Siangnya, Rania sudah siap dengan dress panjang berwarna putih yang dia kenakan. Rania juga sudah meminta pada Selena, jika dia juga mengajak Abrisam kali ini. Lagian, kasihan juga kan kalau Abrisam berada di rumah sendiri tanpa melakukan apapun. Rania yang tidak tega dengan semua ini. Menuruni tangga, Selena menunjukkan wajah cemberutnya. Dia hanya mengajak Rania pergi, tapi kenapa Abrisam ikut? "Gak papa ya, Mi." kata Rania tidak enak hati. Selama memutar bola matanya malas. Tentu saja tidak boleh ada kaum pria di antara mereka. Tapi apa boleh buat, lebih baik dia ikut daripada nanti malah Rania tidak bisa keluar dengan Selena. "Yaudah ayo." ajak Selena. Rania tersenyum bahagia, dia pun menarik tangan Abrisam untuk mengikuti langkah kaki Rania. Wanita itu juga menjelaskan apa saja yang nanti akan mereka lakukan. Dari melihat ikan, baik di timezone jika mereka bertemunya di mall. Atau mungkin Rania dan juga Abrisam bisa menghabiskan waktu untuk berkeliling. "Simpan dulu keingin
Rania jatuh di atas pangkuan Abrisam, setelah dia selesai mandi sore. Sebenarnya ini tidak sengaja, dia duduk di samping Abrisam yang ingin menggunakan lotion untuk badannya. Tapi ketika dirinya ingin bangkit, dan menyimpan lotion itu. Abrisam malah dengan cekatan langsung menarik tangan Rania, hingga membuat wanita itu duduk diatas pangkuannya. "Ini kalau kakinya di sisi kiri dan juga kanan kayaknya lebih enak deh, Ran." ucap Abrisam. Rania menatap kedua kakinya dengan heran. Lalu menatap Abrisam dengan tatapan bingung. "Gak ah, Mas. Aku cuma pakai handuk, mau pakai baju dulu. Mas mandi sana." perintah Rania. Abrisam tersenyum kecil, dia tidak menurut dengan apa yang Rania katakan. Pria itu memegang satu kaki Rania dan memutarnya sendiri. Dan saat ini posisi Rania yang masih duduk di depan Abrisam, dengan kedua kaki yang menghimpit kaki Abrisam. Belum lagi, tangan Abrisam yang langsung memeluk pinggang Rania, mampu membuat Rania gugup. Siapa juga sih yang tidak gugup dengan hal i
Selena sudah menunggu dengan bosan. Sampai jam segini Rania dan juga Abrisam tak kunjung turun juga sedangkan dirinya susah sangat lapar. Di meja makan ini tidak hahaha ada Selena, tapi juga ada Alfa, Kara dan juga Bagas. Mereka semua menunggu Rania dan Abrisam untuk bergabung makan malam dengan mereka. "Ini mereka kenapa lama sekali sih. Aku udah laper, Mami." ucap Kara. "Mami lihat dulu deh, kok lama banget mereka ngapain aja." Selena bangkit dia pun berjalan cepat ke arah tangga dan menuju kamar Abrisam yang terbuka sedikit. Disana Selena bisa melihat dia handuk yang tergeletak diatas lantai, tapi tidak melihat ada orang sama sekali. Tidak mungkin kan, handuk ini berjalan sendiri sampai di bawah lantai? Apalagi ini handuk Selena tahu betul, handuk yang selalu di tata oleh mbok Atun di kamar mandi. Mengambil handuk itu dan menaruhnya di atas tempat tidur. Selena pun menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Rania mendekat, mungkin salah satu diantara mereka sedang mandi. D
Rania mendadak sedih, ketika melihat Kara yang ingin pergi dari rumah ini. Wanita itu memutuskan untuk menjadi rakyat biasa, dia ingin menjadi karyawan bukan bos. Dan yang jelas Kara harus keluar dari rumah ini dan ingin mandiri. Dia sudah terlalu manja, hidupnya selalu saja tercukupi. Tapi kali ini Kara ingin mengatur hidupnya sendiri dan merasakan bagaimana bekerja di tempat lain dan bukan milik keluarga. Sekarang, sudah tidak ada lagi teman di rumah ini. Rania akan kembali kesepian, ketika tidak memiliki teman satu frekuensi. Yang dimana Kara sering sekali bercerita banyak hal tentang dirinya, dan Rania adalah orang yang telaten dan sabar mendengar cerita Kara. Tidak ada lagi rambut yang harus dia catok, dan mendengar dumelan Kara. Tidak ada lagi perdebatan antara warna eyeshadow yang gelap dan cerah. "Bakalan kangen kayaknya." kekeh Kara. "Jangan pergi." "Harus pergi!! Nanti kalau kangen, aku share lokasi tempat tinggal aku ya." Rania mengangguk dia pun memeluk Kara untuk ya
Siang ini, sesuai permintaan Abrisam. Rania memutuskan untuk memasak banyak menu makanan rumahan. Wanita itu membawa dua kotak makan siang untuk suaminya dan juga Bagas. Kasihan juga kan, kalau Abrisam makan tapi Bagas tidak apalagi mereka satu ruangan. Wanita itu tersenyum kecil, setelah berhasil menyiapkan dua kotak makan siang. Dia juga akan memberitahu Bagas dan juga Abrisam jika Kara memutuskan untuk pergi dari rumah. Selain ingin mandiri Kara juga ingin tahu bagaimana susahnya hidup seorang karyawan. Jadi, jika nanti dia sudah menjabat sebagai pemimpin perusahaan dia tahu keluh kesah karyawannya seperti apa. Belum lagi Kara yang ingin sekali memiliki satu butik dengan rancangannya sendiri. "Kamu mau kemana?" tanya Selena aneh. "Mau nganter makan siang mas Abri, Mi. Kenapa?" Selena berpikir sejenak. "Boleh ikut nggak? Mami bosen loh di rumah. Nanti kita beli minum di langganan Mami untuk mereka." Entah sogokan atau apa. Nyatanya Rania menganggukkan kepalanya pelan. Dia mengi
Abrisam mengusap dadanya yang masih saja berdedar dia meminta izin pada Rania untuk pergi ke toilet sebentar. Dia hanya ingin memastikan jika jantungnya masih berdebar dengan normal, ini hanya efek lapar makanya jantung Abrisam berdebar kencang. Atau mungkin Abrisam hanya kekurangan kopi makanya dia berdebar. Ada akan dengan dirinya saat ini!! Kenapa dia merasakan sesuatu yang sama sekali tidak di suka oleh Abrisam!! Menarik nafasnya pelan, Abrisam memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Dia memukul pintu kamar mandi iki dengan tongkatnya, dan berjalan keluar dengan pelanggan pula. Hingga Rania yang melihat hal itu langsung menghampiri Abrisam, membantu pria itu untuk berjalan. Bukannya meragukan tongkat yang Abrisam pakai, hanya saja banyak karpet dan barang Rania hanya takut jika Abrisam menambah meskipun dia sudah hafal dengan ruangan ini. "Duduk dulu Mas." kata Rania, dan meminta Abrisam untuk duduk di sofa. Abrisam berdehem sejenak, merapikan jasnya dengan harapan jika wani
Jam menunjukkan pukul lima sore, sudah waktunya kantor ini ditutup. Tapi melihat ada tiga orang yang masih ada di tempat kerjanya membuat Rania menatap heran. "Kalian nggak pulang?" tanya Rania dengan wajahnya polosnya. Salah satu diantara mereka mendongak dan menggeleng. "Kita lembur Bu, ada banyak file penting yang harus diselesaikan hari ini." katanya. "Dan besok pagi ada rapat penting Bu, bahannya harus siap hari ini juga." tambah salah satu diantara mereka. "Ini juga lagi nyusun properti satu bulan yang lalu belum selesai." tambahnya. Rania mengangguk, meskipun dia tidak paham tapi wanita itu berharap jika mereka akan baik-baik saja. Menjaga kesehatan mereka dan juga pola makan mereka jangan sampai berantakan. Besok adalah hari penting, dan semoga rapatnya berjalan dengan cepat. Wanita itu membalik badannya dan kembali masuk ke dalam ruangan Abrisam. Tak lupa juga dia memesan makanan secara online untuk karyawan Abrisam. Kasihan jika mereka terlalu sibuk bekerja, yang ada m
"Kamu ada masalah? Mau minum bersama?" tawar Abrisam. Saat ini, mereka sudah berada di depan rumah Abrisam. Tapi dua pria berhasil ini tak kunjung turun, dengan alasan ada beberapa hal penting yang ingin mereka bahwa. Meskipun di ruang kerja Abrisam bisa, nyatanya mereka memilih membahas hal penting itu di dalam mobil. Bagas menggeleng, dia pun mengusap wajahnya dengan kasar. "Lagi nggak mood minum!!" "Tumben. Biasanya ngajak duluan. "Situ enak, sekali minum habis itu ada musuhnya. Lah aku– tidur!!" Abrisam tertawa, tidak semua hal yang didasari dengan alkohol berakhir dengan hubungan intim. Meskipun Abrisam mengakui, akan lebih nikmat dan terasa seperti itu. Tapi kebanyakan Abrisam akan pergi tidur setelah membersihkan diri. Setidaknya Rania tidak mencium alkohol di tubuh Abrisam. Tau kan, jika pria itu pulang dalam keadaan mabuk dengan Bagas. Rania sudah dalam posisi terlelap. Jadi mana mungkin Abrisam bisa mengganggu Rania san untuk melayani nya? Itu tidak mungkin."Gas kamu y
Guling ke sana guling kemari, akhirnya Rania pun merasa bosan. Dia bangun dari rebahannya dan memutuskan untuk keluar kamar. Ternyata diluar sana sedang hujan deras tambah ada nagin. Sedangkan rania yang kameranya di depan harusnya tau dong kalau tengah hujan? tapi sayangnya telinga wanita itu dengan cantiknya tertutup earpods, hingga suara air jatuh di samping kamarnya tidak tau, belum lagi gorden kamar nya juga tertutup begitu juga jendela kacanya. Sehingga angin dingin tak mampu dia rasakan. Adhitama yang melihat putrinya keluar kamar pun menatap Rania dengan heran. Dia meminta Rania untuk duduk di sampingnya, dimana Adhitama telah menyiapkan makanan untuk putri kesayangannya. Ya, setelah berbicara dengan Abrisam jika dia akan pergi gym, Rania tak sungguh-sungguh pergi nge gym. Dia hanya pergi ke rumah Adhitama dan numpang tidur. Terus, ketika Rania bilang jika dia berangkat dengan Leon itu juga berbohong, karena nyatanya Rania malah lebih memilih naik taksi online saja. Dan kali
"Nona Rana mau kemana?" tanya Bagas yang minat Rania turun dari tangga. Rania yang menenteng tas besar pun menghampiri Bagas sambil mengundurkan rambutnya. "Mau nge gym." Alis Bagas mengkerut, dia lihat Antosan yang hanya diam saja sambil menikmati kopi susu buatan mbok Atun. Semenjak hal itu, dimana Abrisam yang marah karena Rania lebih perhatian dengan Leon. Mengantarkan pria itu ke rumah sakit, sampai membantu Leon minum obat pula. Siapa juga yang tidak kesal dengan sikap itu. Baik sih boleh tapi ya dilihat dong baiknya sama siapa dulu, masa iya sama semua orang juga!! "Kok tumben banget, biasanya diajak jalan pagi sama Tuan Abri nggak mau." "Kenapa? Nggak boleh lagi!!" sentak Rania. Bagas menggeleng, bukan tidak boleh. Hanya saja kan masalahnya Rania itu malas olahraga. Mendadak pengen nge gym kan aneh, tau kan dunia gym itu kayak apa? Sudah dipastikan Rania juga tidak memiliki member untuk masuk. "Biarkan saja Gas. Kalau perlu kamu antara dia." kata Abrisam tenang. Rania s
Mata Leon mendelik sempurna ketika Rania beradaptasi di hadapannya, wanita itu juga meminta sopir taksi online untuk berhenti sejenak. Selain tidak ingin terjadi insiden yang tak dii ginian Rania, wanita itu juga tidak ingin menyiksa Leon dengan lama. Ya, Rania menjejalkan obat itu untuk masuk ke dalam mulut Leon dengan paksa. Jika tidak begini, Rania yakin Leon tidak akan sembuh tanpa minum obat. Rontaan Leon yang lebih kuat dari nya tak membuat Rania menyerah. Dia sama sulitnya seperti Abrisam. Jika minum vitamin dia akan cepat, tapi jika obat … sudah dipastikan Rania harus turun tangan agar obat itu bisa masuk ke dalam mulut Abrisam.Leon sempat kaget dengan sikap Rania yang bar-bar dan berani melakukan itu pada Leon. Padahal jika dilihat doa sangat kalem dan tidak banyak tingkah. Tapi kali ini sungguh, Leon terkejut dengan sikap Rania yang tadi. Obat itu masuk dengan sempurna di mulut Leon. Bahkan ketika Leon memeluk pinggang wanita itu dan meremas nya, dia sama sekali tidak mer
Kembali menebus obat, Rania sudah melihat Leon yang duduk dengan wajah cemberut nya. Wanita itu mendekat, sambil membawa satu kantong plastik berwarna putih gelap dan dia berikan pada Leon. "Ayo sini ponselku." tagih Rania. Leon memberikan ponsel itu dengan cepat. "Maaf." hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Leon. Sungguh, dia sendiri juga tidak tahu kata maaf itu untuk apa. Yang jelas, jika tadi dia tidak mengambil ponsel Rania, mungkin hal ini tidak akan terjadi dengan dirinya. "Gak papa." jawab Rania seadanya, sambil melihat ponselnya yang sepi layaknya kuburan. Abrisam tak menelponnya, begitu juga dengan Bagas yang tak menelponnya balik juga. "Kamu udah gak papa?" Rania menatap Leon dengan tatapan memohon, lebih tepatnya, memastikan jika pria itu baik-baik saja dan tidak ada luka dalam."Aku gak papa. Cuma ini pusing aja kepala aku." Tentu saja pusing, jangankan kebentur motor. Itu jidat kalau kebentur meja atau yang lain aja pusingnya minta ampun, apalagi ini. "Bisa p
Lagi, lagi Rania harus kembali berurusan dengan Leon. Entah datangnya dari mana pria itu mendadak muncul di hadapannya layaknya jelangkung. Dan pada akhirnya Rania pun tersenyum paksa sambil menikmati es coklat yang ada di tangannya. "Kita ketemu lagi." katanya dengan penuh percaya diri. "Kebetulan sekali, kamu lagi apa disini?" tanyanya. Ini tidak kebetulan, dimana ada Rania selalu saja ada Leon. Bahkan Rania sempat berpikir jika Leon sekali mengikuti kemanapun Rania pergi. Pergi belanja, pergi ke rumah ayah dan ibunya, atau mungkin pergi kemanapun Rania inginkan dan selalu ada Leon. Sebenarnya dia itu punya kesibukan lainnya tidak sih? Mungkin kalau satu atau dua kali Rania masih bisa memaklumi. Tapi kalau berkali-kali mana bisaaaaa!!! Yang ada Rania mendadak curiga dia menjadi penguntit Rania. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari Rania. "Iya kebetulan nya berkali-kali ya." ini bukan sebuah jawaban, tapi sebuah sindiran agar Leon tahu jika apa yang dia lakukan itu salah.
Rania meremas kertas yang ada di tangannya, jantungnya kembali berdebar kencang ketika melihat Abrisam dan juga Bagas sedang dalam mode serius. Wanita itu akhirnya membalik badannya dan hendak pergi, mungkin bukan saatnya dia membicarakan hal ini. Tapi … "Nona Rana … " panggilan itu langsung membuat Rania memoleh, dia pun tersenyum ketika Bagas yang memanggilnya. "Mau ada penting dengan Tuan Abri?" ujarnya. Rania menggeleng. "Aku aku ada penting sama kamu." "Sama saya?" beo Bagas menunjuk dirinya sendiri. Abrisam berdehem, dia pun bangkit dari duduknya dan mengambil tongkat miliknya. "Kalau begitu aku pergi dulu." "Mas Abri jangan pergi!!" seru Rania mendadak. "Katanya mau ada penting sama Bagas?" Bukan berarti Abrisam harus pergi kan? Dia hanya meminta bantuan Bagas untuk mengambilkan surat motor milik Gaby. Siang tadi ketika dia mengantar Gaby belanja ada beberapa polisi yang menghentikan banyak pengendara roda dua. Rania pikir apa, taunya malah mereka memberi surat cinta pad
Gaby melihat kertas cinta ini dengan pasrah, duit mana lagi nanti untuk mengambil STNK nya. Sedangkan hari ini dia sudah merilis apa saja yang akan dibeli di pusat belanja ini. Tapi yang ada … "Nanti biar aku aja uang ambil. Kan aku yang salah bukan kamu." kata Rania. "Tapi Ran masalahnya itu kan motor aku." Masalah motor siapa itu gak penting. Rania mengambil surat cinta itu dan menyimpannya. Dia akan meminta Bagas untuk mengambil surat ini nanti atau besok, agar bisa diantar ke rumah Gaby dengan cepat. Sekarang yang harus mereka lakukan hanya satu, masuk ke pusat belanja ini dan membeli apapun yang Gaby inginkan. Gaby masih menunjukan wajah cemberut nya, tapi disini Rania mencoba untuk menghibur nya dan mengatakan jika semuanya baik-baik saja. Gaby tidak perlu khawatir atau apapun itu, semuanya akan teratasi dengan benar. Abrisam juga tidak akan marah, siapa tahu saja setelah ini Abrisam mau mengeluarkan surat mengemudi untuk Rania. "Yaudah kalau begitu. Ayo kita belanja." Ber
Mumpung lagi libur kerja, Gaby meminta Ranka untuk menemaninya belanja. Tentu dengan izin Abrisam, wanita itu sudah menunggu Gaby di depan rumahnya sambil membawa helm. Tersenyum sumringah ketika melihat Gaby dari kejauhan yang terlihat mencolok, Rania pun langsung melambaikan tangannya ke arah Gaby. "Akhirnya sampai juga." keluh Gaby yang terlihat lelah di hadapan Rania. "Mau masuk dulu, Gab? Minum atau apa gitu." tawar Rania. Gaby menggeleng. "Gak deh, nanti kita bisa beli teh cup disana." Rania terkekeh, dia pun langsung duduk di boncengan Gaby dan memakai helmnya dengan benar. Tapi yang ada Gaby malah meminta Rania untuk turun. "Kenapa Gab?" "Bonceng Rania." "Oalah, bilang dong kirain ada apa." Tertawa kecil, Gaby pun menggeser duduknya ke belakang. Hingga Rania duduk di depan dan mulai menjalankan motornya dengan pelan. Untung saja pusat belanja yang ada diskonnya itu tidak jauh dari rumah Rania. Tapi lumayan jauh dari rumah Gaby, yang harus ngebut dulu baru sampai di rum
Pertarungan itu begitu panas dan cukup memakan waktu yang cukup lama. Tidak hanya satu atau dua kali, tapi berkali-kali hingga membuat kedua belah pihak merasa lelah dengan nafas yang nyaris putus. Mengabaikan teriakan banyak orang hanya untuk meminta mereka makan malam bersama. Kali ini, ketika mereka turun tak ada satupun lampu yang menyala, tidak ada satu orangpun yang keluar dari kamar mereka. Menutup kembali pintu kamarnya, Rania kembali mendekati Abrisam. "Mas sepi banget." kata Rania berbisik, seolah dia takut jika ada orang lain yang mendengar ucapannya. "Kamu udah turun ke bawah?" Rania menggeleng. "Nggak aku cuma ngintip dari pintu." Abrisam mendengus, harusnya Rania turun kebawah memastikan jika ada orang dibawah sana atau tidak. Atau mungkin … ada makanan malam yang mereka susakan untuk Rania dan juga Abrisam. Tapi nyatanya Rania malah hanya menyembuhkan kepalanya tanpa mau turun ke bawah dan melihat situasi rumah. Rania meringis, dia pun menggunakan baju yang tadi y