Direktur Brown yang diperintahkan menghadap Aiden tidak segera datang ketika menerima panggilan dan beralasan mobilnya mogok di tengah jalan. Ekspresi Peter terlihat mencibir saat dia mendengar jawaban Direktur Brown oleh asisten pria itu. Dia mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Tuan Brown secara langsung dan memberitahukan sanksi yang akan diterimanya jika dia tidak segera datang. Namun, tanggapan Tuan Brown sangat santai. “Tuan Peter, aku mengerti. Mobilku masih mogok di tengah jalan. Aku akan datang ketika mobilku sudah dibawa ke bengkel. Kuharap Tuan Peter bisa menyampaikan kesulitanku pada Presdir Ridley.” Suara Tuan Brown terlalu santai seperti dia tidak menganggap penting ditelepon langsung oleh asisten pribadi Presdir. Peter menarik napas dalam-dalam agar tidak mengumpat pada pria itu di telepon. “Tuan Brown, kamu bisa naik taksi. Tuan Aiden masih menunggumu sekarang. Jika kamu tidak segera datang, kamu akan mendapat sanksi disiplin,” ujar Peter muram dan kesal. “Astag
Iris berbalik bersandar di kaca jendela di belakangnya dan mengangguk. “Ya.” Ekspresi Hugo berubah keras. Dia mencengkeram bahu Iris. “Kamu bilang sudah tidak mencintainya lagi? Mengapa kamu berubah begitu cepat? Apa kamu lupa seperti apa kehidupanmu saat masih menjadi istrinya?!” Suara Hugo terdengar tajam dan menuduh. Cengkeramannya mengencang. Senyum di wajah Iris menghilang. Dia tercengang menatap Hugo. “Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu bereaksi berlebihan.” Wajahnya tampak meringis mencoba melepaskan cengkeraman Hugo di bahunya. “Lepaskan, kamu menyakitiku.” Hugo tidak melepaskannya, matanya intens menatap Iris dengan ekspresi gelap. “Iris, selama bertahun-tahun aku berada di sisimu. Mengapa kamu tidak pernah ...” dia berhenti. Pandangannya menunduk menatap lantai lemah. “Aku ... aku mencintaimu, Iris.” Mata Iris melebar menatapnya tidak percaya. Mulutnya terbuka, “Hugo, kamu ....” Iris tidak berani melanjutkan kalimatnya. Hugo tertawa lirih menatapnya lemah. “Konyol, y
“Hugo—hmph!”Pintu kantor tiba-tiba terbuka. “Tuan Hugo, ada berkas yang harus ....” suara itu tiba-tiba berhenti dan terdengar suara kertas jatuh.Mata Iris melebar melihat Kelly memandang mereka terkejut. Dia malu dan marah mencoba mendorong Hugo putus asa menjauh .Gangguan itu menyadarkan Hugo, dia melepaskan bibir Iris dengan napas terangah-engah. Matanya melebar melihat air mata berlinang di wajah Iris.Iris memanfaat kesempatan Hugo lengah dan mendorong dadanya dengan sekuat tenaga.Hugo tampak tersadar dan terdorong menjauh dari Iris. Dia menatap Iris hendak mengatakan sesuatu. Namun Iris menamparnya. Pipi Hugo miring ke samping.“Ba-bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku,” desis Iris terdengar sangat kecewa dan terluka. Dia mendorong Hugo dan meninggalkannya tergesa-gesa.“Nona Iris ....” Kelly menatapnya dengan ekspresi aneh di depan pintu kantor yang terbuka.Iris berhenti sejenak untuk melihat sekretarisnya. “Jangan katakan apa pun tentang ini. Berpura-pura kamu tidak me
“Tidak, kebetulan aku hendak mencarimu. Siapkan mobil, kita akan ke lokasi konstruksi Big Island.”“Baik.” Kelly mengerut keningnya, sorot matanya menatap Iris aneh.“Ada apa?” Iris menatapnya dengan alis terangkat menyadari Kelly memandangnya cukup intens. Dia kemudian menyadari mata Kelly sedikit sembab dan memerah.“Apa yang terjadi dengan matamu? Kamu habis menangis?” Iris bertanya terkejut mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Kelly.Kelly menghindari tangannya dan memaksakan senyum. “Aku baik-baik saja Nona Iris. Aku akan menghubungi Pak Harry untuk menjemput kita di depan.”“Oh, oke.” Meski Iris terlihat khawatir, dia tidak ingin ikut campur dalam urusan Kelly jika wanita itu tidak menginginkannya...“Daddy!” Sosok kecil Dimitri berlari menghampiri Aiden ketika melihat ayahnya pulang.Aiden tersenyum dan membungkuk untuk menyambut pelukan putranya. Dia mengacak-acak rambut hitam yang identik dengan milik.Seorang wanita setengah baya berseragam baby sister berjalan di b
Iris sudah membuat janji dengan Lilian untuk bertemu di restoran Italia pada jam istirahat kantor. Dia mengabari Aiden akan datang terlambat dan menyuruhnya datang duluan bersama Dimitri.Aiden memarkir mobilnya di depan restoran mewah bergaya Italia. Dia membantu Dimitri turun dari mobil. Dimitri tampak menggemaskan dalam pakaian kasual putih lengan pendek dan celana pendak hitam. Aiden meng menggengam tangannya masuk ke dalam restoran.Seorang pelayan menyambut Aiden di dalam restoran.“Selamat siang, Tuan.”“Apa ada reversasi atas nama Iris Wallington?”“Ah, silakan ikuti saya Tuan. Nyonya Iris sudah membuat reservasi di kamar privat VIP,” kata pelayan itu kemudian menuntun Aiden dan putranya menuju ruang dalam restoran yang dikhususkan untuk kamar privat.Aiden mengikuti pelayan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dimitri sangat aktif memandang ke sana kemari sambil melompat-lompat. Jika Aiden tidak menggenggam tangannya, anak itu akan melompat berlarian ke sana kemari.Tak la
“Kamu benar, aku berterima kasih atas bantuannya sudah membantu membesarkan putraku hingga kami bisa bertemu. Sekarang aku dan Iris sudah bersama, kuharap kamu menjaga jarak dari istri dan putraku agar tidak ada pemahaman seperti enam tahun yang lalu.” Hugo mendengus dengan ekspresi mencibir. “Itu belum tentu kamu bisa bersama Iris. Kudengar Bibi Lilian belum memberimu restu, jangan terlalu sombong.” bolanya menyeringai. Rahang Aiden mengeras sangat ingin berkelahi dengan laki-laki itu, tapi menahan diri saat anak-anaknya tengah menatap mereka dengan ekspresi ingin tahu. Dimitri tidak mengerti percakapan orang dua orang dewasa itu, tapi dia mendengar nama Lilian dan bertanya pada Hugo. “Paman, di mana Nenek? Daddy bilang kami akan makan siang dengan Nenek.” “Nenek Lilian akan segera datang, tunggu saja. Apa Dimitri mau minum?” Hugo mengabaikan Aiden dan berkata dengan hangat pada keponakannya. Sementara Aiden duduk di sebelah di Dimitri juga berusaha mengabaikan pria itu. “Aku mau
Suara tajam Lilian bergema di dalam ruangan menyebabkan suasana menjadi tegang. Bahkan Dimitri yang tidak terlibat dalam percakapan orang dewasa tersentak kaget mendengar suara marah neneknya.Aiden menahan dirinya agar tidak membalas dengan panas. Setiap apa pun yang dia katakan akan digigit kembali oleh wanita itu. Lilian tampak seperti membencinya.Jika itu adalah orang lain, Aiden tidak akan memedulikannya. Tapi ini adalah Lilian Wallington, ibu kandung Iris dan ‘ibu mertua’nya yang tidak bisa diabaikan. Hubungan dia dan Iris masih terlalu rapuh dan nasib hubungan mereka bergantung pada persetujuan Lilian. Aiden tidak berani menyinggung perasaan ‘ibu mertua’nya.Pintu terbuka dan sosok Iris masuk ceria menyelamatkan Aiden dari kecanggungannya.“Selamat siang, maaf aku terlambat, apa kalian sudah memesan makanan?” Iris masuk ke ruangan dengan tergesa-gesa sambil tersenyum. Dia kemudian berhenti di tengah ruangan menyadari suasana agak aneh di dalam ruangan.Dia memperhatikan Lili
Lilia memelototinya. “Saya tidak bertanya kepada Anda. Aku bertanya pada putriku, bukan giliranmu untuk menjawab.” Aiden memutuskan lebih baik menutup mulut setiap kali berhadapan dengan Lilian. Apa pun yang dia katakan akan selalu salah di mata 'ibu mertua'nya. Iris berdeham untuk meminta perhatian Lilian. “Apa yang dikatakan Aiden benar, Bu. Karena saya menetap di sini, saya ingin memasukkan Dimitri ke sekolah York City pada akhir bulan ini.” “Ibu tidak setuju dan ibu tidak setuju kamu bersama dengan pria itu. Ibu hanya memberi kalian kesempatan cuma sampai akhir tahun. Dia masih belum membuktikan apa-apa, tapi sudah menginginkan semuanya? Apa dia sombong atau mencoba menguji kesabaranku?” “Bukan seperti itu Bu. Hanya saja kita tidak bisa membiarkan Dimitri terlambat masuk sekolah jika menunggu sampai akhir tahun.” “Kalau begitu Ibu akan membawa Dimitri ke Negara S dan mulai bersekolah di sana.” Aiden dan Iris tegang. “Nyonya—“ “Aku belum melarangmu berbicara,” potong Lilian.
Mereka pun telah selesai makan malam bersama. Lily dan Candra melangkah menuju ke arah ruang tamu. Sementara itu Aurelio sudah terlelap di kamarnya. Candra sengaja menemani putra tunggal Hugo hingga ia terlelap agar dirinya bisa pergi meninggalkan Aurelio tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah, karena sang putra tak ingin melepaskannya. “Candra apakah kamu yakin tetap balik hotel malam ini? Sudah larut malam Candra, apa tidak sebaiknya besok pagi-pagi sekali kamu kembali ke hotel. Kurasa belum terlambat jika kamu memang akan kembali besok ke Italia.” Ucap Lily seraya melangkah di sisi Candra. “Sekali lagi aku minta maaf Bibi Lily. Aku harus kembali malam ini ke hotel, jika aku harus menginap malam ini di sini dan kembali pagi harinya ke hotel, rasanya aku tak punya banyak waktu untuk berberes-beres barang-barangku yang berada di hotel, karena besok pagi aku harus segera berangkat ke Italia.” Jelas Candra menanggapi tawaran dari nyonya Wallington. “Ya sudah. Jika memang demikian,
Lily mengerucutkan bibirnya melihat sikap dingin Hugo. Dia menatap Candra dan menepuk lengannya menenangkan.“Jangan berkecil hati. Hugo selalu seperti ini.”Candra mengangguk, dia tidak mengambil sikap dingin Hugo, apalagi setelah mendengar kata-kata Aurelio bahwa Hugo menyimpan foto dirinya.Lily menyruh pelayan menyiapkan camilan ringan dan menghabiskan waktu mengobrol bersama Candra dan bermain dengan Aurelio.Sepanjang hari itu Hugo tidak turun dan berada di ruang kerjanya. Entah dia sengaja untuk menghindari Candra atau pria itu memang seperti itu. Candra tidak terlalu memikirkannya. Dia menikmati bermain dengan Aurelio. Candra tampak bahagia ia menikmati kebersamaannya bersama Aurelio di rumah Hugo Wallington. Meskipun Hugo terlihat cuek tak mengacuhkannya, namun Candra tidak mempedulikannya.Ia justru semakin akrab dan dekat dengan putra tunggal CEO berwajah tampan tersebut.Lily menyukai Candra, setelah melihat ketika Candra begitu pintar mengambil hati cucunya. Ini peluang te
“Tidak kok nyonya. Aku tidak memikirkan apapun, dan aku baik-baik saja kok nyonya,” ucapnya kembali berbohong menutupi jika sesungguhnya pikirannya justru melayang ke arah Hugo berada.“Candra. Aku minta maaf, jika selama ini sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sadar, seharusnya aku tak memperlakukanmu seperti itu, hingga akhirnya kamu pergi meninggalkan putraku Hugo. Aku berharap kamu bisa memaafkanku Candra, meskipun aku akui kesalahanku mungkin sudah terlalu besar terhadapmu.”Candra tak menyangka, jika nyonya Wallington bisa berkata demikian padanya. Mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Candra.Candra menyentuh tangan nyonya Wallington, seraya menganggukkan kepalanya pelan. Candra tersenyum begitu juga dengan nyonya Wallington.“Iya nyonya. Aku sudah memaafkanmu nyonya, jauh sebelum nyonya minta maaf padaku,” jawab Candra seketika membuat nyonya Wallington berbinar-binar wajahnya.“Sungguhkah? Kamu memaafkanku Candra..? Kam
"Ya, ibu bantu cari pengasuh yang lebih kompenten.”“Kamu tidak butuh pengasuh untuk Aurelio, tapi seorang ibu untuk anakmu,” ujar Lily melirik Hugo dengan hati-hati.“Ibu ....” Hugo menatap ibunya tidak suka topik itu di bahas lagi.“Kamu tidak berniat mencari ibu untuk Aurelio? Apa karena kamu tidak bisa melupakan Candra?”Hugo terdiam, pikirannya kembali memikirkan Candra. Wanita itu memperlakukan Aurelio dengan baik saat itu dan dia pula yang menemukan putranya.Hugo menggelengkan kepala mengusir bayangan gadis itu dan berpura-pura mengetik sesuatu di laptop. "Aku sibuk, tolong tinggalkan aku, Bu.”Lily mendesah pasrah dan meninggalkan Hugo untuk mengurus pekerjaannya.....Beberapa hari kemudian sejak pertemuannya dengan Paman Hugo, Candra masih tidak memiliki keberanian mencari pria itu.Gadis berparas manis itu, bolak-balik tak jelas dan gelisah di ruang tamu kamar hotelnya seolah-olah mengukur ruang luas di kamar hotel tempat ia menginap selama berada di kota tersebut. Pikira
Candra merasa sedih atas sikap Hugo Wallington bersikap dingin dan mengabaikannya. Dia meninggalkan taman hiburan dan kembali ke hotel tempat dia menginap. Candra gelisah terus memikirkan pertemuannya dengan Hugo. Dia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pria itu selama lima tahun sejak dia meninggalkannya. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan keinginannya dan menelepon seorang asisten yang mengurus semua keperluannya. Dia menyuruh asistennya mencari tahu tentang Hugo selama lima tahun ini. Setelah itu Candra menunggu informasi dari asistennya semalaman. Beberapa jam kemudian asistennya datang ke kamar hotelnya. “Bagaimana, Vivi?” Candra bertanya gelisah meraih tangan wanita itu. “Nona muda, Tuan Wallington tidak pernah menikah, tapi dia memiliki seorang anak yang sampai saat ini masih dia sembunyikan dari mata publik. Ibu dari anak itu, mantan pelacur Tuan Wallington meninggal saat melahirkan.” Mata Candra melebar, jantung berdegup kencang merasa senang karena
“Kamu tidak usah takut dengan kakak. Kakak tidak jahat kok, jadi adik kecil jangan menangis lagi ya. Tenang saja, Kakak akan bantuin kamu kok.” Candra terus mengajak anak kecil tersebut berbicara, meskipun ia tetap bungkam tak mau bicara sepatah kata pun.“Ayo sini..! Ikut dengan kakak. Kita cari keberadaan orang tua kamu ya,” ujar Candra mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.Anak itu seolah mengerti dan menghapus air matanya. dia mengulurkan tangan kecilnya meraih tangan wanita di depannya.Candra tersenyum hangat meremas tangan kecilnya. Dia pun menggendong dan mengajaknya menuju ke arah ruangan bagian informasi. Candra berpikir jika anak tersebut adalah anak hilang, mungkin dengan bantuan bagian informasi dapat mempertemukan kembali anak kecil yang terpisah dari orang tuanya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.Anak kecil tersebut saat ini berada dalam gendongan Candra tidak menangis dan memeluk leher Candra saat dibawa masuk ke pusat informasi taman hiburan.Candra mendeka
Lima tahun kemudian.Langit biru cerah dan angin bertiup lembut. Taman hiburan tampak hidup dan meriah.Gadis itu memandang langit musim panas dan memejamkan mata menikmati sinar matahari bersinar cukup cerah.Dia cantik berada di usia muda 25 tahun, kecantikannya mekar dengan indah. Jejak naif dan polos seorang gadis memudar dengan kecantikan wanita dewasa. Dia menarik perhatian beberapa pria yang lewat.Candra memuka mata, memperlihat matanya yang cerah dan cemerlang, namun menyimpan jejak kesedihan.Lima tahun telah berlalu, kota ini tak begitu banyak perubahannya. Kerinduannya begitu besar terhadap kota ini, begitu banyak kenangan yang tak mudah dilupakan di sini. Candra telah kembali ke kota di mana dulu ia memiliki story dan kenangan yang begitu membekas untuk dirinya.Bagaimana kabarnya kamu paman Hugo?Pasti saat ini dia sudah bahagia menikah dengan perempuan itu.Candra mendesah. Tak ada gunanya lagi mengingat semuanya jika saat ini paman Hugo sudah menjadi milik perempua
Candra tidak menjawab, dia menatap bibir tipis Hugo sebelum menundukkan kepala mencium bibirnya. Ciumannya agak grogi dan gugup. Hugo merasa terkejut. Sudah lama sekali Candra tidak mengambil inisitif menciumnya. Tapi dia tidak membalas ciuman Candra dan menahan keinginannya untuk melumat bibirnya menggoda. Dia harus memberinya pelajaran hari ini. Merasa Hugo tidak membalas ciumannya membuat Candra agak cemas dan malu. Tapi Hugo tidak mendoronya. Candra agak berani memperdalam ciumannya, bibir menghisap bibir bawah pria itu dan menyapu lidahnya di sepanjang bibir Hugo. Hugo mengerang pelan dalam bibirnya, tangannya mencengkeram pinggang ramping gadis itu. Candra semakin berani menyelipkan lidahnya menggoda bibir Hugo, tanganya mengusap-ngusap dada pria itu dengan gerakan menggodanya. Pinggulnya mengosok pangkal paha Hugo, menggoda ‘junior’ pria itu. Napas Hugo semakin dalam, dia mengcengkeram pinggang gadis itu semakin erat. Salah satu tangannya meremas pantat Candra di balik cel
“Tidak,” balas Candra serak dan menundukkan kepala agar Hugo tidak melihat dia menangis.“Benarkah?” Hugo meraih dagu gadis agar mendongak menatapnya. Dia melihat mata Candra berkaca-kaca dan basah. “Kamu menangis? Mengapa kamu menangis?” tanyanya dengan kening berkerut.Candra menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya mengantuk kok.”Candra mengusap matanya dan berpura-pura menguap. “Aku tidak tidur nyenyak semalam dan bangun pagi-pagi sekali untuk membuat bubur.”Hugo menatapnya lekat-lekat seolah mencari kebohongan dari mata gadis itu.Candra menguap hingga air matanya keluar. “Aku mengantuk. Bangunkan aku jika makan malam sudah selesai ....” Lalu dia dengan hati-hati memeluk pinggang Hugo agar menekan luka di perutnya dan bersandar di dada Hugo. Matanya terpenjam, dalam hitungan beberapa menit, dia sudah tertidur.Hugo mengamati gadis yang tertidur itu dan mendesah memeluk kepalanya di dadanya. Dia mencium kepala Candra dan memejamkan mata mencoba untuk tidur.Satu jam kemudian, Hug