“Capek?” Aiden menyodorkan sekaleng minuman dingin pada Iris yang duduk di salah satu bangku tak jauh dari Istana Balon raksasa. “Lumayan,” gumam Iris mengambil minuman itu dari tangan Aiden sambil mengucapkan terima kasih. Aiden duduk di sebelahnya dan memandang ke Istana Balon mengawasi Dimitri yang bermain dengan anak-anak seusianya. Hening. Mereka tidak berbicara dan mengawasi Dimitri bermain dari kejauhan. Iris merasa canggung dan melirik Aiden di sebelahnya. Pria itu bersandar di sandaran bangku dan memandang ke arah anak-anak bermain. Sesekali dia tersenyum melambai ke arah Dimitri yang saat itu menoleh ke arah mereka sambil melambai memanggil orang tuanya. Iris akhirnya tidak bisa menahan kecanggungan dan berdeham. “Ini pertama aku melihat Dimitri sebahagia ini.” Aiden menoleh menatapnya dengan alis terangkat. Iris membuang muka dan melanjutkan kalimatnya, “Terima kasih, mungkin berkatmu aku melihat Dimitri begitu sangat senang. Aku selalu membawanya ke taman bermain ta
Iris merasakan firasat buruk dan buru-buru mendekati putranya. Aiden berdiri di belakang Iris dan menghadapi wanita yang marah. Dia terlihat seusia Iris dan memelototi Dimitri geram.“Apa yang kamu lakukan? Kamu menyakiti lengan putraku!” seru Iris melihat wanita itu mencengkeram lengan kecil Dimitri dan segera menepisnya dengan kasar.Iris berjongkok memandang putranya dan memeriksa tubuhnya. “Dimi, apa yang terjadi? Apa kamu terluka?” Dia bertanya cemas melihat tangan mungil dan putih Dimitri tampak memar akibat cengkeraman wanita itu.“Mommy ....” Mata Dimitri berkaca-kaca dan mulai menangis, dia memeluk leher Iris sambil menunjuk ke arah wanita yang memarahinya.“Mommy, Bibi itu memarahiku! Sakit, Mommy, Bibi itu jahat!” serunya menangis.“Apa yang terjadi? Mengapa kamu memarahi putraku dan mencengkeram lengannya?” Aiden berkata menghadapi wanita itu.“Kamu orang tua anak itu?” Wanita itu tergagap, terpesona melihat wajah tampan Aiden.“Ya, bisa jelaskan apa yang terjadi hingga ka
Ibu gadis kecil itu semakin marah dan meraih pundak Dimitri. Namun, sebuah tangan menghentikannya.Dia menoleh memelototi Aiden.“Kami akan mengganti rugi atas apa yang diperbuat putra kami jika Dimitri benar menyakiti putrimu,” kata Aiden tenang.Wanita itu semakin marah. “Kamu pikir mengganti rugi cukup untuk luka di wajah putriku? Anakmu dan istrimu bahkan tidak mencoba meminta maaf!”Aiden mengusap keningnya menatap ke arah Iris yang melindungi Dimitri dengan sikap protektif. Dia kemudian berjongkok dan meraih pundak Dimitri.“Dimi, jelaskan apa yang sudah kamu lakukan pada temanmu? Jika kamu salah kamu harus meminta maaf,” ujarnya dengan suara tegas.“Aiden ....” desis Iris menatapnya tidak suka.Tetapi, Aiden mengabaikannya.“Dimitri, kamu dengar daddy!” Suara Aiden keras cukup untuk menakuti anak itu.Dimitri melepaskan pelukan Iris dan berbalik memandang ayahnya dengan wajah cemberut dan takut. Melihat wajah tegas Aiden, dia takut membuat ayahnya marah. Dia tidak ingin dimarah
“Minta maaf pada temanmu dan katakan kamu salah,” kata Aiden tegas.Mata Dimitri berkaca-kaca dan takut menghadapi Aiden. Tetapi, anak itu tidak merasa dirinya salah dan tidak mau dimarahi.Sepanjang yang dia ingat, tidak ada yang pernah memarahi atau menyalahkannya. Ibu dan neneknya sangat mencintai dan memanjakannya. Orang-orang di sekitarnya memperlakukannya seperti dia kaisar kecil. Tidak ada yang pernah memerahi atau menyalahkannya.Dia menangis keras.“Aku tidak salah. Aku benci Daddy! Mommy!” Dia berbalik melemparkan dirinya ke pelukan Iris.“Mommy, aku mau pulang, huhuhu .... aku mau pulang! Daddy jahat!”Iris memandang Aiden dan para ibu di sekitar yang memandangnya dengan pandangan menghakimi.Ibu gadis kecil itu terlihat masih marah dan mencibir. “Anak liar!”Ibu-ibu lain berbisik dengan suara yang masih bisa di dengar, menghakimi Iris dan putranya.“Dia terlihat masih muda, tidak heran dia tidak bisa mengajarkan putranya dan membesarkannya dengan semborono! Tidak heran ana
“Tidak apa-apa.” Aiden menahan wanita itu agar tidak membungkuk padanya.“Di sini anakku juga yang salah. Aku akan datang lain kali dengan anakku untuk meminta maaf pada putrimu,” Dia berkata dengan suara rendah hati dan tidak terlihat sombong menunjukkan kekuasaannya.Wanita itu tergagap tidak tahu harus berkata apa-apa.“Jika Anda butuh sesuatu terkait luka dan perawatan putrimu, jangan ragu untuk menghubungiku.” Aiden kemudian meletakkan kartu namanya di tangan Ibu gadis kecil itu dan berbalik menghadap Iris.Dimitri masih menangis di tanah dan menoleh membujuk Iris. Dia meraih tubuh kecil Dimitri ke gendongannya.Dimitri langsung memberontak. “Aku tidak mau dengan Daddy!”“Diam!” Aiden memukul pantat putranya yang membuat anak itu terdiam, matanya berlinang air mata.“Daddy akan menghukummu nanti. Kamu sebaiknya patuh atau daddy akan memukulmu.”Ancaman Aiden sukses membuat Dimitri terdiam tidak memberontak. Matanya berlinang air mata menatap ibunya dengan memelas mengulurkan tang
Iris melihat pantat kecil putranya merah dan bengkak, sangat khawatir. Dia ingin menghampiri putranya dan mengobati luka Dimitri. Namun, Aiden menahan lengannya.“Jangan memanjakannya. Biarkan dia mempelajari kesalahannya biar tidak terulang lagi.”“Aku tahu, aku hanya mengobati lukanya. Kamu sudah memukulnya terlalu keras.” Dia menatap Aiden dengan tatapan menyalahkan.“Dia akan baik-baik saja. Dia anak laki-laki, tanpa merasakan hukuman dia tidak akan belajar dari kesalahannya,” balas Aiden tegas.Iris menatapnya sesaat sebelum berkata dengan pelan, “Apa kamu tidak takut Dimitri akan membencimu karena ini?”Aiden tidak langsung menjawab. Pandangannya menatap ke arah Dimitri yang terisak-isak menghadap dinding di sudut kamar karena hukumannya.“Mungkin itu lebih baik daripada aku menjadi ayah yang gagal mendidiknya bertanggung jawab. Bagaimanapun dia adalah anak laki-laki. Kelak ada banyak tanggung jawab menantinya di masa depan. Meski aku terlambat mendidiknya karena tidak ada di si
“Tentu tidak, sayang. Daddy tidak akan pergi lagi dan tinggal bersama kita,” kata Iris lembut. “Benarkah, Mommy?!”Iris mengangguk dan hati tercubit melihat ekspresi lega di wajah putranya. Dia tidak ingin putranya suatu saat mengetahui perpisahan orang tuanya.“Mommy ....” panggil Dimitri menarik cardigan Iris mengalihkan wanita itu dari pikirannya.Iris menunduk menatap putranya, “Ya, sayang?”“Apa Daddy ... masih marah pada Dimi?”“Kenapa Dimi tidak bicara saja pada Daddy, hm?” Iris tersenyum mengusap rambut putranya.“Tapi, aku takut Daddy akan memukul pantat Dimi lagi.”Iris terkekeh mencium kepala Dimitri. “Daddy tidak akan menghukum Dimi lagi jika Dimi tidak berkelahi lagi dengan temanmu. Apa yang harus Dimi lakukan agar Daddy tidak marah dan tidak menghukum Dimi?”Dimitri memandang Iris dan berkata pelan, “Dimi harus minta maaf.”“Benar, anak mommy sangat pintar.”“Tidurlah Sayang, nanti baru bicara dengan Daddy,” ujar Iris melepaskan kompres es dari pantat Dimitri. Hari mas
Tatapan pria itu terlalu intens membuat Iris salah tingkah dan mengalihkan pandangannya. Dia menggelengkan kepalanya saat pengaruh alkohol mulai menghampiri kepalanya. “Uhm ... tentang perceraian, aku berpikir untuk menunda pengajuan perceraian. Setidaknya demi Dimitri.” Bibir Aiden berhenti menyesap gelas winenya dan menatap Iris. “Apa yang membuatmu berubah pikiran?” Iris menunduk menatap jari-jarinya di gelas wine yang kosong. “Aku melihat caramu mendidik Dimitri hari ini dan aku menyadari diriku lalai sebagai seorang ibu. Aku hanya tahu memanjakan putraku dan sikap protektifku hanya memperburuk pertumbuhan Dimitri kelak di masa depan.” Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya dengan pelan. “Aku ... aku membutuhkanmu.” Aiden tidak mengucapkan sepatah kata pun selama beberapa saat membuat Iris gelisah. “Bukankah kamu yang tidak ingin bercerai? Aku memberimu kesempatan—“ Iris segera menutup mulutnya. Itu terdengar seperti dia terlalu percaya diri Aiden mencintainya.
Mereka pun telah selesai makan malam bersama. Lily dan Candra melangkah menuju ke arah ruang tamu. Sementara itu Aurelio sudah terlelap di kamarnya. Candra sengaja menemani putra tunggal Hugo hingga ia terlelap agar dirinya bisa pergi meninggalkan Aurelio tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah, karena sang putra tak ingin melepaskannya. “Candra apakah kamu yakin tetap balik hotel malam ini? Sudah larut malam Candra, apa tidak sebaiknya besok pagi-pagi sekali kamu kembali ke hotel. Kurasa belum terlambat jika kamu memang akan kembali besok ke Italia.” Ucap Lily seraya melangkah di sisi Candra. “Sekali lagi aku minta maaf Bibi Lily. Aku harus kembali malam ini ke hotel, jika aku harus menginap malam ini di sini dan kembali pagi harinya ke hotel, rasanya aku tak punya banyak waktu untuk berberes-beres barang-barangku yang berada di hotel, karena besok pagi aku harus segera berangkat ke Italia.” Jelas Candra menanggapi tawaran dari nyonya Wallington. “Ya sudah. Jika memang demikian,
Lily mengerucutkan bibirnya melihat sikap dingin Hugo. Dia menatap Candra dan menepuk lengannya menenangkan.“Jangan berkecil hati. Hugo selalu seperti ini.”Candra mengangguk, dia tidak mengambil sikap dingin Hugo, apalagi setelah mendengar kata-kata Aurelio bahwa Hugo menyimpan foto dirinya.Lily menyruh pelayan menyiapkan camilan ringan dan menghabiskan waktu mengobrol bersama Candra dan bermain dengan Aurelio.Sepanjang hari itu Hugo tidak turun dan berada di ruang kerjanya. Entah dia sengaja untuk menghindari Candra atau pria itu memang seperti itu. Candra tidak terlalu memikirkannya. Dia menikmati bermain dengan Aurelio. Candra tampak bahagia ia menikmati kebersamaannya bersama Aurelio di rumah Hugo Wallington. Meskipun Hugo terlihat cuek tak mengacuhkannya, namun Candra tidak mempedulikannya.Ia justru semakin akrab dan dekat dengan putra tunggal CEO berwajah tampan tersebut.Lily menyukai Candra, setelah melihat ketika Candra begitu pintar mengambil hati cucunya. Ini peluang te
“Tidak kok nyonya. Aku tidak memikirkan apapun, dan aku baik-baik saja kok nyonya,” ucapnya kembali berbohong menutupi jika sesungguhnya pikirannya justru melayang ke arah Hugo berada.“Candra. Aku minta maaf, jika selama ini sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sadar, seharusnya aku tak memperlakukanmu seperti itu, hingga akhirnya kamu pergi meninggalkan putraku Hugo. Aku berharap kamu bisa memaafkanku Candra, meskipun aku akui kesalahanku mungkin sudah terlalu besar terhadapmu.”Candra tak menyangka, jika nyonya Wallington bisa berkata demikian padanya. Mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Candra.Candra menyentuh tangan nyonya Wallington, seraya menganggukkan kepalanya pelan. Candra tersenyum begitu juga dengan nyonya Wallington.“Iya nyonya. Aku sudah memaafkanmu nyonya, jauh sebelum nyonya minta maaf padaku,” jawab Candra seketika membuat nyonya Wallington berbinar-binar wajahnya.“Sungguhkah? Kamu memaafkanku Candra..? Kam
"Ya, ibu bantu cari pengasuh yang lebih kompenten.”“Kamu tidak butuh pengasuh untuk Aurelio, tapi seorang ibu untuk anakmu,” ujar Lily melirik Hugo dengan hati-hati.“Ibu ....” Hugo menatap ibunya tidak suka topik itu di bahas lagi.“Kamu tidak berniat mencari ibu untuk Aurelio? Apa karena kamu tidak bisa melupakan Candra?”Hugo terdiam, pikirannya kembali memikirkan Candra. Wanita itu memperlakukan Aurelio dengan baik saat itu dan dia pula yang menemukan putranya.Hugo menggelengkan kepala mengusir bayangan gadis itu dan berpura-pura mengetik sesuatu di laptop. "Aku sibuk, tolong tinggalkan aku, Bu.”Lily mendesah pasrah dan meninggalkan Hugo untuk mengurus pekerjaannya.....Beberapa hari kemudian sejak pertemuannya dengan Paman Hugo, Candra masih tidak memiliki keberanian mencari pria itu.Gadis berparas manis itu, bolak-balik tak jelas dan gelisah di ruang tamu kamar hotelnya seolah-olah mengukur ruang luas di kamar hotel tempat ia menginap selama berada di kota tersebut. Pikira
Candra merasa sedih atas sikap Hugo Wallington bersikap dingin dan mengabaikannya. Dia meninggalkan taman hiburan dan kembali ke hotel tempat dia menginap. Candra gelisah terus memikirkan pertemuannya dengan Hugo. Dia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pria itu selama lima tahun sejak dia meninggalkannya. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan keinginannya dan menelepon seorang asisten yang mengurus semua keperluannya. Dia menyuruh asistennya mencari tahu tentang Hugo selama lima tahun ini. Setelah itu Candra menunggu informasi dari asistennya semalaman. Beberapa jam kemudian asistennya datang ke kamar hotelnya. “Bagaimana, Vivi?” Candra bertanya gelisah meraih tangan wanita itu. “Nona muda, Tuan Wallington tidak pernah menikah, tapi dia memiliki seorang anak yang sampai saat ini masih dia sembunyikan dari mata publik. Ibu dari anak itu, mantan pelacur Tuan Wallington meninggal saat melahirkan.” Mata Candra melebar, jantung berdegup kencang merasa senang karena
“Kamu tidak usah takut dengan kakak. Kakak tidak jahat kok, jadi adik kecil jangan menangis lagi ya. Tenang saja, Kakak akan bantuin kamu kok.” Candra terus mengajak anak kecil tersebut berbicara, meskipun ia tetap bungkam tak mau bicara sepatah kata pun.“Ayo sini..! Ikut dengan kakak. Kita cari keberadaan orang tua kamu ya,” ujar Candra mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.Anak itu seolah mengerti dan menghapus air matanya. dia mengulurkan tangan kecilnya meraih tangan wanita di depannya.Candra tersenyum hangat meremas tangan kecilnya. Dia pun menggendong dan mengajaknya menuju ke arah ruangan bagian informasi. Candra berpikir jika anak tersebut adalah anak hilang, mungkin dengan bantuan bagian informasi dapat mempertemukan kembali anak kecil yang terpisah dari orang tuanya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.Anak kecil tersebut saat ini berada dalam gendongan Candra tidak menangis dan memeluk leher Candra saat dibawa masuk ke pusat informasi taman hiburan.Candra mendeka
Lima tahun kemudian.Langit biru cerah dan angin bertiup lembut. Taman hiburan tampak hidup dan meriah.Gadis itu memandang langit musim panas dan memejamkan mata menikmati sinar matahari bersinar cukup cerah.Dia cantik berada di usia muda 25 tahun, kecantikannya mekar dengan indah. Jejak naif dan polos seorang gadis memudar dengan kecantikan wanita dewasa. Dia menarik perhatian beberapa pria yang lewat.Candra memuka mata, memperlihat matanya yang cerah dan cemerlang, namun menyimpan jejak kesedihan.Lima tahun telah berlalu, kota ini tak begitu banyak perubahannya. Kerinduannya begitu besar terhadap kota ini, begitu banyak kenangan yang tak mudah dilupakan di sini. Candra telah kembali ke kota di mana dulu ia memiliki story dan kenangan yang begitu membekas untuk dirinya.Bagaimana kabarnya kamu paman Hugo?Pasti saat ini dia sudah bahagia menikah dengan perempuan itu.Candra mendesah. Tak ada gunanya lagi mengingat semuanya jika saat ini paman Hugo sudah menjadi milik perempua
Candra tidak menjawab, dia menatap bibir tipis Hugo sebelum menundukkan kepala mencium bibirnya. Ciumannya agak grogi dan gugup. Hugo merasa terkejut. Sudah lama sekali Candra tidak mengambil inisitif menciumnya. Tapi dia tidak membalas ciuman Candra dan menahan keinginannya untuk melumat bibirnya menggoda. Dia harus memberinya pelajaran hari ini. Merasa Hugo tidak membalas ciumannya membuat Candra agak cemas dan malu. Tapi Hugo tidak mendoronya. Candra agak berani memperdalam ciumannya, bibir menghisap bibir bawah pria itu dan menyapu lidahnya di sepanjang bibir Hugo. Hugo mengerang pelan dalam bibirnya, tangannya mencengkeram pinggang ramping gadis itu. Candra semakin berani menyelipkan lidahnya menggoda bibir Hugo, tanganya mengusap-ngusap dada pria itu dengan gerakan menggodanya. Pinggulnya mengosok pangkal paha Hugo, menggoda ‘junior’ pria itu. Napas Hugo semakin dalam, dia mengcengkeram pinggang gadis itu semakin erat. Salah satu tangannya meremas pantat Candra di balik cel
“Tidak,” balas Candra serak dan menundukkan kepala agar Hugo tidak melihat dia menangis.“Benarkah?” Hugo meraih dagu gadis agar mendongak menatapnya. Dia melihat mata Candra berkaca-kaca dan basah. “Kamu menangis? Mengapa kamu menangis?” tanyanya dengan kening berkerut.Candra menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya mengantuk kok.”Candra mengusap matanya dan berpura-pura menguap. “Aku tidak tidur nyenyak semalam dan bangun pagi-pagi sekali untuk membuat bubur.”Hugo menatapnya lekat-lekat seolah mencari kebohongan dari mata gadis itu.Candra menguap hingga air matanya keluar. “Aku mengantuk. Bangunkan aku jika makan malam sudah selesai ....” Lalu dia dengan hati-hati memeluk pinggang Hugo agar menekan luka di perutnya dan bersandar di dada Hugo. Matanya terpenjam, dalam hitungan beberapa menit, dia sudah tertidur.Hugo mengamati gadis yang tertidur itu dan mendesah memeluk kepalanya di dadanya. Dia mencium kepala Candra dan memejamkan mata mencoba untuk tidur.Satu jam kemudian, Hug