"Mas, ngomong-ngomong kamu sekarang kerja di mana, dan dengan jabatan apa?" tanya Zahra penasaran, setelah sekian lama ia tidak bertemu dengan kekasih yang ia tinggalkan itu. "Aku bekerja di perusahaan papa, menggantikan papa sebagai CEO di sana," ucap Dika, terlihat santai namun tetap cool. "Wah, sudah berapa lama Mas, kamu kerja? Aku pikir kamu akan selamanya jadi pengangguran," ledek Zahra. "Dulu aku masih belum siap, mengemban banyak tanggung jawab di perusahaan. Tapi sejak kamu meninggalkan aku, aku jadi bisa fokus melakukan pekerjaan itu dengan baik." jelas Dika tersenyum tipis. Zahra tertegun, ia tak menyangka jika ternyata Dika justru menjadi orang sukses setelah ia memilih pergi, rupanya memang Dika bukan pria yang bisa diatur oleh orang lain, tetapi ia memiliki pikiran sendiri saat ia sudah memiliki keinginan. Makan siang itu berlalu begitu saja, Zahra yang ingin sekali ditanya bagaimana pernikahannya dengan Cahyo, justru sama sekali tidak mendapatkan pertanyaan apapun
"Zahra, kenapa kamu ada di ruangan saya?"Dika terkejut ketika ia membuka pintu ruangannya, lalu tiba-tiba ada Zahra yang sudah duduk dengan santai di sofa, Zahra pun tersenyum menyambut kedatangan pria yang sudah ia tunggu itu. "Mas Dika, aku ke sini karena aku ingin tahu jawaban kamu kemarin, apa aku diterima menjadi sekertaris kamu di kantor ini?" Zahra tersenyum manja, di hadapan Dika. "Zahra, kenapa kamu berprilaku seolah kamu tidak pernah memiliki kesalahan terhadap saya. Saya sudah bilang bahwa saya akan pikir-pikir dulu," protes Dika menahan marah. "Mas, aku sudah menunggu dari semalam, aku menunggu jawaban yang akan kamu berikan padaku. Mas, aku benar-benar butuh pekerjaan, tolong berikan aku pekerjaan itu," rengek Zahra terlihat memasang wajah melas. "Baik, saya akan memberikan keputusan sekarang karena kamu memaksa. Saya akan menerima kamu kerja, tapi tidak di kantor ini," ucap Dika, ia duduk di kursi singgasananya. "Maksud kamu, apa Mas?" Zahra menghampiri Dika seraya
"Bu, gimana kalau Ibu saja yang masuk," usul Tasya gemetar. "Loh, memangnya kenapa Tasya, di dalam itu adalah suami kamu, jadi kamu berhak hadir," ucap bu Nirma menatap wajah putrinya. "Ya Bu, tapi aku tidak yakin mas Dika akan menerima kehadiranku, aku pulang saja ya, Bu." jawab Tasya masih ragu. Bu Nirma menahan ketika Tasya memilih untuk pulang, mencoba untuk terus merayu dan berusaha agar Tasya mengurungkan niatnya itu. Sampai akhirnya bu Nirma memakai senjata dengan menyebut nama mama Riri dan juga papa Arkana, berharap jika mendengar nama mereka Tasya menjadi luluh. Benar saja, mereka yang tidak pernah terpikirkan sejak tadi, kini menjadi beban Tasya saat memutuskan hendak pergi, ia terlihat bimbang antara masuk atau justru pergi."Tasya, lihat penampilan kamu sekarang ini, semua adalah usaha mama Riri untuk membuat kamu secantik mungkin hari ini, untuk suami kamu tentunya, sekarang ayo kita masuk, pasti mama Riri dan papa Arkana sudah menunggu," ajak bu Nirma masih merayu.
Dika masih memandangi Tasya tak percaya, ia benar-benar tidak menyangka melihat penampilan Tasya yang tak kalah cantik dan menarik dibandingkan dengan para tamu yang ia undang, selama ini memang yang Dika lihat adalah paras dan penampilan Tasya yang biasa saja, karena pekerjaannya ada di dalam rumah, berbeda dengan teman-teman bisnis Dika yang mayoritas semua adalah wanita karir. Melihat tatapan Dika yang sejak tadi memperhatikan dirinya, membuat Tasya hanya mampu menundukkan kepala penuh malu, ia tidak pernah sekalipun mendapatkan tatapan itu dari suaminya selama mereka menikah. Sementara mama Riri, menghampiri Zahra yang masih menatap mereka dengan penuh tanya, nampak dengan bangga mama Riri memperkenalkan siapa Tasya. "Kamu pasti bertanya-tanya tentang wanita cantik ini, kan?" tanya mama Riri seraya menatap Tasya di sampingnya. "Kenalkan, wanita ini adalah Tasya, istri dari Dika Mahendra Jaya, pemilik perusahaan ini," sambung mama Riri bangga. "A-apa, jadi Mas Dika sudah menik
Tring... Tring.... Dering telpon masuk pun membangunkan Dika yang baru saja hendak memejamkan mata, setelah kejadian siang tadi, ia terlihat sangat gelisah, hingga memutuskan untuk meraih ponselnya yang ada di atas nakas. Dika heran, karena yang menelpon dirinya adalah Zahra, tengah malam begini mengapa wanita itu menghubunginya? Karena penasaran telpon yang terus berlanjut, akhirnya Dika memutuskan untuk mengangkatnya saja. Setelah menyambungkan telpon tersebut, Dika mendengar suara seorang pira yang mengatakan bahwa saat ini Zahra tengah mabuk berat, ia pun mendapati nomor telpon Dika lantaran Zahra sengaja memberikan nama yang cukup sepesial di kontaknya, sehingga meyakinkannya untuk menghubungi Dika langsung, Dika terkejut ketika mendengar kabar tersebut, ia akhirnya meminta alamat pada pria itu dan segera keluar dari kamar. Saat menuruni anak tangga, Tasya baru saja keluar dari kamarnya hendak mengambil air minum yang akan ia bawa, dan saat melihat suaminya turun dengan keada
"Lain kali, jangan memotong sesuatu kalau hati sedang marah, agar tidak terjadi seperti ini," ucap Dika, yang sudah mengobati jari telunjuk Tasya. "Siapa juga yang sedang marah, aku tidak marah," cetus Tasya berpaling muka, menutupi rasa cemburu yang sebenarnya telah disadari oleh Dika. "Kalau begitu kenapa dari pagi kamu terlihat sangat berbeda dari biasanya? Cara mu membersihkan rumah pun tidak seperti biasanya, wajah dan juga tubuh mu itu berbicara," pandangan Dika menatap lurus ke arah Tasya. "Sejak kapan Mas jadi pengintai ku?" Tasya melotot membalas tatapan Dika. Melihat itu Dika merasa sangat gemas, wanita yang tidak pernah ia anggap selama ini rupanya terlihat sangat lucu ketika sedang cemburu, ia tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Tasya saat itu. Ceklek! saat itu Zahra membuka pintu, ia tersadar bahwa saat ini ia tidak ada di kamar pribadinya, rasa pusing dan haus, membuatnya memilih keluar untuk meminta segelas air minum, tatapan mata Zahra tertuju pada sepasang suam
Di meja makan, Tasya sudah menyiapkan beberapa menu makanan yang sudah di pesan sebelumnya oleh Dika, dan setelah semua siap, Tasya pun menghampiri Dika yang sedang memainkan ponselnya. Sementara Zahra sendiri ikut duduk di samping Dika sambil meratapi sikap dingin Dika padanya. "Mas, makanan sudah aku siapkan, ayo ajak Mbak Zahra makan," ucap Tasya menghampiri Dika. "Oh, sudah kamu siapin ya sayang, ya sudah kalau begitu, ayo kita makan," seru Dika melempar senyum lebar. "Zahra, ayo kita makan dulu, sudah Tasya siapkan di meja." sambung Dika memanggil Zahra. Dika bangkit lebih dulu bersama dengan Tasya, tiba-tiba saja Dika merangkul pundak Tasya yang berjalan beriringan dengannya, Tasya terkejut ketika mendapatkan perlakuan tersebut oleh Dika, namun Dika seolah tidak melakukan apapun pada Tasya, ia masih bersikap dingin dan biasa. Degup jantung yang berdebar itu, membuat Tasya menelan saliva beberapa kali, ia terlihat tegang, sementara Zahra menatap mereka dengan penuh rasa cemb
"Mas, kamu sudah pulang," sapa Tasya saat menyambut kedatangan suaminya. "Hemm," singkat Dika menjawab. "Mas, tunggu." Tasya menangkap salah satu pergelangan tangan Dika saat ia hendak naik ke lantai dua. Dika pun menghentikan langkahnya, dengan masih bersikap dingin pada Tasya ketika hanya mereka berdua di rumah, Tasya sebenarnya ragu untuk memanggil suaminya, tetapi mau bagaimana lagi, ia tidak bisa menahan perasaannya lagi saat itu. Tasya menatap mantap wajah Dika yang begitu khas, dan tatapan itu seakan membuat Dika bertanya-tanya meskipun ia tidak mengatakan apapun pada Tasya. "Ada apa?" Dika bertanya dengan nada dingin. "Emmm, Mas... Aku hanya ingin bertanya, apa kamu sudah benar-benar membawa mbak Zahra pada suaminya?" Tasya akhirnya mengungkapkan rasa penasarannya. "Tidak, dia tidak mau aku antar ke rumah suaminya, katanya dia ingin berpisah dari suaminya," ucap Dika memberitahu. "A-apa, pisah? K-kenapa, Mas?" dengan penuh rasa penasaran, Tasya pun tidak sadar bahwa ke