Kanya mengusap muka, mengeringkan sisa-sisa air matanya akibat menangis tadi.Ia baru saja selesai menelepon Davva mengadukan kerisauan hatinya. Lantas jawaban Davva adalah,“Malam ini sebaiknya kamu tetap di sana dulu ya. Semua kata-kata Ray jangan kamu ambil hati. Namanya juga anak-anak, nggak tahu apa-apa.”Kanya menghela nafasnya. Ia mematuhi kata-kata Davva untuk tetap berada di rumah sakit. Ia melamun sendiri.“Nya, dingin di sini, masuk ke dalam yuk.” Raven muncul dari ruang rawat lalu memanggil Kanya agar beranjak.Kanya menolehkan kepala lantas menengadah menatap Raven. Laki-laki itu terkejut melihat jejak-jejak panjang air mata di pipi Kanya. Ternyata Kanya menangis.“Aku di sini dulu, Rav.” Kanya menolak untuk masuk. Ia tidak ingin mendapat pengusiran lagi yang membuat perasaannya yang sedang sensitif bertambah sedih.Raven ikut duduk menempatkan diri di sebelah Kanya. Mereka sama-sama menyatukan mata dalam gelapnya kabut malam.“Ray udah tidur. Tadi manggil-manggil mamanya
Kanya dan Raven sama-sama terkejut mengetahui ada Davva di dekat mereka. Entah sudah berapa lama lelaki itu berada di sana.“Dav, kamu kok di sini? Aku baru aja mau pulang.” Itu satu-satunya kalimat yang berhasil terlontar dari bibir Kanya.“Hp kamu nggak aktif makanya aku ke sini. Aku pikir kamu butuh sesuatu.” Davva menjelaskan alasannya.“Hpku low bat dari kemarin terus mati.”Davva mengangguk pelan. Ia mencoba untuk memahami alasan Kanya. Kemudian Davva memindahkan pandangannya pada Raven. Lalu disapanya lelaki itu.“Gimana keadaan Ray, Rav?”“Udah sedikit membaik walau masih suka teriak-teriak. Tapi untung ada Kanya. Makasih ya udah ngizinin Kanya di sini.” Davva melengkungkan bibirnya yang begitu berat untuk tersenyum. “Aku bawa Kanya pulang dulu.”Raven mengangguk mengizinkan walaupun merasa berat di dalam hatinya.Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Davva membungkam mulut. Ia tidak mengajak Kanya berbicara agak sepotong kata pun. Sikap Davva tersebut menumbuhkan tanda tanya
“Nya, udah, Nya. Air mata nggak akan menyelesaikan apa-apa.” Dita menarik selembar tisu dari kotak di meja lalu memberikannya pada Kanya.Menerimanya, Kanya mengeringkan air mata. Rasanya lega. Dadanya yang sesak sedikit lebih lapang setelah mengungkapkan perasaannya yang paling dalam.“Sekarang begini. Kalau pun Raven masih mencintai kamu, kamu mau apa? Mau meninggalkan Davva?” kata Dita melanjutkan perbincangan yang belum selesai.“Walaupun seandainya aku dan Raven masih saling mencintai tapi aku nggak mungkin meninggalkan Davva. Aku nggak mau menyakiti dia. Mungkin memang pada dasarnya aku dan Raven nggak berjodoh, tapi perasaan aku tetap nggak akan berubah,” jawab Kanya lirih.Davva menarik langkah dari beranda dengan begitu perlahan. Ia meninggalkan pilar tempatnya bersembunyi sejak tadi sambil mendengar percakapan Kanya dan sahabatnya. Ia membawa pergi pengakuan Kanya.Davva mengurungkan niatnya untuk mengambil vitamin seperti rencana semula. Persetan dengan vitamin itu. Apa yan
Kanya lebih dulu membuka pintu lalu memasuki kamar pribadi mereka, diikuti Davva di belakangnya. Kanya tidak tahu apa yang akan dibicarakan Davva. Tapi melihat seriusnya raut sang suami, secara tidak langsung memberitahu pada Kanya bahwa apa yang akan disampaikan Davva merupakan sesuatu yang penting.Davva menempatkan diri duduk di sebelah Kanya. Namun ia tidak langsung berbicara. Davva terpekur sekian lama. Ia juga tidak tahu harus memulai dari mana. Terlalu banyak yang ingin diungkapkannya.“Dav …” Kanya menyentuh lengan Davva agar suaminya itu lekas menyampaikan maksudnya. “Katanya tadi ada yang mau dibicarakan. Ada apa, Dav?”Davva mengangkat wajah, memindahkan mata pada Kanya yang berada di sebelahnya. Wajah Kanya begitu polos tanpa riasan apa-apa. Tidak ada polesan bedak di pipi atau pun pewarna di bibirnya. Namun kecantikan naturalnya itulah yang sejak awal membuat Davva terpikat.Davva tidak tahu entah berapa lama lagi waktu yang dimilikinya untuk sekadar memandangi paras Kan
"Ladies and gentlemen, welcome onboard Flight BS03 with service from Jakarta to New York. We are currently third in line for take off and are expected to be in the air in approximately seven minutes time. We ask that you please fasten your seatbelts at this time and secure all baggage underneath your seat or in the overhead compartments. We also ask that your seats and table trays are in the upright position for take-off. Please turn off all personal electronic devices, including laptops and cell phones. Smoking is prohibited for the duration of the flight. Thank you for choosing Blue Sky Airlines. Enjoy your flight."Davva mengambil nafas panjang setelah mendengar pengumuman dari flight attendant yang memberitahu bahwa sebentar lagi pesawat yang ditumpanginya akan menerbangkannya begitu jauh.Sebut saja dirinya pengecut, pecundang, atau apapun namanya. Ia tidak akan marah karena nyatanya dirinya memang senista itu. Ia tidak ada bedanya dari para bajingan di luar sana yang menciptakan
Kanya mendudukkan diri di sofa ruang tengah. Rasa lelahnya semakin menggurita. Perasaannya tidak terlukiskan dengan kata-kata. Tadi Monica akhirnya tertidur setelah drama panjang yang membuat Kanya nyaris frustasi.Setelah tahu badan Monica panas Kanya memberi obat peredanya. Tapi Monica menolak untuk meminum obat tersebut. Anak itu memuntahkannya yang membuat Kanya hampir tersulut emosi. Monica memberontak dan tidak mempan dibujuk dengan apapun. Ini adalah di luar kebiasaannya.“Monic, kenapa obatnya dilepeh, Sayang?” ujar Kanya geregetan.“Monic nggak mau minum obat kalau nggak sama Papa," jawab Monica dengan mulut mengerucut.“Tapi Papa kan lagi kerja, gimana mungkin bisa nyuapin Monic?” kata Kanya memberi pengertian. “Ayo kita minum lagi yuk, biar Mama yang suapin obatnya.” Kanya menuang obat berbentuk sirup ke dalam sloki.Begitu akan menyuapinya ke mulut Monica, anak itu memalingkan muka dengan kuat dan tidak sengaja menyenggol tangan Kanya yang memegang sloki sehingga tumpah me
Mantan pasangan suami istri tersebut saling mengunci dalam tatapan. Ada banyak hal yang ingin mereka sampaikan, tapi hanya mampu terucap di hati masing-masing.Raven berdeham lalu melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya sebelum kemudian berkata pada Kanya.“Udah malam, Nya, nggak apa-apa kan kalau aku pulang sekarang?”Kanya menganggukkan kepalanya perlahan. Ia tidak mungkin menahan Raven untuk tetap bersamanya meskipun saat ini ia membutuhkan seseorang untuk berbagi dan menghadapi Monica. Kanya khawatir entah bagaimana caranya untuk mengatasi Monica jika nanti anak itu tantrum lagi.“Nanti kalau ada apa-apa dengan Monic dan kamu nggak bisa mengatasinya sendiri, telfon aja aku, hpku stand by dua puluh empat jam,” ucap Raven seakan mengerti apa yang saat ini mengisi pikiran Kanya.Kanya terpaku. Perkataan Raven barusan mengingatkannya pada seseorang yang berlalu dengan tiba-tiba dari hidupnya. Dulu Davva juga sering mengatakan hal yang sama padanya. Kalau ada apa-apa tel
Kanya merasa kepalanya tertimbun bebatuan besar yang beratnya hingga berton-ton. Begitu pun dengan matanya yang terkatup rapat begitu erat bagai diberi perekat. Namun sinar matahari yang menerpa wajahnya membuat Kanya merasa tidak nyaman. Agaknya kemarin ia lupa merapatkan gorden.Begitu berhasil membuka matanya Kanya sontak terperanjat. Ini bukanlah kamarnya atau pun kamar putrinya.Kanya lantas menyipit mereka ulang kejadian sejak hari kemarin. Seketika kesadaran menghantamnya saat menolehkan kepala ke samping. Tampak seorang lelaki sedang berbaring di sebelahnya.“Astaga! Apa yang sudah aku lakukan?”Kanya terkesiap. Irama nafasnya memburu kencang kala menyadari dirinya dan laki-laki itu berada dalam keadaan yang sama. Sama-sama tak berbusana!Kanya meringis mengetahui lelaki itu adalah Raven. Kebodohan apa yang telah mereka lakukan?Perlahan serpihan kejadian semalam berputar pelan tepat di depan mata Kanya. Kemarin saat sedang berdansa dirinya dan Raven berciuman, lalu mereka t
Ini adalah hari terakhir Davva berada di Indonesia. Besok ia akan kembali ke NY setelah hampir seminggu lamanya berada di tanah air.Selama beberapa hari ini pergerakan Davva tidak jauh-jauh dari rumah dan rumah sakit. Ia tidak ingin ke mana-mana, termasuk untuk bertemu dengan teman-temannya seperti Riki.Namun, di hari ini Davva memutuskan untuk ke luar. Rasa rindu menggerakkan langkahnya ke sekolah Monica. Davva benar-benar sangat merindukan putrinya itu. Tapi ia tidak mungkin menunjukkan mukanya pada Monica. Davva tidak mau menumbuhkan pertanyaan besar di kepala anak itu mengenai eksistensinya selama ini. Baginya, cukup dengan melihat Monica dari jauh sudah cukup untuk mengobati kerinduannya yang begitu dalam.Dan di sinilah Davva sekarang. Berada di depan sekolah Monica namun hanya mampu duduk termenung di dalam mobilnya seperti seorang pengecut.Saat itu gerbang sekolah terbuka lebar karena sudah saatnya jam pulang para siswa. Para penjemput berdatangan, anak-anak berlarian, meny
Bagai patung es yang beku Davva membatu di tempatnya tanpa tahu harus melakukan apa. Seluruh organ tubuhnya bagai dibelenggu. Ia kehilangan kemampuan untuk bergerak. Hanya tatapannya yang terus terkunci pada Kanya dan Raven sampai keduanya menghilang di balik pintu kaca toko roti.Bagai ditampar kesadaran Davva terhempas pada kenyataan.Laki-laki itu menggerakkan kaki, melanjutkan langkahnya yang tadi tertahan. Dengan membawa hatinya yang hancur dan praduga yang dibangun atas asumsinya sendiri Davva melangkah lunglai menuju ruang rawat Wanda.Wanda dan Lilis serentak melihat ke arah yang sama saat Davva membuka pintu lalu masuk.“Udah pulang?” tanya sang ibu retoris.“Udah, Ma,” jawab Davva pelan.“Dia rumahnya di mana sih?”“Rintik?” tanya balik Davva kehilangan fokus. Pertemuan dengan Kanya dan Raven tadi membuatnya blank seketika.“Kan barusan kamu mengantar Rintik. Gimana sih?”“Oh.” Lalu Davva menyebutkan alamat tempat tinggal Rintik dengan detail agar ibunya tidak lagi bertany
Davva menghela nafas ketika sebuah sepeda motor matic menyalip tanpa aba-aba di depan mobilnya sehingga ia harus mengerem mendadak dan hampir saja menabrak motor tersebut.Indonesia ternyata tidak banyak berubah. Masih saja banyak manusia yang suka bertindak sembarangan, tidak tertib dan acuh tak acuh pada peraturan lalu lintas. Nanti kalau sudah kena batunya baru pemilik kendaraan lain yang disalahkan.Davva kemudian berhenti dan ikut antri bersama barisan kendaraan lain saat lampu merah lalu lintas menyala. Davva baru saja mengantar Rintik pulang ke rumahnya. Tadi maksudnya hanya sebentar. Hanya mengantarnya saja lalu pulang. Tapi Rintik memaksa masuk dan berkenalan dengan orang tuanya. Jadilah Davva berbincang-bincang cukup lama dengan mereka. Orang tua Rintik begitu hangat dan pandai membangun percakapan hingga tanpa terasa hampir satu jam Davva berada di sana.Davva terkesiap ketika mendengar suara keras klakson dari barisan kendaraan di belakangnya. Ternyata lampu merah sudah ma
Pertemuan mengharukan itu berlangsung selama sekian menit. Tidak ada pembahasan tentang masa lalu atau singgung menyinggung kesalahan masing-masing. Bagi Wanda, Davva sudah cukup mendapat pelajaran yang sangat berarti dalam hidupnya. Biarlah dia mengambil hikmah dari semua itu. Davva berada d sini dan tergerak pulang untuk menemuinya sudah membuat Wanda begitu bahagia. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan mereka yang langka dan harganya begitu mahal.“Dav, itu siapa?” Wanda berbisik pelan saat melihat ada seorang gadis manis yang saat ini sedang berdiri di sebelah Lilis. Ia baru saja menyadari bahwa Davva datang tidak sendiri.“Rintik, Ma. Teman aku.”“Teman?” Wanda menyipit ingin diperjelas. Ia ingin tahu Rintik teman dari mana karena baru kali ini melihatnya.“Rintik kuliah S2 di NY dan kebetulan tinggal di gedung apartemen yang sama dengan aku.” Davva menjelaskan dengan lebih detail.“Oh ...”Tahu dirinya sedang dibicarakan, Rintik memajukan langkahnya lalu mengenalkan diri pada Wan
Sekitar tiga bulan yang lalu Kanya bertemu dengan Kiki di sekolah Monica. Saat itu Kanya hampir saja terjatuh karena terburu-buru, tapi seseorang menolongnya dengan memegang tangan Kanya.“Hati-hati, Mbak,” kata seseorang yang menolong dan memegang tangannya.“Makasih, saya—“ Ucapan Kanya terhenti saat tahu siapa orang itu.Ternyata dia adalah Kiki, sekretaris Davva yang belakangan dibenci Kanya karena telah merusak hubungannya dengan Davva.Begitu pula dengan Kiki. Gadis itu terkejut saat mengetahui Kanya juga berada di tempat yang sama dengannya. Ia lupa memprediksi kemungkinan bertemu dengan Kanya di tempat tersebut. Seharusnya ia lebih berhati-hati. Tidak seharusnya ia nekat datang di saat jam-jam genting seperti saat ini.Keberadaan Kiki di sana bukan tanpa alasan. Davva memintanya mencari tahu kabar Monica beserta memotonya. Tapi sebelum niat itu terlaksana Kiki keburu bertemu dengan Kanya.“Bu Kanya,” sapa Kiki berusaha bersikap wajar sembari menyembunyikan kegugupannya.Kanya
Time flies ...Detik demi detik waktu berlalu dengan begitu cepat. Ini adalah bulan keenam Davva bermukim di NY. Tinggal di negara Paman Sam begitu menyenangkan. Setiap hari Davva dikelilingi para perempuan cantik, makanan lezat, hidangan nikmat dan segala keindahan dunia. Apapun berada dalam genggamannya. Apapun yang diinginkannya Davva tinggal menjentikkan jari.Hanya saja ... hatinya terasa hampa. Hidupnya tidak sesempurna itu. Davva masih belum mampu melupakan Kanya. Perasaan cintanya pada perempuan itu tidak berkurang kadarnya satu persen pun.Tidak hanya Kanya, tapi ia juga merindukan gadis kecilnya, Monica. Davva tidak tahu kabar keduanya sekarang. Kiki sudah sejak lama berhenti menjadi spionasenya. Waktu itu Kiki tertangkap basah oleh Kanya sedang berada di sekolah Monic. Kanya tentu curiga padanya. Walaupun berhasil menyembunyikan dari Kanya apa tujuannya berada di sana, tapi Kiki sepertinya kapok.“Pretzel-nya enak ya, Dav?” Davva mengerjap kala mendengar suara Rintik yang
Pagi ini Davva bangun lebih awal dari pagi-pagi pada hari sebelumnya. Pasalnya ia tidak sendiri di apartemennya. Davva merasa perlu menghargai tamunya. Sebagai orang yang dititipi sesuatu tentu ia harus menjaga titipannya dengan baik. Oleh sebab itu ia menyiapkan sarapan untuk Rintik. Lagi pula Rintik hanya berada satu malam saja di sana. Itu menurut asumsinya.“Lagi bikin apa?” Suara lembut itu memaksa Davva untuk menoleh ke belakang.Memutar tubuhnya, Davva mendapati Rintik berdiri di hadapannya dengan wajah bareface khas bangun tidur. Gadis itu mengenakan piyama dan slipper. Berdiri tidak lebih dari satu setengah meter dengan Davva. Wajahnya memang tidak mirip dengan Kanya. Tapi postur dan gesturnya nyaris serupa.“Hei, udah bangun?” Davva balas menyapa. “As you can see.” Gadis itu menjawab.“Gimana tidurnya semalam?”“Nyenyak, walau agak pusing, mungkin sisa-sisa jetlag-nya masih ada."Davva tersenyum sekilas kemudian mengambil cangkir berisi chamomile tea yang baru saja dibuatny
Greubel Forsey di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sembilan malam waktu setempat ketika Davva mendengar suara ponselnya.Kala itu Davva baru saja pulang dan masuk ke apartemennya. Ia pikir yang menelepon adalah salah satu temannya. Namun ternyata bukan. Ia mendapati nomor Indonesia tertera di layar gawainya.Mengerutkan dahi, Davva berpikir siapa yang menelepon. Setelah beberapa bulan berada di NY, hanya Kiki yang bolak-balik menghubunginya. Itu pun atas suruhan Davva.Tahu rasa penasarannya tidak akan terjawab jika tidak melakukkan apa-apa, Davva memutuskan untuk menerima panggilan tersebut.“Halo,” sapanya pelan setelah menempelkan ponsel ke daun telinga.“Dav, ini Tante Lilis.”Davva terdiam sesaat guna meyakinkan pendengarannya. Rasanya ia hampir tidak yakin pada apa yang didengarnya. Setelah sekian lama tidak satu pun dari keluarganya yang menghubungi.“Tante Lilis?” Davva mengulangi.“Jangan bilang kalau kamu lupa sama Tante,” kata suara di seberang saat menangkap rasa ke
Kanya tidak marah ataupun tersinggung oleh ucapan Raven yang mengingatkannya pada asal-usulnya dulu. Lugu, mentah, dan tidak punya apa-apa. Untuk apa marah? Toh, faktanya memang begitu.Dan Kanya masih tidak mengerti pada dirinya sendiri. Dulu sudah tidak terhitung lagi entah sudah berapa kali Raven menyakitinya. Tapi perasaannya pada laki-laki itu bertahan dan mungkin akan abadi.Betul yang dikatakan pepatah. Cinta itu buta sehingga membuat banyak orang kehilangan logika. Percuma saja menasehati orang yang sedang jatuh cinta karena mata mereka buta dan telinga mereka juga tuli.Raven melanjutkan perjalanan mereka setelah keduanya selesai membahas mengenai kehamilan Kanya. “Nggak apa-apa kan, Nya, mengantar aku ke kantor?” tanya Raven begitu mobil yang dikendarainya mulai bergerak di jalan raya.“Nggak apa-apa, tapi mampir bentar di minimarket ya, aku mau beliin susu buat Monic.” Kebetulan susu Monica sudah habis, dan kebiasaan anak itu sebelum tidur, entah tidur siang atau malam ada