlalu intens membuat Iris salah tingkah dan mengalihkan pandangannya. Dia menggelengkan kepalanya saat pengaruh alkohol mulai menghampiri kepalanya. “Uhm ... tentang perceraian, aku berpikir untuk menunda pengajuan perceraian. Setidaknya demi Dimitri.” Bibir Aiden berhenti menyesap gelas winenya dan menatap Iris. “Apa yang membuatmu berubah pikiran?” Iris menunduk menatap jari-jarinya di gelas wine yang kosong. “Aku melihat caramu mendidik Dimitri hari ini dan aku menyadari diriku lalai sebagai seorang ibu. Aku hanya tahu memanjakan putraku dan sikap protektifku hanya memperburuk pertumbuhan Dimitri kelak di masa depan.” Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya dengan pelan. “Aku ... aku membutuhkanmu.” Aiden tidak mengucapkan sepatah kata pun selama beberapa saat membuat Iris gelisah. “Bukankah kamu yang tidak ingin bercerai? Aku memberimu kesempatan—“ Iris segera menutup mulutnya. Itu terdengar seperti dia terlalu percaya diri Aiden mencintainya.
Iris tidak bisa tidur meski merasa pegal dan sakit di sekujur tubuhnya. Dia berguling-guling di tempat tidur untuk menenangkan detak jantungnya yang berdebar. Setelah beberapa saat jantungnya mulai tenang Iris bangun dari tempat tidur. Dia menggerutu merasakan sakit di pinggang dan pangkal pahanya. Dia duduk di tepi ranjang menunggu sampai rasa sakitnya menghilang, kemudian mengambil gaun dan celana dalamnya yang berserakan di lantai. Iris mengenakan pakaiannya. Dia mencium tubuhnya sendiri dan tersipu menyadarinya dirinya berbau keringat sex dan alkohol. Kepalanya masih sakit dan sisa-sisa alkohol masih ada di tubuhnya. Iris bersumpah tidak akan menyentuh alkohol lagi di masa depan. Dia sangat ingin mandi dan menghilangkan sakit kepalanya. Iris meninggalkan kamar Aiden dan mengintip keluar, dia malu jika ada yang melihatnya keluar dari kamar Aiden yang berbau keringat sex. Masih ada Kelly yang juga tinggal bersamanya dan Dimitri. Iris tidak ingin digoda dengan putranya yang meminta
“Tidak apa-apa, ini juga salah putraku karena sudah mencakar muka putrimu Nyonya ... uhm ....” Iris terlihat bingung ingin memanggil nama wanita itu. “Ah, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Megan, nama keluarga suamiku Fuller,” ujar Megan memperkenalkan dirinya. “Ah, baik, Nyonya Fuller. Aku Iris Wallington, dan anakku Dimitri,” balas Iris tersenyum dan menunjukkan putranya duduk diam di sebelahnya. “Kami datang untuk meminta maaf atas perbuatan putraku. Maaf kami baru datang, karena ada banyak kesibukkan dan anakku baru sembuh dari lukanya.” Megan melirik Dimitri, dia sudah tidak mengenakan penyanggah lengan atau pun perban di kepala kecilnya. Meski anak itu sudah melukai putrinya, dia tidak bisa menunjukkan ketidaksukaannya di depan orang tuanya. “Hahaha, insiden itu sudah lama, baik aku dan suamiku sudah melupakannya. Putri kami juga baik-baik saja hanya mengalami trauma kulit,” ujarnya memaksakan tawa yang terdengar canggung. “Meskipun begitu, Dimitri belum meminta maaf pad
Meskipun Iris berkata seperti itu, dia tidak benar-benar yakin akan memasukan Dimitri ke sekolah di York City. Dia belum yakin akan menetap di York City dan hubungannya dengan Aiden belum terlalu jelas. Aiden meliriknya dengan ekspresi tenang menyimak percakapan antara Iris dan Megan sampai akhirnya mereka meninggalkan kediaman Fuller. Di dalam mobil, Aiden mengemudi dalam perjalanan pulang menuju vila. Dimitri tertidur di kursi belakang dengan kursi khusus untuk anak. “Kamu akan memasukan Dimitri ke sekolah di York City?” tanya Aiden tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan di depannya. "Aku belum memutuskannya. Daftar rumah tangga dan Kartu keluargaku dan Dimitri berada di Negara S. Jika aku menetap di sini, aku harus membuat daftar rumah tangga lagi.” Aiden meliriknya sesaat sebelum mengalihkan pandangannya lagi ke depan. “Kamu masih istriku dan Dimitri adalah putraku, yang berarti namamu masih dalam daftar rumah tangga kita. Kita hanya perlu memasukkan Dimitri sebagai putra
“Bagaimana ibu bisa mengabarimu sementara kamu tidak pernah membalas panggilan ibu selama sebulan ini,” balas Lilian dingin. “Ah, maaf aku cukup sibuk dan tidak sempat—“ “Sibuk membangun hubungan dengan mantan suamimu?” potong Lilian. “Aku memintamu mengurus bisnis di York City, bukan menjalin kembali hubungan dengan mantan suamimu. Aku dengar juga kamu sudah absen dari pekerjaan selama satu bulan lebih. Apa kamu pikir sedang liburan luar negeri?!” “Bukan seperti itu, Bu, hanya saja Dimitri terluka dan aku harus merawatnya.” “Jangan menggunakan Dimitri untuk alasan kemalasanmu.” “Dimitri terluka karena kecelakaan dan aku—“ “Mengapa ibu tidak mendapat kabar Dimitri mengalami kecelakaan?” Lilian tidak memberi Iris kesempatan untuk menjelaskan dirinya dan mengkritiknya di depan semua orang. Iris terdiam, tubuhnya tampak tegang. Keheningan jatuh di ruang tamu. Kelly tidak berani bersuara, sementara Aiden memandang interaksi Iris dan Lilian dengan pandangan bertanya-tanya. Tampakn
“Ibu, Aiden bekerja sangat keras—“ “Iris, apa kamu ingat kehidupan yang kamu jalani di keluarga Ridley?” potong Lilian menyilangkan tangannya di depan dada, menatap tajam pada putrinya. “Itu ....” Iris tidak bisa menjawab pertanyaan Lilian. Aiden menggengam tangan Iris. Iris menoleh menatap pria di sebelahnya, tapi Aiden menatap lurus pada wanita di depannya. “Aku dapat menyakinkan Anda, Nyonya, aku tidak akan membiarkan Iris menderita lagi di keluarga Ridley,” kata Aiden menyakinkan Lilian. Ekspresi Lilian tetap tidak berubah. Dia mencibir membalas ucapan Aiden, “Kata-kata memang sangat meyakinkan. Tapi, tidak bisa membuktikan apa pun. Janji pun bahkan bisa dilanggar.” “Aku selalu memegang janjiku—“ Lilian memotong dengan tawa meremehkan. “Banyak anak muda sepertimu yang berkata seperti itu. Aku sudah melewati paruh usiaku mendengar omong kosong itu. Putriku masih muda, dia tentu dengan mudah termakan rayuan kosongmu.“ Dia menatap putrinya meremehkan sebelum melanjutkan kalim
“Aku tahu aku dan Dimitri berutang padamu. Tapi, apa di matamu kami adalah tunawisma yang membutuhkan uang darimu? Pernahkah kamu memperlakukan aku benar-benar sebagai putrimu? Kamu tidak pernah memiliki perasaan apa pun padaku?” mata Iris berkaca-kaca dengan semua keluhan yang dipendamnya. “Kamu melahirkanku, kemudian membuangku dan ayahku. Dan kamu memungutku seperti tunawisma dan menjadikan aku bonekamu demi keluarga Wallington. Kamu menggunakan masa depan Dimitri untuk membuatku tunduk. Apa hatimu tidak ada sedikit pun kasih sayang?” Lilian tidak membalas. Dia membuang muka tidak menjawab Iris. Aiden tidak mengatakan apa pun untuk menyela, membiarkan Iris menumpahkan keluhannya. Dia juga merasa Lilian terlalu berhati dingin sebagai seorang ibu. Iris menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sebelum memandang Lilian dengan pandangan tenang. “Ibu, aku tidak mengharapkan apa pun darimu sejak aku mengenalmu. Tapi, tolong biarkan aku menjalani hidupku. Aku tidak bilang ak
“Dan kamu,” Lilian memandang Iris tajam. “Kamu sudah memutuskan untuk bersama pria itu, kamu akan menyesal lagi seperti enam tahun yang lalu.” Iris menegang dan melirik Aiden. Aiden tidak ingin Iris goyah. “Nyonya,” Sebelum Aiden menyelesaikan kalimatnya, Iris memotong kata-katanya.“Baiklah.” Aiden menoleh menatapnya, “Iris.” Namun, Iris tak menghiraukannya dan memandang Lilian penuh tekad. “Aku akan membuktikan padamu, Bu. Aku ....” Iris menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak akan menyesal dengan keputusanku ini.” Dia akan bertahan. Dia sudah membuat keputusan bukan karena hatinya pada Aiden, tapi Dimitri dan tidak ingin Lilian memperlakukannya seperti boneka lagi. Meski Aiden mungkin akan mengecewakannya lagi, dia akan menahannya demi Dimitri. Sudut bibir Lilian terangkat menatap Iris, mendengar ucapan putrinya itu. Aiden meraih tangannya dan menggenggamnya untuk memberi Iris dukungan. Dia juga memandang Lilian dengan penuh keyakinan. “Aku juga akan membuktikan padamu, bah
Mereka pun telah selesai makan malam bersama. Lily dan Candra melangkah menuju ke arah ruang tamu. Sementara itu Aurelio sudah terlelap di kamarnya. Candra sengaja menemani putra tunggal Hugo hingga ia terlelap agar dirinya bisa pergi meninggalkan Aurelio tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah, karena sang putra tak ingin melepaskannya. “Candra apakah kamu yakin tetap balik hotel malam ini? Sudah larut malam Candra, apa tidak sebaiknya besok pagi-pagi sekali kamu kembali ke hotel. Kurasa belum terlambat jika kamu memang akan kembali besok ke Italia.” Ucap Lily seraya melangkah di sisi Candra. “Sekali lagi aku minta maaf Bibi Lily. Aku harus kembali malam ini ke hotel, jika aku harus menginap malam ini di sini dan kembali pagi harinya ke hotel, rasanya aku tak punya banyak waktu untuk berberes-beres barang-barangku yang berada di hotel, karena besok pagi aku harus segera berangkat ke Italia.” Jelas Candra menanggapi tawaran dari nyonya Wallington. “Ya sudah. Jika memang demikian,
Lily mengerucutkan bibirnya melihat sikap dingin Hugo. Dia menatap Candra dan menepuk lengannya menenangkan.“Jangan berkecil hati. Hugo selalu seperti ini.”Candra mengangguk, dia tidak mengambil sikap dingin Hugo, apalagi setelah mendengar kata-kata Aurelio bahwa Hugo menyimpan foto dirinya.Lily menyruh pelayan menyiapkan camilan ringan dan menghabiskan waktu mengobrol bersama Candra dan bermain dengan Aurelio.Sepanjang hari itu Hugo tidak turun dan berada di ruang kerjanya. Entah dia sengaja untuk menghindari Candra atau pria itu memang seperti itu. Candra tidak terlalu memikirkannya. Dia menikmati bermain dengan Aurelio. Candra tampak bahagia ia menikmati kebersamaannya bersama Aurelio di rumah Hugo Wallington. Meskipun Hugo terlihat cuek tak mengacuhkannya, namun Candra tidak mempedulikannya.Ia justru semakin akrab dan dekat dengan putra tunggal CEO berwajah tampan tersebut.Lily menyukai Candra, setelah melihat ketika Candra begitu pintar mengambil hati cucunya. Ini peluang te
“Tidak kok nyonya. Aku tidak memikirkan apapun, dan aku baik-baik saja kok nyonya,” ucapnya kembali berbohong menutupi jika sesungguhnya pikirannya justru melayang ke arah Hugo berada.“Candra. Aku minta maaf, jika selama ini sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sadar, seharusnya aku tak memperlakukanmu seperti itu, hingga akhirnya kamu pergi meninggalkan putraku Hugo. Aku berharap kamu bisa memaafkanku Candra, meskipun aku akui kesalahanku mungkin sudah terlalu besar terhadapmu.”Candra tak menyangka, jika nyonya Wallington bisa berkata demikian padanya. Mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Candra.Candra menyentuh tangan nyonya Wallington, seraya menganggukkan kepalanya pelan. Candra tersenyum begitu juga dengan nyonya Wallington.“Iya nyonya. Aku sudah memaafkanmu nyonya, jauh sebelum nyonya minta maaf padaku,” jawab Candra seketika membuat nyonya Wallington berbinar-binar wajahnya.“Sungguhkah? Kamu memaafkanku Candra..? Kam
"Ya, ibu bantu cari pengasuh yang lebih kompenten.”“Kamu tidak butuh pengasuh untuk Aurelio, tapi seorang ibu untuk anakmu,” ujar Lily melirik Hugo dengan hati-hati.“Ibu ....” Hugo menatap ibunya tidak suka topik itu di bahas lagi.“Kamu tidak berniat mencari ibu untuk Aurelio? Apa karena kamu tidak bisa melupakan Candra?”Hugo terdiam, pikirannya kembali memikirkan Candra. Wanita itu memperlakukan Aurelio dengan baik saat itu dan dia pula yang menemukan putranya.Hugo menggelengkan kepala mengusir bayangan gadis itu dan berpura-pura mengetik sesuatu di laptop. "Aku sibuk, tolong tinggalkan aku, Bu.”Lily mendesah pasrah dan meninggalkan Hugo untuk mengurus pekerjaannya.....Beberapa hari kemudian sejak pertemuannya dengan Paman Hugo, Candra masih tidak memiliki keberanian mencari pria itu.Gadis berparas manis itu, bolak-balik tak jelas dan gelisah di ruang tamu kamar hotelnya seolah-olah mengukur ruang luas di kamar hotel tempat ia menginap selama berada di kota tersebut. Pikira
Candra merasa sedih atas sikap Hugo Wallington bersikap dingin dan mengabaikannya. Dia meninggalkan taman hiburan dan kembali ke hotel tempat dia menginap. Candra gelisah terus memikirkan pertemuannya dengan Hugo. Dia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pria itu selama lima tahun sejak dia meninggalkannya. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan keinginannya dan menelepon seorang asisten yang mengurus semua keperluannya. Dia menyuruh asistennya mencari tahu tentang Hugo selama lima tahun ini. Setelah itu Candra menunggu informasi dari asistennya semalaman. Beberapa jam kemudian asistennya datang ke kamar hotelnya. “Bagaimana, Vivi?” Candra bertanya gelisah meraih tangan wanita itu. “Nona muda, Tuan Wallington tidak pernah menikah, tapi dia memiliki seorang anak yang sampai saat ini masih dia sembunyikan dari mata publik. Ibu dari anak itu, mantan pelacur Tuan Wallington meninggal saat melahirkan.” Mata Candra melebar, jantung berdegup kencang merasa senang karena
“Kamu tidak usah takut dengan kakak. Kakak tidak jahat kok, jadi adik kecil jangan menangis lagi ya. Tenang saja, Kakak akan bantuin kamu kok.” Candra terus mengajak anak kecil tersebut berbicara, meskipun ia tetap bungkam tak mau bicara sepatah kata pun.“Ayo sini..! Ikut dengan kakak. Kita cari keberadaan orang tua kamu ya,” ujar Candra mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.Anak itu seolah mengerti dan menghapus air matanya. dia mengulurkan tangan kecilnya meraih tangan wanita di depannya.Candra tersenyum hangat meremas tangan kecilnya. Dia pun menggendong dan mengajaknya menuju ke arah ruangan bagian informasi. Candra berpikir jika anak tersebut adalah anak hilang, mungkin dengan bantuan bagian informasi dapat mempertemukan kembali anak kecil yang terpisah dari orang tuanya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.Anak kecil tersebut saat ini berada dalam gendongan Candra tidak menangis dan memeluk leher Candra saat dibawa masuk ke pusat informasi taman hiburan.Candra mendeka
Lima tahun kemudian.Langit biru cerah dan angin bertiup lembut. Taman hiburan tampak hidup dan meriah.Gadis itu memandang langit musim panas dan memejamkan mata menikmati sinar matahari bersinar cukup cerah.Dia cantik berada di usia muda 25 tahun, kecantikannya mekar dengan indah. Jejak naif dan polos seorang gadis memudar dengan kecantikan wanita dewasa. Dia menarik perhatian beberapa pria yang lewat.Candra memuka mata, memperlihat matanya yang cerah dan cemerlang, namun menyimpan jejak kesedihan.Lima tahun telah berlalu, kota ini tak begitu banyak perubahannya. Kerinduannya begitu besar terhadap kota ini, begitu banyak kenangan yang tak mudah dilupakan di sini. Candra telah kembali ke kota di mana dulu ia memiliki story dan kenangan yang begitu membekas untuk dirinya.Bagaimana kabarnya kamu paman Hugo?Pasti saat ini dia sudah bahagia menikah dengan perempuan itu.Candra mendesah. Tak ada gunanya lagi mengingat semuanya jika saat ini paman Hugo sudah menjadi milik perempua
Candra tidak menjawab, dia menatap bibir tipis Hugo sebelum menundukkan kepala mencium bibirnya. Ciumannya agak grogi dan gugup. Hugo merasa terkejut. Sudah lama sekali Candra tidak mengambil inisitif menciumnya. Tapi dia tidak membalas ciuman Candra dan menahan keinginannya untuk melumat bibirnya menggoda. Dia harus memberinya pelajaran hari ini. Merasa Hugo tidak membalas ciumannya membuat Candra agak cemas dan malu. Tapi Hugo tidak mendoronya. Candra agak berani memperdalam ciumannya, bibir menghisap bibir bawah pria itu dan menyapu lidahnya di sepanjang bibir Hugo. Hugo mengerang pelan dalam bibirnya, tangannya mencengkeram pinggang ramping gadis itu. Candra semakin berani menyelipkan lidahnya menggoda bibir Hugo, tanganya mengusap-ngusap dada pria itu dengan gerakan menggodanya. Pinggulnya mengosok pangkal paha Hugo, menggoda ‘junior’ pria itu. Napas Hugo semakin dalam, dia mengcengkeram pinggang gadis itu semakin erat. Salah satu tangannya meremas pantat Candra di balik cel
“Tidak,” balas Candra serak dan menundukkan kepala agar Hugo tidak melihat dia menangis.“Benarkah?” Hugo meraih dagu gadis agar mendongak menatapnya. Dia melihat mata Candra berkaca-kaca dan basah. “Kamu menangis? Mengapa kamu menangis?” tanyanya dengan kening berkerut.Candra menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya mengantuk kok.”Candra mengusap matanya dan berpura-pura menguap. “Aku tidak tidur nyenyak semalam dan bangun pagi-pagi sekali untuk membuat bubur.”Hugo menatapnya lekat-lekat seolah mencari kebohongan dari mata gadis itu.Candra menguap hingga air matanya keluar. “Aku mengantuk. Bangunkan aku jika makan malam sudah selesai ....” Lalu dia dengan hati-hati memeluk pinggang Hugo agar menekan luka di perutnya dan bersandar di dada Hugo. Matanya terpenjam, dalam hitungan beberapa menit, dia sudah tertidur.Hugo mengamati gadis yang tertidur itu dan mendesah memeluk kepalanya di dadanya. Dia mencium kepala Candra dan memejamkan mata mencoba untuk tidur.Satu jam kemudian, Hug