"Oh iya, Sha. Tiara sama Hana sudah di pecat loh."Delisha terperangah mendengar perkataan dari Anna. "Hah, serius?"Anna tersenyum santai, "Iya, mereka sudah mendapatkan teguran dan sanksi yang sesuai. Semoga kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi mereka."Delisha masih terperangah oleh berita ini. "Aku tidak menyangka mereka akan melakukan hal seperti itu."Anna mengangguk setuju, "Ya, memang terkadang orang bisa menjadi jahat hanya karena merasa iri terhadap orang lain. Aku tidak bisa berpikir bagaimana jadinya bila mereka mengetahui bila kamu adalah istri dari tuan Rey. Mungkin, mereka bisa saja pingsan atau sikap mereka akan berubah baik terhadap kamu." Delisha mengangguk. "Benar juga. Semoga ke depannya semuanya tidak akan terjadi hal seperti itu lagi.""Tapi … kenapa kalian tidak mengungkapkan tentang status kalian berdua ke setiap orang? Mungkin saja dengan orang-orang yang sudah tahu tentang pernikahan kalian berdua, kamu tidak akan lagi di bully dan di sakiti oleh orang la
"Masuk!" perintah Jonathan.Orang yang ada di depan pintu itu pun segera masuk ke ruangan Bella.Kriieett!Suara pintu terbuka sudah terdengar, Jonathan, Juwita, dan Bella terperangah ketika melihat Daffa yang ada di depan pintu tersebut."Daffa," gumam Bella.Jonathan langsung berdiri dari tempat duduknya ketika ia melihat Daffa. "Apa yang kamu lakukan di sini?" ujar Jonathan dengan suara tegasnya."Maafkan saya. Saya sangat khawatir dengan kondisi Bella, setelah mendengar bila Bella mengalami kecelakaan. Saya hanya ingin menemui dan melihat keadaan dia." Daffa berucap dengan suara lirihnya."Tapi kami tidak ingin melihatmu!" ucap Juwita dengan nada yang emosi."Saya mengerti perasaan kalian berdua. Tapi saya mencintai Bella dan ingin selalu ada di sampingnya. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa merawat dan menjaganya dengan baik.""Pa, Ma, tolong dengarkan Bella. Bella tahu kalian khawatir tentang hubungan kami. Tetapi, Bella tidak ingin kehilangan Daffa. Bisakah kalian memberiny
Setelah pintu lift terbuka, Rey melihat Delisha yang sedang duduk di meja kerjanya. Senyumnya terukir indah, ketika ia melihat istrinya yang begitu cantik hari ini."Abbas," gumam Rey pelan."Kenapa?" tanya Abbas yang heran."Panggil Delisha untuk segera ke ruanganku."Abbas melebarkan kedua bola matanya, ia menunjuk kepada dirinya sendiri. "Aku?" katanya.Namun, Rey tak menjawabnya, ia malah memasukan tangannya ke dalam saku celana dan berjalan ke ruangan kerjanya."Hhh, dasar!" Abbas bergumam kesal, ia pun terpaksa menuju tempat Delisha."Ekhhmm …" Setelah Abbas berada di tempat Delisha, lelaki itu pun berdehem.Delisha yang sedang fokus dengan pekerjaannya, ia langsung menoleh ke arah Abbas dengan kening yang mengkerut. "Kenapa?" tanyanya."Hmm … Rey menyuruh kamu untuk segera ke ruangannya.""Oh, baiklah, tapi sebentar lagi, ya. Pekerjaan aku masih belum selesai," kata Delisha.Abbas hanya mengangguk patuh. "Baiklah, tapi Rey terlihat cukup serius. Mungkin lebih baik jika kamu pe
Namun, ketika ia mendekatkan wajahnya ke cermin, ia begitu sangat terkejut ketika kedua pipinya dipenuhi oleh bekas kecupan dari Delisha."Astaga!"Rey langsung mengambil tisu dari atas meja, kemudian ia mengelap wajahnya dari bekas lipstik Delisha, beberapa saat kemudian wajahnya sudah bersih kembali."Aku lupa belum menyuruh Hana dan Tiara minta maaf kepada Delisha, ya, walau mereka berdua sudah mendapat sanksi atas perbuatan mereka, mereka harus perlu minta maaf kepada Delisha. Awas saja bila mereka berdua masih kurang ajar, aku tidak akan membiarkan mereka hidup!" umpat Rey kesal.Meskipun Tiara dan Hana sudah mendapat sanksi atas kesalahan mereka yang sudah membuat Delisha masuk ke rumah sakit. Akan tetapi, mereka perlu meminta maaf, meskipun mereka bilang bila mereka telah berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Rey harus waspada terhadap dua wanita ular itu. Ia tidak akan membiarkan mereka berdua menyakiti Delisha kembali, apalagi sampai Delisha masuk ke rumah sakit seperti sed
Rey menatap tajam Hana dan Tiara, matanya penuh dengan pertanyaan yang memerlukan jawaban. "Sekarang katakan kepadaku, siapa yang menyuruh kalian untuk menyakiti Delisha?" tanya Rey dengan suara tegas, memaksa mereka untuk memberikan jawaban yang jujur.Deg!Detak jantung Hana dan Tiara berpacu begitu sangat cepat, mereka merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa menyembunyikan kebenaran lebih lama lagi. Wajah mereka pucat, dan mata mereka saling bertatapan dalam kepanikan.Akhirnya, dengan suara serak, Hana mengangkat kepalanya dan menjawab, "Tidak ada yang menyuruh kami, Tuan Rey. Kami bertindak atas keputusan kami sendiri, tanpa pengaruh dari pihak manapun."Tiara mengangguk tegas setuju dengan penjelasan Hana. "Kami sungguh-sungguh minta maaf, Tuan Rey. Kami sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan kami."Rey mengamat-amati kedua wanita itu, mencermati ekspresi wajah dan nada suara mereka. Dia bisa merasakan ada hal yang ganjal dari penje
Rey dan Delisha sedang berada di perjalanan untuk menuju Mansion Maduswara, sedari tadi Delisha begitu gugup, jantungnya berdebar begitu cepat di dalam sana, ini kali pertamanya ia akan bertemu dengan mertuanya di Mansion Maduswara, setelah apa yang terjadi sebelumnya. Mobil yang ditumpangi Rey dan Delisha melaju perlahan di sepanjang jalan menuju Mansion Maduswara. Delisha bisa merasakan getaran jantungnya yang cepat, kegugupan melanda dirinya sejak mereka meninggalkan kantor.Sesekali, matanya memandang keluar jendela, mencoba menenangkan diri dengan pemandangan sekitar. Namun pikirannya tetap melayang-layang membayangkan pertemuan mendebarkan dengan mertuanya nanti, yang tak terelakkan setelah apa yang terjadi sebelumnya.Delisha bertanya-tanya dalam hatinya mengapa mertuanya, akhirnya menerima dirinya sebagai menantu di Mansion Maduswara. Apakah hal ini terjadi karena anak yang dikandungnya? Rasa penasaran dan kekhawatiran merayapi pikirannya.Rey melihat ke arah Delisha yang ada
Mata Delisha tak henti memandang jalan. Matanya berbinar-binar. Pikirannya masih bercabang ke mana-mana, ia memikirkan tentang apa keputusan dari mertuanya, Emran, yang akan memberi tahu kepada setiap orang tentang siapa dirinya.Tak terbayangkan baginya bahwa mertuanya, Emran, akan mengubah pendiriannya begitu cepat. Kini, ia dapat bernapas lega karena Emran dan Arumi telah menerimanya sepenuh hati.Delisha begitu bahagia mendengar semua itu, ia tak menyangka bila mertuanya itu akan berubah secepat itu, wanita yang berambut panjang sebahu itu begitu bersyukur, akhirnya, mertuanya, Emran dan Arumi sudah mau menerimanya.Lamunan Delisha terhenti, ketika Rey menyentuh tangannya. Delisha terkesiap seketika. Wanita itu membalas tatapan Rey dengan senyuman yang begitu manis terukir di wajahnya."Kamu kenapa? Dari tadi melamun terus?" tanya Rey seraya menyelipkan anak rambut ke belakang daun telinga Delisha."Aku masih kepikiran tentang perkataan Papa, Rey.""Kamu jangan terlalu banyak berp
"Siapa, Bi?" tanya Jonathan, mengangkat alisnya dengan rasa ingin tahu."Ada den Daffa, Tuan," ujar Asisten tersebut dengan ramah."Selamat sore, Tante, Om," sapa Daffa dengan senyuman hangat yang sudah terukir di wajahnya.Semua orang di ruangan itu memutar kepala mereka ke arah datangnya Daffa, termasuk Rey dan Delisha. Seketika kedua bola mata Rey melebar, ia terperangah melihat sosok lelaki tersebut. Ia benar-benar shock, ketika ia mengetahui siapa yang ada di hadapannya kini.Namun, tidak dengan Bella, wanita itu tersenyum melihat Daffa dan begitu sangat bahagia ketika melihat kekasihnya itu yang datang."Daffa," gumam Bella.Daffa tersenyum, mata dan senyumnya penuh dengan kehangatan ketika melihat ke arah yang lainnya. Namun, ketika ia baru menyadari ada Rey juga di sana, seketika jantungnya berhenti berdetak. Napasnya terasa sesak, dan ia merasa sulit menelan air liurnya. Lelaki itu tak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan Rey di sini.Rey, yang melihat Daffa, merasa amarahn
Delisha yang duduk di dekatnya mengangkat alis, ekspresinya penuh tanda tanya. "Ada apa, Sayang?"Rey memandang Delisha dengan serius. "Ada masalah yang perlu aku selesaikan sekarang juga. Aku harus pergi sebentar."Delisha melihat ke dalam mata Rey, memahami keadaan darurat yang tengah dihadapinya. "Aku akan menemanimu, Rey."Rey mengangguk, setelah menitipkan Gilang kepada Arumi dan Emran dengan cemas di hati, Rey dan Delisha segera menuju mobil mereka. Mereka berkendara dengan cepat menuju rumah sakit, hati mereka dipenuhi kekhawatiran yang begitu mendalam.Rey dan Delisha masih duduk di dalam mobil, perasaan heran dan kebingungannya tergambar jelas di wajah mereka. Delisha memutuskan untuk mengungkapkan pertanyaannya."Rey, bagaimana bisa Erlin dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" tanya Delisha dengan perasaan herannya. Suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan kebingungan yang sudah merajainya.Rey mengedikkan bahunya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan da
Delisha tersenyum bahagia saat menaburkan bedak halus pada tubuh mungil Gilang. Bayi kecil itu terlihat begitu tenang, matanya berkilauan dari kebersihan setelah mandi. Udara di ruangan itu terasa hangat dan penuh kasih.Sambil memandang putranya, Delisha mulai memutar dalam benaknya rencana untuk hari ini. Ia ingin membawanya ke taman bermain di dekat Mansion Wijaya, tempat di mana mereka dapat menikmati matahari bersama-sama. Delisha juga berencana untuk mengunjungi toko mainan setelahnya, memberikan Gilang kesempatan untuk memilih mainan kesukaannya.Saat Delisha sibuk dengan Gilang, Rey menyaksikan adegan itu dengan penuh kebahagiaan. Langkahnya pelan melintasi ruangan, dan ia menghampiri Delisha dengan senyum lebar di wajahnya."Kamu selalu begitu hebat, Sayang," ucap Rey dengan lirih. "Gilang sungguh beruntung memiliki ibu sepertimu."Delisha tersenyum dan membalas, "Kita beruntung memiliki dia dalam hidup kita, Rey. Dia membawa begitu banyak kebahagiaan."Rey memeluk Delisha er
"Maafkan aku, Rey, aku belum siap bertemu dengan kamu. Aku ingin menenangkan pikiranku sejenak," gumam Delisha lirih.Delisha berbalik dari jendela dan melangkah perlahan ke arah tempat tidurnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, melihat ke arah putranya yang sedang tertidur pulas.Delisha menatap putranya yang sedang tertidur pulas dengan penuh kasih sayang. Gilang adalah sumber kekuatan dan kebahagiaannya. Meskipun mereka sedang menghadapi masa sulit, kehadiran Gilang selalu memberi mereka alasan untuk tetap kuat.Dengan hati yang penuh harap, Delisha duduk di samping tempat tidur Gilang, mengelus lembut pipinya. "Kamu adalah keajaiban dalam hidup Mama, Nak. Bersamamu, Mama selalu merasa terlindungi."Kemudian, Delisha membiarkan dirinya terlelap di samping putranya. Meskipun pikirannya penuh dengan kekhawatiran, kelembutan napas Gilang membawanya ke dalam alam mimpi yang damai.Sementara itu, Rey menunggu dengan sabar di mobil, memberi Delisha ruang dan waktu yang ia butuhkan. Ia mem
"Papa, Rey!" teriak Arumi tiba-tiba, muncul di dekat mereka dengan wajah yang penuh kepanikan."Kenapa, Ma?" tanya Rey dengan kening terangkat, keheranan jelas terpancar dari wajahnya."Delisha, dia dan Gilang tidak ada di kamar," ujar Arumi dengan napas yang terengah-engah.Rey dan Emran saling pandang, keduanya terkesiap. "Apa?" seru mereka hampir bersamaan, kekhawatiran mencengkam hati mereka.Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju kamar Delisha. Setelah berada di kamar, mereka melihat kamar itu kosong, tempat tidur yang biasanya digunakan Delisha masih rapi. Tapi ketiadaannya bersama Gilang menimbulkan rasa cemas yang semakin mendalam.Emran mencoba menghubungi Delisha melalui telepon, tapi tak ada jawaban. Tatapan panik mengisi matanya. "Rey, kita harus mencarinya sekarang juga!"Rey mengangguk, tak ada waktu untuk memikirkan segala hal. Mereka berdua keluar dari Mansion dengan langkah cepat, berencana untuk memeriksa setiap tempat yang mungkin menjadi tujuan Delisha.Rey s
Ruangan kerja Rey dipenuhi dengan suara dari klakson kendaraan dan hiruk pikuk kota yang sibuk. Rey duduk di meja kerjanya, mata terfokus pada tumpukan dokumen dan laporan yang tersebar di sekitarnya. Ia sibuk menyelesaikan tugas-tugasnya, tak menyadari waktu yang berlalu begitu cepat.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka dengan cepat. Abbas, sekretaris setia Rey, memasuki ruangan dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak pucat dan khawatir."Rey," panggil Abbas dengan suara terbata-bata.Rey mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di meja. "Ada apa, Abbas?"Abbas menelan ludah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Ini penting, Rey. Aku harus memberitahumu sesuatu yang tak bisa kau percayai."Rey menatap Abbas dengan penuh kekhawatiran, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Sebuah desiran rasa cemas melintas di dalam dadanya. "Baik, apa yang terjadi? Tenanglah, Abbas. Katakan dengan tenang. Apa kejadian ini menyangkut orang yang sudah menculik Delisha?"Abbas mengambil
Malam telah berlanjut dengan langit yang menggelap, menciptakan latar belakang yang terasa bahagia. Rey dan Delisha yang sedang asyik makan malam, mengisi malam mereka dengan tawa dan cerita. Namun, tiba-tiba, mata Delisha tertuju kepada sosok seorang lelaki yang memiliki tubuh gempal. Sorot matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.Rey, yang merasa curiga melihat ekspresi istrinya yang sudah berubah, segera bertanya dengan khawatir. "Sayang ada apa?" tanyanya dengan nada cemas.Delisha menelan ludah, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. "Rey, le-lelaki itu yang dulu telah menculikku," ujar Delisha bergumam begitu lirih.Rey merasa detak jantungnya berdegup kencang mendengar pengakuan itu. Dia langsung menoleh ke arah sosok lelaki yang ditunjuk oleh istrinya. Lelaki itu memiliki tubuh yang berisi dan kepala botak. Wajahnya terlihat kusam, dan tatapannya kosong.Delisha gemetar, ingatan akan masa lalunya yang traumatis mulai kembali menghantui dirinya. Dia merasa pusing dan ti
Rey duduk di sofa sambil memperhatikan istrinya, Delisha, yang tampak kelelahan setelah seharian mengurus Gilang, putra kecil mereka yang menggemaskan. Wajah Delisha pucat, matanya sayu. Namun, tetap penuh kasih sayang saat ia memeluk Gilang yang tertidur pulas dalam gendongannya."Sayang," Rey mengelus lembut pundak Delisha, "aku merasa kasihan melihatmu. Mengurus Gilang seharian pasti melelahkan."Delisha tersenyum lemah. "Iya, tapi ini adalah tanggung jawab kita bersama, kan? Aku tidak keberatan."Rey memahami kesetiaan Delisha terhadap tanggung jawab sebagai ibu. Namun, ia juga tidak ingin melihat istrinya kelelahan terus-menerus. Ia pun mencoba untuk menemukan solusi."Mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk menyewa baby sitter untuk membantu kita, Sayang. Itu akan meringankan bebanmu sedikit," usul Rey dengan nada lirihnya.Delisha terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Aku menghargai tawaranmu, Rey, tapi aku ingin meluangkan waktu sebanyak mungkin dengan Gilang. Ini momen-momen be
Rey memandang Erlangga dengan pandangan yang tajam dan penuh tanda tanya saat mendengar penjelasan Erlangga tentang mengapa ia ingin melepaskan putrinya, Erlin, dari penjara."Bukti-bukti yang belum terungkap? Semua bukti sudah ada dan Erlin lah penyebabnya," ucap Rey dengan nada keras. "Saya ingin bertanya, mengapa Anda begitu menginginkan Erlin untuk keluar dari penjara setelah apa yang sudah dia perbuat? Bukannya dulu Anda sendiri yang mencampakkan Erlin?"Erlangga merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Rey itu. Ia merenung sejenak sebelum menjawab dengan jujur, "Rey, kamu memang benar. Dulu, aku memutuskan hubungan dengan Erlin dan meninggalkannya ke luar negeri. Aku tidak bangga dengan keputusan itu, dan aku merasa bersalah atas bagaimana aku telah memperlakukan dia. Tapi Erlin adalah anakku, dan aku tidak ingin dia menghabiskan hidupnya di dalam penjara. Aku masih menyayanginya, Rey. Aku datang ke sini untuk menebus kembali kesalahanku kepada Erlin."Rey mend
Delisha duduk dengan penuh kasih sayang di sofa, bayinya yang bernama Gilang terus menangis di pangkuannya. Rey, suaminya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja, merasa iba melihat istrinya yang sepertinya sudah sangat lelah mengurus Gilang."Sayang, apa yang terjadi? Apakah Gilang merasa tidak nyaman?" tanya Rey seraya menghampiri Delisha yang sedang duduk di sofa.Delisha mengernyitkan keningnya, mencoba mencari tahu penyebab dari tangis Gilang. "Aku tidak yakin, Rey. Aku sudah mencoba segalanya. Mungkin dia lapar atau mengantuk."Rey mencoba memberikan saran, "Mungkin dia butuh susu tambahan. Apa kamu ingin aku mengambilkan susu formula?"Delisha menggeleng cepat, lalu berkata, "Tidak, Rey. Aku ingin memberi ASI eksklusif kepada Gilang. Aku tahu itu penting untuk pertumbuhannya.""Tentu saja, Sayang. Aku mendukungmu sepenuhnya," kata Rey dengan penuh dukungan.Delisha mencoba menenangkan Gilang dengan mengayun-ayunkan tubuhnya perlahan-lahan. Dia bernyanyi pelan dan membe