Perlahan Dean berjalan menghampiri Noura yang melihat ke arah lain. Di sebelahnya ibu mertua menatap bingung. "Hai! Are you okay?" tanya Dean dengan suara pelan dan lembut. Noura mengangguk lemah tanpa menengok atau melihat wajah suaminya itu. "Perutmu masih sakit?"Kali ini Noura menggeleng. Lagi-lagi enggan melihat wajah Dean. Pengusaha itu lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan sang istri. Tak ada respon, genggaman itu tetap terjadi. "Ada apa?" Dean memberanikan diri bertanya. Jarinya mengusap lembut telapak tangan Noura. Noura diam tak menjawab. Mulutnya masih membisu seolah berat untuk bersuara. Ibu Noura menoleh dan menatap bingung Dean. Wanita paruh baya itu jadi makin tak mengerti apa yang tengah terjadi pada sang putri. "Noura, apa yang kamu rasakan?""Enggak ada, Bu. Aku baik-baik saja."Dean melongo tak percaya. Saat ia bertanya, Noura hanya menjawab dengan gerakan. Tapi, begitu sang ibu bertanya justru dijawab dengan suara yang jelas. "Baiklah. Kalau kamu
"Tidak sama sekali. Aku tak peduli dengan hal itu. Mau dia marah atau sakit hati, apa peduliku?" Dean membalas tuduhan Noura yang seolah-olah jika dirinya tak mau menyakiti hati Renee. "Kebetulan ada alasan masuk akal jadi aku pakai. Lagipula dia tak akan banyak bertanya sehingga interaksi yang terjadi antara kami tidak berlangsung lama." Dean menambahkan. Kali ini sepertinya Noura menerima alasan yang suaminya katakan meski hatinya masih gengsi untuk bersikap kembali seperti biasa. "Oh, begitu." Itu saja yang Noura katakan. Singkat dan jelas, membuat Dean merasa lega hingga senyum tersungging di wajahnya. Setelah itu keduanya masih terlihat canggung. Noura yang lebih terlihat malu, akhirnya memilih diam dibandingkan banyak bicara seperti sebelumnya. Sekitar tiga puluh menit kemudian Noura pun pulang, setelah cairan infus yang masuk ke tubuhnya habis. "Bagaimana dengan Zayn, apa ada kabar dari ibu?" tanya Dean saat mereka sudah di dalam perjalanan pulang. Steven yang berada di
"Tolong hentikan!" Noura hanya bisa berteriak ketika tubuhnya ditindih dan disentuh paksa oleh suami yang baru kemarin menikah dengannya itu. Namun, tak peduli berapa nyaring wanita itu berteriak, pria berambut hitam di atasnya tetap tak mengindahkan permintaan Noura. Noura kini hanya bisa menangis tersedu, menyesali keputusannya di hari itu ketika ia meminta Rachel —sahabatnya, untuk menggantikannya meliput berita karena adiknya yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah bagaimana takdir berjalan, keputusannya itu berakibat pada Rachel yang terlibat dalam kecelakaan parah di jalan menuju pulang, dan berakhir tewas di tempat. "Jangan harap aku akan melepaskanmu, Noura. Detik ketika kamu menandatangani surat perjanjian dariku, kamu kehilangan hak untuk berbuat sesuka hatimu,” ucap Dean, menatap Noura dingin dengan manik gelapnya. Suite room di hotel yang berfungsi sebagai kamar pengantin mereka malam itu telah menjadi saksi bisu atas kekejaman yang Dean lakukan. Pria itu terus berbuat sesu
Jam sudah menunjuk ke angka sembilan pagi ketika Noura membuka mata setelah semalaman ia menangis sebab aksi Dean terhadapnya. Dean Waverly, seorang pengusaha sukses di usianya yang masih muda, ternyata memiliki sisi kejam di balik sikapnya yang ramah dan humble terhadap semua orang. Begitu yang saat ini ada di dalam pikiran Noura. Lelaki yang sukses membuat seluruh keluarga Willow senang dan bahagia sebab hampir menjadi bagian dari keluarganya yang kaya raya, tak ubahnya singa mematikan yang siap memangsa buruannya. Noura mencoba bangun dari tidurnya meski rasa nyeri di sekujur tubuhnya memintanya untuk diam dan istirahat. Sejenak ia memandang seluruh ruangan suite yang Dean sewa sebagai kamar pengantin mereka berdua. 'Ah, ini bukan kamar pengantin. Ini hanya ruang penyiksaan yang dibalut dengan hiasan indah,' batin Noura menangis. Selimut tebal yang menutupi tubuhnya perlahan Noura singkirkan. Tampak gaun pengantin berwarna putih, terlihat kusut dan koyak sebab paksaan yang
"Tugasmu bukan melamun, tapi menyelesaikan apa yang seharusnya kamu selesaikan." Di saat Noura masih berkutat dengan lap dan alat pembersih lainnya, Dean tiba-tiba muncul dan berkata sinis. "Maaf, Tuan Dean. Aku tidak melamun, tapi sedang membersihkan lemari kaca ini. Kalau aku tidak melakukannya pelan-pelan, aku khawatir akan membuatnya pecah." Noura mencoba membela diri. Ucapan Noura hanya direspon dengan tatapan sebal Dean. Lelaki itu yang sudah duduk di bangku meja makan, lantas mengambil sarapan yang sudah disiapkan. "Siapa yang membuat menu sarapan ini? Apakah dia lagi?" tanya Dean sembari menatap dua orang pelayan di depannya. Dua orang pelayan yang selama ini selalu menyiapkan makanan untuk Dean tampak saling bertukar pandang. Keduanya terlihat ketakutan sebab tahu siapa yang tuannya itu maksud. "Kenapa? Apakah betul yang saya katakan?" tebak Dean masih mengambil beberapa sosis panggang di depannya. "Be-betul, Tuan. Tapi, itu karena Nona Noura yang meminta." Semen
Rumah sederhana tempat di mana Noura lahir dan dibesarkan, masih tampak sama asri dan nyaman. Tak ada yang berubah setelah dua minggu ia pergi dan tinggal di rumah Dean. "Aku datang!" seru Noura seraya mengetuk pintu rumahnya. Seseorang datang mendekat. Suara langkah kakinya terdengar di telinga Noura. "Noura! Kamu sama siapa? Apakah bersama Dean?" Pertanyaan bertubi-tubi ibunya lontarkan seraya mengedarkan pandangannya ke area luar rumah. "Tak ada siapa-siapa?" ucap ibunya lagi dengan ekspresi yang sulit Noura baca. "Memang tidak ada siapa-siapa, Bu. Aku datang sendiri, tidak bersama Dean atau siapa pun." Perlahan Noura masuk ke dalam rumah. Ia mencoba acuh atas ekspresi aneh ibunya. Wanita itu kemudian duduk di bangku ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Di ruangan itu juga ada televisi berukuran sedang berdiri di atas sebuah meja buffet panjang bersama beberapa bingkai poto keluarganya. Salah satunya adalah poto almarhum ayahnya yang tengah memangku si
"Apa! Saya dipecat, Pak?" Informasi yang disampaikan oleh manajer personalia di perusahaan tempat di mana Noura bekerja, membuatnya terkejut. "Maafkan aku, Noura. Tapi, ini adalah keputusan dari atas.""Tapi, apa alasannya? Bukankah sejauh ini kinerja kerja saya baik dan tidak ada yang merugikan pihak perusahaan?""Ya, aku tahu. Tapi, apa yang bisa aku lakukan jika pimpinan sudah mengeluarkan perintah ini?"Lelaki dengan wajah lelah di depan Noura hanya bisa memandang serbasalah. Surat dalam sebuah amplop putih masih tergeletak di atas meja setelah Noura meletakkannya kembali karena kecewa. "Apa mereka tidak mengatakan apapun pada Anda apa yang mendasari mereka mengeluarkan perintah tersebut?""Mereka hanya mengatakan citra buruk stasiun televisi setelah kematian Rachel.""Kematian Rachel?" Noura mengulang pertanyaan yang direspon anggukan sang manajer. "Ini mustahil. Jika alasan pemberhentianku karena kematian Rachel, kenapa baru terjadi sekarang setelah lebih dari dua pekan berl
"Bisakah kita bicara?"Setelah selesai makan malam, Noura yang sengaja menunggu suaminya selesai makan, meminta waktu untuk berbicara. "Aku sibuk," ucap Dean acuh seraya mengelap bibir dengan selembar napkin. "Hanya sepuluh menit, tak lebih." Noura mencoba memaksa. Awalnya Dean tetap menolak, tetapi 'rengekan' Noura membuat telinganya pengang. "Lima menit. Waktuku terlalu berharga untuk mendengar ocehanmu." Dean menatap sinis. Lelaki itu kemudian beranjak bangun. "Tunggu aku di ruang kerja," ucapnya lalu pergi naik ke lantai dua. Noura merasa lega. Ia sangat berharap Dean mau mendengarnya kali ini. Ia pun lantas bergegas menuju ruang kerja Dean yang ada di dekat ruang keluarga. Dengan secangkir teh Camomile yang sudah pelayan siapkan, Noura masuk ke dalamnya. Di ruangan yang belum pernah Noura masuki, wanita itu dibuat terpesona dengan keadaan di dalamnya. Dua buah lemari berukuran sedang berdiri bersama rak-rak kayu yang dipenuhi berbagai macam buku. 'Mengapa aku tidak tahu k
"Tidak sama sekali. Aku tak peduli dengan hal itu. Mau dia marah atau sakit hati, apa peduliku?" Dean membalas tuduhan Noura yang seolah-olah jika dirinya tak mau menyakiti hati Renee. "Kebetulan ada alasan masuk akal jadi aku pakai. Lagipula dia tak akan banyak bertanya sehingga interaksi yang terjadi antara kami tidak berlangsung lama." Dean menambahkan. Kali ini sepertinya Noura menerima alasan yang suaminya katakan meski hatinya masih gengsi untuk bersikap kembali seperti biasa. "Oh, begitu." Itu saja yang Noura katakan. Singkat dan jelas, membuat Dean merasa lega hingga senyum tersungging di wajahnya. Setelah itu keduanya masih terlihat canggung. Noura yang lebih terlihat malu, akhirnya memilih diam dibandingkan banyak bicara seperti sebelumnya. Sekitar tiga puluh menit kemudian Noura pun pulang, setelah cairan infus yang masuk ke tubuhnya habis. "Bagaimana dengan Zayn, apa ada kabar dari ibu?" tanya Dean saat mereka sudah di dalam perjalanan pulang. Steven yang berada di
Perlahan Dean berjalan menghampiri Noura yang melihat ke arah lain. Di sebelahnya ibu mertua menatap bingung. "Hai! Are you okay?" tanya Dean dengan suara pelan dan lembut. Noura mengangguk lemah tanpa menengok atau melihat wajah suaminya itu. "Perutmu masih sakit?"Kali ini Noura menggeleng. Lagi-lagi enggan melihat wajah Dean. Pengusaha itu lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan sang istri. Tak ada respon, genggaman itu tetap terjadi. "Ada apa?" Dean memberanikan diri bertanya. Jarinya mengusap lembut telapak tangan Noura. Noura diam tak menjawab. Mulutnya masih membisu seolah berat untuk bersuara. Ibu Noura menoleh dan menatap bingung Dean. Wanita paruh baya itu jadi makin tak mengerti apa yang tengah terjadi pada sang putri. "Noura, apa yang kamu rasakan?""Enggak ada, Bu. Aku baik-baik saja."Dean melongo tak percaya. Saat ia bertanya, Noura hanya menjawab dengan gerakan. Tapi, begitu sang ibu bertanya justru dijawab dengan suara yang jelas. "Baiklah. Kalau kamu
Di sepanjang jalan menuju rumah sakit, Dean terus memikirkan kondisi Noura. Alton bilang istrinya itu pingsan setelah selesai makan siang. Dean benar-benar tak paham dengan kondisi kesehatan istri yang semakin hari sepertinya rawan sakit.'Apakah ini ada hubungannya dengan paska keguguran waktu itu?' batin Dean yang merasa tak mungkin. Sikap Dean tak luput dari perhatian Steven yang melihatnya dari kaca spion. Wajah Dean yang tampak sedih sekaligus khawatir, membuat Steven kasihan. 'Baru kali ini saya melihat Anda begini, Tuan. Kekhawatiran yang Anda tunjukkan terhadap kondisi Nona Noura membuat saya yakin jika Anda telah memiliki perasaan cinta terhadapnya.' Dalam hati Steven bicara. Perjalanan sedikit lambat karena keadaan lalu lintas di siang hari itu yang padat oleh kendaraan. Padahal jarak rumah sakit tempat di mana Noura dibawa hanya tinggal beberapa meter lagi. "Biar aku turun di sini, Steven." Dean tampak tak sabar. "Eh, tidak perlu, Tuan. Sedikit lagi kita sampai." Stev
"Kau ini bicara apa, Renee?" Kalimat yang Renee ucapkan nyatanya tidak Dean dengarkan secara seksama. Entah apa karena memang ia sengaja alias pura-pura atau memang ia tidak mengerti maksud perkataan Renee barusan. "Dean, aku minta maaf perihal kemarin.""Aku tidak masalah.""Tapi, aku yang kena masalah.""Ya, itu karena kamu yang memulai.""Makanya itu, Dean, aku minta maaf. Untuk itulah aku menghampiri dan bicara padamu."Dean diam, lalu mengangguk seolah mengerti. "Apa ada hal lain yang mau kau katakan?"Renee merasa keki sebab respon Dean yang biasa saja. Pengusaha itu seperti tak peduli dengan pertemuan mereka selain kata maaf yang ingin disampaikan. "Tidak ada.""Hem, ya sudah. Kalau begitu aku pergi. Masih ada urusan penting yang harus aku kerjakan.""Ehm, tapi, Dean!" seru Renee memanggil sesaat langkah Dean hendak meninggalkannya. "Ya?" Dean berbalik dan melihat ekspresi Renee yang kebingungan. "Ada apa?""Eh, itu ... kamu mau ke mana?"Renee merasa telah melontarkan p
"Apa maksudmu?" tanya Ronald kaget. Apa yang istrinya tahu tentang dirinya di belakang?"Hubunganmu dengan putri keluarga Willow, apalagi?"Ronald benar-benar dibuat terkejut dengan apa yang istrinya katakan. Rahasia yang hanya ia dan Renee saja yang tahu, justru diketahui dengan mudah oleh sang istri. "Dari mana kamu tahu?""Heh, tak penting dari mana aku tahu pengkhianatan yang kamu lakukan dengan wanita itu. Intinya tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini. Masing-masing dari kita pernah melakukan kesalahan dan khilaf.""Aku tidak akan melakukan itu kalau bukan karena kamu duluan yang melakukannya," sahut Ronald kesal. "Kamu tidak akan melakukannya kalau memang betul-betul lelaki baik dan setia." Terdengar suara lirih di seberang telinga Ronald. Sang istri sepertinya sudah mulai menangis. "Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku lelaki baik. Yang aku bilang tadi, aku memang brengsek, tapi aku adalah lelaki setia. Perihal akhirnya aku memiliki hubungan gelap dengan putri ke
Pekerjaan Ronald tidak berjalan dengan baik. Sepanjang siang lelaki itu terus mengomel dan mengomel. Bahkan, beberapa karyawannya kena semprot perihal laporan yang terlambat diselesaikan. "Maafkan saya, Pak. Saya akan segera selesaikan secepatnya." Seorang staf keuangan menjadi korban amukan Ronald siang itu. "Ya, memang harus cepat selesai. Kamu tahu deadline-nya itu hari ini. Tapi, masih banyak kesalahan dalam laporan yang kamu buat." Ronald melempar map ke atas meja. "Saya mengerti, Pak.""Ingat, yah? Sampai waktu jam pulang kamu masih belum selesai, kamu belum boleh pulang. Kamu tetap harus menyelesaikan hari ini juga.""Baik, Pak."Wanita itu lantas pergi meninggalkan ruangan Ronald. Mau biasa dimarahi, bila kembali kena marah hatinya tetap akan merasa sakit Apalagi kesalahan yang ia buat sebenarnya tidaklah banyak. Hanya saja Ronald sengaja mencoret banyak point yang sejatinya sudah benar. "Apa yang terjadi denganku ini? Kenapa semua pekerjaan berantakan dan tidak ada yang b
Noura tak mengindahkan ucapan Ronald dan malah pergi bersama ibu dan bayinya.'Aneh, kenapa aku merasa kecewa.' Lelaki itu membatin. Ronald masih memandang punggung Noura yang berjalan menuju sebuah lift. Hingga sosok wanita itu tak lagi terlihat, Ronald baru pergi menyusul turun. Tak berapa lama terdengar suara dering di ponsel miliknya. Nama Renee terpampang di layar ponsel. "Ya, halo!""Bagaimana, kamu sudah melakukan apa yang aku minta?""Ya, sudah.""Lantas, apa yang terjadi? Sudah berhasil membuat wanita itu terpesona?""Sepertinya belum.""Apa?!"Terdengar pekikan Renee, yang sontak membuat lelaki itu menjauhkan ponsel dari telinganya. "Jangan becanda, Ronald. Bukankah kamu sesumbar mampu membuat semua wanita jatuh hati karena pesonamu. Lalu, apa yang aku dengar sekarang? Seolah ucapanmu kemarin hanya sebuah bualan saja.""Aku bilang belum, bukan tidak.""Ya aku tidak tuli. Tapi, kata-katamu itu terdengar pesimis. Kenapa, kamu tidak yakin bisa membuatnya tergoda?"Ronald ta
Satu pekan setelah Noura melahirkan, ia membawa bayinya itu kembali ke rumah sakit. Jadwal imunisasi dan kontrol jahitan, memaksa Noura harus pergi bersama sang ibu. "Maafkan aku, Noura. Ada rapat yang tidak bisa aku tinggalkan." Hari itu Dean tidak bisa menemani sang istri pergi menemui dokter. Rasa penyesalan tampak di wajahnya yang tampan, yang membuatnya berulang kali menciumi sang istri. "Sudah, hentikan! Aku mengerti. Jadi, tidak perlu berlebihan," ucap Noura seraya menjauhkan dirinya dari Dean. "Hei, kenapa? Apakah kamu tidak suka?" Dean terlihat kesal sebab kecupan terakhirnya tidak mendarat dengan mulus. "Bukan tidak suka. Tapi, semalaman kamu sudah melakukan itu, Dean.""Ya, lantas kenapa?" Dean terlihat menahan tawa. "Aku menyukai itu. Kamu juga bukan?""Iya, tapi aku risih karena kamu begitu berlebihan melakukannya."Kali ini Dean tak bisa menahan tawa, membuatnya menarik tangan Noura yang akan menghampiri boks bayi. "Eh! Dean!" pekik Noura saat tubuhnya sudah berada
Noura terdiam sambil masih menatap suaminya itu. Sedangkan Dean, tampak menunggu jawaban apa yang istrinya akan berikan. "Aku pasrah saja. Biar Tuhan yang memberiku arah dan jalan, mau dibawa ke mana pernikahan kita ini."Dean terlihat tak puas dengan jawaban Noura. Ia sepertinya mengharapkan jawaban lebih yang membuat hatinya tenang, sekaligus bahagia. "Sekarang gantian aku yang bertanya." Noura membalas, duduk berhadapan dengan Dean yang sepertinya kaget akan responnya. "Tanya apa?""Kamu itu tidak pernah mencintaiku, jadi menurutku benar apa yang Renee katakan bahwa kelahiran bayi kita hanya sekedar bentuk tanggung jawab.""Sudah aku katakan, jangan dengarkan perempuan itu." Dean menyela kalimat Noura. "Tolong dengarkan aku dulu. Aku cuma mau tahu, apa alasanmu mencariku saat aku pergi? Bukankah kamu tidak pernah mencintaiku. Jadi, untuk apa? Untuk apa kita melanjutkan pernikahan ini?" Noura sengaja mencecar demi mengetahui perasaan apa yang suaminya miliki. "Untuk apa lagi se