Halo my reader tercinta, apa kabar? Semoga sehat selalu^__^ Degdegdegan gak nunggu Dimitri tahu siapa daddy-nya? Ke chapter depannya akan lebih fokus ke hubungan Iris dan Aiden. See you di chapter selanjutnya, jangan lupa dukungan dengan vote dan komen ya biar Author semangat update😚😘😘
Iris sontak berdiri menghadap pria itu. “Aiden, apa yang kamu lakukan di sini?”Aiden mendekati Iris, langkahnya cepat dan marah. Tangannya meraih pundak Iris kasar membuat wanita itu meringis kesakitan.“Akh, apa yang kamu lakukan, sakit tahu,” desis Iris mencoba melepaskan cengkeraman Aiden.Apa yang membuat pria itu menggila?Aiden menatapnya dengan mata memerah penuh amarah. “Iris Jessen, beraninya kamu menyembunyikan—““Paman Tinggi!” seru Dimitri tiba-tiba menghentikan ucapan Aiden. Aiden tersentak dan menoleh ke belakang Iris. Dia melihat sosok Dimitri melambaikan tangannya yang tidak diperban.“Paman Tinggi, mengapa Paman ada di sini? Apa Paman menjenguk aku?” mata besarnya menatap Aiden dengan ingin tahu dan berbinar.Ekspresi Aiden melunak. Dia baru menyadari Dimitri sudah sadar setelah operasinya tiga hari yang lalu dan terlihat baik-baik saja. Dia melepaskan cengkeramannya dari pundak Iris dan beringsut mendekati tempat tidur anak itu.“Dimi, bagaimana lukamu, Nak? Apa Di
Aiden menatap mantan istrinya sangat marah.Iris menatap tanpa ekspresi dokumen hasil tes DNA di depannya. Tidak bertanya bagaimana pria itu bisa membuat kesimpulan begitu cepat dan mengambil sampel Dimitri untuk tes DNA.“Benar, Dimitri adalah anakmu. Lalu apa? Kamu ingin mengambilnya dariku?”“Aku Ayah Dimitri, aku berhak menginginkan anakku,” balas Aiden menatap Iris tajam.Iris tiba-tiba tertawa. “Atas dasar apa kamu menginginkan anakku? Apa kamu yang melahirkannya? Membesarkan Dimitri dan merawatnya?”“Jika kamu tidak menyembunyikan Dimitri dariku, aku akan membesarkan dan merawat putraku! Mengapa kamu tidak memberitahuku saat kamu mengandung Dimitri?!” Suara Aiden meninggi.Iris membalasnya dengan suara tak kalah tinggi dan marah. Semua kebencian dan sakit hatinya membuncah saat dia berseru pada pria itu, “Mengapa aku harus memberitahumu? Kamu bahkan tidak mencariku saat aku pergi!”“Saat itu kamu meninggalkan surat cerai dan pergi dengan selingkuhanmu! Mengapa aku harus mencari
Dia hanya anak kecil berusia lima tahun yang dimanjakan dan terlindung dalam perlindungan kasih sayang ibu dan neneknya. Ini pertama kalinya dia melihat orang dewasa bertengkar.Meskipun dia tidak mengerti kata-kata orang yang diucapkan oleh orang tuanya, suara mereka yang keras dan galak membuatnya takut.Suara pertengkaran dua orang dewasa itu tentu menakuti anak kecil itu.Ekspresi Iris melunak dan merasa bersalah pada putranya. Dia melupakan kemarahannya pada Aiden dan berlutut di depan Dimitri.“Maafkan mommy, Sayang ... sstt, jangan menangis. Maaf, mommy tidak akan melakukannya lagi, jangan menangis, Sayangku.” Iris membujuk Dimitri dan menghapus air mata di wajah mungilnya.Aiden tidak tahu bagaimana menghibur seorang anak, jadi dia hanya diam dan menatap penuh arti pada Iris. Dimitri masih sesenggukan, tetapi perlahan-lahan mulai berhenti menangis.“Mommy, Paman itu benar-benar Daddy?” Dia menunjuk Aiden dengan tatapan ingin tahu dan penuh harap.Iris terdiam dan menggigit bi
Aiden menghela napas, mengerti mengapa Iris membuat alasan pada Dimitri atas ketidakhadirannya selama bertahun-tahun dari sisinya sebagai sosok ayah.Dia memeluk Dimitri lembut. Dia melepaskan pelukan Dimitri, menatap wajah mungil putranya. Wajah cemberut Dimitri terlihat sedih.“Maaf, daddy memang sibuk bekerja bukan karena daddy sudah tidak menginginkan Dimitri.” 'Tapi karena ibumu menyembunyikanmu dariku,' lanjut Aiden dalam hati.“Daddy, tidak akan pergi lagi, 'kan?” tanya Dimitri menatap Aiden penuh harap.“Tidak akan lagi. Daddy akan selalu berada di sisi Dimitri,” balas Aiden mengusap rambut hitam Dimitri lembut. Semakin dia menatap wajah anak itu, dia benar-benar melihat Dimitri sangat mirip dengannya. Rambut hitam, mata hitam dan fitur wajahnya benar-benar jiplakan dirinya.Mengapa dia tidak menyadarinya saat pertama kali bertemu di toilet di Negara S? Jika dia tahu saat itu, dia akan membawa putranya.“Sungguh? Daddy tidak bohong?”“Tidak, daddy tidak akan bohong. Bagaiman
Aiden menatapnya datar sebelum berkata dengan suara rendah. “Kalau begitu, kenapa kita tidak bersama saja membesarkan Dimitri?”“A-apa ....?!” Iris tergagap sebelum mendesis, “Kamu lupa kita sudah bercerai? Itu tidak mungkin.”“Apa kamu lebih suka kita menempuh jalur hukum untuk mendapat hak asuh Dimitri? Kamu lebih suka melihat Dimitri terluka karena pertengkaran kita?”Iris mengerut kening terdiam. Dia melirik ke arah Dimitri yang masih mengawasi mereka dengan mata hitamnya yang polos.Iris tidak ingin suatu saat mata hitam yang polos dan ceria itu menatapnya dengan tatapan terluka.“Aku tidak meminta kita rujuk. Tapi izinkan aku bersama Dimitri setiap saat. Hanya ini kompromiku,” kata Aiden memutus pandangan Iris dari Dimitri.Iris menatapnya dengan tatapan ragu-ragu.“Pikirkan Iris, Dimitri sudah ketakutan dan menangis karena pertengkaran kita hari ini.”Iris tidak perlu berpikir lagi saat dia berkata dengan dingin. “Selama kamu tidak pernah mengambil Dimitri dariku, aku akan membi
Hugo terdiam selama beberapa saat menatap Iris. “Kamu masih mencintainya?” Dia bertanya dengan suara rendah. Iris sesaat tertegun sebelum menggelengkan kepala menyangkal. “Mana mungkin. Kami sudah bercerai sangat lama,” gumamnya mengibas-ngibas tangan. “Itu bagus ... tidak ada hal yang bagus jika kamu kembali ke keluarga Ridley itu. Keluarga Ridley sangat berantakan dengan ibu tiri mengendalikan keluarga itu. Dimitri tidak baik tumbuh di keluarga seperti itu, seperti yang terjadi pada Zein.” Wajah Iris berubah muram. “Itu tidak akan pernah terjadi.” Raut wajah Hugo berangsur-angsur lega. Batu di hatinya seolah terangkat. Entah mengapa dia merasa tidak nyaman dengan kehadiran Aiden di sekitar Iris dan Dimitri. “Aku dengar Aiden belum menikah dan belum memiliki anak lagi sebelum tahu tentang Dimitri. Apa yang akan kamu lakukan jika dia ingin mengambil Dimitri sebagai pewarisnya?” Hugo memandang Iris. Iris berkata muram, “Jika dia berani menginginkan itu, dia harus melawan ibuku.
Iris perlahan-lahan tenang setelah mendengar penjelasan Hugo. “Apa yang harus aku lakukan untuk membalas mereka?” desisnya menggertakkan gigi. “Jika aku hanya diam, merekan akan menyakiti Dimitri lagi,” tambahnya. Hugo memegang pundak Iris. “Aku tahu, aku akan menyelidiki kecelakaan Dimitri, jika benar mereka adalah pelakunya, kita akan membalas mereka, aku janji padamu.” Iris mengangguk memejamkan matanya untuk menenangkan dirinya. “Aku sudah berdiskusi dengan Komisaris agar WLT Group membuka cabang di York City. Selama aku di sini, aku akan melindungimu dan Dimitri,” lanjut Hugo. Iris tersentak kaget mendengar ucapan Hugo. “A ... apa? Ibuku akan membuka cabang di York City?” “Ya, aku akan tinggal dan bertanggung jawab di cabang perusahaan di York City.” Iris tidak bisa berkata-kata. Tiba-tiba pintu kamar rawat VIP Dimitri terbuka dan sosok Aiden muncul di belakang mereka. “Apa yang sedang kalian lakukan?” Aiden menyipit menatap posisi Iris dan Hugo yang menurutnya terlalu
“Orang seperti apa ibumu?” tanyanya penasaran. Aiden sudah mendengar reputasi Lilian Wallington sebagai pebisnis wanita yang legendaris dari rekan bisnisnya tetapi belum pernah bertemu langsung dengannya. Siapa yang menyangka wanita pebisnis itu adalah ibu dari mantan istrinya. Iris mengabaikannya dan mendorong Aiden menjauh dari Dimitri. Dia menggantikan Aiden mengancingkan kemeja Dimitri. “Dimi, lain kali jangan menyuruh Daddy membantumu ganti pakaian. Tangan Daddy terluka. Jangan merepotkan Daddy, okey?” “Tidak apa-apa, itu tidak merepotkan,” balas Aiden ingin mengambil kembali pekerjaan Iris. Iris menatapnya tajam. “Kamu sangat lambat. Supir sudah menunggu di bawah.” “Jika ada masalah katakan saja, jangan bertengkar di depan anak,” bisik Aiden mencoba berbicara lembut. Namun, Iris acuh tak acuh. “Daddy, apa Daddy akan ikut pulang ke rumah juga? Daddy akan tinggal bersama Mommy dan aku?” Dimitri menatap penuh harap pada Aiden. Iris tersentak mendengar ucapan putranya. “Di
Mereka pun telah selesai makan malam bersama. Lily dan Candra melangkah menuju ke arah ruang tamu. Sementara itu Aurelio sudah terlelap di kamarnya. Candra sengaja menemani putra tunggal Hugo hingga ia terlelap agar dirinya bisa pergi meninggalkan Aurelio tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah, karena sang putra tak ingin melepaskannya. “Candra apakah kamu yakin tetap balik hotel malam ini? Sudah larut malam Candra, apa tidak sebaiknya besok pagi-pagi sekali kamu kembali ke hotel. Kurasa belum terlambat jika kamu memang akan kembali besok ke Italia.” Ucap Lily seraya melangkah di sisi Candra. “Sekali lagi aku minta maaf Bibi Lily. Aku harus kembali malam ini ke hotel, jika aku harus menginap malam ini di sini dan kembali pagi harinya ke hotel, rasanya aku tak punya banyak waktu untuk berberes-beres barang-barangku yang berada di hotel, karena besok pagi aku harus segera berangkat ke Italia.” Jelas Candra menanggapi tawaran dari nyonya Wallington. “Ya sudah. Jika memang demikian,
Lily mengerucutkan bibirnya melihat sikap dingin Hugo. Dia menatap Candra dan menepuk lengannya menenangkan.“Jangan berkecil hati. Hugo selalu seperti ini.”Candra mengangguk, dia tidak mengambil sikap dingin Hugo, apalagi setelah mendengar kata-kata Aurelio bahwa Hugo menyimpan foto dirinya.Lily menyruh pelayan menyiapkan camilan ringan dan menghabiskan waktu mengobrol bersama Candra dan bermain dengan Aurelio.Sepanjang hari itu Hugo tidak turun dan berada di ruang kerjanya. Entah dia sengaja untuk menghindari Candra atau pria itu memang seperti itu. Candra tidak terlalu memikirkannya. Dia menikmati bermain dengan Aurelio. Candra tampak bahagia ia menikmati kebersamaannya bersama Aurelio di rumah Hugo Wallington. Meskipun Hugo terlihat cuek tak mengacuhkannya, namun Candra tidak mempedulikannya.Ia justru semakin akrab dan dekat dengan putra tunggal CEO berwajah tampan tersebut.Lily menyukai Candra, setelah melihat ketika Candra begitu pintar mengambil hati cucunya. Ini peluang te
“Tidak kok nyonya. Aku tidak memikirkan apapun, dan aku baik-baik saja kok nyonya,” ucapnya kembali berbohong menutupi jika sesungguhnya pikirannya justru melayang ke arah Hugo berada.“Candra. Aku minta maaf, jika selama ini sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sadar, seharusnya aku tak memperlakukanmu seperti itu, hingga akhirnya kamu pergi meninggalkan putraku Hugo. Aku berharap kamu bisa memaafkanku Candra, meskipun aku akui kesalahanku mungkin sudah terlalu besar terhadapmu.”Candra tak menyangka, jika nyonya Wallington bisa berkata demikian padanya. Mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Candra.Candra menyentuh tangan nyonya Wallington, seraya menganggukkan kepalanya pelan. Candra tersenyum begitu juga dengan nyonya Wallington.“Iya nyonya. Aku sudah memaafkanmu nyonya, jauh sebelum nyonya minta maaf padaku,” jawab Candra seketika membuat nyonya Wallington berbinar-binar wajahnya.“Sungguhkah? Kamu memaafkanku Candra..? Kam
"Ya, ibu bantu cari pengasuh yang lebih kompenten.”“Kamu tidak butuh pengasuh untuk Aurelio, tapi seorang ibu untuk anakmu,” ujar Lily melirik Hugo dengan hati-hati.“Ibu ....” Hugo menatap ibunya tidak suka topik itu di bahas lagi.“Kamu tidak berniat mencari ibu untuk Aurelio? Apa karena kamu tidak bisa melupakan Candra?”Hugo terdiam, pikirannya kembali memikirkan Candra. Wanita itu memperlakukan Aurelio dengan baik saat itu dan dia pula yang menemukan putranya.Hugo menggelengkan kepala mengusir bayangan gadis itu dan berpura-pura mengetik sesuatu di laptop. "Aku sibuk, tolong tinggalkan aku, Bu.”Lily mendesah pasrah dan meninggalkan Hugo untuk mengurus pekerjaannya.....Beberapa hari kemudian sejak pertemuannya dengan Paman Hugo, Candra masih tidak memiliki keberanian mencari pria itu.Gadis berparas manis itu, bolak-balik tak jelas dan gelisah di ruang tamu kamar hotelnya seolah-olah mengukur ruang luas di kamar hotel tempat ia menginap selama berada di kota tersebut. Pikira
Candra merasa sedih atas sikap Hugo Wallington bersikap dingin dan mengabaikannya. Dia meninggalkan taman hiburan dan kembali ke hotel tempat dia menginap. Candra gelisah terus memikirkan pertemuannya dengan Hugo. Dia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pria itu selama lima tahun sejak dia meninggalkannya. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan keinginannya dan menelepon seorang asisten yang mengurus semua keperluannya. Dia menyuruh asistennya mencari tahu tentang Hugo selama lima tahun ini. Setelah itu Candra menunggu informasi dari asistennya semalaman. Beberapa jam kemudian asistennya datang ke kamar hotelnya. “Bagaimana, Vivi?” Candra bertanya gelisah meraih tangan wanita itu. “Nona muda, Tuan Wallington tidak pernah menikah, tapi dia memiliki seorang anak yang sampai saat ini masih dia sembunyikan dari mata publik. Ibu dari anak itu, mantan pelacur Tuan Wallington meninggal saat melahirkan.” Mata Candra melebar, jantung berdegup kencang merasa senang karena
“Kamu tidak usah takut dengan kakak. Kakak tidak jahat kok, jadi adik kecil jangan menangis lagi ya. Tenang saja, Kakak akan bantuin kamu kok.” Candra terus mengajak anak kecil tersebut berbicara, meskipun ia tetap bungkam tak mau bicara sepatah kata pun.“Ayo sini..! Ikut dengan kakak. Kita cari keberadaan orang tua kamu ya,” ujar Candra mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.Anak itu seolah mengerti dan menghapus air matanya. dia mengulurkan tangan kecilnya meraih tangan wanita di depannya.Candra tersenyum hangat meremas tangan kecilnya. Dia pun menggendong dan mengajaknya menuju ke arah ruangan bagian informasi. Candra berpikir jika anak tersebut adalah anak hilang, mungkin dengan bantuan bagian informasi dapat mempertemukan kembali anak kecil yang terpisah dari orang tuanya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.Anak kecil tersebut saat ini berada dalam gendongan Candra tidak menangis dan memeluk leher Candra saat dibawa masuk ke pusat informasi taman hiburan.Candra mendeka
Lima tahun kemudian.Langit biru cerah dan angin bertiup lembut. Taman hiburan tampak hidup dan meriah.Gadis itu memandang langit musim panas dan memejamkan mata menikmati sinar matahari bersinar cukup cerah.Dia cantik berada di usia muda 25 tahun, kecantikannya mekar dengan indah. Jejak naif dan polos seorang gadis memudar dengan kecantikan wanita dewasa. Dia menarik perhatian beberapa pria yang lewat.Candra memuka mata, memperlihat matanya yang cerah dan cemerlang, namun menyimpan jejak kesedihan.Lima tahun telah berlalu, kota ini tak begitu banyak perubahannya. Kerinduannya begitu besar terhadap kota ini, begitu banyak kenangan yang tak mudah dilupakan di sini. Candra telah kembali ke kota di mana dulu ia memiliki story dan kenangan yang begitu membekas untuk dirinya.Bagaimana kabarnya kamu paman Hugo?Pasti saat ini dia sudah bahagia menikah dengan perempuan itu.Candra mendesah. Tak ada gunanya lagi mengingat semuanya jika saat ini paman Hugo sudah menjadi milik perempua
Candra tidak menjawab, dia menatap bibir tipis Hugo sebelum menundukkan kepala mencium bibirnya. Ciumannya agak grogi dan gugup. Hugo merasa terkejut. Sudah lama sekali Candra tidak mengambil inisitif menciumnya. Tapi dia tidak membalas ciuman Candra dan menahan keinginannya untuk melumat bibirnya menggoda. Dia harus memberinya pelajaran hari ini. Merasa Hugo tidak membalas ciumannya membuat Candra agak cemas dan malu. Tapi Hugo tidak mendoronya. Candra agak berani memperdalam ciumannya, bibir menghisap bibir bawah pria itu dan menyapu lidahnya di sepanjang bibir Hugo. Hugo mengerang pelan dalam bibirnya, tangannya mencengkeram pinggang ramping gadis itu. Candra semakin berani menyelipkan lidahnya menggoda bibir Hugo, tanganya mengusap-ngusap dada pria itu dengan gerakan menggodanya. Pinggulnya mengosok pangkal paha Hugo, menggoda ‘junior’ pria itu. Napas Hugo semakin dalam, dia mengcengkeram pinggang gadis itu semakin erat. Salah satu tangannya meremas pantat Candra di balik cel
“Tidak,” balas Candra serak dan menundukkan kepala agar Hugo tidak melihat dia menangis.“Benarkah?” Hugo meraih dagu gadis agar mendongak menatapnya. Dia melihat mata Candra berkaca-kaca dan basah. “Kamu menangis? Mengapa kamu menangis?” tanyanya dengan kening berkerut.Candra menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya mengantuk kok.”Candra mengusap matanya dan berpura-pura menguap. “Aku tidak tidur nyenyak semalam dan bangun pagi-pagi sekali untuk membuat bubur.”Hugo menatapnya lekat-lekat seolah mencari kebohongan dari mata gadis itu.Candra menguap hingga air matanya keluar. “Aku mengantuk. Bangunkan aku jika makan malam sudah selesai ....” Lalu dia dengan hati-hati memeluk pinggang Hugo agar menekan luka di perutnya dan bersandar di dada Hugo. Matanya terpenjam, dalam hitungan beberapa menit, dia sudah tertidur.Hugo mengamati gadis yang tertidur itu dan mendesah memeluk kepalanya di dadanya. Dia mencium kepala Candra dan memejamkan mata mencoba untuk tidur.Satu jam kemudian, Hug