“Ibu, Aiden bekerja sangat keras—“ “Iris, apa kamu ingat kehidupan yang kamu jalani di keluarga Ridley?” potong Lilian menyilangkan tangannya di depan dada, menatap tajam pada putrinya. “Itu ....” Iris tidak bisa menjawab pertanyaan Lilian. Aiden menggengam tangan Iris. Iris menoleh menatap pria di sebelahnya, tapi Aiden menatap lurus pada wanita di depannya. “Aku dapat menyakinkan Anda, Nyonya, aku tidak akan membiarkan Iris menderita lagi di keluarga Ridley,” kata Aiden menyakinkan Lilian. Ekspresi Lilian tetap tidak berubah. Dia mencibir membalas ucapan Aiden, “Kata-kata memang sangat meyakinkan. Tapi, tidak bisa membuktikan apa pun. Janji pun bahkan bisa dilanggar.” “Aku selalu memegang janjiku—“ Lilian memotong dengan tawa meremehkan. “Banyak anak muda sepertimu yang berkata seperti itu. Aku sudah melewati paruh usiaku mendengar omong kosong itu. Putriku masih muda, dia tentu dengan mudah termakan rayuan kosongmu.“ Dia menatap putrinya meremehkan sebelum melanjutkan kalim
“Aku tahu aku dan Dimitri berutang padamu. Tapi, apa di matamu kami adalah tunawisma yang membutuhkan uang darimu? Pernahkah kamu memperlakukan aku benar-benar sebagai putrimu? Kamu tidak pernah memiliki perasaan apa pun padaku?” mata Iris berkaca-kaca dengan semua keluhan yang dipendamnya. “Kamu melahirkanku, kemudian membuangku dan ayahku. Dan kamu memungutku seperti tunawisma dan menjadikan aku bonekamu demi keluarga Wallington. Kamu menggunakan masa depan Dimitri untuk membuatku tunduk. Apa hatimu tidak ada sedikit pun kasih sayang?” Lilian tidak membalas. Dia membuang muka tidak menjawab Iris. Aiden tidak mengatakan apa pun untuk menyela, membiarkan Iris menumpahkan keluhannya. Dia juga merasa Lilian terlalu berhati dingin sebagai seorang ibu. Iris menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sebelum memandang Lilian dengan pandangan tenang. “Ibu, aku tidak mengharapkan apa pun darimu sejak aku mengenalmu. Tapi, tolong biarkan aku menjalani hidupku. Aku tidak bilang ak
“Dan kamu,” Lilian memandang Iris tajam. “Kamu sudah memutuskan untuk bersama pria itu, kamu akan menyesal lagi seperti enam tahun yang lalu.” Iris menegang dan melirik Aiden. Aiden tidak ingin Iris goyah. “Nyonya,” Sebelum Aiden menyelesaikan kalimatnya, Iris memotong kata-katanya.“Baiklah.” Aiden menoleh menatapnya, “Iris.” Namun, Iris tak menghiraukannya dan memandang Lilian penuh tekad. “Aku akan membuktikan padamu, Bu. Aku ....” Iris menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak akan menyesal dengan keputusanku ini.” Dia akan bertahan. Dia sudah membuat keputusan bukan karena hatinya pada Aiden, tapi Dimitri dan tidak ingin Lilian memperlakukannya seperti boneka lagi. Meski Aiden mungkin akan mengecewakannya lagi, dia akan menahannya demi Dimitri. Sudut bibir Lilian terangkat menatap Iris, mendengar ucapan putrinya itu. Aiden meraih tangannya dan menggenggamnya untuk memberi Iris dukungan. Dia juga memandang Lilian dengan penuh keyakinan. “Aku juga akan membuktikan padamu, bah
“Tu-Tuan Ridley ... ada yang bisa kubantu?” Kelly tergagap, jantungnya berdegup. “Tidak ada,” balas Aiden datar tak mengindahkan keberadaan Kelly dan berjalan melewatinya menyusul Iris. Kelly menghembuskan napas yang entah sejak kapan ditahannya. Tatapan tajam Aiden tadi membuatnya gugup. Apa dia menyadari sesuatu? Di dalam rumah, Aiden mengejar Iris ke kamar Dimitri. Iris kembali menidurkan Dimitri ke tempat tidur. “Maaf, Sayang, kamu pasti terkejut, ya?” Iris mengelus rambut hitam Dimitri. Dimitri menganggukkan kepalanya. “Mengapa Nenek sangat galak hari ini?” “Nenek bukan galak. Nenek sangat merindukan Dimi, Nenek hanya ingin Dimi pergi dengan Nenek saja.” “Tapi, aku mau tinggal sama Mommy dan Daddy,” keluh Dimitri. “Nenek tidak akan datang lagi dan membawa Dimi pergi, 'kan?” Iris menggelengkan kepalanya, “Tentu tidak, Nenek tidak akan membawa Dimi pergi lagi. Apa Dimi takut pada Nenek?” Dimitri menggangguk takut-takut. “Jangan takut lagi pada Nenek. Nenek hanya ingin Di
Aiden melepaskan jas hitam yang dikenakannya dan meletakkan jas hitam itu di sandara kursi sebelum menoleh menatap asistennya yang berdiri di depan meja. “Bagaimana dengan hasil wawancara sekretaris?” kata Aiden duduk di kursinya dan membuka laptop. “Ini, Tuan, daftar wawancara calon karyawan yang akan menjadi sekretaris Anda. Kami masih menunggu keputusan Anda untuk memilih para kandidat calon sekretaris,” Peter meletakkan setumpuk berkas di atas meja kantor Aiden. Aiden memeriksa tumpukan berkas di atas mejanya. Setelah beberapa saat dia mengernyit, “Mengapa semuanya wanita? Aku sudah bilang membuka lowongan untuk pria. Apa yang dilakukan HRD?” Dia mendongak menatap Peter tajam. Peter berdeham sebelum berkata, “Saya sudah menyampaikan perintah Anda, Tuan, tapi Manajer Brown yang mengatur wawancara tak mengindahkan perintah Anda dan melakukan seleksi calon sekretaris dengan aturannya sendiri.” “Direktur Brown?” Sudut bibir Aiden berkedut, ekspresinya tampak dingin. Manajer Bro
Direktur Brown yang diperintahkan menghadap Aiden tidak segera datang ketika menerima panggilan dan beralasan mobilnya mogok di tengah jalan. Ekspresi Peter terlihat mencibir saat dia mendengar jawaban Direktur Brown oleh asisten pria itu. Dia mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Tuan Brown secara langsung dan memberitahukan sanksi yang akan diterimanya jika dia tidak segera datang. Namun, tanggapan Tuan Brown sangat santai. “Tuan Peter, aku mengerti. Mobilku masih mogok di tengah jalan. Aku akan datang ketika mobilku sudah dibawa ke bengkel. Kuharap Tuan Peter bisa menyampaikan kesulitanku pada Presdir Ridley.” Suara Tuan Brown terlalu santai seperti dia tidak menganggap penting ditelepon langsung oleh asisten pribadi Presdir. Peter menarik napas dalam-dalam agar tidak mengumpat pada pria itu di telepon. “Tuan Brown, kamu bisa naik taksi. Tuan Aiden masih menunggumu sekarang. Jika kamu tidak segera datang, kamu akan mendapat sanksi disiplin,” ujar Peter muram dan kesal. “Astag
Iris berbalik bersandar di kaca jendela di belakangnya dan mengangguk. “Ya.” Ekspresi Hugo berubah keras. Dia mencengkeram bahu Iris. “Kamu bilang sudah tidak mencintainya lagi? Mengapa kamu berubah begitu cepat? Apa kamu lupa seperti apa kehidupanmu saat masih menjadi istrinya?!” Suara Hugo terdengar tajam dan menuduh. Cengkeramannya mengencang. Senyum di wajah Iris menghilang. Dia tercengang menatap Hugo. “Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu bereaksi berlebihan.” Wajahnya tampak meringis mencoba melepaskan cengkeraman Hugo di bahunya. “Lepaskan, kamu menyakitiku.” Hugo tidak melepaskannya, matanya intens menatap Iris dengan ekspresi gelap. “Iris, selama bertahun-tahun aku berada di sisimu. Mengapa kamu tidak pernah ...” dia berhenti. Pandangannya menunduk menatap lantai lemah. “Aku ... aku mencintaimu, Iris.” Mata Iris melebar menatapnya tidak percaya. Mulutnya terbuka, “Hugo, kamu ....” Iris tidak berani melanjutkan kalimatnya. Hugo tertawa lirih menatapnya lemah. “Konyol, y
“Hugo—hmph!”Pintu kantor tiba-tiba terbuka. “Tuan Hugo, ada berkas yang harus ....” suara itu tiba-tiba berhenti dan terdengar suara kertas jatuh.Mata Iris melebar melihat Kelly memandang mereka terkejut. Dia malu dan marah mencoba mendorong Hugo putus asa menjauh .Gangguan itu menyadarkan Hugo, dia melepaskan bibir Iris dengan napas terangah-engah. Matanya melebar melihat air mata berlinang di wajah Iris.Iris memanfaat kesempatan Hugo lengah dan mendorong dadanya dengan sekuat tenaga.Hugo tampak tersadar dan terdorong menjauh dari Iris. Dia menatap Iris hendak mengatakan sesuatu. Namun Iris menamparnya. Pipi Hugo miring ke samping.“Ba-bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku,” desis Iris terdengar sangat kecewa dan terluka. Dia mendorong Hugo dan meninggalkannya tergesa-gesa.“Nona Iris ....” Kelly menatapnya dengan ekspresi aneh di depan pintu kantor yang terbuka.Iris berhenti sejenak untuk melihat sekretarisnya. “Jangan katakan apa pun tentang ini. Berpura-pura kamu tidak me