Malam semakin larut, kedua insan yang patah ini tampak diam menyembunyikan berbagai perasaan seperti, rindu akan kehangatan, cerita yang sudah meluap, dan air mata yang ingin di tepis sang kasih. Mereka semua membenamnya hanya karena suatu malam yang tidak pernah mereka inginkan terjadi. Malam yang sudah menjungkir balikkan kehidupan dua insan ini. Adira dengan patah hati terhebatnya karena hampir kehilangan Ayana untuk kali keduanya dengan luka parah yang di deritanya. Sedangkan Ayana yang terbangun dengan memori tidak penuh setelah kejadian tersebut berlangsung. Tidak ada yang salah disini, hanya saja mereka harus saling sabar untuk lebih menguatkan dan percaya satu sama lain. Adira yang sabar dengan tingkah Ayana yang tidak peduli padanya. Sedangkan Ayana yang harus percaya bahwa Adira adalah suaminya, setelah menerima berbagai macam bukti nyata di hadapannya. Angin semakin kencang, dan waktu pun semakin larut. Ayana tertidur di bahu Adira saat A
Sinar mentari masuk menembus kaca balkon yang tertutup rapat. Sang empu yang sedang tidur pun perlahan mengeliat tak nyaman karena merasa terganggu. Adira tampak merubah posisinya untuk membelakangi sinar daripada membuka matanya untuk bangun. Semalam tidurnya sangat larut, dan pantas saja jika pagi ini ia belum merasa cukup dengan tidurnya. Masih pulas dengan tidurnya, kini alis Adira bertaut kesal karena ada sesuatu yang membuat wajahnya merasa geli. Bukan hanya pipi, tapi setiap sisi wajahnya seperti sedang di mainkan oleh seseorang. Adira yang tidak bisa lagi menahannya pun perlahan membuka matanya. Betapa terkejutnya ia saat mendapati Ayana yang kini duduk di sampingnya sembari menatapnya hangat dan memainkan wajah tampannya. Senyum bangun tidur Adira terukir walau masih samar. Tangannya pun dengan cepat menarik tubuh Ayana untuk masuk kedalam selimut bersama dengan tubuhnya. Ayana terkejut dengan perlakuan Adira baru saja, namun it
Waktu terus berjalan, jam sudah berganti menjadi hari, dan begitu lah dunia terus berjalan. Tidak terasa sisa waktu Adira hanya tinggal dua hari, sebelum semua kenyataan manis maupun pahit yang akan menentukan hidupnya kelak. Ayana benar, menikmati masa-masa manis penuh akan kasih sayang dan cinta bersamanya adalah obat terindah daripada hanya mendatangi tempat yang sudah menorehkan kisah manis mereka berdua. Seluruh panjatan doa terus Adira ungkapkan pada sang pencipta. Meminta untuk semesta berpihak pada kehidupannya yang sudah lama suram. Bahkan tidak adanya pencahayaan yang menerangi semasa hidupnya. Terik mentari hari ini bersahabat, meskipun cuaca sedikit dingin namun tidak terlihat mendung. Hari ini Ayana mengajak Adira untuk berkeliling mengunjungi Street food di Champs-Elysees. Disana kita dapat menjelajahi jalanan penuh akan toko juga caffe yang bisa di kunjungi, sekaligus melihat bangunan-bangunan ala Paris. Tidak hanya menghabiskan waktu
Setelah menghabiskan pagi dan siang bersama menjelajahi jalanan di Champs-Elysees, kini datang lah malam yang sudah di tunggu Adira. Sebenarnya masih ada waktu dua hari lagi untuk mereka menghabiskan malam penuh akan keindahan di Paris, tetapi sore tadi Adira mendapatkan kabar bahwa ia harus segera kembali ke Seoul di karenakan kantor miliknya mengalami kendala yang harus di tanganinya sendiri. Adira bersiap dengan balutan suit jas hitam yang sengaja ia sewa dari desaigner langganannya di kota Paris. Kota Paris bukanlah hal yang asing bagi Adira, karena ia sering sekali berkunjung dan menghabiskan waktu disini semasa kuliah S2, juga karena pekerjaannya juga.“Dulu gue sempat curiga sama lo Ra,” ucap Arsen tiba-tiba.“Kenapa?” Arsen berjalan mencari jas yang tadi juga ia pinjam untuk malam terakhirnya di Paris. “Ya lo kan cakep, tapi sejak SMA sampai kuliah ngga ada satu pun cewek yang benar-benar lo cinta. Gue pikir lo aneh, eh ternyata,” jawab Arsen dengan men
Awan sore mulai terlihat menggelap seiring berjalannya waktu. Kini langit terlihat indah dengan goresan warna jingga yang menandakan bahwa matahari akan segera terbenam dan digantikan dengan bulan setelahnya. Sudah lama ia bersiap dan hanya menunggu Ayana selesai dengan tampilannya, tapi sudah lama juga ia menunggu di teras balkon dengan memandang jalanan di sekitar hotel. Tangannya melirik jam yang melingkar sempurna di pergelangan tangannya, waktu terus berputar. Adira pun memutuskan untuk bangkit dan melihat Ayana secara langsung. Adira kini melangkah bergerak menuju kamar hotel yang di tempati oleh Ayana dan Rissa. Ia hanya ingin menanyakan apakah mereka sudah siap atau belum. Berulang kali Adira memencet bel, namun tidak kunjung di bukakan. Hingga akhirnya setelah ia berdiri sekitar lima menit, pintu tersebut terbuka. Terdapat Rissa yang kini menatapnya dengan sirat yang tak bisa di jelaskan. Adira mengernyit, seolah bertanya apa yang sedang te
Adira’s POV Semesta ku sudah melebur tiada arti. Penguatku dengan cepat mundur dan tidak lagi mau untuk kembali bersama dengan ku. Melihat sorot mata kecewa Ayana, berhasil membuat hatiku sakit. Bahkan sakit sekali. Lebih sakit dari luka lebam yang setiap kali ku dapatkan dari tamparan keras Rajendra. Dengan berat hati, aku melangkah perlahan meninggalkan kamar milik Ayana. Sudah saatnya aku harus mundur dari medan tempur yang bahkan tiada hentinya. Sudah hampir sepuluh tahun aku berjuang dengan bertumpu pada kedua kaki ku yang ku paksakan untuk kuat menerima setiap keadaan. Namun sekarang, keadaan lah yang menamparku untuk segera sadar bahwa sampai kapan pun dunia tidak akan pernah berpihak pada sosok menyedihkan seperti ku. Setelah menghilang dari pandangan Ayana, kaki lemasku yang tidak lagi kuat menumpu beban badanku, kini luruh terduduk diatas lantai hotel yang berdebu. Aku duduk di lorong hotel yang sepi, menangisi semuanya. Keadaan, diriku, b
Ayana’s POV Hembusan angin dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku terperanga saat melihat keadaan yang di penuhi kegelapan di depanku. Tangan ku berusaha untuk meraba sekeliling, namun nihil. Tidak ada barang atau seorang pun yang berada disana. Mulutku tak henti-hentinya berteriak memanggil seseorang. Adira. Hanya dia yang ada di dalam pikiranku saat ini. Tidak ada suara apapun disana, kecuali suara pantulan dari teriakan ku. Aku melangkah penuh akan ketakukan ke sembarang arah yang bisa membebaskan ku dari sana. Terus berusaha mencari cara agar bisa keluar dari ruangan mengerikan ini.“Adira!” teriak ku dengan keras. Tangis luruh dengan alasan ketakutan akan kegelapan. Aku terus melangkah untuk mencari jalan keluar, karena tidak ada yang bisa membantuku saat ini kecuali diriku sendiri. Beberapa kali melangkah, kini aku jatuh. Kaki ku lemas karena merasa takut. Tinggal aku sendiri disini.“Na tolong aku.” Aku terkejut saat mendengar suar
Ayana POV Hai, aku Nadira Ayana Wangsa. Wanita berusia dua puluh tahun yang saat ini sudah memiliki dua anak. Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan menjadi roller coaster seperti ini. Hidup indah yang menjadi dambaan banyak orang, sudah sirna sejak aku berusia sepuluh tahun. Usia dimana aku masih di temani oleh kedua orang tua yang lengkap untuk mengajarkan ku berbagai banyak hal yang belum ku mengerti sama sekali. Tapi Mama sudah pergi lebih dulu meninggalkan ku dan Papa. Saat itu semuanya menjadi berubah. Papa menjadikan dirinya lebih sibuk alih-alih berusaha melupakan Mama, sehingga aku tidak pernah lagi mendapatkan perhatiannya. Aku tumbuh seorang diri bersama gelapnya warna yang menghiasi hidup ku. Hingga akhirnya Papa memuutuskan untuk menikah kembali. Aku sangat ingat bagaimana waktu aku menolak keras Papa yang meminta izin untuk menikah kembali. Hanya berselang satu tahun, Papa lalu kembali memutuskan untuk menikah dengan wanita janda y
Terdengar suara ricuh dalam suatu ruangan. Teriakan dan goresan antar benda sangat terdengar dengan jelas. Terdapat empat orang di dalamnya yang tampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.“Kak, itu balonnya kurang gede,” peringat gadis berusia lima belas tahun itu dengan meneriaki salah satu kakak laki-lakinya.“Jangan gede-gede, nanti meletus. Terus habis balonnya,” jawabnya yang enggan mendengarkan suara adiknya.“Tapi ngga sekecil ini juga bego,” sahut lainnya dengan menoyor kepala orang yang di panggil Kak tadi. Ry, mendengus kesal setelah mendapatkan toyoran keras di kepala oleh Theo. Theo pun mengambil balon yang sudah di tiup oleh Ry dan menunjukkannya pada Ayah mereka. Adira yang tadi berada di dapur pun keluar menuju ruang tamu saat mendengar anak-anak mereka bertengkar seperti biasa.“Yah, lihat deh. Balonnya terlalu kecil kan?” tanya Theo pada Adira. Adira tertawa melihat balon seukuran tangan yang bisa di genggamnya itu. “Siapa yang tiup?” tany
Dentuman suara musik mengalun menyeruak kedalam telinga setiap orang yang datang. Lampu terang mampu memperlihatkan setiap insan yang datang dengan riasan wajah yang sudah mereka persiapkan. Dalam ruangan yang besar ini mampu menampung ribuan orang, dan saat ini sudah banyak orang yang datang untuk mengikuti Pesta Relasi di Perusahaan milik Adira. Ya, ini adalah hari sabtu. Dimana semua rekan kantornya menghadiri pesta yang sudah ia janjikan untuk lebih mempererat tali silaturahmi antara rekan kerja dan atasan. Semua mata pun tampak tertuju pada Adira yang berjalan dengan menggandeng Ayana di sampingnya. Bak seorang Raja dan Ratu, kini mereka menjadi pusat perhatian selama mereka berjalan masuk kedalam ruangan. Tatapan kagum terpancar dengan nyata di mata setiap orang yang menatap mereka. Ayana yang memakai dress Vero Navy Blue Smocked Off-Shoulder mini dress. Dress tersebut sangan pas untuk tubuh Ayana, karena mampu membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ti
Dalam sebuah kabin dengan sentuhan warna putih membuat ruangan terlihat sangat lebar. Disana terlihat Aji dan Elvina yang tampak berbaring diatas ranjang mereka, menikmati waktu santai seperti biasanya.“Beberapa hari ini badan ku tidak sesehat seperti dulu. Rasanya lemas sekali, sampai mikirin masalah perusahaan pun belum tentu bisa,” lirih Aji yang sedang membaringkan tubuhnya. Elvina yang sedari tadi nampak asik bermain ponsel pun kini mengalihkan pandangannya pada Aji yang nampak lemas.“Yaudah serahin aja perusahaan ke Tiara. Biar dia yang urus, kamu tinggal rebahan di rumah.” Jawab Elvina dengan wajah sumringahnya. Aji menggeleng, “Aku sudah memutuskan untuk memberikan kuasa perusahaan ini pada Ana. Tiara hanya akan mendapatkan beberapa persen saham saja,” balas Aji menolak. Raut kesal pun terpancar dengan jelas pada wajah Elvina. “Kamu kira lulusan SMA bisa memimpin sebuah perusahaan? Lagian Ana ngga akan bisa ambil kendali perusahaan, kamu i
Langkah kaki besar milik Adira membawanya untuk masuk kedalam gedung besar milik RAJI'S COMPANNY. Sejak kedatangannya raut wajahnya nampak serius dan tidak menampakkan kesenangan sama sekali. Adira menghentikan langkahnya tepat pada lift yang masih tertutup dengan rapat. Ia pun tampak menunggu lift tersebut untuk segera terbuka. Diamnya membuat pikirannya terbawa pada percakapan semalam bersama Aji, Papa mertuanya. Saat itu Adira berada di taman dengan cuaca dingin di tengah-tengah tubuhnya yang masih belum pulih seutuhnya.-^Adira dapat email masuk, apa benar besok pengalihan CEO baru?^^Betul, nak. Papa akan serahkan perusahaan pada CEO baru agar bisa di kelola dengan baik,^^Siapa Pa?^ Marah Adira seolah teredam di balik saluran telephone di ponselnya. Ia tampak menunduk kesal, sembari mengepalkan tangannya dengan kuat setelah mendengarkan jawaban dari Aji tentang siapa yang akan menggantikannya.^Ngga bisa dong Pa. Ini ngga adil buat Ana,^ tegas Adira pada
Ayana tampak membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas air putih serta obat yang sudah di berikan dokter untuk Adira. Ia pun menaruhnya diatas nakas sebelah ranjang mereka. Ayana kini tampak membantu Adira untuk bisa duduk dengan nyaman. Adira sudah sadar sejak kedatangan dokter yang menanganinya tadi. Tentu saja ia mendapatkan amukan dari dokter karena terus mendapatkan keluhan tentang perut Adira. Sudah empat tahun terakhir Adira memiliki penyakit ini, dan baru tiga tahun ia menuruti perkataan dokter agar penyakitnya tidak kambuh. Adira tampak tersenyum tipis dengan bibirnya yang pucat.“Makan dulu Mas,” ucap Ayana dengan meraih semangkuk bubur hangat tersebut. Perlahan Ayana tampak mengarahkan sendok berisikan bubur tersebut pada mulut Adira. Adira pun menurutinya dan memakannya walau terasa sedikit pahit di dalam mulutnya. Seperti itu hingga makanannya habis tak tersisa. Kini Ayana pun berganti untuk memberikan minum kepada Adira sebelum meny
Arsen berjalan masuk kedalam ruang kantor yang sudah lama tidak ia kunjungi. Setelah kepulangannya dari Paris, ia langsung memutuskan untuk kembali bekerja agar bisa membantu Adira yang pasti kewalahan mengurus kantornya sendiri. Tidak hanya itu, ia membantu Adira sebagai ucapan terima kasih telah memberikan banyak hal selama ia di Paris.“Selamat pagi, Pak Arsen.” Sapa seorang karyawan perusahaan.“Pagi.” Sahut Arsen. Ia pun terus melangkah menuju ruangan milik Adira, dimana itu adalah rumah kedua untuknya. Ia membukanya tanpa permisi, dan mendapati Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Gila, pagi banget lo. Tumben?” tanya Arsen alih-alih menyapa Adira yang sudah fokus pada pekerjaannya.“Banyak banget kerjaan yang terbengkalai selama gue ngga masuk kantor. Ngga ada yang backup gue juga,” jawab Adira tanpa mengalihkan fokusnya sama sekali.“Gue bisa bantu apa?” Adira diam. Ia sepertinya sedang memikirkan apa yang bisa dilakukan Arsen untuknya. “Minta tolo
Ayana mengeliat tak nyaman saat ada sinar matahari masuk menembus celah gorden yang terbuka. Perlahan ia membuka matanya setelah tidur dengan sangat nyeyak tanpa adanya gangguan. Tangan kirinya meraba untuk memastikan bahwa seseorang tetap ada di sampingnya semalam. Tapi nihil, tidak ada orang sama sekali di sampingnya. Dengan cepat, ia pun membuka matanya dan mencari keberadaan sang suami. Awalnya ia terkejut saat tidak mendapati Adira yang tidur di sampingnya, namun sedetik kemudian senyumnya terpancar saat melihat Adira tengah bermain dengan si kembar.“Mas kok udah bangun? Masih pagi loh ini,” tanya Ayana dengan suara seraknya sehabis bangun tidur. Adira menoleh, matanya sangat sayup karena kurang tidur. Semalam, setelah membaca ketikan Ayana, ia tidak bisa kembali tidur. Banyak hal yang dia segera selesaikan untuk menebus semua kesalahannya. Setelah menyudahi pekerjaannya yang terhambat, Adira sebenarnya ingin sekali tidur. Tapi ternyata jam su
Ayana POV Hai, aku Nadira Ayana Wangsa. Wanita berusia dua puluh tahun yang saat ini sudah memiliki dua anak. Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan menjadi roller coaster seperti ini. Hidup indah yang menjadi dambaan banyak orang, sudah sirna sejak aku berusia sepuluh tahun. Usia dimana aku masih di temani oleh kedua orang tua yang lengkap untuk mengajarkan ku berbagai banyak hal yang belum ku mengerti sama sekali. Tapi Mama sudah pergi lebih dulu meninggalkan ku dan Papa. Saat itu semuanya menjadi berubah. Papa menjadikan dirinya lebih sibuk alih-alih berusaha melupakan Mama, sehingga aku tidak pernah lagi mendapatkan perhatiannya. Aku tumbuh seorang diri bersama gelapnya warna yang menghiasi hidup ku. Hingga akhirnya Papa memuutuskan untuk menikah kembali. Aku sangat ingat bagaimana waktu aku menolak keras Papa yang meminta izin untuk menikah kembali. Hanya berselang satu tahun, Papa lalu kembali memutuskan untuk menikah dengan wanita janda y
Ayana’s POV Hembusan angin dingin menjalar ke seluruh tubuh. Aku terperanga saat melihat keadaan yang di penuhi kegelapan di depanku. Tangan ku berusaha untuk meraba sekeliling, namun nihil. Tidak ada barang atau seorang pun yang berada disana. Mulutku tak henti-hentinya berteriak memanggil seseorang. Adira. Hanya dia yang ada di dalam pikiranku saat ini. Tidak ada suara apapun disana, kecuali suara pantulan dari teriakan ku. Aku melangkah penuh akan ketakukan ke sembarang arah yang bisa membebaskan ku dari sana. Terus berusaha mencari cara agar bisa keluar dari ruangan mengerikan ini.“Adira!” teriak ku dengan keras. Tangis luruh dengan alasan ketakutan akan kegelapan. Aku terus melangkah untuk mencari jalan keluar, karena tidak ada yang bisa membantuku saat ini kecuali diriku sendiri. Beberapa kali melangkah, kini aku jatuh. Kaki ku lemas karena merasa takut. Tinggal aku sendiri disini.“Na tolong aku.” Aku terkejut saat mendengar suar