"Pa, mengapa Papa tampar Bella?"Juwita tak habis pikir apa yang sudah dilakukan oleh suaminya. Jonathan sudah tega menampar Bella begitu keras, pipi putih Bella sampai terdapat tanda merah bekas tamparan yang sudah dilakukan oleh suaminya."Karena dia sudah kelewat batas! Dia sudah berani sekarang sama Papa!"Tidak tahu mengapa sekarang Bella jadi suka membantah, Jonathan pun bingung sendiri, padahal putrinya dari dulu suka patuh kepadanya. Bella begitu penurut dan mau mendengarkan apa yang Jonathan suruh, tetapi beberapa tahun ini sikap anaknya sudah berubah."Tapi Papa tidak perlu menampar Bella 'kan, Pa! Papa bisa bicara baik-baik sama Bella, tidak perlu melakukan kekerasan seperti ini!"Hati Juwita begitu sakit atas apa yang sudah diperbuat oleh suaminya. Apa yang sudah dilakukan oleh Bella memang salah, tetapi tak seharusnya Jonathan menampar Bella begitu saja.Bella yang sedari tadi menahan rasa sakit pada wajahnya mulai bersuara, "Sudah, Ma, tidak perlu berdebat lagi dengan Pap
"Halo, Anna maaf, aku ke sini tidak bilang dulu sama kamu," kata Delisha yang sudah berada di tempat tinggal Anna."Tidak masalah Delisha, aku senang, akhirnya bisa bertemu lagi dengan kamu. Kamu bagaimana kabarnya?" tanya Anna. Gadis cantik itu pun sudah merindukan Delisha sejak lama."Aku baik, bagaimana dengan kamu?""Aku juga baik."Delisha kini sudah berada di kontrakan Anna, setelah berpamitan dengan Jonathan, Delisha langsung diantar oleh sopir Wijaya ke kontrakan temannya berada. Meskipun berat untuk Delisha lalui— harus berpisah dengan Jonathan, lelaki yang menjadi ayahnya. Namun, Delisha harus melawati itu semua, dia tidak ingin terus-terusan membuat hubungan papanya dan tantenya terus berantakan karena ulahnya.Keberadaan Delisha yang tak diinginkan oleh Juwita dan Bella membuatnya sedih, pasalnya kedua wanita itu begitu membencinya. Apalagi dirinya hanyalah anak di luar nikah antara Jonathan dan Nirmala."Anna, maaf, kali ini aku akan merepotkan kamu.""Hai, kita ini sahaba
"Anda jangan bercanda, Delisha mana mungkin tidak ada di sini!" Rey mulai kesal saat Jonathan bilang bila Delisha tak ada di Mansion Wijaya, mungkin itu hanya akal-akalan Jonathan saja agar Rey tak bertemu dengan Delisha."Aku berkata sebenarnya, Delisha memang tak ada di Mansion Wijaya, dia memutuskan untuk tinggal bersama dengan temannya."Sebenarnya Jonathan tidak rela bila Delisha tinggal bersama dengan Anna, sahabat dari anaknya sendiri. Akan tetapi, lelaki itu terpaksa melakukan itu semua agar putrinya hidup bahagia."Apa, teman? Teman yang mana?" Rey terperangah atas apa yang sudah dia dengar. Delisha sudah tak lagi tinggal di Mansion Wijaya, dan kini istrinya memutuskan untuk bersama dengan temannya. Apalagi Delisha tak cerita apa pun kepadanya, bila wanita itu ingin tinggal bersama dengan temannya sendiri."Dia teman kecil Delisha," kata Jonathan."Mengapa Anda membiarkan Delisha pergi begitu saja?"Rey tidak habis pikir, apa sebabnya mertuanya itu membiarkan Delisha tinggal
Pagi ini Delisha sudah rapi dengan kemeja berwarna putih dan juga rok yang panjangnya selutut, hari ini wanita itu berharap bila dia akan diterima dalam perusahaan yang akan dilamarnya."Delisha, bagaimana? Apa kamu sudah siap?" tanya Anna ketika melihat Delisha yang masih berada di depan cermin."Aku sudah siap Anna. Bagaimana dengan pakaianku?" Delisha tak ingin karena pakaiannya membuat orang tak suka, pakaian yang wanita itu kenakan begitu sederhana, begitu juga dengan rambut yang Delisha ikat ke belakang menggunakan jepit rambut."Kamu sudah pas mengenakan kemeja tersebut, bukannya kamu suka dengan kesederhanaan? Kamu cantik Delisha, kamu mengenakan pakaian apa pun pasti akan cocok di tubuh kamu," ucap Anna."Sudahlah aku tak perlu rayuanmu."Gadis itu mengambil tas dan juga sebuah amplop berwarna cokelat dari atas meja. "Oh iya, aku lupa belum memberi tahu pemilik kontrakan ini, kalau aku juga mau ngontrak di sini," sambungnya lagi.Betapa bodohnya Delisha, gadis itu sudah berad
Betapa terkejutnya Delisha ketika melihat wanita yang ada di depannya kini, wanita yang pernah dia kenali, siapa lagi kalau bukan Erlin, wanita yang sudah merebut kekasihnya enam tahun yang lalu."Erlin," gumam Delisha dengan suara yang begitu lirih.Erlin yang berada di hadapan Delisha persis menaikan ujung bibirnya."Hai, kita berjumpa kembali, ternyata kamu masih ingat denganku," kata Erlin dengan senyuman liciknya.Entah mimpi apa semalam, mengapa Delisha bisa bertemu dengan wanita yang tak ingin dia temui lagi selama ini?"Mana mungkin aku lupa dengan wanita yang suka merebut kekasih orang," jawab Delisha santai.Erlin tersenyum menyeringai ke arah Delisha. Dia tak menyangka bila wanita yang sudah dia hina dulu kini sudah ada tepat di depannya lagi. Erlin tak suka dengan Delisha karena dari dulu wanita itu bisa dengan mudahnya memiliki apa yang ia inginkan."Semuanya bukan salah aku, itu semua salah kamu sendiri, itu artinya … kamu tidak becus dalam menjaga pacar sendiri, dan kamu
Setelah berdebat beberapa waktu lalu dengan Erlin, kepala Delisha sedikit pening, kini wanita itu sudah berada di dalam kontrakannya.Wanita yang penampilannya itu masih berantakan, karena telah bertengkar hebat dengan Erlin itu membuka pintu kamar, dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.Terlihat sebuah ranjang yang sudah lusuh yang terbuat dari kayu, kelihatannya sudah berumur puluhan tahun, dengan seprai yang berwarna abu rokok polos. Delisha menuju ke arah tempat tidurnya, dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk."Mengapa aku bisa bertemu dengan wanita itu lagi?" ucap Delisha bermonolog.Gadis itu melihat ke arah langit-langit kamar yang akan menjadi tempatnya kini beberapa hari ke depan.Delisha memiringkan tubuhnya ke arah jendela yang sudah terbuka, cahaya matahari sudah masuk ke dalam kamar tersebut, membuat ruangan yang tampak sempit itu menghangat."Rey, apakah tadi dia benar-benar menghubungi Rey? Apakah Rey masih berhubungan dengan wanita itu?"Pikiran gad
"Kamu jahat Rey, kamu memang tidak pernah berubah," ujar Delisha dengan suara lirihnya.Hatinya teramat sakit melihat apa yang sudah ia lihat, Delisha menundukan pandangannya, kepalanya ia taruh di bagian setir. Dia ingin sekali turun dari dalam mobil dan memberi pelajaran kepada wanita pengganggu itu, tetapi entah mengapa tubuhnya seperti terpaku.Delisha begitu berat untuk beranjak, hanya sebuah tangisan yang mulai menderainya."Bagaimana aku bisa percaya lagi sama kamu? Kalau kamu saja terus membohongiku, Rey. Apa kamu pikir aku ini wanita bodoh yang bisa kamu mainkan begitu saja?"Air matanya sudah mengalir begitu deras, Delisha sudah tak bisa lagi membendung air bening yang mengalir dari matanya."Aku benci kamu, Rey." Delisha bergumam, kemudian menghapus air matanya begitu kasar. Tak lama kemudian Anna kembali ke dalam mobil."Delisha, ayo kita pulang!" kata Anna yang sudah masuk ke dalam mobil.Beberapa detik kemudian, Anna melihat ke arah Delisha yang hanya terdiam. "Hai, kamu
Delisha sedang merevisi beberapa dokumen laporannya yang sudah dibuat, karena dari kemarin Bu Ranti terus saja mengomel, bila laporannya banyak yang salah. Gadis itu hanya tak ingin bila dirinya terus mendapatkan omelan lagi.Dia pun kini harus berusaha lebih baik lagi dalam menjalankan tugasnya.Delisha menelan saliva begitu susah ketika melihat sosok wanita berkacamata dengan badan gempal menghampirinya lagi, siapa lagi kalau bukan Bu Ranti.Wanita itu persis sekali seperti guru killernya dulu ketika waktu masih sekolah, itu membuat Delisha begitu takut ketika melihat wajahnya saja."Bagaimana? Apa pekerjaan kamu sudah selesai?" tanya Bu Ranti yang sudah berada di hadapan Delisha.Pandangan Delisha yang tadinya sedang melihat ke arah beberapa dokumen yang ada di atas mejanya, kini beralih ke arah Bu Ranti."Su-sudah, Bu," ucap Delisha terbata-bata.Tanpa ba-bi-bu, Bu Ranti langsung mengambil alih laporan yang sedang di revisi oleh Delisha.Wanita tua itu mencebik ketika melihat lapor
Delisha yang duduk di dekatnya mengangkat alis, ekspresinya penuh tanda tanya. "Ada apa, Sayang?"Rey memandang Delisha dengan serius. "Ada masalah yang perlu aku selesaikan sekarang juga. Aku harus pergi sebentar."Delisha melihat ke dalam mata Rey, memahami keadaan darurat yang tengah dihadapinya. "Aku akan menemanimu, Rey."Rey mengangguk, setelah menitipkan Gilang kepada Arumi dan Emran dengan cemas di hati, Rey dan Delisha segera menuju mobil mereka. Mereka berkendara dengan cepat menuju rumah sakit, hati mereka dipenuhi kekhawatiran yang begitu mendalam.Rey dan Delisha masih duduk di dalam mobil, perasaan heran dan kebingungannya tergambar jelas di wajah mereka. Delisha memutuskan untuk mengungkapkan pertanyaannya."Rey, bagaimana bisa Erlin dimasukkan ke rumah sakit jiwa?" tanya Delisha dengan perasaan herannya. Suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan kebingungan yang sudah merajainya.Rey mengedikkan bahunya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan da
Delisha tersenyum bahagia saat menaburkan bedak halus pada tubuh mungil Gilang. Bayi kecil itu terlihat begitu tenang, matanya berkilauan dari kebersihan setelah mandi. Udara di ruangan itu terasa hangat dan penuh kasih.Sambil memandang putranya, Delisha mulai memutar dalam benaknya rencana untuk hari ini. Ia ingin membawanya ke taman bermain di dekat Mansion Wijaya, tempat di mana mereka dapat menikmati matahari bersama-sama. Delisha juga berencana untuk mengunjungi toko mainan setelahnya, memberikan Gilang kesempatan untuk memilih mainan kesukaannya.Saat Delisha sibuk dengan Gilang, Rey menyaksikan adegan itu dengan penuh kebahagiaan. Langkahnya pelan melintasi ruangan, dan ia menghampiri Delisha dengan senyum lebar di wajahnya."Kamu selalu begitu hebat, Sayang," ucap Rey dengan lirih. "Gilang sungguh beruntung memiliki ibu sepertimu."Delisha tersenyum dan membalas, "Kita beruntung memiliki dia dalam hidup kita, Rey. Dia membawa begitu banyak kebahagiaan."Rey memeluk Delisha er
"Maafkan aku, Rey, aku belum siap bertemu dengan kamu. Aku ingin menenangkan pikiranku sejenak," gumam Delisha lirih.Delisha berbalik dari jendela dan melangkah perlahan ke arah tempat tidurnya. Ia mengambil napas dalam-dalam, melihat ke arah putranya yang sedang tertidur pulas.Delisha menatap putranya yang sedang tertidur pulas dengan penuh kasih sayang. Gilang adalah sumber kekuatan dan kebahagiaannya. Meskipun mereka sedang menghadapi masa sulit, kehadiran Gilang selalu memberi mereka alasan untuk tetap kuat.Dengan hati yang penuh harap, Delisha duduk di samping tempat tidur Gilang, mengelus lembut pipinya. "Kamu adalah keajaiban dalam hidup Mama, Nak. Bersamamu, Mama selalu merasa terlindungi."Kemudian, Delisha membiarkan dirinya terlelap di samping putranya. Meskipun pikirannya penuh dengan kekhawatiran, kelembutan napas Gilang membawanya ke dalam alam mimpi yang damai.Sementara itu, Rey menunggu dengan sabar di mobil, memberi Delisha ruang dan waktu yang ia butuhkan. Ia mem
"Papa, Rey!" teriak Arumi tiba-tiba, muncul di dekat mereka dengan wajah yang penuh kepanikan."Kenapa, Ma?" tanya Rey dengan kening terangkat, keheranan jelas terpancar dari wajahnya."Delisha, dia dan Gilang tidak ada di kamar," ujar Arumi dengan napas yang terengah-engah.Rey dan Emran saling pandang, keduanya terkesiap. "Apa?" seru mereka hampir bersamaan, kekhawatiran mencengkam hati mereka.Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju kamar Delisha. Setelah berada di kamar, mereka melihat kamar itu kosong, tempat tidur yang biasanya digunakan Delisha masih rapi. Tapi ketiadaannya bersama Gilang menimbulkan rasa cemas yang semakin mendalam.Emran mencoba menghubungi Delisha melalui telepon, tapi tak ada jawaban. Tatapan panik mengisi matanya. "Rey, kita harus mencarinya sekarang juga!"Rey mengangguk, tak ada waktu untuk memikirkan segala hal. Mereka berdua keluar dari Mansion dengan langkah cepat, berencana untuk memeriksa setiap tempat yang mungkin menjadi tujuan Delisha.Rey s
Ruangan kerja Rey dipenuhi dengan suara dari klakson kendaraan dan hiruk pikuk kota yang sibuk. Rey duduk di meja kerjanya, mata terfokus pada tumpukan dokumen dan laporan yang tersebar di sekitarnya. Ia sibuk menyelesaikan tugas-tugasnya, tak menyadari waktu yang berlalu begitu cepat.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka dengan cepat. Abbas, sekretaris setia Rey, memasuki ruangan dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak pucat dan khawatir."Rey," panggil Abbas dengan suara terbata-bata.Rey mengangkat pandangannya dari dokumen-dokumen di meja. "Ada apa, Abbas?"Abbas menelan ludah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Ini penting, Rey. Aku harus memberitahumu sesuatu yang tak bisa kau percayai."Rey menatap Abbas dengan penuh kekhawatiran, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Sebuah desiran rasa cemas melintas di dalam dadanya. "Baik, apa yang terjadi? Tenanglah, Abbas. Katakan dengan tenang. Apa kejadian ini menyangkut orang yang sudah menculik Delisha?"Abbas mengambil
Malam telah berlanjut dengan langit yang menggelap, menciptakan latar belakang yang terasa bahagia. Rey dan Delisha yang sedang asyik makan malam, mengisi malam mereka dengan tawa dan cerita. Namun, tiba-tiba, mata Delisha tertuju kepada sosok seorang lelaki yang memiliki tubuh gempal. Sorot matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.Rey, yang merasa curiga melihat ekspresi istrinya yang sudah berubah, segera bertanya dengan khawatir. "Sayang ada apa?" tanyanya dengan nada cemas.Delisha menelan ludah, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. "Rey, le-lelaki itu yang dulu telah menculikku," ujar Delisha bergumam begitu lirih.Rey merasa detak jantungnya berdegup kencang mendengar pengakuan itu. Dia langsung menoleh ke arah sosok lelaki yang ditunjuk oleh istrinya. Lelaki itu memiliki tubuh yang berisi dan kepala botak. Wajahnya terlihat kusam, dan tatapannya kosong.Delisha gemetar, ingatan akan masa lalunya yang traumatis mulai kembali menghantui dirinya. Dia merasa pusing dan ti
Rey duduk di sofa sambil memperhatikan istrinya, Delisha, yang tampak kelelahan setelah seharian mengurus Gilang, putra kecil mereka yang menggemaskan. Wajah Delisha pucat, matanya sayu. Namun, tetap penuh kasih sayang saat ia memeluk Gilang yang tertidur pulas dalam gendongannya."Sayang," Rey mengelus lembut pundak Delisha, "aku merasa kasihan melihatmu. Mengurus Gilang seharian pasti melelahkan."Delisha tersenyum lemah. "Iya, tapi ini adalah tanggung jawab kita bersama, kan? Aku tidak keberatan."Rey memahami kesetiaan Delisha terhadap tanggung jawab sebagai ibu. Namun, ia juga tidak ingin melihat istrinya kelelahan terus-menerus. Ia pun mencoba untuk menemukan solusi."Mungkin kita bisa mempertimbangkan untuk menyewa baby sitter untuk membantu kita, Sayang. Itu akan meringankan bebanmu sedikit," usul Rey dengan nada lirihnya.Delisha terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Aku menghargai tawaranmu, Rey, tapi aku ingin meluangkan waktu sebanyak mungkin dengan Gilang. Ini momen-momen be
Rey memandang Erlangga dengan pandangan yang tajam dan penuh tanda tanya saat mendengar penjelasan Erlangga tentang mengapa ia ingin melepaskan putrinya, Erlin, dari penjara."Bukti-bukti yang belum terungkap? Semua bukti sudah ada dan Erlin lah penyebabnya," ucap Rey dengan nada keras. "Saya ingin bertanya, mengapa Anda begitu menginginkan Erlin untuk keluar dari penjara setelah apa yang sudah dia perbuat? Bukannya dulu Anda sendiri yang mencampakkan Erlin?"Erlangga merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Rey itu. Ia merenung sejenak sebelum menjawab dengan jujur, "Rey, kamu memang benar. Dulu, aku memutuskan hubungan dengan Erlin dan meninggalkannya ke luar negeri. Aku tidak bangga dengan keputusan itu, dan aku merasa bersalah atas bagaimana aku telah memperlakukan dia. Tapi Erlin adalah anakku, dan aku tidak ingin dia menghabiskan hidupnya di dalam penjara. Aku masih menyayanginya, Rey. Aku datang ke sini untuk menebus kembali kesalahanku kepada Erlin."Rey mend
Delisha duduk dengan penuh kasih sayang di sofa, bayinya yang bernama Gilang terus menangis di pangkuannya. Rey, suaminya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja, merasa iba melihat istrinya yang sepertinya sudah sangat lelah mengurus Gilang."Sayang, apa yang terjadi? Apakah Gilang merasa tidak nyaman?" tanya Rey seraya menghampiri Delisha yang sedang duduk di sofa.Delisha mengernyitkan keningnya, mencoba mencari tahu penyebab dari tangis Gilang. "Aku tidak yakin, Rey. Aku sudah mencoba segalanya. Mungkin dia lapar atau mengantuk."Rey mencoba memberikan saran, "Mungkin dia butuh susu tambahan. Apa kamu ingin aku mengambilkan susu formula?"Delisha menggeleng cepat, lalu berkata, "Tidak, Rey. Aku ingin memberi ASI eksklusif kepada Gilang. Aku tahu itu penting untuk pertumbuhannya.""Tentu saja, Sayang. Aku mendukungmu sepenuhnya," kata Rey dengan penuh dukungan.Delisha mencoba menenangkan Gilang dengan mengayun-ayunkan tubuhnya perlahan-lahan. Dia bernyanyi pelan dan membe