"Hari ini aku mau ke pasar, ada beberapa barang keperluan Zayn yang harus aku beli."Pagi itu Noura pamit pada Dean untuk pergi ke pasar. Dean yang sudah akan bersiap ke kantor terdiam merespon ucapan istrinya. "Pasar? Apa kamu tidak salah? Seorang Waverly membeli barang di pasar?""Memang kenapa?""Ya tidak apa-apa. Tapi, aku merasa tidak cocok saja."Noura mengernyit, melihat wajah suaminya yang terlihat jijik. Sedetik kemudian Noura pun tertawa, membuat Dean menatap sebal. "Baiklah kalau kamu merasa tidak cocok. Lantas, aku harus beli di mana?""Ya, di mall. Banyak toko branded yang bisa kamu kunjungi di sana." Dean menimpali cepat. "Tunggu! Apakah kamu sedang bercanda? Seorang wanita karir, mantan jurnalis di stasiun televisi terkenal tidak tahu mall atau barang branded? Kamu sengaja mempermainkan aku?" Ekspresi Dean sekarang sukses membuat Noura tertawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak, wajahnya terlihat lucu karena merasa dipermainkan. "Tidak. Aku sama sekali tidak sedang me
Noura ditemani pelayan ketika berbelanja ke sebuah mall yang ada di pusat kota. Dean juga meminta pengawal untuk menemani dua wanita itu pergi. Sedangkan Zayn —putranya, seperti biasa Noura titipkan pada sang ibu, yang masih menginap di rumah sejak ia melahirkan."Kita makan siang dulu, yah?" kata Noura setelah selesai membeli kebutuhan dapur. Pelayan dan pengawal mengangguk, mematuhi. Keduanya mengikuti Noura yang sudah masuk lebih dulu ke dalam sebuah restoran yang bersebelahan dengan supermarket, tempat sebelumnya Noura berbelanja. "Nona, lebih baik saya simpan dulu semua barang belanjaannya ke mobil," kata pengawal saat sudah berdiri di pintu restoran. "Apakah tidak masalah kamu pergi ke parkiran dulu?""Itu bukan masalah, Nona. Biar nanti saya kembali lagi setelah selesai menyimpan semuanya di bagasi.""Oh, ya sudah. Sekalian kamu ajak supir, yah?""Baik, Nona."Pengawal meletakkan beberapa kantung belanjaan ke dalam troli. Ia kemudian mendorongnya ke parkiran mobil. "Kita d
Dean tampak terkejut ketika Noura menyebut nama seorang pria yang sempat dicurigai ada hubungan spesial dengan Renee. "Dari mana kamu mengenal lelaki ini?" tanya Dean menahan rasa yang entah apa namanya. "Aku tidak mengenalnya. Tapi, tadi waktu aku mau makan siang di restoran, lelaki ini menyapaku.""Menyapamu?""Iya. Dia bersama seorang perempuan yang adalah istrinya."Dean melirik Steven. Apa yang ada di dalam pikirannya sepertinya sama dengan apa yang anak buahnya pikirkan. "Apa yang ia lakukan kepadamu?" Kekhawatiran Dean adalah bila pria itu melakukan tindak kejahatan kepada Noura. "Tidak ada. Ia cuma bilang ada sesuatu yang mau disampaikan. Tapi, aku menolaknya karena merasa waktu dan tempatnya tidak tepat.""Kamu melakukan hal yang benar. Lantas, apa yang terjadi setelahnya?""Mereka pamit pergi, tapi memberiku kartu nama itu. Ia berkata supaya aku bisa menghubunginya ke nomor yang tertera."Dean menggeleng tak setuju. "Tidak perlu kamu hubungi. Biarkan saja.""Apa kamu ken
Memiliki anak pertama membuat Noura menjadi seorang ibu yang ekstra waspada. Apa-apa selalu khawatir meski sudah ada ibunya yang menjaga dengan sangat baik. Terlebih ketika bayinya tersedak ASI-nya sendiri, kekhawatiran Noura membuat semua orang ikut khawatir. Tidak itu saja, masih banyak hal lain yang membuat Noura dinilai berlebihan oleh sebagian orang yang mungkin belum mengerti. Namun, ibu dan suaminya memberinya pengertian sedikit demi sedikit, perlahan-lahan supaya Noura menyikapi semuanya dengan tenang. Sifat dan sikapnya ketika sedang menjadi ibu, sangat berbeda jauh ketika dirinya sedang menjadi seorang wanita mandiri. Hal yang sangat bertolak belakang yang membuat Dean terkadang heran. Tapi, saat ia menyadari satu hal bahwa sindrom baby blues yang Noura alami perlahan menghilang, membuat Dean lebih banyak bersyukur dibanding mengeluhkan hal yang masih bisa ia atasi. Seperti sore itu ketika Noura hendak memandikan bayinya, ia melihat ada ruam pada bagian kemaluan putranya
"Tolong hentikan!" Noura hanya bisa berteriak ketika tubuhnya ditindih dan disentuh paksa oleh suami yang baru kemarin menikah dengannya itu. Namun, tak peduli berapa nyaring wanita itu berteriak, pria berambut hitam di atasnya tetap tak mengindahkan permintaan Noura. Noura kini hanya bisa menangis tersedu, menyesali keputusannya di hari itu ketika ia meminta Rachel —sahabatnya, untuk menggantikannya meliput berita karena adiknya yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah bagaimana takdir berjalan, keputusannya itu berakibat pada Rachel yang terlibat dalam kecelakaan parah di jalan menuju pulang, dan berakhir tewas di tempat. "Jangan harap aku akan melepaskanmu, Noura. Detik ketika kamu menandatangani surat perjanjian dariku, kamu kehilangan hak untuk berbuat sesuka hatimu,” ucap Dean, menatap Noura dingin dengan manik gelapnya. Suite room di hotel yang berfungsi sebagai kamar pengantin mereka malam itu telah menjadi saksi bisu atas kekejaman yang Dean lakukan. Pria itu terus berbuat sesu
Jam sudah menunjuk ke angka sembilan pagi ketika Noura membuka mata setelah semalaman ia menangis sebab aksi Dean terhadapnya. Dean Waverly, seorang pengusaha sukses di usianya yang masih muda, ternyata memiliki sisi kejam di balik sikapnya yang ramah dan humble terhadap semua orang. Begitu yang saat ini ada di dalam pikiran Noura. Lelaki yang sukses membuat seluruh keluarga Willow senang dan bahagia sebab hampir menjadi bagian dari keluarganya yang kaya raya, tak ubahnya singa mematikan yang siap memangsa buruannya. Noura mencoba bangun dari tidurnya meski rasa nyeri di sekujur tubuhnya memintanya untuk diam dan istirahat. Sejenak ia memandang seluruh ruangan suite yang Dean sewa sebagai kamar pengantin mereka berdua. 'Ah, ini bukan kamar pengantin. Ini hanya ruang penyiksaan yang dibalut dengan hiasan indah,' batin Noura menangis. Selimut tebal yang menutupi tubuhnya perlahan Noura singkirkan. Tampak gaun pengantin berwarna putih, terlihat kusut dan koyak sebab paksaan yang
"Tugasmu bukan melamun, tapi menyelesaikan apa yang seharusnya kamu selesaikan." Di saat Noura masih berkutat dengan lap dan alat pembersih lainnya, Dean tiba-tiba muncul dan berkata sinis. "Maaf, Tuan Dean. Aku tidak melamun, tapi sedang membersihkan lemari kaca ini. Kalau aku tidak melakukannya pelan-pelan, aku khawatir akan membuatnya pecah." Noura mencoba membela diri. Ucapan Noura hanya direspon dengan tatapan sebal Dean. Lelaki itu yang sudah duduk di bangku meja makan, lantas mengambil sarapan yang sudah disiapkan. "Siapa yang membuat menu sarapan ini? Apakah dia lagi?" tanya Dean sembari menatap dua orang pelayan di depannya. Dua orang pelayan yang selama ini selalu menyiapkan makanan untuk Dean tampak saling bertukar pandang. Keduanya terlihat ketakutan sebab tahu siapa yang tuannya itu maksud. "Kenapa? Apakah betul yang saya katakan?" tebak Dean masih mengambil beberapa sosis panggang di depannya. "Be-betul, Tuan. Tapi, itu karena Nona Noura yang meminta." Semen
Rumah sederhana tempat di mana Noura lahir dan dibesarkan, masih tampak sama asri dan nyaman. Tak ada yang berubah setelah dua minggu ia pergi dan tinggal di rumah Dean. "Aku datang!" seru Noura seraya mengetuk pintu rumahnya. Seseorang datang mendekat. Suara langkah kakinya terdengar di telinga Noura. "Noura! Kamu sama siapa? Apakah bersama Dean?" Pertanyaan bertubi-tubi ibunya lontarkan seraya mengedarkan pandangannya ke area luar rumah. "Tak ada siapa-siapa?" ucap ibunya lagi dengan ekspresi yang sulit Noura baca. "Memang tidak ada siapa-siapa, Bu. Aku datang sendiri, tidak bersama Dean atau siapa pun." Perlahan Noura masuk ke dalam rumah. Ia mencoba acuh atas ekspresi aneh ibunya. Wanita itu kemudian duduk di bangku ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Di ruangan itu juga ada televisi berukuran sedang berdiri di atas sebuah meja buffet panjang bersama beberapa bingkai poto keluarganya. Salah satunya adalah poto almarhum ayahnya yang tengah memangku si
Memiliki anak pertama membuat Noura menjadi seorang ibu yang ekstra waspada. Apa-apa selalu khawatir meski sudah ada ibunya yang menjaga dengan sangat baik. Terlebih ketika bayinya tersedak ASI-nya sendiri, kekhawatiran Noura membuat semua orang ikut khawatir. Tidak itu saja, masih banyak hal lain yang membuat Noura dinilai berlebihan oleh sebagian orang yang mungkin belum mengerti. Namun, ibu dan suaminya memberinya pengertian sedikit demi sedikit, perlahan-lahan supaya Noura menyikapi semuanya dengan tenang. Sifat dan sikapnya ketika sedang menjadi ibu, sangat berbeda jauh ketika dirinya sedang menjadi seorang wanita mandiri. Hal yang sangat bertolak belakang yang membuat Dean terkadang heran. Tapi, saat ia menyadari satu hal bahwa sindrom baby blues yang Noura alami perlahan menghilang, membuat Dean lebih banyak bersyukur dibanding mengeluhkan hal yang masih bisa ia atasi. Seperti sore itu ketika Noura hendak memandikan bayinya, ia melihat ada ruam pada bagian kemaluan putranya
Dean tampak terkejut ketika Noura menyebut nama seorang pria yang sempat dicurigai ada hubungan spesial dengan Renee. "Dari mana kamu mengenal lelaki ini?" tanya Dean menahan rasa yang entah apa namanya. "Aku tidak mengenalnya. Tapi, tadi waktu aku mau makan siang di restoran, lelaki ini menyapaku.""Menyapamu?""Iya. Dia bersama seorang perempuan yang adalah istrinya."Dean melirik Steven. Apa yang ada di dalam pikirannya sepertinya sama dengan apa yang anak buahnya pikirkan. "Apa yang ia lakukan kepadamu?" Kekhawatiran Dean adalah bila pria itu melakukan tindak kejahatan kepada Noura. "Tidak ada. Ia cuma bilang ada sesuatu yang mau disampaikan. Tapi, aku menolaknya karena merasa waktu dan tempatnya tidak tepat.""Kamu melakukan hal yang benar. Lantas, apa yang terjadi setelahnya?""Mereka pamit pergi, tapi memberiku kartu nama itu. Ia berkata supaya aku bisa menghubunginya ke nomor yang tertera."Dean menggeleng tak setuju. "Tidak perlu kamu hubungi. Biarkan saja.""Apa kamu ken
Noura ditemani pelayan ketika berbelanja ke sebuah mall yang ada di pusat kota. Dean juga meminta pengawal untuk menemani dua wanita itu pergi. Sedangkan Zayn —putranya, seperti biasa Noura titipkan pada sang ibu, yang masih menginap di rumah sejak ia melahirkan."Kita makan siang dulu, yah?" kata Noura setelah selesai membeli kebutuhan dapur. Pelayan dan pengawal mengangguk, mematuhi. Keduanya mengikuti Noura yang sudah masuk lebih dulu ke dalam sebuah restoran yang bersebelahan dengan supermarket, tempat sebelumnya Noura berbelanja. "Nona, lebih baik saya simpan dulu semua barang belanjaannya ke mobil," kata pengawal saat sudah berdiri di pintu restoran. "Apakah tidak masalah kamu pergi ke parkiran dulu?""Itu bukan masalah, Nona. Biar nanti saya kembali lagi setelah selesai menyimpan semuanya di bagasi.""Oh, ya sudah. Sekalian kamu ajak supir, yah?""Baik, Nona."Pengawal meletakkan beberapa kantung belanjaan ke dalam troli. Ia kemudian mendorongnya ke parkiran mobil. "Kita d
"Hari ini aku mau ke pasar, ada beberapa barang keperluan Zayn yang harus aku beli."Pagi itu Noura pamit pada Dean untuk pergi ke pasar. Dean yang sudah akan bersiap ke kantor terdiam merespon ucapan istrinya. "Pasar? Apa kamu tidak salah? Seorang Waverly membeli barang di pasar?""Memang kenapa?""Ya tidak apa-apa. Tapi, aku merasa tidak cocok saja."Noura mengernyit, melihat wajah suaminya yang terlihat jijik. Sedetik kemudian Noura pun tertawa, membuat Dean menatap sebal. "Baiklah kalau kamu merasa tidak cocok. Lantas, aku harus beli di mana?""Ya, di mall. Banyak toko branded yang bisa kamu kunjungi di sana." Dean menimpali cepat. "Tunggu! Apakah kamu sedang bercanda? Seorang wanita karir, mantan jurnalis di stasiun televisi terkenal tidak tahu mall atau barang branded? Kamu sengaja mempermainkan aku?" Ekspresi Dean sekarang sukses membuat Noura tertawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak, wajahnya terlihat lucu karena merasa dipermainkan. "Tidak. Aku sama sekali tidak sedang me
"Hei, kamu kangen enggak?" tanya Noura mengagetkan Dean yang malah melamun. "Eh, ya ... kangen," sahut Dean merasa dipaksa "Tapi, ya sudah itu 'kan masa lalu." Dean buru-buru menambahkan. Ia terlihat khawatir bila sang istri cemburu. Namun, Noura malah tersenyum. Sedetik kemudian Noura menggeleng, menganggap lucu reaksi Dean ketika membicarakan sosok sang mantan kekasih. "Kamu tahu, Dean, aku tak pernah cemburu bila laki-laki yang aku cintai dekat atau pergi bersama wanita lain. Apalagi kamu, aku tak pernah cemburu sedikit pun.""Loh! Kenapa? Bukankah orang yang cemburu itu wajar, yah? Itu artinya dia benar-benar mencintai pasangannya." Dean merasa kesal sebab Noura yang tak pernah cemburu padanya. "Ya, memang benar. Tapi, untuk apa aku cemburu pada laki-laki yang tidak memiliki perasaan yang sama padaku. Jadi, aku anggap wajar bila kamu dekat dengan wanita lain. Aku tidak boleh marah karena memang tak pantas." Noura tersenyum getir. Sebenarnya Noura bukan tidak pernah cemburu bi
Tiga tahun yang lalu saat Dean dan Rachel pertama kali berkenalan, pengusaha itu tidak pernah tahu ada sosok laki-laki lain yang ternyata telah lama menjadi 'secret admirer' atau pengagum rahasia sang mantan kekasih. Seorang lelaki yang tak lain adalah manajer di perusahaan keluarga Willow bernama Alvin Santoso. "Kok aku tak pernah dengar," kata Noura setelah Dean memberi tahu nama pelaku penabrak mobilnya. "Berarti lelaki itu memang bukan seseorang yang istimewa di kehidupan Rachel," timpal Sarah ikut nimbrung. "Ya, sepertinya kamu benar, Sarah. Soalnya yang aku tahu cuma nama Dean yang selalu Rachel sebut." Tiba-tiba bayangan Noura melayang jauh ke belakang saat ia dan Rachel masih bersama-sama.Tidak ada perasaan cemburu atau kesal yang Noura rasakan saat harus mengingat momen hubungan Dean dan Rachel dulu. Yang ada hanya kesedihan yang kini ia rasakan demi mengingat kecelakaan yang menimpa sahabatnya itu. Namun, lain dengan Dean yang merasa tak enak hati saat Noura mengatakan
Dean tampak salah tingkah ketika semua mata tertuju padanya. "Ke-kenapa aku harus membebaskannya?" tanya Dean belum mengerti maksud Sarah. "Kenapa ia masih kesal padahal u Noura hamil dan melahirkan begitu?" Sarah bertanya sinis. "Ya salah satunya itu. Tapi, yang penting aku bertanggung jawab 'kan?" Dean bersikukuh. Semua orang menatap aneh Dean. Di dam hati mereka pasti bertanya, apa yang lelaki itu pikirkan sebenarnya.Meski sudah melihat reaksi semua orang tentang perasaan Noura terhadapnya, tapi Dean masih belum mau mengaku pada semua orang bahwa sebetulnya sudah ada perasaan suka di hatinya untuk Noura. "Dean, entahlah. Tapi, kali ini aku tak setuju denganmu." Mat bereaksi. Wajahnya tampak tak suka setelah mendengar sahabatnya itu bicara. "Itu terserah pada kalian."Dean pura-pura cuek meski sebenarnya ia sudah mulai merasa tak enak hati saat melihat wajah semua orang yang memandangnya tak setuju. "Oh ya, Sarah. Saat pertama kali aku tiba di ruang UGD, Noura terlihat mara
Di kediaman keluarga Waverly tampak heboh dengan kondisi Steven yang terluka. Kepulangan Noura dari rumah sakit, menyisakan cerita yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. "Orang-orang kita sedang mencari siapa orang itu. Beberapa CCTV sedang mereka cek di setiap jalan yang kita lewati.""Jangan kamu pikirkan hal itu, Steven. Fokuslah pada kondisi lukamu saat ini," sahut Dean yang baru saja selesai berbicara dengan anak buahnya. "Iya. Biar yang lain, yang mengurusnya. Lukamu itu harus segera diobati." Noura menyahut, menyetujui ucapan sang suami. Namun Steven malah tersenyum malu. Perhatian yang Dean dan Noura berikan dianggapnya berlebihan. "Ini cuma luka kecil, Tuan. Apakah Anda sedang mengejek saya karena luka ini?" balas Steven tak enak hati. Luka yang menurutnya sangat kecil itu, telah membuat beberapa penghuni rumah menatapnya iba. Sungguh luka itu sama sekali tidak berarti bagi seorang Steven yang bahkan pernah mendapatkan luka jauh lebih besar dari apa yang dialaminya s
Beberapa jam sebelumnya "Aku sudah katakan, aku tidak bisa membantumu!" Ronald berkata tegas pada Renee. "Kau sudah berjanji padaku, Ronald.""Janji bisa diingkari."Ronald menatap Renee serius. Tak ada keraguan dari tatapan mata lelaki itu pada putri keluarga Willow tersebut. "Kau tahu apa akibatnya kalau tak mau membantuku."Ronald menatap jengah. "Aku tahu," jawabnya. "Dan asal kau tahu, aku sudah tak lagi peduli.""Benarkah?" Renee bertanya sinis. "Kau tidak peduli dengan pernikahanmu lagi? Tak peduli dengan nasib anak-anakmu seandainya aku katakan pada mereka bagaimana hubungan kita selama ini?""Lakukan saja kalau itu membuatmu bahagia."Setelah berkata demikian, Ronald pergi dari tempat di mana ia dan Renee berbicara. Sebuah restoran yang ada di pinggir kota, tempat keduanya kerap bertemu untuk membicarakan sesuatu. "Kurang ajar. Apa ia benar-benar tak peduli atau sebetulnya ia cuma menggertak saja supaya aku tidak benar-benar melakukannya," ucap Renee dengan muka marah. '