"Ma, Bella menyesal. Andai saja dulu Bella tidak kabur di hari pernikahan Bella dengan Rey, mungkin Bella tidak akan sesakit ini, mungkin juga sekarang Bella sudah bahagia dengan Rey," gumam Bella lirih.Deg!Mendengar kata-kata Bella, Delisha merasa dadanya sesak. Ia tidak mengerti mengapa Bella bisa berpikir seperti itu.Kenapa Bella berkata seperti itu?Senyum tipis melintas di wajah Delisha, meskipun hatinya hancur mendengar perkataan Bella. Ia mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menjawab dengan bijak. "Bella, tidak ada salahnya merasa menyesal atau memikirkan bagaimana jika segala hal terjadi dengan cara yang berbeda. Tetapi kamu harus ingat, apa yang terjadi padamu sudah berlalu. Kini, kamu harus fokus pada masa depanmu dan mencari kebahagiaanmu sendiri."Bella mengangkat kepalanya dan bertatap langsung dengan mata Delisha. Air mata mengalir di pipinya, menunjukkan betapa dalam rasa sesalnya. "Delisha, aku benar-benar menyesal. Aku menginginkan kebahagiaan yang seharusnya menj
"Maafkan aku, Rey. Aku hanya takut bila kamu masih mencintai Erlin," gumam Delisha dengan suara lirihnya.Rey melihat lekat ke arah Delisha, lelaki itu berusaha meyakinkan istrinya, bahwa dihatinya kini sudah tidak ada Erlin, hanya ada Delisha seorang. "Apa yang harus aku buktikan agar kamu bisa percaya sama aku, kalau di dalam hatiku cuma ada kamu seorang Delisha?" tanya Rey.Delisha mengangkat lemah pandangannya, melihat pada suaminya, Rey, yang tengah berdiri di depannya. Ia menatap mata Rey dengan cermat, mencari tanda-tanda kejujuran di balik kata-katanya. "Rey, bukan soal bukti fisik, tapi tentang keyakinan dan perasaan," ucapnya pelan. "Aku butuh waktu untuk mempercayaimu sepenuhnya. Tapi, tolong pahami, rasa takutku."Rey merasa getaran emosi dalam suara Delisha, dan dia menyadari bahwa membangun kembali kepercayaan membutuhkan kesabaran dan pengertian. "Aku mengerti, Delisha. Aku akan selalu berusaha membuktikan cintaku padamu dengan tindakan dan kesetiaan," janji Rey, matan
Eugh!"Brengsek!"Erlin memegang surai panjangnya, hawa dingin mengepul di sekitarnya, raut wajahnya mencerminkan amarah yang tak terbendung. Ia menyesali lelaki yang seharusnya menjadi pelindung dan penyayangnya. Namun, justru meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Sekarang, lelaki itu kembali, membawa wanita yang ia katakan sebagai istrinya. Perasaan Erlin tercampak, perasaan kecewa dan terpukul oleh ayahnya yang telah merusak dan mengacaukan hidupnya.Erlin duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong memandang ke dalam jauh. Dia merenungkan segala yang telah terjadi, membiarkan emosi-emosi yang berkecamuk dalam dirinya menemukan jalan keluar."Ayah," gumamnya pelan, suaranya penuh dengan kesedihan dan kekecewaan. "Apa yang kau lakukan padaku? Mengapa kau memilih untuk menghancurkan segalanya?"Dia menatap benda-benda di atas meja dengan tatapan kosong. Setiap sudut apartemen ini, setiap benda, semuanya menyiratkan kenangan yang pernah indah. Namun sekarang, semuanya terasa hambar, d
Suara langkah sepatu memasuki MD Corporation. Dengan langkah tegaknya, Rey memasuki kantor megahnya, bangunan tinggi yang mencerminkan kejayaan perusahaannya.Tak lupa pula, Rey memakai setelan jas abu-abu terang yang pas dengan sempurna pada tubuhnya yang atletis. Jas tersebut disempurnakan dengan dasi sutra warna biru muda yang dibuat sedemikian rapi, mencerminkan kecermatannya dalam segala hal. Di pergelangan tangannya, ia mengenakan jam tangan mewah yang mengkilap, menjadi sentuhan akhir dari penampilannya yang serba rapi.Rey melangkah dengan percaya diri melalui lorong kantor yang ramai, tatapannya tetap fokus pada tujuannya. Setiap orang yang melihatnya tak bisa menghindari untuk tertunduk patuh di hadapan kehadiran sang CEO. Beberapa di antaranya mengucapkan selamat pagi dengan suara lembut yang penuh penghormatan. Tak bisa dipungkiri, kehadiran Rey sungguh mengesankan. Raut wajahnya yang tegas, postur tubuhnya yang tegap, semuanya memancarkan aura kepemimpinan yang kuat. Set
Erlin melangkah maju mendekati Rey dengan hati yang berdebar. Ketika ia sudah berada di depan Rey, ia berbicara dengan suara lembut yang dipenuhi penyesalan, "Rey, aku menyesal, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Rey."Tiba-tiba, emosi Erlin tak terkendali, Erlin memeluk Rey dengan erat. Isakan tangisnya memenuhi ruangan, menggambarkan rasa sakit yang begitu mendalam. Setelah beberapa saat, dengan suara yang serak karena emosi, ia berkata, "Aku mencintaimu, Rey. Sampai kapan pun aku selalu mencintaimu."Di pintu, Delisha memandang pemandangan itu dengan hati yang berdegup tak teratur. Wajahnya merona merah, dipenuhi oleh rasa marah dan kecewa yang tak terukur. Ia seakan terdorong untuk masuk dan mengakhiri momen ini. Namun, hatinya memberinya peringatan untuk tetap di tempatnya.Ketika Rey merasa bila ada seseorang di depan pintu. Tatapannya beralih cepat ke arah pintu, ternyata ia melihat keberadaan istrinya yang berada di ambang pintu."Delisha," gumam Rey lirih.Rey deng
Delisha menatap Rey dengan tatapan tulus. "Wanita mana yang tidak marah bila melihat suaminya berpelukan dengan wanita lain, Rey," ujar Delisha dengan suara yang jujur. Namun, juga penuh dengan kekesalan. Ia ingin Rey mengerti betapa pentingnya kepercayaan dan komitmen dalam sebuah hubungan.Rey merasakan kehangatan dari kata-kata Delisha. Ia meraih tangan istrinya dengan lembut. "Aku minta maaf, Sayang. Aku akan memastikan bahwa hal seperti ini tidak terjadi lagi. Aku juga tidak tahu mengapa Erlin memeluk aku dengan tiba-tiba."Delisha menghembuskan napas kasarnya, entah bagaimana ia harus bersikap. Erlin selalu saja mengganggu Rey, itu yang membuatnya tak suka.Rey dengan lembut menyelipkan sehelai anak rambut Delisha ke belakang daun telinga istrinya. "Sayang, besok kita akan pergi ke butik," ujarnya dengan suara lembut.Delisha menatap Rey dengan rasa ingin tahu. "Untuk apa, Rey?"Rey tersenyum penuh semangat. "Kita akan fitting baju, karena besok lusa acara ulang tahun perusahaan
"Morning, Sayang," sapa Delisha dengan suara lembut, tersenyum hangat ketika melihat Rey yang baru terbangun di sampingnya.Rey membalas sapaan itu dengan senyum manis. Ia meraih tangan Delisha dan menciumnya dengan penuh kasih sayang. "Morning," ujarnya dengan suara hangat, mengisi kamar dengan kehangatan cinta di antara mereka."Ayo bangun, kamu mandi dulu, aku akan buatkan sarapan untuk kamu," ujar Delisha dengan pelan, menyingkap selimut untuk mengajak Rey bangun. Namun, ketika ia hendak turun dari tempat tidurnya, Rey segera menahan tangannya."Tidak perlu, kan ada Bi Yanti. Biar dia saja yang menyiapkan sarapan," sela Rey, mencoba untuk mengurangi kerepotan Delisha.Delisha memandang Rey dengan penuh kehangatan. "Tapi aku ingin memanjakan suamiku hari ini. Biar aku yang menyiapkan sarapan untukmu."Rey tersenyum, merasa beruntung memiliki Delisha di sisinya. "Baiklah, Sayang. Aku akan menunggu sarapan spesial dari istriku tercinta." Mereka berdua tersenyum satu sama lain, merasa
"Sayang, ayolah cepat sedikit, aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Anna," ujar Delisha seraya menarik tangan Rey agar segera masuk ke dalam mobil. Ia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan sahabatnya.Matanya sudah berbinar-binar penuh antusias, raut wajahnya penuh kegembiraan karena akan dapat berbagi waktu bersama teman terdekatnya. Rey hanya bisa tertawa melihat semangat istri tercintanya, dan dengan senang hati, ia mengikuti langkah Delisha menuju mobil. "Sabarlah, Sayang. Seperti kamu tidak pernah bertemu dengan Anna saja," imbuh Rey. Mencoba memelankan langkah Delisha yang semakin mempercepat langkahnya. Rey hanya takut istrinya itu kenapa-napa, apalagi kini ia sedang mengandung benihnya. Rey juga takut bila istrinya akan masuk ke rumah sakit lagi."Meskipun aku setiap hari bertemu dengannya di kantor, tapi tetap beda saja, Rey. Kalau di kantor itu, kami sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, sedangkan kalau di luar, kami bisa membahas apa pun itu," ungkap Del