Seperti yang dijanjikan Iris, dia membawa putranya jalan-jalan ke wahana taman bermain. Aiden memaksa ikut dengan mereka karena dia mengambil cuti hari ini untuk menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya. Di bawah permintaan memohon putranya, Iris tidak bisa menolak Aiden ikut bersama mereka. Mereka tiba di wahana bermain dengan mobil Aiden. Aiden memutuskan mengemudi mobil tanpa sopir ataupun membawa asistennya seperti biasa ke mana pun hanya agar mereka bertiga yang bisa pergi sebagai keluarga tiga orang. Wahana taman bermain di pusat kota agak ramai ketika keluarga tiga orang ini tiba di lokasi. Tempat itu sangat luas dan ramai. Ada banyak wahana yang memacu adrenalin yang bisa membuat tulang gemetar. Meski bukan pertama kali, Iris tetap membawa Dimitri jalan-jalan ke wahana taman bermain hingga putranya sangat senang menarik orang tuanya ke sana mari. “Mommy, aku mau naik itu!” seru Dimitri menunjukkan salah satu wahana perahu berayun berbentuk naga. Iris sedikit khawatir
Memang ada perbedaan dibesarkan orang tua tunggal dan orang tua lengkap. Ponselnya bergetar di dalam tasnya, mengalihkan Iris dari pikirannya. Dia mengeluarkan ponsel dan mengangkat alis melihat nama Hugo di layar ponsel. Sudah agak lama dia tidak mendengar kabar sepupunya. Iris segera mengangkat panggilan Hugo dan mencari tempat sepi karena di sekitarnya cukup bising. “Halo Hugo, bagaimana kabarmu?” [“Baik, bagaimana denganmu, Iris? Semua baik-baik saja dengan Dimitri?”]“Yah, Dimitri sembuh dengan cepat. Tidak ada tanda-tanda trauma pasca kecelakaan. Sekarang kami berada di wahana taman bermain. Kamu harus datang mengunjunginya.” [“Syukurlah, aku senang mendengar Dimitri baik-baik saja. Aku akan datang mengunjungi kalian setelah urusan pekerjaanku selesai.”] Suara Hugo terdengar lelah menjawab Iris. Iris mengerut kening dan bertanya khawatir, “Kamu baik-baik saja, Hugo? Suaramu terdengar lelah.” Di seberang teleponnya, Hugo duduk bersandar di kursi dari kantor yang luas mengh
“Capek?” Aiden menyodorkan sekaleng minuman dingin pada Iris yang duduk di salah satu bangku tak jauh dari Istana Balon raksasa. “Lumayan,” gumam Iris mengambil minuman itu dari tangan Aiden sambil mengucapkan terima kasih. Aiden duduk di sebelahnya dan memandang ke Istana Balon mengawasi Dimitri yang bermain dengan anak-anak seusianya. Hening. Mereka tidak berbicara dan mengawasi Dimitri bermain dari kejauhan. Iris merasa canggung dan melirik Aiden di sebelahnya. Pria itu bersandar di sandaran bangku dan memandang ke arah anak-anak bermain. Sesekali dia tersenyum melambai ke arah Dimitri yang saat itu menoleh ke arah mereka sambil melambai memanggil orang tuanya. Iris akhirnya tidak bisa menahan kecanggungan dan berdeham. “Ini pertama aku melihat Dimitri sebahagia ini.” Aiden menoleh menatapnya dengan alis terangkat. Iris membuang muka dan melanjutkan kalimatnya, “Terima kasih, mungkin berkatmu aku melihat Dimitri begitu sangat senang. Aku selalu membawanya ke taman bermain ta
Iris merasakan firasat buruk dan buru-buru mendekati putranya. Aiden berdiri di belakang Iris dan menghadapi wanita yang marah. Dia terlihat seusia Iris dan memelototi Dimitri geram.“Apa yang kamu lakukan? Kamu menyakiti lengan putraku!” seru Iris melihat wanita itu mencengkeram lengan kecil Dimitri dan segera menepisnya dengan kasar.Iris berjongkok memandang putranya dan memeriksa tubuhnya. “Dimi, apa yang terjadi? Apa kamu terluka?” Dia bertanya cemas melihat tangan mungil dan putih Dimitri tampak memar akibat cengkeraman wanita itu.“Mommy ....” Mata Dimitri berkaca-kaca dan mulai menangis, dia memeluk leher Iris sambil menunjuk ke arah wanita yang memarahinya.“Mommy, Bibi itu memarahiku! Sakit, Mommy, Bibi itu jahat!” serunya menangis.“Apa yang terjadi? Mengapa kamu memarahi putraku dan mencengkeram lengannya?” Aiden berkata menghadapi wanita itu.“Kamu orang tua anak itu?” Wanita itu tergagap, terpesona melihat wajah tampan Aiden.“Ya, bisa jelaskan apa yang terjadi hingga ka
Ibu gadis kecil itu semakin marah dan meraih pundak Dimitri. Namun, sebuah tangan menghentikannya.Dia menoleh memelototi Aiden.“Kami akan mengganti rugi atas apa yang diperbuat putra kami jika Dimitri benar menyakiti putrimu,” kata Aiden tenang.Wanita itu semakin marah. “Kamu pikir mengganti rugi cukup untuk luka di wajah putriku? Anakmu dan istrimu bahkan tidak mencoba meminta maaf!”Aiden mengusap keningnya menatap ke arah Iris yang melindungi Dimitri dengan sikap protektif. Dia kemudian berjongkok dan meraih pundak Dimitri.“Dimi, jelaskan apa yang sudah kamu lakukan pada temanmu? Jika kamu salah kamu harus meminta maaf,” ujarnya dengan suara tegas.“Aiden ....” desis Iris menatapnya tidak suka.Tetapi, Aiden mengabaikannya.“Dimitri, kamu dengar daddy!” Suara Aiden keras cukup untuk menakuti anak itu.Dimitri melepaskan pelukan Iris dan berbalik memandang ayahnya dengan wajah cemberut dan takut. Melihat wajah tegas Aiden, dia takut membuat ayahnya marah. Dia tidak ingin dimarah
“Minta maaf pada temanmu dan katakan kamu salah,” kata Aiden tegas.Mata Dimitri berkaca-kaca dan takut menghadapi Aiden. Tetapi, anak itu tidak merasa dirinya salah dan tidak mau dimarahi.Sepanjang yang dia ingat, tidak ada yang pernah memarahi atau menyalahkannya. Ibu dan neneknya sangat mencintai dan memanjakannya. Orang-orang di sekitarnya memperlakukannya seperti dia kaisar kecil. Tidak ada yang pernah memerahi atau menyalahkannya.Dia menangis keras.“Aku tidak salah. Aku benci Daddy! Mommy!” Dia berbalik melemparkan dirinya ke pelukan Iris.“Mommy, aku mau pulang, huhuhu .... aku mau pulang! Daddy jahat!”Iris memandang Aiden dan para ibu di sekitar yang memandangnya dengan pandangan menghakimi.Ibu gadis kecil itu terlihat masih marah dan mencibir. “Anak liar!”Ibu-ibu lain berbisik dengan suara yang masih bisa di dengar, menghakimi Iris dan putranya.“Dia terlihat masih muda, tidak heran dia tidak bisa mengajarkan putranya dan membesarkannya dengan semborono! Tidak heran ana
“Tidak apa-apa.” Aiden menahan wanita itu agar tidak membungkuk padanya.“Di sini anakku juga yang salah. Aku akan datang lain kali dengan anakku untuk meminta maaf pada putrimu,” Dia berkata dengan suara rendah hati dan tidak terlihat sombong menunjukkan kekuasaannya.Wanita itu tergagap tidak tahu harus berkata apa-apa.“Jika Anda butuh sesuatu terkait luka dan perawatan putrimu, jangan ragu untuk menghubungiku.” Aiden kemudian meletakkan kartu namanya di tangan Ibu gadis kecil itu dan berbalik menghadap Iris.Dimitri masih menangis di tanah dan menoleh membujuk Iris. Dia meraih tubuh kecil Dimitri ke gendongannya.Dimitri langsung memberontak. “Aku tidak mau dengan Daddy!”“Diam!” Aiden memukul pantat putranya yang membuat anak itu terdiam, matanya berlinang air mata.“Daddy akan menghukummu nanti. Kamu sebaiknya patuh atau daddy akan memukulmu.”Ancaman Aiden sukses membuat Dimitri terdiam tidak memberontak. Matanya berlinang air mata menatap ibunya dengan memelas mengulurkan tang
Iris melihat pantat kecil putranya merah dan bengkak, sangat khawatir. Dia ingin menghampiri putranya dan mengobati luka Dimitri. Namun, Aiden menahan lengannya.“Jangan memanjakannya. Biarkan dia mempelajari kesalahannya biar tidak terulang lagi.”“Aku tahu, aku hanya mengobati lukanya. Kamu sudah memukulnya terlalu keras.” Dia menatap Aiden dengan tatapan menyalahkan.“Dia akan baik-baik saja. Dia anak laki-laki, tanpa merasakan hukuman dia tidak akan belajar dari kesalahannya,” balas Aiden tegas.Iris menatapnya sesaat sebelum berkata dengan pelan, “Apa kamu tidak takut Dimitri akan membencimu karena ini?”Aiden tidak langsung menjawab. Pandangannya menatap ke arah Dimitri yang terisak-isak menghadap dinding di sudut kamar karena hukumannya.“Mungkin itu lebih baik daripada aku menjadi ayah yang gagal mendidiknya bertanggung jawab. Bagaimanapun dia adalah anak laki-laki. Kelak ada banyak tanggung jawab menantinya di masa depan. Meski aku terlambat mendidiknya karena tidak ada di si