Rey langsung menyambar ponselnya yang tergeletak di atas meja nakas.
"Halo!""Rey, ada masalah.""Masalah, masalah apa memangnya?""Erlin, dia sekarang ada berada di atas gedung, dia bilang, dia ingin mengakhiri hidupnya bila kamu tidak datang.""Apa?""Iya, dia sekarang sedang berada di atas gedung.""Bilang kepadanya, jangan terlalu membual. Aku sudah tidak peduli lagi. Mau dia hidup atau mati sekalipun""Ya ampun, Rey, yang benar saja. Nanti kalau Erlin benar-benar loncat dari atas gedung bagaimana?""Memangnya kamu tidak bisa untuk menghentikannya?""Tidak bisa, Rey. Dia tetap ingin kamu yang menghentikannya.""Dasar tidak becus! Mengurus satu wanita saja tidak bisa. Pantesan selama ini kamu masih sendiri!" Rey mengejek Abbas yang belum memiliki kekasih sampai sekarang."Sudahlah, Rey, kamu jangan menghina aku terus. Aku akan tunggu kamu 15 menit, kalau kamu tidak sampai juga, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.""Baiklah, aku ke sana sekarang."Rey memutuskan sambungan teleponnya. Lelaki itu melihat ke arah Delisha yang masih duduk di tepi ranjang."Lisa, aku mohon sama kamu, tetaplah di sini, karena aku ada urusan yang harus aku urus saat ini. Aku akan pergi sebentar, nanti aku akan ke sini lagi," kata Rey memandangi wajah gadis yang ada di depan matanya."Aku tidak peduli, kamu kembali atau tidak. Dari dulu kamu memang seperti itu bukan? Kamu lebih mementingkan Erlin dari pada aku?""Bukan seperti itu Lisa, hanya saja ….""Sudahlah Rey, kalau kamu mau pergi, pergi saja. Aku sudah tidak peduli."Rey mengusap kasar wajahnya, sikap Delisha sama sekali tak pernah berubah masih sama ketika 6 tahun yang lalu, saat itu ketika Rey memutuskan bila dirinya lebih memilih Erlin ketimbang Delisha.Wanita mana yang tak marah, bila sang kekasih sendiri lebih memilih selingkuhannya daripada dirinya sendiri. Hati Delisha pun begitu sakit, seperti teriris pedang yang begitu tajam, ketika Rey lebih memilih Erlin ketimbang dirinya.Rey berjongkok di depan Lisa, lalu ia menggenggam tangan Delisha begitu erat. "Lisa, baiklah, aku tidak akan pergi. Aku akan di sini bersamamu.""Tidak perlu, pergilah. Erlin lebih membutuhkanmu daripada aku. Kalau dia berhasil mengakhiri hidupnya kamu pasti akan menyesal.""Sayang.""Jangan panggil aku sayang, Rey, aku muak mendengarnya!""Baiklah, Lisa.""Namaku Delisha, bukan Lisa," sela Delisha."Nama kamu Lisa, mengapa berubah menjadi Delisha?" tanya Rey dengan rona wajah yang begitu bingung, karena yang Rey tahu selama ini wanita yang ada di hadapannya ini adalah bernama Lisa."Semenjak 6 tahun yang lalu, aku tidak suka orang memanggilku Lisa lagi, karena namaku dari dulu memang Delisha.""Semuanya karena aku?""Kamu sendiri sudah tahu."Rey menghela napas gusar. "Maaf, aku tahu aku salah."Rey menatap Delisha begitu lekat. "Katakan sama aku, apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa memaafkan aku?" tanya Rey dengan wajah yang begitu menyedihkan.Delisha menatap ke arah lelaki yang sedang berada di bawahnya, sedari tadi lelaki yang sudah berstatus menjadi suaminya itu sudah memohon kepadanya. Agar ia bisa memaafkan kesalahan pria itu di masa lalu. Namun, sebenarnya Delisha tak tega melihat raut wajah Rey yang begitu tersiksa.Sedari dulu Delisha begitu sangat membenci Rey, mantannya itu begitu pintar membual, kata-kata manis selalu ia ucapkan. Namun ternyata kenyataannya begitu pahit. Delisha hanya tak ingin kejadian tempo waktu lalu terulang kembali. Apalagi sampai Rey menduakan dan meninggalkannya lagi demi wanita lain."Aku sudah membantumu, menjadi istri pengganti untuk calonmu bukan? Dan Papa bilang bila pernikahan sudah terlaksana. Aku boleh untuk pergi. Dan sekarang … tolong Lepaskan aku. Pulangkan aku kepada Papa."Deg!Perkataan Delisha membuat pertahanan hati Rey runtuh. "Tidak, itu tidak mungkin. Aku tidak akan pernah melepaskan kamu, Delisha. Apa tidak ada cara lain selain itu?"Rey menangkup wajah Delisha yang masih dipenuhi semburat amarah. Semuanya memang kesalahannya sendiri. Dulu, ia begitu keras kepala. Rey sudah menyakiti perasaan Delisha begitu dalam, pantas saja bila Delisha begitu marah kepadanya."Delisha, tolong lihat aku. Katakan sama aku. Apa aku tidak pantas menerima maaf darimu? Kamu tidak tahu bukan, bukan cuma kamu saja yang merasakan sakitnya dikhianati, tapi aku juga. Hati aku juga sakit ketika melihat calon istri aku berselingkuh dengan lelaki lain. Apalagi mereka berdua berada di atas ranjang yang sama. Kehidupan aku hancur Delisha, kamu tahu, siapa yang pertama kali aku ingat ketika aku sudah melihat semua kejadian itu? Orang itu kamu. Aku tersadar, mungkin semua itu adalah balasan untuk aku, karena aku sudah menyakiti perasaan kamu dulu. Bisakah kamu melihat penyesalan aku? Bisakah kamu mengobati semua luka ini?"Delisha meluruh kan bulir hangat yang sudah berhasil tumpah dari kedua pelupuk matanya.Rey mengusap halus air mata yang sudah tumpah di pipi Delisha menggunakan ibu jarinya.Rey meraih tangan Delisha, lalu meletakkan di dada bidangnya. "Kamu bisa merasakan detak jantungku. Namamu yang sudah kukubur di lubuk hati aku yang paling dalam. Kini sudah bersemayam lagi. Sekarang aku tidak akan berjanji kepadamu lagi, tapi aku akan membuktikannya. Kamu butuh bukti bukan? Bukan janji manis yang selalu aku ucapkan kepada kamu?"Delisha hanya bisa menganggukkan kepalanya saja."Kalau begitu … aku akan membuktikannya kepada kamu. Jangan berkata tentang perpisahan, sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa melepaskan kamu.""Tapi …."Sttt!Rey membungkam bibir Delisha menggunakan jari telunjuknya. "Tidak ada kata tapi.""Baiklah, aku akan memaafkanmu, asalkan kamu mau memberi aku waktu.""Waktu?"Delisha mengangguk. "Beri aku waktu untuk bisa menerima kamu lagi.""Berapa lama?""Aku tidak tahu.""Baiklah, aku akan menunggu kamu." Rey menghela napas lega. "Aku akan menunggu kamu sampai di hati kamu sudah terukir nama aku kembali.""Terima kasih."Rey memeluk Delisha begitu erat, Delisha hanya bisa menangis kembali, sebenarnya ia sudah memaafkan Rey dari dulu, hanya saja, Delisha begitu takut. Ia takut bila Rey akan mematahkan hatinya kembali, karena dia begitu trauma, pengkhianatan dan penghinaan dari orang tua Rey dulu kepadanya, membuatnya tak ingin terulang kembali.'Mengapa aku tidak tahu, kalau Rey adalah keturunan Maduswara? Kalau saja aku tahu, aku pasti akan menolaknya,' gumam Delisha di dalam hatinya.Dulu, Delisha hanya sempat mendengar tentang Maduswara. Akan tetapi, ia tidak tahu, bila sebenarnya keluarga Rey adalah keluarga Maduswara.'Aku tidak akan pernah melepaskan kamu lagi Lisa. Sampai kapan pun, kamu hanya milikku,' batin Rey.Rey hanya tidak tahu, dari dulu Delisha selalu dihina oleh orangtuanya karena wanita yang miskin dan hina, mereka bilang bila Delisha tak pantas bersanding dengan Rey, bahkan mereka pun sempat memberikan uang kepada Delisha, agar ia mau melepaskan Rey. Namun, saat itu Delisha menolaknya. Ia lebih memilih mempertahankan hubungannya dengan Rey.Namun sebaliknya, Delisha malah mendapatkan pengkhianatan dari Rey. Kekasihnya ternyata sudah berselingkuh dengan wanita lain. Hati Delisha begitu sangat sakit. Dan mulai saat itu juga, ia tak ingin mengenal Rey kembali.Drrtt! Drrttt! Drrttt!Rey mendengar ponselnya berbunyi kembali, ternyata Abbas lagi yang menghubunginya. Pria itu mengangkat panggilan dari Abbas."Halo, ada apa lagi?" tanya Rey yang sudah kesal karena Abbas selalu saja mengganggunya."Erlin, dia loncat dari atas gedung.""Apa?"Rey begitu kaget tatkala mendengar pernyataan dari Abbas. Dia pikir Erlin hanya sedang menggertaknya saja.Setelah Rey mendengar bila Erlin loncat dari atas gedung, lelaki itu langsung menghampiri tempat Erlin berada kini. Erlin langsung dibawa ke rumah sakit terdekat untuk segera diberikan pertolongan, karena darah segar yang keluar dari tubuhnya begitu banyak."Bagaimana Erlin bisa loncat? Aku sudah bilang padamu untuk mengurusnya!" Rey mengomel kepada Abbas karena sekretarisnya itu tidak becus dalam menggagalkan rencana Erlin."Kenapa kamu jadi marah sama aku? Dari tadi aku sudah berusaha keras agar Erlin tak loncat dari atas gedung. Namun tetap saja, wanita itu tetap saja loncat.""Terus, di mana dia sekarang?""Lagi di ruangan operasi, Dokter sedang mengurusnya. Bagaimana kalau Erlin meninggal, Rey?""Ya sudah, kalau dia meninggal mau bagaimana lagi," kata Rey, dia sudah masa bodoh dengan keadaan Erlin. Entahlah, Rey merasa sakit hatinya kini begitu besar kepada Erlin dibanding dengan perasaan cintanya."Enteng sekali kamu bilang seperti itu."Abbas menatap heran ke arah Rey, dia tidak
"Ayo, Sayang, kita pergi dari sini. Papa tidak akan membiarkan kamu hidup bersama orang-orang seperti mereka."Delisha tertunduk lesu mendengar perkataan kedua orangtua Rey yang menyuruhnya untuk pergi dari kehidupan Rey kembali. Dunia seakan runtuh ketika semuanya seperti dejavu bagi Delisha. Wanita itu merasa seakan kembali ke dalam masa lalu yang kelam, hatinya harus kembali terluka ke dalam jurang yang dalam lagi. "Baik, Pa."Delisa mengangguk pelan, gadis yang memiliki rambut lurus yang panjangnya sampai bahu itu hanya bisa menuruti perkataan papanya. Ia tahu bila dirinya tinggal bersama Rey, dan tinggal dengan anggota keluarga Rey hidupnya pasti akan tersiksa. Apalagi kedua orang tua Rey yang tak pernah suka kepadanya karena cap anak haram selalu melekat pada dirinya. 15 menit telah berlalu, Delisha dan Jonathan sudah sampai di Mansion Wijaya. Jonathan membawa putri kesayangannya untuk masuk ke dalam mansion, meskipun Delisha adalah anak di luar nikah Jonathan bersama kekasihn
"Delisha!" Jonathan membulatkan kedua bola matanya sempurna, ketika melihat putrinya yang terbentur tembok sampai darah segar yang keluar dari hidung Delisha mengalir deras."Nak, kamu tidak apa-apa?" Jonathan langsung berjalan menghampiri Delisha.Delisha mengusap darah segar yang sudah menetes pada hidungnya. "Delisha gak apa-apa kok, Pa."Setelah membantu Delisha berdiri, Jonathan kembali melihat ke arah Juwita. Semburat api amarah sudah menyala di kedua bola matanya. "Berani sekali kamu mendorong putriku!""Memangnya, kenapa, Pa?""Kenapa? Kamu bilang kenapa? Kamu tidak melihat hidung Delisha mengeluarkan darah? Apa kamu tidak memiliki hati nurani sedikit pun?!" geram Jonathan melihat tingkah istrinya yang semena-mena. "Sudah, Pa, stop!" Juwita menyela perkataan Jonathan. "Mama tidak ingin Papa terus membela gadis itu terus menerus. Sekarang lebih baik Papa cari keberadaan Bella!"Ketika Jonathan hendak bersuara kembali, Delisha menahan tangan papanya. Dia tak ingin orang tuanya r
"Iya, Jonathan sudah membawanya pergi. Lebih baik kamu segera urus perceraian kamu dengan dia. Papa tidak ingin kamu meneruskan pernikahan kamu dengan wanita haram itu."Rey tak tahu mengapa Emran bisa berkata seperti itu, papanya ingin sekali bila dirinya segera melepaskan Delisha. Namun, Rey tak mungkin melepaskan begitu saja. Rey tidak ingin kehilangan Delisha untuk yang kedua kalinya."Maaf, Pa, Rey tidak bisa. Rey tidak mungkin menceraikan Delisha sampai kapan pun."Braakkk!Emran memukul meja begitu keras. Rey dan Arumi terkesiap tatkala melihat gebrakan meja yang sudah dilakukan oleh Emran. "Anak tidak berguna! Bagaimana bisa kamu akan hidup bersama wanita haram itu?! Sampai kapan pun Papa tidak akan setuju kamu hidup bersama dia!"Emran begitu emosi mendengar perkataan dari Rey. Anak yang sudah ia besarkan selama ini, berharap akan menjadi anak yang penurut, dan mau melakukan apa pun yang Emran perintah, tetapi ternyata dia sudah salah, Rey sama sekali tak mau mendengar perkata
"Apa kamu masih belum siap?"Mendengar perkataan yang sudah diucapkan oleh Rey, Delisha terdiam seribu bahasa, kalau saja saat ini wanita itu sudah melupakan semua perlakuan Rey terhadapnya selama ini, mungkin saja Delisha mau menerima lelaki yang sudah menjadi suaminya kini.Angan-angan yang Delisha impikan dulu memiliki seorang suami yang baik hati, rela melakukan berbagai hal untuknya, menerima semua kekurangan dirinya, dan juga selalu ada untuknya di saat suka maupun duka. Dan yang paling Delisha inginkan adalah sosok lelaki yang setia, yang selalu menjaga cintanya untuk Delisha seorang.Sayang seribu sayang, Delisha malah harus terjebak oleh situasi di mana dirinya harus menjadi wanita pengganti, dan lebih parahnya lagi wanita yang memiliki hidung mancung itu harus kembali lagi hidup bersama masa lalunya."Maafkan aku, Rey.""Mengapa? Aku cuma ingin minta hakku sebagai suami kamu, Delisha. Apa aku salah?"Rey memindai wajah Delisha, wajah yang begitu polos tanpa dipoles make-up ya
"Aku tidak butuh maaf kamu, aku hanya ingin kamu segera pergi dari Mansion Wijaya. Ingat, kamu itu hanya anak haram. Jadi, percuma saja bila kamu tetap tinggal di Mansion Wijaya, kamu tak akan dapat apa-apa, kamu hanya akan menjadi anjing peliharaan Wijaya saja!"Mendengar apa yang sudah diucapkan oleh Juwita membuat hati Delisha merasa tidak senang. Apalagi Juwita bilang bila dirinya hanya peliharaan Wijaya yang seperti anjing, bukannya Delisha marah atau kesal terhadap Juwita, wanita itu hanya tak ingin menambah masalah dengan sebuah pertengkaran. Apalagi membuat masalah dengan orang yang lebih tua darinya."Tante tenang saja, saya akan segera pergi dari sini."Mencoba untuk tenang menghadapi setiap hujatan yang sudah diberikan oleh ibu tirinya, mungkin hanya itu yang bisa Delisha lakukan saat ini, selama ini, meskipun Delisha selalu menerima hinaan dari Juwita, tetapi gadis itu selalu diam dan tak pernah berani untuk melawannya."Aku harap kamu segera pergi dari sini. Aku sudah tida
"Shiit! Sialan!" umpat Rey kesal.Rey terkesiap ketika air berwarna hitam yang masih panas itu malah mengguyur lengan kemejanya, rasa panas sudah mulai menggerogoti lengannya."Tidak becus! Bekerja seperti itu saja tidak bisa!" umpat Rey yang begitu sangat kesal, lelaki itu sudah kesal dengan beberapa laporan yang ia terima hari ini karena belum ada laporan yang bagus menurutnya, tapi sekarang emosinya kembali meradang lagi ketika karyawannya malah menyiramkan kopi panas ke tangannya.Lelaki yang mengenakan seragam office boy itu tertunduk, dan langsung mengelap kopi yang berceceran di atas jurnal maupun lengan Rey."Maaf, Tuan, saya tidak sengaja."Dengan suara yang bergetar dan perasaan yang begitu ketakutan ketika melihat wajah dan mata Rey yang begitu tajam, seperti seekor serigala kelaparan yang akan memakan mangsanya."Hari ini kamu saya pecat!" ucap Rey begitu lantangnya."Tuan, saya mohon jangan pecat saya, saya tidak tahu harus kerja di mana lagi." Lelaki itu tertunduk dan mem
"Pa, mengapa Papa tampar Bella?"Juwita tak habis pikir apa yang sudah dilakukan oleh suaminya. Jonathan sudah tega menampar Bella begitu keras, pipi putih Bella sampai terdapat tanda merah bekas tamparan yang sudah dilakukan oleh suaminya."Karena dia sudah kelewat batas! Dia sudah berani sekarang sama Papa!"Tidak tahu mengapa sekarang Bella jadi suka membantah, Jonathan pun bingung sendiri, padahal putrinya dari dulu suka patuh kepadanya. Bella begitu penurut dan mau mendengarkan apa yang Jonathan suruh, tetapi beberapa tahun ini sikap anaknya sudah berubah."Tapi Papa tidak perlu menampar Bella 'kan, Pa! Papa bisa bicara baik-baik sama Bella, tidak perlu melakukan kekerasan seperti ini!"Hati Juwita begitu sakit atas apa yang sudah diperbuat oleh suaminya. Apa yang sudah dilakukan oleh Bella memang salah, tetapi tak seharusnya Jonathan menampar Bella begitu saja.Bella yang sedari tadi menahan rasa sakit pada wajahnya mulai bersuara, "Sudah, Ma, tidak perlu berdebat lagi dengan Pap
Delisha yang duduk di dekatnya mengangkat alis, ekspresinya penuh tanda tanya. "Ada apa, Sayang?"Rey memandang Delisha dengan serius. "Ada masalah yang perlu aku selesaikan sekarang juga. Aku harus pergi sebentar."Delisha melihat ke dalam mata Rey, memahami keadaan darurat yang tengah dihadapinya. "Aku akan menemanimu, Rey."Rey mengangguk, setelah menitipkan Gilang kepada Arumi dan Emran dengan cemas di hati, Rey dan Delisha segera menuju mobil mereka. Mereka berkendara dengan cepat menuju rumah sakit, hati mereka dipenuhi kekhawatiran yang begitu mendalam.Rey dan Delisha masih duduk di dalam mobil, perasaan heran dan kebingungannya tergambar jelas di wajah mereka. Delisha memutuskan untuk mengungkapkan pertanyaannya."Rey, bagaimana bisa Erlin dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" tanya Delisha dengan perasaan herannya. Suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan kebingungan yang sudah merajainya.Rey mengedikkan bahunya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan da
Delisha tersenyum bahagia saat menaburkan bedak halus pada tubuh mungil Gilang. Bayi kecil itu terlihat begitu tenang, matanya berkilauan dari kebersihan setelah mandi. Udara di ruangan itu terasa hangat dan penuh kasih.Sambil memandang putranya, Delisha mulai memutar dalam benaknya rencana untuk hari ini. Ia ingin membawanya ke taman bermain di dekat Mansion Wijaya, tempat di mana mereka dapat menikmati matahari bersama-sama. Delisha juga berencana untuk mengunjungi toko mainan setelahnya, memberikan Gilang kesempatan untuk memilih mainan kesukaannya.Saat Delisha sibuk dengan Gilang, Rey menyaksikan adegan itu dengan penuh kebahagiaan. Langkahnya pelan melintasi ruangan, dan ia menghampiri Delisha dengan senyum lebar di wajahnya."Kamu selalu begitu hebat, Sayang," ucap Rey dengan lirih. "Gilang sungguh beruntung memiliki ibu sepertimu."Delisha tersenyum dan membalas, "Kita beruntung memiliki dia dalam hidup kita, Rey. Dia membawa begitu banyak kebahagiaan."Rey memeluk Delisha er
"Maafkan aku, Rey, aku belum siap bertemu dengan kamu. Aku ingin menenangkan pikiranku sejenak," gumam Delisha lirih.Delisha berbalik dari jendela dan melangkah perlahan ke arah tempat tidurnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, melihat ke arah putranya yang sedang tertidur pulas.Delisha menatap putranya yang sedang tertidur pulas dengan penuh kasih sayang. Gilang adalah sumber kekuatan dan kebahagiaannya. Meskipun mereka sedang menghadapi masa sulit, kehadiran Gilang selalu memberi mereka alasan untuk tetap kuat.Dengan hati yang penuh harap, Delisha duduk di samping tempat tidur Gilang, mengelus lembut pipinya. "Kamu adalah keajaiban dalam hidup Mama, Nak. Bersamamu, Mama selalu merasa terlindungi."Kemudian, Delisha membiarkan dirinya terlelap di samping putranya. Meskipun pikirannya penuh dengan kekhawatiran, kelembutan napas Gilang membawanya ke dalam alam mimpi yang damai.Sementara itu, Rey menunggu dengan sabar di mobil, memberi Delisha ruang dan waktu yang ia butuhkan. Ia mem
"Papa, Rey!" teriak Arumi tiba-tiba, muncul di dekat mereka dengan wajah yang penuh kepanikan."Kenapa, Ma?" tanya Rey dengan kening terangkat, keheranan jelas terpancar dari wajahnya."Delisha, dia dan Gilang tidak ada di kamar," ujar Arumi dengan napas yang terengah-engah.Rey dan Emran saling pandang, keduanya terkesiap. "Apa?" seru mereka hampir bersamaan, kekhawatiran mencengkam hati mereka.Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju kamar Delisha. Setelah berada di kamar, mereka melihat kamar itu kosong, tempat tidur yang biasanya digunakan Delisha masih rapi. Tapi ketiadaannya bersama Gilang menimbulkan rasa cemas yang semakin mendalam.Emran mencoba menghubungi Delisha melalui telepon, tapi tak ada jawaban. Tatapan panik mengisi matanya. "Rey, kita harus mencarinya sekarang juga!"Rey mengangguk, tak ada waktu untuk memikirkan segala hal. Mereka berdua keluar dari Mansion dengan langkah cepat, berencana untuk memeriksa setiap tempat yang mungkin menjadi tujuan Delisha.Rey s
Ruangan kerja Rey dipenuhi dengan suara dari klakson kendaraan dan hiruk pikuk kota yang sibuk. Rey duduk di meja kerjanya, mata terfokus pada tumpukan dokumen dan laporan yang tersebar di sekitarnya. Ia sibuk menyelesaikan tugas-tugasnya, tak menyadari waktu yang berlalu begitu cepat.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka dengan cepat. Abbas, sekretaris setia Rey, memasuki ruangan dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak pucat dan khawatir."Rey," panggil Abbas dengan suara terbata-bata.Rey mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di meja. "Ada apa, Abbas?"Abbas menelan ludah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Ini penting, Rey. Aku harus memberitahumu sesuatu yang tak bisa kau percayai."Rey menatap Abbas dengan penuh kekhawatiran, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Sebuah desiran rasa cemas melintas di dalam dadanya. "Baik, apa yang terjadi? Tenanglah, Abbas. Katakan dengan tenang. Apa kejadian ini menyangkut orang yang sudah menculik Delisha?"Abbas mengambil
Malam telah berlanjut dengan langit yang menggelap, menciptakan latar belakang yang terasa bahagia. Rey dan Delisha yang sedang asyik makan malam, mengisi malam mereka dengan tawa dan cerita. Namun, tiba-tiba, mata Delisha tertuju kepada sosok seorang lelaki yang memiliki tubuh gempal. Sorot matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.Rey, yang merasa curiga melihat ekspresi istrinya yang sudah berubah, segera bertanya dengan khawatir. "Sayang ada apa?" tanyanya dengan nada cemas.Delisha menelan ludah, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. "Rey, le-lelaki itu yang dulu telah menculikku," ujar Delisha bergumam begitu lirih.Rey merasa detak jantungnya berdegup kencang mendengar pengakuan itu. Dia langsung menoleh ke arah sosok lelaki yang ditunjuk oleh istrinya. Lelaki itu memiliki tubuh yang berisi dan kepala botak. Wajahnya terlihat kusam, dan tatapannya kosong.Delisha gemetar, ingatan akan masa lalunya yang traumatis mulai kembali menghantui dirinya. Dia merasa pusing dan ti
Rey duduk di sofa sambil memperhatikan istrinya, Delisha, yang tampak kelelahan setelah seharian mengurus Gilang, putra kecil mereka yang menggemaskan. Wajah Delisha pucat, matanya sayu. Namun, tetap penuh kasih sayang saat ia memeluk Gilang yang tertidur pulas dalam gendongannya."Sayang," Rey mengelus lembut pundak Delisha, "aku merasa kasihan melihatmu. Mengurus Gilang seharian pasti melelahkan."Delisha tersenyum lemah. "Iya, tapi ini adalah tanggung jawab kita bersama, kan? Aku tidak keberatan."Rey memahami kesetiaan Delisha terhadap tanggung jawab sebagai ibu. Namun, ia juga tidak ingin melihat istrinya kelelahan terus-menerus. Ia pun mencoba untuk menemukan solusi."Mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk menyewa baby sitter untuk membantu kita, Sayang. Itu akan meringankan bebanmu sedikit," usul Rey dengan nada lirihnya.Delisha terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Aku menghargai tawaranmu, Rey, tapi aku ingin meluangkan waktu sebanyak mungkin dengan Gilang. Ini momen-momen be
Rey memandang Erlangga dengan pandangan yang tajam dan penuh tanda tanya saat mendengar penjelasan Erlangga tentang mengapa ia ingin melepaskan putrinya, Erlin, dari penjara."Bukti-bukti yang belum terungkap? Semua bukti sudah ada dan Erlin lah penyebabnya," ucap Rey dengan nada keras. "Saya ingin bertanya, mengapa Anda begitu menginginkan Erlin untuk keluar dari penjara setelah apa yang sudah dia perbuat? Bukannya dulu Anda sendiri yang mencampakkan Erlin?"Erlangga merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Rey itu. Ia merenung sejenak sebelum menjawab dengan jujur, "Rey, kamu memang benar. Dulu, aku memutuskan hubungan dengan Erlin dan meninggalkannya ke luar negeri. Aku tidak bangga dengan keputusan itu, dan aku merasa bersalah atas bagaimana aku telah memperlakukan dia. Tapi Erlin adalah anakku, dan aku tidak ingin dia menghabiskan hidupnya di dalam penjara. Aku masih menyayanginya, Rey. Aku datang ke sini untuk menebus kembali kesalahanku kepada Erlin."Rey mend
Delisha duduk dengan penuh kasih sayang di sofa, bayinya yang bernama Gilang terus menangis di pangkuannya. Rey, suaminya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja, merasa iba melihat istrinya yang sepertinya sudah sangat lelah mengurus Gilang."Sayang, apa yang terjadi? Apakah Gilang merasa tidak nyaman?" tanya Rey seraya menghampiri Delisha yang sedang duduk di sofa.Delisha mengernyitkan keningnya, mencoba mencari tahu penyebab dari tangis Gilang. "Aku tidak yakin, Rey. Aku sudah mencoba segalanya. Mungkin dia lapar atau mengantuk."Rey mencoba memberikan saran, "Mungkin dia butuh susu tambahan. Apa kamu ingin aku mengambilkan susu formula?"Delisha menggeleng cepat, lalu berkata, "Tidak, Rey. Aku ingin memberi ASI eksklusif kepada Gilang. Aku tahu itu penting untuk pertumbuhannya.""Tentu saja, Sayang. Aku mendukungmu sepenuhnya," kata Rey dengan penuh dukungan.Delisha mencoba menenangkan Gilang dengan mengayun-ayunkan tubuhnya perlahan-lahan. Dia bernyanyi pelan dan membe