"Rencana apa maksudmu?" Renee tampak tak mengerti dengan ucapan Dean.Lelaki itu sendiri sudah duduk di depan meja di mana ada satu buah goodie bag yang istrinya bawa dan belum sempat ia buka. "Kamu sengaja datang ke sini supaya istriku melihat dan cemburu.""Hah! Mana aku tahu kalau perempuan itu akan datang ke sini, Dean. Lagipula, bukannya selama ini kamu memang tidak pernah meminta atau mengundangnya datang. Jadi, tahu dari mana kalau ia akan datang untuk melihatku ada di sini." Renee berkata sejujurnya. Tapi, keberuntungan baginya karena apa yang ia lakukan telah membuat wanita itu marah dan kesal. 'Aku tidak sengaja, tapi Tuhan membantuku secara tidak langsung. Bukankah ini namanya sebuat berkat. Ah, sungguh aku puas sekali melihatnya pergi, dan bahkan Dean tidak mencegahnya,' batin Renee senang. Kondisi kesehatan Renee memang menjadi alasan utama Dean untuk tidak membuat wanita itu tersinggung. Bukan karena Dean takut atau bertanggung jawab jika penyakit itu semakin parah. T
Noura berjalan pelan menuju kamarnya. Ia kembali teringat dengan percakapannya dengan Sarah —kekasih Mat, di restoran tadi. "Tidak cerita bukan berarti ia tidak menganggapmu, Noura. Bisa jadi ada hal lain yang Dean simpan sehingga ia tidak atau belum memberitahukan hal itu padamu."'Itu memang benar. Tapi, minggu depan dia sudah harus berangkat dan aku belum tahu sama sekali,' batin Noura sedih. Sepertinya ia telah bertindak terlalu bodoh dengan mengakui perasaannya kepada Dean. Padahal kenyataannya ia bahkan tidak mendapatkan sambutan yang sama dari suaminya itu. Ucapan Mat pun tidak mempan buatnya. Meski lelaki itu sudah berkali-kali meyakinkan bahwa Dean mencintainya, tapi bagi Noura itu sangatlah mustahil. 'Dia belum mengatakannya.' Begitu kata Noura yang membuat Mat dan Sarah mengangkat kedua bahunya. Setelah sampai di kamarnya, Noura tidak langsung mandi ataupun membersihkan diri. Ia memilih untuk berbaring dan berleha-leha di atas tempat tidurnya. 'Seharusnya aku tidak me
"Ah, sepertinya keputusanku pergi darinya adalah hal yang benar. Dia pergi dengan Renee, aku pergi demi menyehatkan mentalku, itu sempurna.' Noura membatin senang. Perempuan itu tak mau sakit hati mendengar kabar jika sang suami akan pergi dengan perempuan lain. Hal itu sudah ia duga. Jadi, untuk apa ia berlarut dalam kemarahan yang tiada siapa pun peduli. "Aku sudah kenyang." Tiba-tiba Dean beranjak berdiri. Noura yang sedang mengatur strategi tampak kaget, tapi sedetik kemudian mencoba tersenyum saat melihat piring Dean yang masih utuh. "Kamu baru makan sedikit," ucap Noura. Dean tersenyum sinis. "Melihat ekspresimu pagi ini sudah membuatku kenyang tanpa memakan semua makanan ini," ucap Dean dingin. "Ehm, aku tidak tahu kalau mukaku terlihat seperti roti tawar atau sosis panggang," kekeh Noura mencoba melucu. Sayangnya Dean menanggapinya dengan memutar bola matanya seolah bosan. Dean benar-benar selesai dengan makanannya. Ia tampak bergegas pergi, hendak berangkat kerja. "Se
Di hari keberangkatannya ke luar negeri, Dean sudah rapi dan siap. Ia bahkan sudah selesai sarapan meski Noura belum turun dari kamarnya. "Sudah dibangunkan?" tanya Dean pada Alton, merujuk pada Noura yang masih belum juga muncul. "Sudah, Tuan. Nona sudah bangun ketika pelayan memanggil."Dean terlihat tak senang. 'Sudah bangun, tapi kenapa masih belum turun?' begitu pikirnya. "Lalu, sedang apa dia? Kenapa masih belum kelihatan?""Tadi pelayan bilang kalau nona masih belum selesai."Dean menatap Alton bingung. "Masih belum selesai? Sedangkan ia sudah sejak tadi dipanggil.""Maaf, Tuan. Sepertinya nona sedang kurang sehat.""Apa kamu bilang? Kata siapa?" tanya Dean cukup terkejut mendengar kabar yang Alton sampaikan tersebut. Dean segera bangkit dari kursi makan, lalu berjalan meninggalkan Alton yang berusaha menjelaskan. "Kemarin saat nona pulang bekerja, beliau sudah mengeluh sakit kepala. Saya sudah akan menyampaikan kabar tersebut semalam saat Anda pulang, tapi belum sempat sa
"Tenang saja. Aku akan langsung ke rumah sakit sepulang dari sini," ucap Noura yang akhirnya ikut juga ke bandara mengantar Dean. Kekesalannya tidak terjadi saat tahu bahwa Renee tidak ikut pergi bersama suaminya itu ke Kanada. Hanya ada Steven yang pastinya harus selalu mendampingi. "Kalau saja tadi kamu tidak terlambat, aku bisa mengantarmu dulu menemui dokter." Dean terlihat mengomel. "Sudahlah. Gak perlu marah-marah kaya gitu. Aku cuma sakit kepala biasa. Kamu lihat sendiri, aku masih bisa mengantarmu ke bandara 'kan. Jadi, gak ada yang perlu kamu khawatirkan."Noura memang terlihat jauh lebih baik dibanding ketika bangun tidur tadi. Tapi, Dean masih merasa belum tenang sebelum istrinya itu diperiksa. "Lebih baik kamu medical check up sekalian. Bukannya waktu itu juga kamu mau rutin kontrol ke dokter spesialis bukan? Tapi, sampai detik ini rencana itu tidak juga kamu lakukan.""Ya ampun, Dean. Aku udah gak sakit lagi, makanya aku putusin buat gak check up ke dokter.""Tapi, bu
"Baru seminggu yang lalu?" tanya dokter memastikan. Noura terlihat ragu. "Eh, maksud saya seharusnya seminggu yang lalu saya haid. Tapi ....""Tapi?""Tapi, saya belum haid juga sampai hari ini."Dokter pun tersenyum mendengar jawaban Noura dengan gerakannya yang tampak ragu dan malu. "Berarti sudah seminggu Anda terlambat datang bulan. Jadi, kalau begitu lebih baik kita periksa dulu. Langsung tes urine saja, yah, Ibu?"Noura tampak gelagapan. Ia sepertinya tak siap bila harus mengetahui fakta seandainya benar ia hamil. "Te-tes urine, Dok?""Iya," jawab dokter sambil mengangguk. Senyumnya yang manis sama sekali tidak mampu membuat Noura tenang. "Biar cepat kelihatan hasilnya."Mau tak mau akhirnya Noura mengikuti juga tawaran sang dokter. Meski jantungnya memompa cepat, menandakan ia tengah gugup luar biasa, tapi ia harus melakukannya. Noura mungkin tidak fokus saat ini, tapi ia berusaha memperhatikan semua yang dokter lakukan. Termasuk ketika ia kemudian harus pergi ke toilet un
Noura tidak pernah mau membayangkan apa yang akan terjadi jika sampai Dean tahu ia pergi dari rumah. Sudah pasti lelaki itu akan marah. Bukan karena cinta, tapi karena rasa belum puas sebab kematian sang mantan tunangan. Rencana kepergiannya adalah setelah ia keluar dari rumah. Ia tidak akan pernah berangkat ke restoran karena banyaknya waktu yang ia butuhkan untuk menghindari pengawasan para pengawal. Ya, Dean masih ingin memantaunya dari jauh. Meski tidak secara langsung para pengawal ditugaskan, tetap saja Noura harus lebih hati-hati dan teliti. "Dia tidak akan tahu aku akan pergi ke mana, sebab aku sendiri masih belum yakin akan tujuanku sekarang," ucap Noura setelah berhasil keluar dari rumah. Alton tak akan pernah membayangkan jika perginya Noura pagi itu adalah kepergian sang nona untuk kabur dari tuannya. Pamit dengan gaya santai dan biasa, tidak membuat kepala pelayan itu curiga sama sekali. Ia bahkan masih bisa melihat sikap Noura yang menyapa para penjaga keamanan dan b
Dean sudah siap dengan penampilannya. Hari ini setelah ia istirahat paska kedatangannya di Kanada, dirinya bersiap untuk presentasi di depan Tuan Chelo —calon rekan bisnis yang sudah lama ia impikan untuk bisa bekerja sama. "Semua sudah siap, Steven?" tanya Dean yang masih mematut dirinya di depan cermin. Dean bukan seorang lelaki narsis atau lelaki metro seksual yang kerap mementingkan penampilan. Tapi, untuk hari ini ia tidak peduli jika orang-orang melihat atau menilainya demikian. Sudah sejak pagi ia selesai, tapi anehnya ia masih belum mau beranjak dari depan cermin besar seukuran badannya itu. "Sudah, Tuan." Steven menjawab sembari terus memperhatikan sang tuan yang masih betah memandangi wajah dan penampilannya. "Apakah penampilanku sudah terlihat pantas?" Untuk ke sekian kalinya, Dean butuh validasi. "Anda jauh dari kata pantas. Penampilan Anda sangat sempurna hari ini. Saya yakin Tuan Chelo akan dengan sangat mudah menyetujui presentasi yang akan Tuan ajukan.""Aku bukan
"Membunuh? Apa lagi ini, Dean?" Renee berurai air mata sembari menghampiri Dean. Namun, Dean tetap tak bergeming ketika Renee mendekatinya, bahkan tak sungkan saat memegang lengannya. "Dean, aku tahu mungkin kehadiranku tidak istrimu sukai, tapi apakah harus memfitnah seperti ini? Siapa yang mau membunuh? Apakah menurutmu aku segila itu?"Noura dan ibunya menatap sebal. Bisa-bisanya wanita itu bersandiwara dengan mengatakan bahwa ia telah memfitnah. "Dean, tolong katakan sesuatu. Kenapa kamu diam saja?" Renee tampak merengek. Noura kesal melihat bungkamnya Dean. Dalam pikirannya ia mengira bahwa sang suami lebih mempercayai wanita itu daripada dirinya. Satu keputusan yang ia ambil jika Dean lebih mendengar wanita itu dibanding ucapannya, yaitu menyudahi hubungan pernikahan mereka. "Renee, lepaskan aku," ucap Dean meminta Renee melepaskan pegangannya. Renee tampak kaget ketika melihat ekspresi Dean yang mendadak dingin. Lelaki itu seperti kembali ke mode awal perkenalan mereka du
Setelah hampir seminggu menginap di kediaman Dean, Feli dan Hans akhirnya pamit pulang. Meskipun Noura sedikit tak rela, ia tetap melepaskan kepergian sang kawan beserta keluarganya itu. "Mainlah nanti." Feli berbicara pada Noura sesaat hendak masuk ke dalam mobilnya. "Nanti kalau bayiku sudah besar, aku pasti akan main ke sana.""Untuk apa menunggu bayimu besar?" sahut Feli menatap aneh. "Kita ini bukan orang tua zaman dulu yang apa-apa harus menunggu. Zaman kita sudah jauh berbeda. Mau anak kita masih bayi atau sudah besar, mereka akan aman. Karena fasilitas penunjang zaman sekarang yang sudah jauh lebih baik.""Ya, aku tahu.""Ya, terus?"Noura tersenyum menatap kawannya itu. "Setidaknya aku harus meminta izin pada Dean untuk masalah itu.""Ya, itu jelas. Kamu memang harus meminta izin padanya." Feli berkata kemudian masuk dan menutup pintu mobil. "Tapi, ngomong-ngomong ... bagaimana kelanjutan hubungan kalian? Akan lanjut atau bagaimana?" Rasa penasaran Feli akhirnya bisa dilua
"Mat bodoh, Noura." Sarah masih kesal dengan kelambatan Mat dalam berpikir. Untuk itu ia sengaja memberi tahukan semua orang tentang kekesalannya tersebut. "Sarah, apakah harus semua orang kamu beri tahu tentang masalah ini?" Mat ikutan kesal sekarang. Harga dirinya sebagai lelaki merasa direndahkan oleh kekasihnya itu. "Tidak. Aku hanya memberi tahu Dean dan Mat." Sarah terlihat berkilah. "Nanti ada yang datang, kau beri tahu juga?""Tidak." Sarah menjawab cepat. "Oh iya, Noura. Bisakah kita bicara berdua?" lanjut wanita itu seraya beranjak berdiri. Mat melihat Dean dengan ekspresi kesal yang masih belum hilang. "Dean, apakah sedang ada konspirasi saat ini antara dua wanita di depan kita?""Kamu ini bicara apa sih, Mat? Konspirasi apa?" Noura menyahut sambil tertawa geli. "Ya ... ini. Antara aku dan Sarah belum selesai bicara, tapi dia malah mengajakmu pergi. Aku yakin sekali, dia mau membicarakan atau menjelekkan aku padamu."Tidak hanya Noura, Sarah bahkan menatap tak percaya
Mat menatap Feli yang tengah ditenangkan oleh suaminya, Hans. Di sebelahnya Sarah menyenggol lengannya dengan pandangan kesal.'Apa?' gumam Mat pada kekasihnya itu, tidak paham apa yang terjadi. "Apakah Dean belum cerita pada kalian, bahwa Noura terindikasi kena sindrom baby blues?" Hans berkata pada sejoli di depannya. "Hah! Benarkah?" Sarah menyahut kaget. Di sampingnya —Mat, terlihat seperti orang bodoh dengan wajah bengong dan mata berkedip lambat. "Ya, saat di rumah sakit aku sudah menyadarinya. Ketika kalian asik mengobrol seru sembari melihat si kecil, saat itu aku mendapati kesedihan yang Noura alami.""Kenapa dia sedih?" Sarah tampak penasaran. "Itu karena doa Dean.""Doa Dean?" Mat dan Sarah berseru kompak. Dean yang namanya disebut, menengok pada kumpulan sahabatnya yang ada di ruang makan. Tatapannya curiga bahwa ia tengah dibicarakan. Namun, Mat memberi respon senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Alhasil, Dean kembali berbincang seru dengan para kerabat yang mengunju
Seluruh penghuni kediaman Waverly sangat berbahagia dengan kehadiran bayi tampan nan lucu yang otomatis akan menjadi pewaris tunggal keluarga kaya tersebut. Kehadirannya di tengah-tengah keheningan rumah membuat bayi Dean dan Noura menjadi satu-satunya pusat perhatian. Feli dan Hans turut gembira dengan kebahagiaan yang terasa di rumah mewah tersebut. Bahkan, keduanya tidak sungkan menyambut para kerabat jauh Dean bersama Mat dan Sarah.Kedua pengusaha itu seperti memiliki chemistry satu sama lain, termasuk istri dan pacar mereka yang terlihat ramah dan cepat akrab. "Saya tidak menyangka bahwa rumah ini akan ramai." Alton, salah satu penghuni terlama di rumah tersebut tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang dirasakannya. "Kau beruntung, Alton, bisa menyaksikan ini semua," ujar Mat menimpali. "Ya, Tuan Mat. Andai saya dulu resign ketika Tuan dan Nyonya Waverly wafat, tentu saya tidak akan melihat ini semua. Betapa bahagianya Tuan Dean memiliki anak yang bahkan tidak pernah ia impi
"Itu tidak masalah. Berarti benar dia bahagia bukan?" Noura membalas ucapan Renee yang masih semangat memprovokasi. "Sekali lagi aku katakan, itu bukan bahagia. Tapi, lebih ke beruntung karena tidak perlu capek-capek mencari perempuan lain untuk ia jadikan mesin pembuat anak.""Jaga ucapan Anda, Nona!" Ibunya Noura menyahut kesal. Raut wajahnya terlihat menahan emosi karena ucapan-ucapan Renee yang dinilainya tidak mendasar. Renee tidak kalah saat berhadapan dengan dua orang wanita di depannya yang kini sudah mulai terbawa emosi. Ia memang sengaja melakukan itu sebab rasa sakit hatinya karena Dean yang lebih memilih Noura dibanding dirinya."Terserah kalian saja mau percaya aku atau tidak." Renee berkata seraya berbalik hendak meninggalkan ruangan. "Kau bisa tanyakan sendiri kepada Dean," ucapnya menghentikan langkah. Ia kemudian berbalik, "Ah, tapi aku tidak yakin dia mau mengaku. Karena beda ceritanya padaku, lain juga kepadamu nanti. Entahlah, aku sangat hapal dirinya." Renee te
Seperti saran yang Feli berikan, Dean kemudian menemui dokter untuk berkonsultasi mengenai kondisi Noura. "Saya awalnya tidak memperhatikan hal tersebut, Dok. Tapi, temannya yang menyadari bahwa istri saya berubah menjadi sensitif.""Sensitif seperti apa?""Saya sendiri tidak tahu pasti, tapi Noura terlalu berlebihan saat menganggap suatu hal. Seketika ia cemas dan khawatir. Seperti serangan panik, Dok. Bahkan, kemarin tiba-tiba ia menangis. Dan saat saya tanya, ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja."Dokter mengangguk dan begitu serius saat mendengar cerita Dean. Bukan perkara baru ketika seorang ibu yang baru melahirkan mengalami hal tersebut. Dokter tahu itu. "Begini, Tuan Dean. Kecurigaan saya, kemungkinan Bu Noura mengalami sindrom baby blues. Perubahan hormon membuat hal tersebut muncul.""Baby Blues? Apa itu berbahaya?" Dean seperti baru mendengar penyakit tersebut. "Pada dasarnya sindrom baby blues tidaklah berbahaya jika ditangani dengan baik. Tapi, akan membahayakan
Semua hal yang baru Dean alami, entah mengapa terasa mudah terjadi. Noura yang terjatuh ke kolam dan mengalami keram, tiba-tiba harus melahirkan. Setelah ia menyetujui tindakan operasi, nyatanya ia harus dihadapkan pada pilihan antara istri atau anaknya. Namun, ketika ia sudah memilih supaya dokter menyelamatkan sang istri, Tuhan justru memberi keduanya. Tidak ada yang ditakdirkan meninggal lebih dulu. Hal tersebut membuat Dean tak berhenti mengucap rasa syukur. Lain kebahagiaan yang Dean alami dengan apa yang Noura pikirkan saat ini. Setelah beberapa menit kemudian ia siuman, Dean memberi tahu padanya tentang kondisi yang sudah mereka lalui. Noura jelas tidak menyangka jika dirinya sempat berada di fase kritis seseorang yang akan melahirkan. Tapi, begitu ia mendengar tidak ada hal buruk yang terjadi, seketika ia menyadari sesuatu. "Keberuntungan apa yang kamu tukarkan pada Tuhan demi menyelamatkan hidup kami, Dean?" tanya Noura setelah beberapa waktu sudah bisa kembali normal. Efe
Tuhan, mungkin aku bukan seorang hamba yang taat. Bukan juga seorang hamba yang baik. Keburukan serta maksiatku mungkin lebih banyak dibanding kebaikanku selama ini. Tapi, Tuhan, andai aku boleh meminta. Sebagai seorang hamba yang jauh dari kata sempurna, aku ingin Engkau menyelamatkan istri dan anak hamba." Di dalam sebuah rumah ibadah yang terdapat di area luar rumah sakit, Dean menengadahkan tangan untuk berdoa. "Pikiran warasku tidak bisa memilih mana yang harus diselamatkan dan mana yang harus dikorbankan. Keduanya sama berharganya." Suara Dean mulai bergetar. "Dulu mungkin aku membencinya. Ia yang aku tuduh sebagai seorang pembunuh, nyatanya sekarang mampu meluluhlantakkan hati dan jiwaku. Aku tak mau kehilangannya, Tuhan. Sama seperti ketika aku menyesal atas kepergian anakku yang pertama, saat ini juga aku tak mau anakku yang lain pergi sebelum aku melihat dan membesarkannya."Dean sudah mulai menangis. Tangisnya terdengar pilu seiring suaranya yang semakin lirih berdo'a.