Kanya mengawali hari dengan mengurus Monica serta menyediakan perlengkapan dan kebutuhan Davva. Mulai dari menyiapkan pakaian kerja Davva, memandikan Monica, memasangkan bajunya hingga memberinya makan.“Coba deh tebak, hari ini siapa yang antar Monic ke sekolah?” tanya Kanya sambil menyisir rambut panjang sang putri kemudian menyatukan setiap helainya dalam satu ikat rambut.“Pasti Papa. Iya kan, Ma?” Kanya mengangguk mengiakan tebakan Monica yang membuat anak itu bersorak senang.“Yeaay!!! Monic sekolah sama Papa. Tapi nanti pulangnya juga sama Papa kan, Ma?” “Mmm, kalau misalnya sama Mama aja gimana? Kan Papa harus kerja. Nanti kalau misalnya Papa lagi nggak kerja baru deh pulangnya sama Papa.”“Tapi nanti Mama jangan telat ya, Ma.”“Enggaak. Mama janji deh. Nanti Mama bakal tepat waktu. Kalau perlu nanti setengah jam sebelum pulang Mama udah nyampe di sekolah Monic,” kata Kanya menjanjikan.“Janji, Ma?” “Iya, Mama janji.” Kanya mengangkat kelingkingnya. Monica ikut melakukan h
Kanya sedang melihat-lihat isi butik ketika dering ponsel menginterupsinya. Mengeluarkan benda itu dari saku, Kanya mendapati nama Davva tertera di sana. Dengan refleks Kanya menujukan matanya pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata masih pukul sepuluh pagi. Tadinya Kanya berpikir bahwa Davva menelepon untuk mengingatkannya agar jangan lupa menjemput Monica.Tidak ingin membiarkan Davva menunggu lama, Kanya langsung menjawab panggilan tersebut dengan mengusap tanda terima di layar.“Iya, Dav?”“Kamu di mana?”“Di Monique. Tumben nelfon jam segini? Yang semalam masih kupikirin, aku belum ada jawabannya, Dav,” kata Kanya. Ia pikir Davva menanyakan jawabannya mengenai tawaran untuk pindah ke NY. Hingga saat ini Kanya masih memikirkannya dan belum mampu memberi keputusan apapun. Kanya memiliki berbagai pertimbangan dan pikiran-pikiran di kepalanya.“Aku bukan mau nanya itu,” jawab Davva membantah dugaan Kanya. “Cuma lagi pengen dengar suara kamu.”Kanya tersenyum di ba
Kanya dan Raven serta anak-anak sudah duduk di kursi masing-masing. Mereka mengelilingi sebuah meja persegi.“Ih, kok rasanya nggak enak ya?” celetuk Lavanya saat menjejalkan potongan dimsum ke mulutnya.“Masa?” kata Ray menanggapi.“Kalau nggak percaya nih coba aja sendiri!” Lavanya menggeser wadah makanannya ke arah Ray.“Nggak mau, aku kan nggak suka dimsum.” Ray menolak untuk mencicipinya.“Tuh kan, kamu aja nggak suka, apalagi aku.” Lavanya meletakkan sumpitnya. Ia tidak berniat menghabiskannya dan membiarkannya begitu saja.“Kenapa nggak dihabisin? Kata Papaku itu namanya mubazir. Ayo dong dihabisin.” Monica berkomentar melihat olahan ayam itu masih bersisa banyak.“Siapa kamu sok nasehatin aku?” Alih-alih mendengarkan dan bersikap baik, Lavanya malah menyalak.“Lavanya, nggak boleh gitu. Yang dikatakan Monic benar. Kalau makanan nggak dihabisin namanya mubazir.” Raven menasehati anak angkatnya dengan lembut.“Tapi nggak enak, Pa.” Lavanya menyampaikan alasannya. “Kalau nggak e
Pagi itu saat terbangun Davva tidak menemukan Kanya berada di sebelahnya. Ya, seperti hari-hari sebelumnya Kanya bangun jauh lebih awal dari Davva lalu menyibukkan diri di ruang belakang.Meskipun sudah ada asisten rumah tangga akan tetapi bagi Kanya urusan perut dan memberi makan anak serta suami sebisa mungkin harus melibatkan tangannya. Kecuali jika ia benar-benar tidak bisa.Bangkit dari tempat tidur, hal pertama yang Davva lakukan adalah mencari keberadaan sang istri.Melangkahkan kakinya ke ruang belakang, dugaan Davva seketika menjadi nyata. Sosok mungil itu terlihat sedang sibuk di depan oven. Davva mendekat dan berdiri tepat di belakang Kanya.“Lagi bikin apa, Nya?” tanyanya pelan tapi ternyata cukup mengagetkan Kanya.Kanya terperanjat dan sontak menoleh ke belakang. “Astaga, Dav, aku pikir siapa.” Kanya memegang dadanya sebagai bentuk bahwa dirinya benar-benar terkejut oleh tindakan suaminya.Davva tersenyum. Mungkin Kanya benar-benar sedang berkonsentrasi sehingga tidak me
Setelah penyerangan Aline pada Kanya di sekolah anak-anak, Kanya dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan pertama.Tadi Aline tidak hanya mencakar muka Kanya dan mencoba mencelakai dengan mencekik Kanya. Tapi perempuan itu juga menampar Kanya berkali-kali hingga Kanya tidak sadarkan diri.Kanya sudah mencoba melawan, tapi usahanya percuma lantaran tubuh Kanya yang begitu mungil sedangkan Aline begitu menjulang. Pertengkaran keduanya mengundang perhatian orang-orang dan sukses membuat kehebohan di tempat itu. Aline langsung diamankan saat itu juga.Raven datang tidak lama setelah pihak sekolah meneleponnya. Sedangkan hingga saat ini Davva masih belum tiba.“Aku minta maaf, Nya. Aku nggak tahu kalau Aline datang ke sini,” kata Raven sambil memandang sedih pada Kanya. Keadaan mantan istrinya itu begitu memprihatinkan. Wajah mulus Kanya penuh dengan gurat-gurat cakaran Aline. Sedangkan lehernya merah oleh bekas cekikan perempuan itu. Jika saja tadi pihak sekolah terlambat
“Kondisi Kanya sudah membaik. Dia sekarang sedang istirahat. Kamu mau ketemu Kanya?” tanya Davva pada Raven yang datang berkunjung pagi itu.Raven tahu akan terkesan tidak etis jika ia mengatakan iya dengan terang-terangan pada suami Kanya, sedangkan sang suami sudah mengatakan keadaan istrinya. Tadinya Raven berharap Kanyalah yang menyambutnya, bukan Davva, jadi ia bisa berjumpa langsung dengan Kanya.“Nggak usah, kalau Kanya sedang istirahat biar dia istirahat dulu. Aku hanya ingin tahu keadaannya.”“Siapa yang datang, Dav?” Kanya tiba-tiba muncul karena merasa penasaran siapa tamu yang ingin bertemu dengannya, sementara Davva masih berada di ruang tamu sejak tadi.Davva dan Raven serentak memandang ke arah Kanya. Raven melempar senyum mengandung kerinduan yang dibalas Kanya dengan anggukan kepala dan lengkungan bibir sekenanya.“Nya, Raven datang karena ingin tahu keadaan kamu.” Davva mewakili Raven bicara.Kanya mengangguk pelan tanpa sepatah kata mampu terlontar dari bibirnya. En
Ini adalah hari ketiga Davva dirawat di rumah sakit. Selama itu pula Raven menawarkan bantuan mengantar jemput Monica ke sekolah karena Kanya harus menemani Davva. Para pegawai Davva bergantian mengunjungi Davva. Namun yang paling rajin dan berulang-ulang adalah Kiki, sekretarisnya. Bahkan tadi Kiki menawarkan diri untuk menyuapi Davva makan yang segera ditolak oleh lelaki itu. Davva hanya mau dilayani oleh istrinya, bukan wanita lain. Lagi pula Davva masih bisa suap sendiri.“Kata dokter, Pak Davva kapan boleh pulang, Bu?” tanya Kiki saat Kanya sedang bersiap-siap membereskan barang-barang Davva.“Katanya sih sore ini sudah boleh pulang.”Kanya bersyukur akhirnya ada pendonor yang sesuai dengan Davva. Saat Kanya bertanya pihak rumah sakit tidak bersedia memberitahunya dengan alibi bahwa identitas pendonor tersebut adalah rahasia yang tidak boleh diketahui pasien maupun keluarganya. Andai saja Kanya tahu ia ingin berterima kasih dan memberi sesuatu.“Bapak sih kerjanya terlalu difors
“Kamu jangan main-main dengan ucapanmu, Rav! Cerai itu bukan mainan!” jerit Aline tidak hilang akal. Ia harus bisa membuat Raven mengurungkan niatnya setidaknya sampai warisan Ray cair.“Aku nggak pernah main-main dengan ucapanku, Lin. Sekarang kemasi barang-barang kamu, pergi dari sini!” usir Raven dengan intonasi suara yang tidak berubah.Aline beku di tempat. Raven tidak tergoyahkan dan tampak begitu marah. Aline memutar otak dalam waktu singkat agar Raven mengubah keputusannya. Belum sempat Aline menemukan ide Raven kembali lagi menghardiknya.“Aku bilang ke luar! Pergi dari sini! Apa kamu nggak dengar juga? Atau otakmu bebal sampai nggak ngerti apa maksudku? Itu pintu keluarnya kalau kamu nggak tau!” Raven arahkan telunjuknya ke arah pintu agar Aline angkat kaki.“Rav, kamu jangan emosi dulu. Semua ini bisa kita bicarakan baik-baik,” ujar Aline mencoba lagi peruntungannya.Raven menggeleng tegas. Dibukanya lemari baju lalu mengambil pakaian Aline dari sana dan melempar ke muka p
Pertemuan mengharukan itu berlangsung selama sekian menit. Tidak ada pembahasan tentang masa lalu atau singgung menyinggung kesalahan masing-masing. Bagi Wanda, Davva sudah cukup mendapat pelajaran yang sangat berarti dalam hidupnya. Biarlah dia mengambil hikmah dari semua itu. Davva berada d sini dan tergerak pulang untuk menemuinya sudah membuat Wanda begitu bahagia. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan mereka yang langka dan harganya begitu mahal.“Dav, itu siapa?” Wanda berbisik pelan saat melihat ada seorang gadis manis yang saat ini sedang berdiri di sebelah Lilis. Ia baru saja menyadari bahwa Davva datang tidak sendiri.“Rintik, Ma. Teman aku.”“Teman?” Wanda menyipit ingin diperjelas. Ia ingin tahu Rintik teman dari mana karena baru kali ini melihatnya.“Rintik kuliah S2 di NY dan kebetulan tinggal di gedung apartemen yang sama dengan aku.” Davva menjelaskan dengan lebih detail.“Oh ...”Tahu dirinya sedang dibicarakan, Rintik memajukan langkahnya lalu mengenalkan diri pada Wan
Sekitar tiga bulan yang lalu Kanya bertemu dengan Kiki di sekolah Monica. Saat itu Kanya hampir saja terjatuh karena terburu-buru, tapi seseorang menolongnya dengan memegang tangan Kanya.“Hati-hati, Mbak,” kata seseorang yang menolong dan memegang tangannya.“Makasih, saya—“ Ucapan Kanya terhenti saat tahu siapa orang itu.Ternyata dia adalah Kiki, sekretaris Davva yang belakangan dibenci Kanya karena telah merusak hubungannya dengan Davva.Begitu pula dengan Kiki. Gadis itu terkejut saat mengetahui Kanya juga berada di tempat yang sama dengannya. Ia lupa memprediksi kemungkinan bertemu dengan Kanya di tempat tersebut. Seharusnya ia lebih berhati-hati. Tidak seharusnya ia nekat datang di saat jam-jam genting seperti saat ini.Keberadaan Kiki di sana bukan tanpa alasan. Davva memintanya mencari tahu kabar Monica beserta memotonya. Tapi sebelum niat itu terlaksana Kiki keburu bertemu dengan Kanya.“Bu Kanya,” sapa Kiki berusaha bersikap wajar sembari menyembunyikan kegugupannya.Kanya
Time flies ...Detik demi detik waktu berlalu dengan begitu cepat. Ini adalah bulan keenam Davva bermukim di NY. Tinggal di negara Paman Sam begitu menyenangkan. Setiap hari Davva dikelilingi para perempuan cantik, makanan lezat, hidangan nikmat dan segala keindahan dunia. Apapun berada dalam genggamannya. Apapun yang diinginkannya Davva tinggal menjentikkan jari.Hanya saja ... hatinya terasa hampa. Hidupnya tidak sesempurna itu. Davva masih belum mampu melupakan Kanya. Perasaan cintanya pada perempuan itu tidak berkurang kadarnya satu persen pun.Tidak hanya Kanya, tapi ia juga merindukan gadis kecilnya, Monica. Davva tidak tahu kabar keduanya sekarang. Kiki sudah sejak lama berhenti menjadi spionasenya. Waktu itu Kiki tertangkap basah oleh Kanya sedang berada di sekolah Monic. Kanya tentu curiga padanya. Walaupun berhasil menyembunyikan dari Kanya apa tujuannya berada di sana, tapi Kiki sepertinya kapok.“Pretzel-nya enak ya, Dav?” Davva mengerjap kala mendengar suara Rintik yang
Pagi ini Davva bangun lebih awal dari pagi-pagi pada hari sebelumnya. Pasalnya ia tidak sendiri di apartemennya. Davva merasa perlu menghargai tamunya. Sebagai orang yang dititipi sesuatu tentu ia harus menjaga titipannya dengan baik. Oleh sebab itu ia menyiapkan sarapan untuk Rintik. Lagi pula Rintik hanya berada satu malam saja di sana. Itu menurut asumsinya.“Lagi bikin apa?” Suara lembut itu memaksa Davva untuk menoleh ke belakang.Memutar tubuhnya, Davva mendapati Rintik berdiri di hadapannya dengan wajah bareface khas bangun tidur. Gadis itu mengenakan piyama dan slipper. Berdiri tidak lebih dari satu setengah meter dengan Davva. Wajahnya memang tidak mirip dengan Kanya. Tapi postur dan gesturnya nyaris serupa.“Hei, udah bangun?” Davva balas menyapa. “As you can see.” Gadis itu menjawab.“Gimana tidurnya semalam?”“Nyenyak, walau agak pusing, mungkin sisa-sisa jetlag-nya masih ada."Davva tersenyum sekilas kemudian mengambil cangkir berisi chamomile tea yang baru saja dibuatny
Greubel Forsey di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sembilan malam waktu setempat ketika Davva mendengar suara ponselnya.Kala itu Davva baru saja pulang dan masuk ke apartemennya. Ia pikir yang menelepon adalah salah satu temannya. Namun ternyata bukan. Ia mendapati nomor Indonesia tertera di layar gawainya.Mengerutkan dahi, Davva berpikir siapa yang menelepon. Setelah beberapa bulan berada di NY, hanya Kiki yang bolak-balik menghubunginya. Itu pun atas suruhan Davva.Tahu rasa penasarannya tidak akan terjawab jika tidak melakukkan apa-apa, Davva memutuskan untuk menerima panggilan tersebut.“Halo,” sapanya pelan setelah menempelkan ponsel ke daun telinga.“Dav, ini Tante Lilis.”Davva terdiam sesaat guna meyakinkan pendengarannya. Rasanya ia hampir tidak yakin pada apa yang didengarnya. Setelah sekian lama tidak satu pun dari keluarganya yang menghubungi.“Tante Lilis?” Davva mengulangi.“Jangan bilang kalau kamu lupa sama Tante,” kata suara di seberang saat menangkap rasa ke
Kanya tidak marah ataupun tersinggung oleh ucapan Raven yang mengingatkannya pada asal-usulnya dulu. Lugu, mentah, dan tidak punya apa-apa. Untuk apa marah? Toh, faktanya memang begitu.Dan Kanya masih tidak mengerti pada dirinya sendiri. Dulu sudah tidak terhitung lagi entah sudah berapa kali Raven menyakitinya. Tapi perasaannya pada laki-laki itu bertahan dan mungkin akan abadi.Betul yang dikatakan pepatah. Cinta itu buta sehingga membuat banyak orang kehilangan logika. Percuma saja menasehati orang yang sedang jatuh cinta karena mata mereka buta dan telinga mereka juga tuli.Raven melanjutkan perjalanan mereka setelah keduanya selesai membahas mengenai kehamilan Kanya. “Nggak apa-apa kan, Nya, mengantar aku ke kantor?” tanya Raven begitu mobil yang dikendarainya mulai bergerak di jalan raya.“Nggak apa-apa, tapi mampir bentar di minimarket ya, aku mau beliin susu buat Monic.” Kebetulan susu Monica sudah habis, dan kebiasaan anak itu sebelum tidur, entah tidur siang atau malam ada
Tadi setelah menjemput anak-anak ke sekolah Raven mengantarkan Monica pulang ke rumah. Setelahnya barulah membawa Ray pulang ke rumahnya sendiri. Sebenarnya Raven bisa saja menyuruh supir. Akan tetapi Ray yang manja dan keras tidak mau diantar oleh siapa pun selain dengan Raven.Raven berniat akan kembali ke kantor. Di saat yang sama ia melihat ada Kanya dan Marissa. Kanya sedang mencekal tangan Marissa yang terangkat di udara. Hal itu membuat Raven bertanya-tanya, apa yang terjadi? Kenapa Kanya berada di sini?Raven menggegas langkah menghampiri keduanya.“Kanya, kenapa di sini?”Kanya dan Marissa serentak memandang ke arah yang sama. Dengen refleks Kanya melepaskan Marissa dari cekalan tangannya.“Rav, Mama nggak tahu apa salah Mama, tiba-tiba dia datang dan menampar Mama.”Kanya terbelalak mendengar pernyataan Marissa. Bisa-bisanya perempuan itu memutarbalikkan fakta untuk memfitnahnya.“Rav, itu nggak benar. Aku nggak menampar Tante, justru Tante yang menampar aku. Tadi aku mencar
Kanya mengambil ponsel yang berada dalam tas Dior hitamnya. Dengan tangan gemetar jari-jemarinya menggulir daftar kontak mencari nama Raven. Begitu mendapatkannya Kanya langsung men-dial nomor tersebut.Kanya menempelkan ponsel ke telinganya. Detak jantungnya menghentak dengan begitu kencang menunggu Raven menjawab panggilan darinya.‘Cepat jawab, Rav, angkat hp kamu!’ jerit Kanya di dalam hati karena setelah beberapa kali nada panggil Raven masih belum menjawab panggilan darinya.Sambil menelepon Kanya mondar-mandir sendiri di kamarnya, menandakan betapa gelisah dirinya saat ini.Sampai telinganya panas panggilan masih tak terjawab.“Kamu ke mana sih, Rav? Biasanya kamu paling cepat jawab telfon dari aku. Sekarang saat aku butuh kamu malah ngilang,” dumel Kanya kesal.Kanya meletakkan ponsel setelah usahanya untuk menghubungi Raven berakhir sia-sia. Ia segera mengganti baju. Dalam keadaan panik begini Kanya tidak bisa tinggal diam. Ia harus bertemu dengan Raven secepatnya.Setelah me
“Ibu Kanya sehat, Pak. Monica juga. Sekarang Ibu Kanya sering jalan dengan cowok. Ciri-cirinya tinggi, kulitnya sawo matang, dan pastinya gagah. Dia juga yang sering antar jemput Monica ke sekolah."Pesan itu sudah masuk ke ponsel Davva sejak tadi, tapi Davva baru sempat membacanya sekarang. Pesan tersebut berasal dari Kiki, sekretarisnya yang menetap di Indonesia.Meski sudah pergi jauh meninggalkan Kanya, tapi Davva belum benar-benar meninggalkannya. Ia masih mencaritahu mengenai keberadaan Kanya melalui Kiki. Davva menyuruh Kiki mengabarinya hal apapun mengenai Kanya.Dari ciri-ciri yang dikatakan Kiki, Davva jadi tahu bahwa lelaki yang sedang dekat dengan Kanya dimaksud serta mengantar jemput Monica adalah Raven.Hal itu semakin menguatkan fakta bahwa Kanya masih mencintai Raven.Davva mengembuskan nafas panjang sembari menutup perpesanan.Kenapa melupakan Kanya sesulit itu?Apa lagi yang ia harapkan dari Kanya? Bukankah tujuannya pergi adalah untuk melupakan Kanya dari hidupnya?