"Selesai." kata Rania. Wanita itu baru saja meluruskan rambut Kara. Menyisir nya dengan lembut, Rania pun tersenyum. Jika saja rambutnya panjang mungkin akan seindah rambut Kara. Sayangnya rambut Rania tidak begitu panjang. "Rambut kamu bagus banget, lembut lagi pengen pegang terus." ucap Rania kembali. Kara membalik badannya, dia pun menatap Rania dengan tatapan sendu. Dia mengajak Rania ke kamar bukan sekedar untuk meluruskan rambutnya, tapi juga ingin berbicara banyak hal tentang perasaan. Kara tahu pernikahannya dengan Abrisam itu karena perjodohan, tapi apa dia percaya cinta itu datang karena terbiasa?Menjauhkan tangannya dari rambut Kara, Rania pun duduk di pinggiran tempat tidur Kara samb melipat selimut wanita itu. "Cinta itu datang karena terbiasa. Kalau kita bisa menerima takdir dengan baik, menempatkan diri dengan baik. Kita pasti menemukan cinta yang tepat." katanya. "Aku sama mas Abri memang dijodohkan, tapi aku tidak menutup kemungkinan kalau aku akan jatuh cinta de
Satu minggu sudah Rania dan juga keluarga Abrisam berlibur. Mereka memutuskan untuk pulang. Setelah kejadian Kara menangis, Abrisam sempat menuduh Rania yang menyebabkan Kara menangis. Sedangkan yang sebenarnya Rania juga tidak tahu penyebab utama Kara menangis apa. Dia hanya mencoba menenangkan Kara dan juga mendengar keluh kesah yang Kara rasakan. Untung saja Kara membantu Rania menjelaskan pada Abrisam hingga salah paham ini usai. Selama satu minggu berada di puncak, banyak sekali yang mereka lakukan. Setiap pagi Kara selalu mengajak Rania untuk jalan-jalan sebentar, menikmati udara dingin puncak yang katanya sudah lama sekali Rania tak merasakannya. Siang hari Rania membantu Selena dan juga mbok Atun memasak, meskipun kadang Selena suka menolak dan meminta Rania untuk masuk ke kamar. Belum lagi keusilan Selena yang selalu berulah mengunci Rania dan juga Abrisam berdua di dalam kamar, tak tanggung-tanggung Selena juga pernah mengunci mereka berdua di dalam kamar. Dengan harapan ji
Keesokan harinya Rania dan Abrisma pun duduk berdua dengan gugup. Mereka harus menunggu selama tiga puluh menit untuk melihat hasil periksa Abrisam dan juga Rania. Rania harap-harap cemas dengan semua ini, begitu juga dengan Abrisam yang cemas tapi masih terlihat santai dan tenang. Disini tidak hanya mereka tapi juga dengan Selena, Kara dan juga Bagas yang ikut serta menemani pemeriksaan mereka. Rania mencoba untuk lebih rileks, berkali-kali dia menarik nafasnya dalam dan menghembuskannya secara perlahan. jantungnya berdebar kencang, apalagi tangan Abrisam yang mulai menggenggamnya dengan erat, sangat erat hingga Rania merasakan kesakitan yang luar biasa. “Sakit Mas.” lirih Rania memukul tangan Abrisam pelan. “Grogi Ran, takut kalau aku beneran mandul.”Rania menghela nafasnya berat. “Kayak apapun hasilnya, aku nggak peduli Mas. kamu hamil atau tidak itu hanya menurut Dokter, bukan menurut Tuhan.”“Tapi Ran kalau hasilnya positif, mami pasti kecewa sama aku yang nggak bisa ngasih d
Menarik tangan Abrisam dan berlari, Rania memutuskan mengajak Abrisam ke pantai. Sore ini, selain menghibur Abrisam, Rania juga ingin menikmati matahari tenggelam dengan Abrisam. Wanita itu sudah membayangkan, jika dirinya duduk di atas pasir putih, dengan dua buah kelapa muda dan negara melihat detik-detik matahari tenggelam. Dari dulu, Rania paling suka dengan lantai. Dia akan betah berlama-lama di pantai hanya menikmati udara sore hari. Belum lagi, kalau Rania libur bekerja begitu juga dengan Gaby. Sesekali mereka pergi ke pantai dan bermain air. Tiket masuk juga tidak begitu mahal, bahkan Rania harus patungan dengan Gaby untuk masuk ke tempat ini. Masalah makan, mereka akan menikmati satu mangkuk bakso dan juga segelas es teh manis. Tapi kali ini, impian Rania terwujud. Duduk di pinggiran dengan orang yang spesial dalam hidupnya, sambil menikmati kelapa muda di sisi kiri wanita itu. "Mas Abri, mataharinya udah mau tenggelam." kata Rania. Abrisam hanya diam saja, ada banyak hal y
Rania mengerang nikmat, ketika sesuatu yang hangat membasahi rahimnya. Wanita itu bahkan sampai mencakar bahu Abrisam hingga terluka. Tangan mungil Rania menyentuh luka itu dan membuat Abrisam meringis.Ya, akhirnya setelah mandi untuk mengusir rasa gugupnya, tapi yang ada Abrisam malah lebih dulu menyerang Rania dan tak memberikan wanita itu ampun. Dia ingin membuktikan jika dirinya tidak ada kekurangan apapun. Dia masih memiliki kesempatan untuk memiliki anak. Hanya saja memang belum waktunya saja. Benar kata Rania tapi jika salah, atau tidak bisa diprediksi, sudah dipastikan Abrisam akan menyarankan Rania untuk bayi tabung. "Sakit Mas?" tanya Rania tiba-tiba. Abrisam mengangguk, dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Rania. Hingga wanita itu mampu memeluk tubuh Abrisam tak memakai apapun di atasnya."Maaf." hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Rania. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan, selain memeluk tubuh Abrisam yang polos. Pria itu hanya mengangguk kecil, sa
Rania datang ke rumah Grace dengan gugup, dia harus merubah penampilan nya hanya karena ingin bertemu dengan ibunya. Jantungnya berdetak kencang dan dia takut jika Grace mengetahui jika dirinya Rania bukan Rana. Membuka pintu rumah ini dengan kasar, wanita itu langsung menunjukkan wajah sombongnya. Ingat kata Rana, jika dirinya memiliki wajah yang judes dan sombong, tidak pernah tersenyum dan terkenal arogan. "Mama … " panggil Rania. Grace tersenyum, dia pun menuju majalahnya dengan cepat dan menyambut kedatangan Rania dengan senang. Wanita itu bangkit dari duduknya dan memeluk Rania dengan erat."Akhirnya kamu datang." kata Grace, dan Rania pun hanya mengangguk. "Duduk dulu ya, Mama pengen ngomong sama kamu." lanjutnya. Duduk manis disamping Grace, Rania lebih memilih menatap sekeliling rumah ini dan memastikan jika ayah tirinya yang gila itu tidak ada di rumah. Dan nyatanya memang benar, rumah ini kosong hanya ada ibunya dan juga para pembantu. Rania kembali menatap Grace dengan
"Selamat malam, apa Ranaw ada di sini?" tanya Bagas. Ya, setelah tahu Tania tidak ada dirumah. Apalagi Kara yang memutuskan untuk tinggal satu malam di rumah Selena, Bagas pun meminta mbok Atun untuk menjelaskan kepergian Rania. Untung saja Mbok Atun tahu, jika Rania akan bertemu dengan ibu dan ayahnya. Awalnya Bagas berpikir jika Rania masih ada dirumah ibunya. Tapi yang ada Abrisam malah meminta Bagas untuk mengantar dirinya pergi ke rumah ayah kandung Rania, karena Abrisam berpikir jika Rania pasti ada disana. "Abri … masuk dulu, Rania baru saja pergi mandi." Abrisam mengangguk, begitu juga dengan Bagas yang langsung menuntun Abrisam untuk masuk ke rumah ini. Pria itu belum hafal jalan rumah ini agar tidak nabrak. "Bos kita–" "Kamu bisa pulang, Gas." usir Abrisam. Mata Bagas mendelik sempurna mendengar ucapan Abrisam barusan. Bahkan dia juga meminta Abrisam untuk mengulanginya kembali. Jika pria itu baru saja mengusirnya Tentu saja dengan kan yang Abrisam meminta Bagas untu
Rania nampak gelisah tidur di samping Abrisam. Dia memikirkan banyak cara untuk menghadapi tetangganya besok. Sudah dipastikan jika.besok akan menjadi berita terheboh di sepanjang jalan rumah Rania. Bergerak kesana kemari, dengan pelan, agar tempat tidur ini tidak berbunyi, Rania pun terkejut melihat Abrisam.yang bergerak cepat dengan mata terpejam menghadapi dirinya. Wanita itu tersenyum simpul, merubah posisi duduknya juga menghadapi Abrisam. Tangannya terangkat menyentuh pipi pria itu dan mengusapnya dengan lembut. Kegelisahan itu pergi, digantikan dengan ketakutan yang luar biasa. Mungkin besok dia masih bisa mencari alasan untuk menghadapi tetangganya yang suka bergosip. Lalu bagaimana nantinya Rania menghadapi dunia, ketika Abrisam tahu siapa dirinya dan memilih pergi? Menarik nafasnya dalam, air mata Rania tiba-tiba saja turun dengan perlahan. Perasaan ini tak seharusnya sama, dan tak seharusnya Rania merasakan hal yang mengerikan ini. Dan tak seharusnya juga Rania menaruh h
Rania memutuskan untuk duduk di depan tanaman bunga mawar yang dia tanam. Hanya ada dua mawar yang muncul selebihnya tidak ada. Sayangnya bunga itu tak bertahan lama, kelopak bunganya gugur satu persatu ketika Rania menyentuh bunga itu. Terlalu lama mungkin di bawah sinar matahari, itu sebabnya rontok. Wanita itu mendesah kecewa, dia sudah menunggu berbulan-bulan hanya untuk memetik bunga yang indah ini, sayangnya belum kesampean. Bangkit dari duduknya dan ingin kembali ke rumah, Rania malah dikejutkan oleh Selena hanya menghampirinya dengan wajah khawatir. "Rana … " Selena menarik tangan Rania untuk mengikutinya duduk di ayunan kayu rumah ini. Dia begitu penasaran dengan luka lebam itu, jika bukan KDRT apa yang Abrisam lakukan semalam? "Itu tangan kamu bukan karena disiksa Abrisam kan." ucapnya. Rania menggeleng, kan tadi dia sudah bilang kalau Abrisam tidak menyiksa dirinya. Tidak melakukan KDRT atau melakukan penyiksaan lainnya. Hanya saja pria itu mencengkeram tangan Rania ter
“Kemarin Mami denger Rana teriak.” kata Selena.Kali ini mereka tengah berada di ruang makan dan sedang menikmati sarapan paginya. Hanya saja Rania dan juga Abrisam sampai detik ini belum juga keluar kamar, jangankan keluar kamar mungkin mereka juga lupa kalau jam setengah tujuh atau jam tujuh pagi keluarga bapak Alfa aska harus sudah sarapan semuanya, tapi mereka … “Terik kenapa Bu? Abrisam KDRT apa sama Rana?” tanya Bagas dengan wajah bingungnya.Kalau masalah itu Selena juga tidak tahu, masalahnya semalam Selena juga tidak sengaja lewat kamar Abrisam yang jarak kamarnya saja jauh banget dari kamar Abrisam. Hanya karena hubungan mereka renggang, Selena hanya memastikan kalau mereka tidak mengatakan kata pisah, Selena hanya tidak ingin mencari menantu kembali kalau mereka pisah. Sungguh yang menerima keadaan Abrisam itu loh susah. “Jangan punya pikiran negatif dulu, mungkin saja teriak yang lain.” ucap Alfa. Selena dan juga Alfa menoleh cepat, dia pun menata Alfa yang seolah tanp
Akhirnya, mereka pun sampai di salah satu lantai ibukota. Gaby yang sibuk bermain air dengan teman Leon begitu juga dengan Leon. Sedangkan Rania lebih memilih berjalan di dermaga pantai ini dengan pelan. Tangannya menyentuh pinggiran kayu yang kokoh, dan menikmati tiupan angin kencang laut. Jika saja hal ini tidak terjadi, mungkin kali ini Rania sudah membawa Abrisam ke lantai untuk liburan semata. Duduk di paling ujung dermaga, dengan menggantung kakinya di atas air laut. Rania terkejut dengan seseorang yang entah sejak kapan mengikutinya dan sekarang duduk di samping wanita itu. Siapa lagi jika bilang Leon. Pria itu tersenyum manis di samping Rania dengan lesung pipinya. "Kenapa disini? Kan katanya tadi lagi main air sama Gaby." kata Rania akhirnya. "Capek. Pengen duduk saja disini, siapa tau ada yang pengen kamu ungkapin sama aku." Rania tertawa, dia ingin ingin mengungkapkan apa pun pada Leon. Lagian ini hanya masalah rumah tangga, dan itu semua urusan Rania dan juga Abrisam.
Rania mendesah, dia sudah duduk selama lima belas menit di angkringan ini hanya menunggu Gaby. sayangnya wanita itu tak kunjung datang juga, pada gak dia bilang sebentar lagi akan sampai hingga saat ini Rania tak melihat Gaby datang. Dalam waktu lima menit, jika Gaby tidak datang jangan salahkan Rania jika dia akan pergi dari tempat ini. Menikmati minumannya yang tinggal setengah, sesekali Rania menatap jam tangannya yang terus berputar. Belum lagi cuaca mendadak mendung, dia hanya cemas ketika dirinya pulang waktu turun hujan. Meskipun naik mobil tapi kan tetap saja Rania tidak ingin hujan-hujan. Mendesah kecewa sudah nyaris sepuluh menit, akhirnya Rania memutuskan untuk pergi. Baru saja bangkit dari duduknya Rania melihat Leon yang baru saja turun dari milik dan berjabat tangan ala-ala anak remaja sambil mengumpat. Untuk apa Leon ada di tempat ini? Apa mungkin dia mengikuti Rania sampai sini? Kembali duduk sambil memainkan ponselnya, Rania kembali terkejut dengan teriakan yang cu
Tidak pergi ke kantor, Abrisam memilih menghabiskan waktu di salah satu rumah yang pernah dibeli beberapa tahun yang lalu. Rumah hanya dimana ketika Abrisam suntuk, bosan, atau memikirkan banyak hal, atau mungkin ingin sendiri dia selalu datang ke rumah ini untuk menenangkan diri dari dunia yang membuat dirinya pusing. Ini sudah masuk hari ke tujuh, Rania dan Abrisam berdiam diri. Tidak ada yang membuka ucapan atau obrolan seperti dulu. Dimana Abrisam pulang dari kantor, Rania yang selalu menyiapkan semuanya. Ada sapaan, ada yang membawakan tas, melepas jas Abrisam, menuntun dirinya ke kamar mandi untuk membersihkan diri, menyiapkan semua kebutuhan Abrisam, ditambah lagi omelan, dumelan dan juga cerewet Rania tak lagi dia dengar dalam seminggu ini. "Rindu." lirih Abrisam. Bagas yang mendengar hal itu langsung tersenyum. "Udah cinta ya? Atau suka? cuma nggak mau mengakui?" "Bukan. Cuma kangen aja, seminggu gak di bawelin. Aneh rasanya." Tertawa terbahak, Bagas pun menepuk bah
Setelah kejadian itu, hubungan Abrisam dan juga Selena merenggang. Abrisam yang entah kenapa memilih diam dan bungkam atas ungkapan cinta Rania. Begitu juga dengan Rania, yang menganggap dirinya tidak tahu malu karena mengatakan hal itu. Harusnya dia sabar sedikit saja, menahan diri untuk tidak mengatakan hal yang menjijikkan seperti itu. Sudah tau, pria itu belum juga selesai dengan masa lalunya, sedangkan Rania menuntut untuk dicintai. Bukannya itu konyol? Menyibukkan memasak di dapur, tanpa sadar Rania malah memotong jarinya sendiri. Wanita itu berteriak kecil, hingga membuat Mbok Atun yang ada di sampingnya menoleh kaget, melihat tangan Rania yang sudah mengeluarkan darah segar di atas temenan. "Ya Tuhan … Nona Rana!!" pekik Mbok Atun. Selena yang mendengar hal itu langsung berlari ke dapur dan melihat ada hal apa di dapur. Ternyata, tangan Rania yang terpotong ketika memotong sayur. Mungkin dia melamun sehingga tangannya yang harus dipotong. "Oh Tuhan … Rana ini kenapa
Rania sampai di rumah dengan basah kuyup, dia hanya melihat Selena di rumah ini. Tidak dengan Bagas dan juga Abrisam yang entah kemana. "Ya Tuhan Rana … ayo cepat mandi, ganti bajumu nanti kamu bisa sakit." ucap Selena. Wanita itu menuntun Rania untuk masuk ke dalam rumah. Dia juga meminta mbok Atun untung menyiapkan air hangat untuk Selena mandi. Jangan sampai Rania sakit hanya karena air hujan. "Kamu dari mana sih, udah tau mau hujan kenapa gak pulang? Kenapa gak telpon Bagas aja buat jemput kami, seenggaknya kamu gak basah kuyup begini." omel Selena. Dirinya cukup berantakan, tapi sebisa mungkin Rania mencoba untuk tenang. Dia hanya pergi jalan-jalan sebentar, Rania lupa membawa ponsel dan juga uang. Karena dia pergi setelah berpamitan pada Selena. Dia berjalan terus kemana kaki mungilnya melangkah, taunya di tengah jalan malah turun hujan. Dia mencoba untuk pulang tapi yang ada Rania malah basah kuyup, akhirnya dia hujan-hujan saja sampai rumah. Selena menggelengkan kepalanya
Berkali-kali Rania menghela nafasnya yang mendadak berat, wanita itu saat ini tengah beradaptasi di taman kota hanya untuk memikirkan banyak hal. Tak seharusnya Rania melibatkan perasaannya lebih dalam lagi, sedangkan dari awal Rania tahu jika pria itu tidak mencintainya. Dia hanya masih berusaha menerima kehadiran Rania bukan berusaha untuk mencintai Rania. Harusnya Rania sadar akan hal itu. Mau seberapa keras dia berusaha, jika Abrisam tidak ingin mencintai Rania tentu saja rasa itu akan menjadi percuma. Yang terlalu cinta itu Rania bukan Abrisam. Belum lagi wanita yang pernah mengandung bayi Abrisam. Jujur saja Rania iri dengan semua ini, dia iri di posisi wanita itu. Bahkan wanita itu sampai berpikir jika selama ini dirinya hanya tempat singgah. Ingat pertemuan mereka di taman ini bersama dengan Abrisam, di situlah jantung Rania sudah mulai tidak baik. Rania mencoba seasyik mungkin ketika bersama dengan Abrisam. setidaknya dia mampu membahagiakan pria itu dengan hal kecil. Menga
"Ya, aku tau kalau itu Mas. Bedanya kamu melakukan itu dengan dia atas dasar cinta. Sedangkan denganku, atas keinginan ibumu yang ingin punya cucu cepat." "Demi Tuhan Rana aku menyentuhmu bukan karena itu. Bahkan kalau Mami nggak minta cucu pun aku juga akan menyentuhmu. Kamu istriku, dan aku berhak meminta hakku sebagai suami sama kamu!!" "Aku tau Mas, kita terpaksa bersama juga karena perjodohan. Aku pikir selama kita bersama, aku susah mengetahui semua tentang dirimu. Taunya aku salah, aku hanya mengetahui sebatas nama tanpa kisahmu." Abrisam mengacak rambutnya, dia pun menahan tangan Rania agar tidak pergi dari sampingnya. "Ran itu hanya masa lalu, aku salah aku tidak memberitahumu apapun tentang aku. Tapi bukan berarti kamu harus menghukumku dengan cara begini kan? Aku nggak suka, aku gak bisa, dan aku nggak tahan!!" Tidak perlu khawatir akan hal itu, lagian Rania tidak akan marah pada Abrisam. Dia hanya memaklumi dan menghargai privasi Abrisam selama ini. Bahkan Rania malah