Esme membuka mulut, dan membalas dengan suara lembut. “Aku tahu kamu marah karena istri Tuan Steven menghinaku dan Iris. Aku tahu kamu anak yang baik dan peduli padaku karena sudah sudah membesarkanmu selama—““Aku tidak peduli orang lain memanggilmu mantan wanita panggilan atau sebutan pelacur sekalipun,” potong Aiden kasar. “Tapi aku tidak akan mentoleri siapa pun menghina istriku.”Wajah Esme menegang, tangannya mengepal mendengar kata-kata kasar Aiden diucapkan cukup keras hingga membuat para tamu di sekitar memandangnya.“Aiden Ridley, jangan membuat masalah di sini. Ini pesta pendirian RDY Group, jangan mempermalukan keluarga Ridley. Esme tetaplah ibumu yang sudah membesarkanmu selama lima belas tahun, kamu harus menghormatinya.” tegur Kakek Bily.“Tuan Tua, jangan marah, itu tidak baik untuk kesehatanmu. Aku yakin Aiden hanya marah sesaat karena istri Tuan Steven sudah menghina istrinya,” bisik Esme lembut menenangkan Kakek Billy.Kakek Billy menenangkan dirinya tapi masih mena
Iris menutup laptop dan meregangkan tubuhnya yang pegal setelah tiga jam duduk di depan laptop. Dia melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. “Cepat sekali,” gumam Iris mengusap dan berdiri dari kursinya. Dia melirik ponselnya di atas meja kerja. Iris cemberut melihat tidak ada tanda dia menerima pesan atau panggilan dari Aiden. “Bukankah dia bilang akan pulang jam 10? Tapi ini sudah jam 11 malam.” Iris menghembuskan napas mengambil ponselnya dan keluar dari ruang kerjanya. Ketika melewati kamar Dimitri, Iris membuka pintu kamar putranya dan masuk ke dalam kamar untuk melihat putranya sudah tidur pulas. Iris tersenyum mengusap wajah polos putranya yang tertidur nyenyak dan menaikkan selimut untuk menutupi tubuh kecil Dimitri. dia membungkuk mencium keningnya sebelum berbalik meninggalkan kamar Dimitri. Tiba-tiba ponsel di tangannya bergetar. Iris mengangkat ponselnya dan melihat sebuah notice masuk di aplikasi chat. Tidak ada pesan teks, hanya beberapa lampir
“Daddy, daddy, daddy bangun!”Aiden tersentak bangun merasakan rasa sakit di perutnya. Dia terbangun memelototi Dimitri yang duduk di perutnya. Anak itu menyengir lebar melihat Aiden akhirnya bangun.“Dimitri ....” Aiden mengerang mengusap matanya mencoba bangun. Rasa sakit seketika menyerang kepalanya seperti di pukul palu gondam.Aiden kembali berbaring di sofa sambil memejamkan matanya dengan ekspresi kesakitan.“Daddy bangun! Ini sudah siang!” Dimitri menghentakkan pantat kecilnya di perut Aiden.Aiden melenguh kesakitan dan menahan Dimitri sambil memelototi putranya. “Dimi jangan ganggu Daddy. Daddy sakit kepala.”“Mommy suruh aku bangunkan daddy! Jika Daddy tidak bangun, Mommy akan siram daddy dengan air ember! Cepat bangun daddy atau Mommy akan siram dengan air!” Suara Dimitri seperti kecauan burung, manis sekaligus mengganggu Aiden yang merasakan kepalanya akan pecah.Dia bangun dengan perlahan dan menurunkan Dimitri dari tubuhnya. Sambil memegang kepalanya memandang ke sekel
Peter terkejut. “Presdir, kamu ingin memberikan saham Nyonya Anna pada Nyonya Muda?” “Ya. Aku tidak membutuhkan saham ibuku.” Aiden melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul empat sore. “Apa jadwalku sore ini?” “Tidak ada Tuan. Ini sudah jam pulang karyawan. Apa Anda akan lembur malam ini?” Aiden berdiri dari kursinya dan mengambil ponselnya. “Tidak perlu lembur malam ini, aku akan pulang. Kamu dan Royid sudah bekerja keras. Aku akan menambah bonus kalian.” Peter mendesah lega dan menahan dirinya agar tidak tersenyum lebar. “Baik Tuan. Kalau begitu aku permisi.” Dia hendak berbalik meninggalkan kantor Aiden ketika bosnya tiba-tiba memanggilnya. “Peter.” Peter dengan cepat berbalik menghadap bosnya. “Ya, ada apa Tuan?” Aiden menatapnya dengan pandangan menyipit. “Apa kamu mengatakan sesuatu yang salah pada istriku tadi malam? Pagi ini sikap Iris berubah dan aku dibiarkan tidur di sofa semalaman. Apa yang sudah kamu katakan pada istriku saat mengantarku pulang tadi mala
“Kamu minta maaf untuk apa?”Aiden tersenyum meremas pundaknya.“Maaf aku pulang terlambat kemarin. Banyak yang terjadi di pesta dan aku banyak minum. Jangan marah lagi, hm,” bisiknya lembut mencium sepanjang leher Iris naik ke rahang dan mencium sudut bibirnya.Iris menoleh ke samping menghindari bibir Aiden dan menatapnya tanpa ekspresi melalui cermin. “Hanya itu?”Aiden menatapnya bingung sebelum kemudian mengangguk. Dia kemudian mengambil kotak perhiasan di atas meja rias dan menunjukkan sebuah kalung di depan Iris.“Aku tidak tahu apa yang kamu suka, kuharap kamu menyukai hadiah dariku,” ujarnya mengenakan kalung itu di leher Iris.Namun Iris menahan tangannya dan mendorong kalung itu dari lehernya. Dia berkata dengan dingin. “Aku sudah memiliki model kalung ini.”“Ah, maaf aku tidak tahu. Lalu apa yang kamu suka? Aku akan membelinya besok.”Iris hanya menatapnya datar lalu berdiri. “Tidak perlu. Aku tidak membutuhkannya.”Dia mengabaikan Aiden dan berjalan menuju ke tempat ti
“Mommy akan pulang besok, bersikap baik dan patuh di rumah, okey?” Iris membungkuk mengelus rambut putranya berpamitan.Dia enggan meninggalkan putranya sendiri. Tapi dia tidak bisa membawa Dimitri ke peringatan pemakaman ayahnya yang di makamkan di kampung halamannya yang cukup jauh dari ibukota.Dimitri mengangguk. “Mommy, cepat pulang ya ....”Iris tersenyum mencium keningnya.“Nyonya, apa Nyonya sudah memberitahu Tuan Aiden akan pergi dan meninggalkan Tuan Dimitri di rumah?” Bibi Lina bertanya sambil menyerahkan tas berisi pakaian ganti Iris.Senyum di wajah Iris berubah kaku dan acuh tak acuh.“Aku akan memberitahunya ketika di jalan. tolong jaga Dimitri saat aku tidak ada di rumah,” ujarnya memandang Bibi Lina dan Bibi Marry.“Baik Nyonya,” jawab Bibi Lina dan Bibi Marry bersamaan.Iris mencium putranya dan memeluk Dimitri sekali lagi.“Mommy pergi dulu sayang.” Iris melambai menuju ke mobil. Supir pribadinya dengan sigap membuka pintu mobil sebelum menutupnya lagi ketika Iris m
Saat Aiden pulang larut malam. Dia melihat lampu ruang tamu terang benderang tidak seperti biasa. Dia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Jam segini Iris dan Dimitri sudah tidur di kamar. Tapi lampu ruang tamu menyala dan terdengar suara televisi ketika dia masuk.Apa Iris tidak tidur? Atau sedang menunggungnya? Pikir Aiden melepaskan sepatunya dan mengenakan sendal rumahan.Mungkin amarah Iris sudah mereda setelah seharian mereka saling mengabaikan? Batin Aiden sedikit menunjukkan senyum di wajahnya yang lelah.Mau semarah apa pun dia, Aiden tidak akan tahan jika tidak berbicara dengan Iris. Dia sedikit merindukannya.Dengan wajah penuh senyum, Aiden memasuki ruang tamu dan melihat Dimitri di ruang tamu sedang menggambar dengan di temani Bibi Marry, pengasuh Dimitri.“Aku pulang.”Dimitri langsung mendongak dengan wajah berbinar.“Daddy ....” Dia berlari menghampiri Aiden dan memeluk paha Aiden.Aiden berjongkok memeluknya dan mencium kening putranya se
Sosok pria jangkung berjalan dengan langkah tegap di lobi perusahaan. Sosok kecil mengikuti di sampingnya dan memandang ke sekeliling dengan tatapan ingin tahu. Dia mengenakan kaos biru pucat dan celana pendek biru tua. Topi merah mencolok di kepalanya membuatnya anak itu terlihat menggemaskan.Dimitri mengenakan sepatu dan kaos kaki putih bergaris-garis serta menggendong tas kecil di punggung membuat pemandangan itu terlihat lucu melihat seorang anak menggendong tas sekolah berjalan di samping sosok Aiden yang terlihat serius.“Selamat pagi Presdir.” Seorang karyawan menyapa Aiden dengan hormat.Aiden mengangguk dengan ekspresi acuh tak acuh dan wajah tanpa ekspresi.“Selamat pagi Presdir.”Karyawan lain juga menyapa ketika Aiden dan membungkuk hormat pada pria. Begitu Aiden lewat, mereka berbalik memandang sosok kecil Dimitri dengan tatapan ingin tahu.“Apa itu putra Presdir kita?”“Sepertinya begitu? Kamu tidak lihat wajah mereka sangat mirip.”“Sepertinya rumor itu benar Presdir