Raven mendekati Kanya, menyentuh dahinya yang menjadi sasaran kenakalan sang putra. Lemparan Ray yang begitu kuat membuat dahi Kanya bengkak. Kepalanya juga pusing dan terasa berdenyut.Kejadian yang menimpa Kanya membuatnya otomatis memindahkan atensi orang-orang. Kanya dibawa ke ruangan guru untuk diobati di sana. “Biar saya saja, Bu,” kata Raven pada guru yang akan mengompres dahi Kanya. Raven mengambil alih. Dikompresnya dahi Kanya pelan-pelan.Kanya meringis, tangannya refleks mencekal pergelangan Raven.“Sakit?” tanya Raven melihat ringisan Kanya.Kanya mengangguk dengan perlahan. Kanya tidak habis pikir bagaimana mungkin anak seusia Ray bisa melakukan tindakan seperti tadi.“Maafin Ray ya, Nya. Dia nggak tahu kamu siapa. Dia memang manja, semua keinginannya harus dituruti, kalau ada yang nggak sesuai dengan hatinya dia akan ngamuk, contohnya seperti tadi. Awalnya dia nggak mau sekolah. Tapi dari pada terus berada di rumah aku pikir sebaiknya disekolahkan, apalagi teman-teman
Menikah hampir tiga tahun lamanya, Kanya dan Davva sudah melakukan banyak cara dan mengupayakan berbagai hal agar bisa memiliki anak atau keturunan. Terserah mau laki-laki atau pun perempuan. Namun sampai saat ini belum satu pun dari usaha tersebut yang membuahkan hasil, padahal ahli medis menyatakan pada keduanya bahwa mereka berada dalam keadaan sehat. Itulah sebabnya Davva sangat menyayangi Monica. Terlepas dari hal tersebut, perasaan Davva pada Monica tetap tidak akan berubah. Baginya anak sambungnya itu tak ubah statusnya bagai anak kandungnya sendiri.Setelah ucapan Kanya tadi Raven termangu di belakang kemudi. Tatapannya lurus dan terfokus pada jalan raya yang dilaluinya. Akan tetapi pikirannya mengembara jauh. Raven mengira-ngira seperti apa kehidupan Kanya saat ini dengan Davva. Apa mereka bahagia? Apa kehidupan pernikahan mereka harmonis? Dan terutama bagi Davva, apa ia bisa menikmati kehidupannya tanpa memiliki anak dari Kanya tapi malah membesarkan anak orang lain?Sementa
“Papaaa!!!”Monica berlari kecil saat melihat Davva begitu keluar dari kelas.Davva mengembangkan senyum, lalu membungkukkan badan sambil merentangkan tangan untuk menyambut sang putri. Begitu Monica sampai tepat di hadapannya, Davva langsung menggendong anak itu.“Udah boleh pulang kan?” tanyanya sambil melabuhkan kecupan lembut di pipi sang putri.“Udah, Pa,” jawab Monica singkat sambil membalas kecupan Davva di pipinya.Sambil tetap menggendong Monica, Davva membawa Monica ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Davva sengaja memarkirnya di sana—tidak masuk ke parkiran sekolah, agar nanti keluarnya tidak susah, mengingat begitu banyak kendaraan keluar masuk di area sekolah.Setelah menyeberang jalan dan tiba di mobilnya, Davva memasukkan Monica ke dalam mobil.“Papa, Monic senang deh Papa yang jemput Monic ke sekolah.”“Kan tadi Papa udah janji kalau nanti Papa yang bakalan jemput.” Berhubung Davva berhalangan mengantar Monica ke sekolah, maka sebagai gantinya Davva menjanjika
Kanya terperanjat. Ia hampir saja menjatuhkan ponsel dari tangannya. Tidak tahu kenapa tiba-tiba Kanya langsung terserang gugup. “Rav, udah dulu ya, udah malam.” Kanya langsung memutus sambungan saat itu juga tanpa menanti jawaban dari Raven.“Happy banget kayaknya sampe ketawa-ketawa. Telfon dari siapa sih?” tanya Davva setelah Kanya meletakkan ponselnya. Tadi saat Davva baru masuk ke kamar ia mendengar Kanya berbicara sambil tertawa. Kanya terkesan begitu gembira. Kanya semakin gugup. Bukan maksudnya untuk berbohong pada Davva, tapi Kanya hanya khawatir jika suaminya itu menanggapi secara berbeda. Kanya tidak ingin Davva menjadi salah kaprah.“Dav, tadi aku telfonan sama Raven.” Kanya akhirnya memilih untuk berterus terang.Davva menyipit. Selama ini setahunya Kanya hampir tidak pernah berkomunikasi dengan lelaki itu. Lalu ketika tiba-tiba mereka kembali berhubungan tentu saja hal tersebut menumbuhkan pertanyaan besar di kepala Davva.“Tumben Raven nelfon kamu? Ada apa?” Davva men
Kanya mengawali hari dengan mengurus Monica serta menyediakan perlengkapan dan kebutuhan Davva. Mulai dari menyiapkan pakaian kerja Davva, memandikan Monica, memasangkan bajunya hingga memberinya makan.“Coba deh tebak, hari ini siapa yang antar Monic ke sekolah?” tanya Kanya sambil menyisir rambut panjang sang putri kemudian menyatukan setiap helainya dalam satu ikat rambut.“Pasti Papa. Iya kan, Ma?” Kanya mengangguk mengiakan tebakan Monica yang membuat anak itu bersorak senang.“Yeaay!!! Monic sekolah sama Papa. Tapi nanti pulangnya juga sama Papa kan, Ma?” “Mmm, kalau misalnya sama Mama aja gimana? Kan Papa harus kerja. Nanti kalau misalnya Papa lagi nggak kerja baru deh pulangnya sama Papa.”“Tapi nanti Mama jangan telat ya, Ma.”“Enggaak. Mama janji deh. Nanti Mama bakal tepat waktu. Kalau perlu nanti setengah jam sebelum pulang Mama udah nyampe di sekolah Monic,” kata Kanya menjanjikan.“Janji, Ma?” “Iya, Mama janji.” Kanya mengangkat kelingkingnya. Monica ikut melakukan h
Kanya sedang melihat-lihat isi butik ketika dering ponsel menginterupsinya. Mengeluarkan benda itu dari saku, Kanya mendapati nama Davva tertera di sana. Dengan refleks Kanya menujukan matanya pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata masih pukul sepuluh pagi. Tadinya Kanya berpikir bahwa Davva menelepon untuk mengingatkannya agar jangan lupa menjemput Monica.Tidak ingin membiarkan Davva menunggu lama, Kanya langsung menjawab panggilan tersebut dengan mengusap tanda terima di layar.“Iya, Dav?”“Kamu di mana?”“Di Monique. Tumben nelfon jam segini? Yang semalam masih kupikirin, aku belum ada jawabannya, Dav,” kata Kanya. Ia pikir Davva menanyakan jawabannya mengenai tawaran untuk pindah ke NY. Hingga saat ini Kanya masih memikirkannya dan belum mampu memberi keputusan apapun. Kanya memiliki berbagai pertimbangan dan pikiran-pikiran di kepalanya.“Aku bukan mau nanya itu,” jawab Davva membantah dugaan Kanya. “Cuma lagi pengen dengar suara kamu.”Kanya tersenyum di ba
Kanya dan Raven serta anak-anak sudah duduk di kursi masing-masing. Mereka mengelilingi sebuah meja persegi.“Ih, kok rasanya nggak enak ya?” celetuk Lavanya saat menjejalkan potongan dimsum ke mulutnya.“Masa?” kata Ray menanggapi.“Kalau nggak percaya nih coba aja sendiri!” Lavanya menggeser wadah makanannya ke arah Ray.“Nggak mau, aku kan nggak suka dimsum.” Ray menolak untuk mencicipinya.“Tuh kan, kamu aja nggak suka, apalagi aku.” Lavanya meletakkan sumpitnya. Ia tidak berniat menghabiskannya dan membiarkannya begitu saja.“Kenapa nggak dihabisin? Kata Papaku itu namanya mubazir. Ayo dong dihabisin.” Monica berkomentar melihat olahan ayam itu masih bersisa banyak.“Siapa kamu sok nasehatin aku?” Alih-alih mendengarkan dan bersikap baik, Lavanya malah menyalak.“Lavanya, nggak boleh gitu. Yang dikatakan Monic benar. Kalau makanan nggak dihabisin namanya mubazir.” Raven menasehati anak angkatnya dengan lembut.“Tapi nggak enak, Pa.” Lavanya menyampaikan alasannya. “Kalau nggak e
Pagi itu saat terbangun Davva tidak menemukan Kanya berada di sebelahnya. Ya, seperti hari-hari sebelumnya Kanya bangun jauh lebih awal dari Davva lalu menyibukkan diri di ruang belakang.Meskipun sudah ada asisten rumah tangga akan tetapi bagi Kanya urusan perut dan memberi makan anak serta suami sebisa mungkin harus melibatkan tangannya. Kecuali jika ia benar-benar tidak bisa.Bangkit dari tempat tidur, hal pertama yang Davva lakukan adalah mencari keberadaan sang istri.Melangkahkan kakinya ke ruang belakang, dugaan Davva seketika menjadi nyata. Sosok mungil itu terlihat sedang sibuk di depan oven. Davva mendekat dan berdiri tepat di belakang Kanya.“Lagi bikin apa, Nya?” tanyanya pelan tapi ternyata cukup mengagetkan Kanya.Kanya terperanjat dan sontak menoleh ke belakang. “Astaga, Dav, aku pikir siapa.” Kanya memegang dadanya sebagai bentuk bahwa dirinya benar-benar terkejut oleh tindakan suaminya.Davva tersenyum. Mungkin Kanya benar-benar sedang berkonsentrasi sehingga tidak me
Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber
Pria itu baru saja keluar dari mobil lalu menarik langkah cepat. Ia mengangguk sepintas pada seseorang saat berpapasan. Entah siapa orang itu tidak terekam di benaknya. Ia hanya ingin segera tiba secepatnya di kamar lalu beristirahat sepuasnya.Smart lock kamarnya berbunyi kecil saat mendeteksi kesesuaian. Pintu kamar pun terbuka.Raven—lelaki itu langsung masuk. Begitu melihat hamparan kasur ia langsung menghambur. Hari ini begitu melelahkan. Pertemuan serta dengar pendapat dengan pemerintah daerah tadi siang berlangsung dengan alot. Pemerintah setempat memberi banyak tuntutan yang kurang masuk akal kepada para pengusaha yang sebagian besar tidak bisa mereka penuhi.Tatapan Raven berlabuh pada benda seukuran telapak tangan yang terselip di antara bantal. Ternyata Raven lupa membawa ponselnya yang ternyata berada dalam keadaan mati.Sambil berbaring Raven menyalakannya. Beberapa detik kemudian setelah mendapat sinyal, notifikasinya berdenting. Raven terkesiap ketika membaca pesan dari
Sedikit pun tidak terlintas di pikiran Kanya bahwa dirinya akan menghadapi hal menakjubkan di dalam hidupnya, yaitu melakukan persalinan sendiri tanpa bantuan tenaga medis dan terjadi di tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka.Setelah melahirkan di toilet SPBU ditemani Davva, Kanya mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Cerita tentang persalinan di toilet tersebut menjadi buah bibir di sekitar tempat itu, tapi untung tidak sampai viral, karena Kanya tidak ingin populer dengan cara tersebut.Setelah proses observasi, saat ini Kanya berada di ruang rawat. Kondisi Kanya masih terlihat lemah karena kehilangan banyak energi. Tapi perasaan bahagia yang begitu dalam menyelimuti hatinya melihat bayi perempuan yang dilahirkannya begitu sehat, normal, serta lengkap seluruh organ tubuhnya. Bayi mungil itu saat ini berada di dalam box yang diletakkan di samping tempat tidur Kanya.Monic begitu gembira karena pada akhirnya keinginan anak itu untuk memiliki adik perempuan m
“Kanya, maaf sekali, aku nggak bisa menemani kamu lahiran.”Kanya yang saat itu sedang menyesap juice apel refleks memandang ke arah Raven kala mendengar ucapan laki-laki itu. Bagaimana tidak, mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan Raven sudah mem-booking rumah sakit terbaik untuk proses persalinan Kanya. Lalu dengan seenaknya sekarang Raven mengatakan tidak bisa.Raven mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia akan menjelaskan alasannya pada Kanya sebelum perempuan itu mengajukan aksi protes.“Aku baru mendapat telepon dari asistenku di daerah. Dia bilang ada undangan untuk pertemuan dari pemerintah daerah setempat, dan itu nggak bisa diwakilkan. Bukan hanya aku tapi semua pengusaha sawit yang berada di sana,” jelas Raven menyampaikan alasannya.Kanya memahami argumen Raven. Dalam hal ini ia tidak boleh egois dengan memikirkan dirinya sendiri. Ia juga harus mendukung karir Raven.“Nggak apa-apa, Rav, pergilah,” jawab Kanya merelakan.Raven memindai wajah Kanya, mencoba