“Tu-Tuan Ridley ... ada yang bisa kubantu?” Kelly tergagap, jantungnya berdegup. “Tidak ada,” balas Aiden datar tak mengindahkan keberadaan Kelly dan berjalan melewatinya menyusul Iris. Kelly menghembuskan napas yang entah sejak kapan ditahannya. Tatapan tajam Aiden tadi membuatnya gugup. Apa dia menyadari sesuatu? Di dalam rumah, Aiden mengejar Iris ke kamar Dimitri. Iris kembali menidurkan Dimitri ke tempat tidur. “Maaf, Sayang, kamu pasti terkejut, ya?” Iris mengelus rambut hitam Dimitri. Dimitri menganggukkan kepalanya. “Mengapa Nenek sangat galak hari ini?” “Nenek bukan galak. Nenek sangat merindukan Dimi, Nenek hanya ingin Dimi pergi dengan Nenek saja.” “Tapi, aku mau tinggal sama Mommy dan Daddy,” keluh Dimitri. “Nenek tidak akan datang lagi dan membawa Dimi pergi, 'kan?” Iris menggelengkan kepalanya, “Tentu tidak, Nenek tidak akan membawa Dimi pergi lagi. Apa Dimi takut pada Nenek?” Dimitri menggangguk takut-takut. “Jangan takut lagi pada Nenek. Nenek hanya ingin Di
Aiden melepaskan jas hitam yang dikenakannya dan meletakkan jas hitam itu di sandara kursi sebelum menoleh menatap asistennya yang berdiri di depan meja. “Bagaimana dengan hasil wawancara sekretaris?” kata Aiden duduk di kursinya dan membuka laptop. “Ini, Tuan, daftar wawancara calon karyawan yang akan menjadi sekretaris Anda. Kami masih menunggu keputusan Anda untuk memilih para kandidat calon sekretaris,” Peter meletakkan setumpuk berkas di atas meja kantor Aiden. Aiden memeriksa tumpukan berkas di atas mejanya. Setelah beberapa saat dia mengernyit, “Mengapa semuanya wanita? Aku sudah bilang membuka lowongan untuk pria. Apa yang dilakukan HRD?” Dia mendongak menatap Peter tajam. Peter berdeham sebelum berkata, “Saya sudah menyampaikan perintah Anda, Tuan, tapi Manajer Brown yang mengatur wawancara tak mengindahkan perintah Anda dan melakukan seleksi calon sekretaris dengan aturannya sendiri.” “Direktur Brown?” Sudut bibir Aiden berkedut, ekspresinya tampak dingin. Manajer Bro
Direktur Brown yang diperintahkan menghadap Aiden tidak segera datang ketika menerima panggilan dan beralasan mobilnya mogok di tengah jalan. Ekspresi Peter terlihat mencibir saat dia mendengar jawaban Direktur Brown oleh asisten pria itu. Dia mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Tuan Brown secara langsung dan memberitahukan sanksi yang akan diterimanya jika dia tidak segera datang. Namun, tanggapan Tuan Brown sangat santai. “Tuan Peter, aku mengerti. Mobilku masih mogok di tengah jalan. Aku akan datang ketika mobilku sudah dibawa ke bengkel. Kuharap Tuan Peter bisa menyampaikan kesulitanku pada Presdir Ridley.” Suara Tuan Brown terlalu santai seperti dia tidak menganggap penting ditelepon langsung oleh asisten pribadi Presdir. Peter menarik napas dalam-dalam agar tidak mengumpat pada pria itu di telepon. “Tuan Brown, kamu bisa naik taksi. Tuan Aiden masih menunggumu sekarang. Jika kamu tidak segera datang, kamu akan mendapat sanksi disiplin,” ujar Peter muram dan kesal. “Astag
Iris berbalik bersandar di kaca jendela di belakangnya dan mengangguk. “Ya.” Ekspresi Hugo berubah keras. Dia mencengkeram bahu Iris. “Kamu bilang sudah tidak mencintainya lagi? Mengapa kamu berubah begitu cepat? Apa kamu lupa seperti apa kehidupanmu saat masih menjadi istrinya?!” Suara Hugo terdengar tajam dan menuduh. Cengkeramannya mengencang. Senyum di wajah Iris menghilang. Dia tercengang menatap Hugo. “Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu bereaksi berlebihan.” Wajahnya tampak meringis mencoba melepaskan cengkeraman Hugo di bahunya. “Lepaskan, kamu menyakitiku.” Hugo tidak melepaskannya, matanya intens menatap Iris dengan ekspresi gelap. “Iris, selama bertahun-tahun aku berada di sisimu. Mengapa kamu tidak pernah ...” dia berhenti. Pandangannya menunduk menatap lantai lemah. “Aku ... aku mencintaimu, Iris.” Mata Iris melebar menatapnya tidak percaya. Mulutnya terbuka, “Hugo, kamu ....” Iris tidak berani melanjutkan kalimatnya. Hugo tertawa lirih menatapnya lemah. “Konyol, y
“Hugo—hmph!”Pintu kantor tiba-tiba terbuka. “Tuan Hugo, ada berkas yang harus ....” suara itu tiba-tiba berhenti dan terdengar suara kertas jatuh.Mata Iris melebar melihat Kelly memandang mereka terkejut. Dia malu dan marah mencoba mendorong Hugo putus asa menjauh .Gangguan itu menyadarkan Hugo, dia melepaskan bibir Iris dengan napas terangah-engah. Matanya melebar melihat air mata berlinang di wajah Iris.Iris memanfaat kesempatan Hugo lengah dan mendorong dadanya dengan sekuat tenaga.Hugo tampak tersadar dan terdorong menjauh dari Iris. Dia menatap Iris hendak mengatakan sesuatu. Namun Iris menamparnya. Pipi Hugo miring ke samping.“Ba-bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku,” desis Iris terdengar sangat kecewa dan terluka. Dia mendorong Hugo dan meninggalkannya tergesa-gesa.“Nona Iris ....” Kelly menatapnya dengan ekspresi aneh di depan pintu kantor yang terbuka.Iris berhenti sejenak untuk melihat sekretarisnya. “Jangan katakan apa pun tentang ini. Berpura-pura kamu tidak me
“Tidak, kebetulan aku hendak mencarimu. Siapkan mobil, kita akan ke lokasi konstruksi Big Island.”“Baik.” Kelly mengerut keningnya, sorot matanya menatap Iris aneh.“Ada apa?” Iris menatapnya dengan alis terangkat menyadari Kelly memandangnya cukup intens. Dia kemudian menyadari mata Kelly sedikit sembab dan memerah.“Apa yang terjadi dengan matamu? Kamu habis menangis?” Iris bertanya terkejut mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Kelly.Kelly menghindari tangannya dan memaksakan senyum. “Aku baik-baik saja Nona Iris. Aku akan menghubungi Pak Harry untuk menjemput kita di depan.”“Oh, oke.” Meski Iris terlihat khawatir, dia tidak ingin ikut campur dalam urusan Kelly jika wanita itu tidak menginginkannya...“Daddy!” Sosok kecil Dimitri berlari menghampiri Aiden ketika melihat ayahnya pulang.Aiden tersenyum dan membungkuk untuk menyambut pelukan putranya. Dia mengacak-acak rambut hitam yang identik dengan milik.Seorang wanita setengah baya berseragam baby sister berjalan di b
Iris sudah membuat janji dengan Lilian untuk bertemu di restoran Italia pada jam istirahat kantor. Dia mengabari Aiden akan datang terlambat dan menyuruhnya datang duluan bersama Dimitri.Aiden memarkir mobilnya di depan restoran mewah bergaya Italia. Dia membantu Dimitri turun dari mobil. Dimitri tampak menggemaskan dalam pakaian kasual putih lengan pendek dan celana pendak hitam. Aiden meng menggengam tangannya masuk ke dalam restoran.Seorang pelayan menyambut Aiden di dalam restoran.“Selamat siang, Tuan.”“Apa ada reversasi atas nama Iris Wallington?”“Ah, silakan ikuti saya Tuan. Nyonya Iris sudah membuat reservasi di kamar privat VIP,” kata pelayan itu kemudian menuntun Aiden dan putranya menuju ruang dalam restoran yang dikhususkan untuk kamar privat.Aiden mengikuti pelayan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dimitri sangat aktif memandang ke sana kemari sambil melompat-lompat. Jika Aiden tidak menggenggam tangannya, anak itu akan melompat berlarian ke sana kemari.Tak la
“Kamu benar, aku berterima kasih atas bantuannya sudah membantu membesarkan putraku hingga kami bisa bertemu. Sekarang aku dan Iris sudah bersama, kuharap kamu menjaga jarak dari istri dan putraku agar tidak ada pemahaman seperti enam tahun yang lalu.” Hugo mendengus dengan ekspresi mencibir. “Itu belum tentu kamu bisa bersama Iris. Kudengar Bibi Lilian belum memberimu restu, jangan terlalu sombong.” bolanya menyeringai. Rahang Aiden mengeras sangat ingin berkelahi dengan laki-laki itu, tapi menahan diri saat anak-anaknya tengah menatap mereka dengan ekspresi ingin tahu. Dimitri tidak mengerti percakapan orang dua orang dewasa itu, tapi dia mendengar nama Lilian dan bertanya pada Hugo. “Paman, di mana Nenek? Daddy bilang kami akan makan siang dengan Nenek.” “Nenek Lilian akan segera datang, tunggu saja. Apa Dimitri mau minum?” Hugo mengabaikan Aiden dan berkata dengan hangat pada keponakannya. Sementara Aiden duduk di sebelah di Dimitri juga berusaha mengabaikan pria itu. “Aku mau