Rania mengerang nikmat, ketika sesuatu yang hangat membasahi rahimnya. Wanita itu bahkan sampai mencakar bahu Abrisam hingga terluka. Tangan mungil Rania menyentuh luka itu dan membuat Abrisam meringis.Ya, akhirnya setelah mandi untuk mengusir rasa gugupnya, tapi yang ada Abrisam malah lebih dulu menyerang Rania dan tak memberikan wanita itu ampun. Dia ingin membuktikan jika dirinya tidak ada kekurangan apapun. Dia masih memiliki kesempatan untuk memiliki anak. Hanya saja memang belum waktunya saja. Benar kata Rania tapi jika salah, atau tidak bisa diprediksi, sudah dipastikan Abrisam akan menyarankan Rania untuk bayi tabung. "Sakit Mas?" tanya Rania tiba-tiba. Abrisam mengangguk, dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Rania. Hingga wanita itu mampu memeluk tubuh Abrisam tak memakai apapun di atasnya."Maaf." hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Rania. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan, selain memeluk tubuh Abrisam yang polos. Pria itu hanya mengangguk kecil, sa
Rania datang ke rumah Grace dengan gugup, dia harus merubah penampilan nya hanya karena ingin bertemu dengan ibunya. Jantungnya berdetak kencang dan dia takut jika Grace mengetahui jika dirinya Rania bukan Rana. Membuka pintu rumah ini dengan kasar, wanita itu langsung menunjukkan wajah sombongnya. Ingat kata Rana, jika dirinya memiliki wajah yang judes dan sombong, tidak pernah tersenyum dan terkenal arogan. "Mama … " panggil Rania. Grace tersenyum, dia pun menuju majalahnya dengan cepat dan menyambut kedatangan Rania dengan senang. Wanita itu bangkit dari duduknya dan memeluk Rania dengan erat."Akhirnya kamu datang." kata Grace, dan Rania pun hanya mengangguk. "Duduk dulu ya, Mama pengen ngomong sama kamu." lanjutnya. Duduk manis disamping Grace, Rania lebih memilih menatap sekeliling rumah ini dan memastikan jika ayah tirinya yang gila itu tidak ada di rumah. Dan nyatanya memang benar, rumah ini kosong hanya ada ibunya dan juga para pembantu. Rania kembali menatap Grace dengan
"Selamat malam, apa Ranaw ada di sini?" tanya Bagas. Ya, setelah tahu Tania tidak ada dirumah. Apalagi Kara yang memutuskan untuk tinggal satu malam di rumah Selena, Bagas pun meminta mbok Atun untuk menjelaskan kepergian Rania. Untung saja Mbok Atun tahu, jika Rania akan bertemu dengan ibu dan ayahnya. Awalnya Bagas berpikir jika Rania masih ada dirumah ibunya. Tapi yang ada Abrisam malah meminta Bagas untuk mengantar dirinya pergi ke rumah ayah kandung Rania, karena Abrisam berpikir jika Rania pasti ada disana. "Abri … masuk dulu, Rania baru saja pergi mandi." Abrisam mengangguk, begitu juga dengan Bagas yang langsung menuntun Abrisam untuk masuk ke rumah ini. Pria itu belum hafal jalan rumah ini agar tidak nabrak. "Bos kita–" "Kamu bisa pulang, Gas." usir Abrisam. Mata Bagas mendelik sempurna mendengar ucapan Abrisam barusan. Bahkan dia juga meminta Abrisam untuk mengulanginya kembali. Jika pria itu baru saja mengusirnya Tentu saja dengan kan yang Abrisam meminta Bagas untu
Rania nampak gelisah tidur di samping Abrisam. Dia memikirkan banyak cara untuk menghadapi tetangganya besok. Sudah dipastikan jika.besok akan menjadi berita terheboh di sepanjang jalan rumah Rania. Bergerak kesana kemari, dengan pelan, agar tempat tidur ini tidak berbunyi, Rania pun terkejut melihat Abrisam.yang bergerak cepat dengan mata terpejam menghadapi dirinya. Wanita itu tersenyum simpul, merubah posisi duduknya juga menghadapi Abrisam. Tangannya terangkat menyentuh pipi pria itu dan mengusapnya dengan lembut. Kegelisahan itu pergi, digantikan dengan ketakutan yang luar biasa. Mungkin besok dia masih bisa mencari alasan untuk menghadapi tetangganya yang suka bergosip. Lalu bagaimana nantinya Rania menghadapi dunia, ketika Abrisam tahu siapa dirinya dan memilih pergi? Menarik nafasnya dalam, air mata Rania tiba-tiba saja turun dengan perlahan. Perasaan ini tak seharusnya sama, dan tak seharusnya Rania merasakan hal yang mengerikan ini. Dan tak seharusnya juga Rania menaruh h
Keesokan lagunya, Adhitama gelisah ketika membuka pintu rumahnya. Ini sudah jam sembilan pagi dan tidak ada tanda-tanda pintu kamar Rania terbuka. Sebenarnya Adhitama curiga dengan apa yang mereka lakukan, semalam Adhitama juga tidak mendengar suara apapun dari kamar Rania. Meskipun Adhitama sampai menempelkan telinganya di dinding samping kamar Rania. Adhitama membuka pintu rumah ini dan terkejut melihat sebuah mobil hitam terparkir indah di depan rumahnya. Belum lagi para tetangga yang sudah ada yang bergerombol di samping mobil itu dengan berbisik. Pria itu keluar dengan tarikan nafas yang dalam. Hal ini pasti akan terjadi, dan jika Adhitama tidak angkat bicara akan ada banyak opini dari mereka tentang Rania dan juga Abrisam. Mendekati mobil itu dan mengetuk kaca mobilnya, Adhitama pun menyapa satu persatu tetangga yang melewatinya. Hingga tak lama kaca mobil ini pun turun dengan perlahan, menunjukkan wajah bantal Bagas. "Nak Bagas semalaman tidur di mobil?" tanya Adhitama pela
Akhirnya mereka pun memutuskan untuk mengingat semalam lagi di rumah Adhitama. Rania pergi ke pasar setelah berdebat dengan Abrisam hanya karena baju. Bagas yang selalu mengolok Abrisam karena tidur tanpa menggunakan baju. Sedangkan pria itu sudah menjelaskan jika kamar Rania itu panas, tidak ada pendingin ruangan maupun kipas angin. Itu sebabnya Abrisam tidur tanpa mengenakan baju apapun. Lagian, Abrisam juga tidak mungkin tega semalaman Rania tidak tidur hanya karena menjadikan buku sebagai kipas. Itu sebabnya Abrisam memilih tidur tanpa menggunakan baju. Tapi yang ada dipikiran Bagas itu bega cerita. Kata Adhitama, tempat tidur Rania itu sedikit menimbulkan bunyi jika bergerak. Jadi secara tidak langsung mereka bisa melakukan hal begitu di lantai, atau posisi berdiri di pojokan. Bisa jadi kan panas menjadi alasan Abrisam sebagai tutup, jika mereka juga sempat melakukan hal itu juga kan? "Bisa nggak punya pikiran bagusan dikit! Nama doang yang Bagus pikiran nggak!" dengus Abrisam
Malam hari, Rania mengajak Adhitama untuk bersama malam bersama di salah satu makanan lesehan yang tak jauh dari rumahnya. Memesan empat ayam dan juga empat gelas minuman manis, akhirnya Rania memutuskan untuk menyuapi Abrisam lebih dulu. Bukannya apa, Rania juga tidak tega jika harus membiarkan Abrisam makan sendiri dengan keadaan yang makannya saja harus menggunakan tangan. Takut salah makan dan salah ambil, belum lagi Abrisam juga tidak suka kol sab juga dedaunan. "Mas Abri lagi diet ya?" tanya Rania tanpa sadar.Beberapa hari ini dia memang melihat Abrisam ada sedikit aneh. Tubuh pria itu semakin hari semakin kurus, atau mingguan efek melihat Abrisam tidur tanpa menggunakan baju, makanya Rania bilang jika tubuh Abrisam sedikit kurusan. "Nggak. Kenapa?" tanya Abrisam heran. "Tubuh Mas kok kurusan sih. Atau aku yang–" menyadari arah ucapannya Rania pun menghentikan ucapannya. Ingat kata Abrisam, Bagas itu memiliki pikiran kotor yang luar biasa. Apa yang Rania katakan selalu saja
Rania menelan salivanya dengan kasar, di depannya ada Grace dan juga David yang berada di tempat yang sama. Jantung Rania berdebar lebih kencang dari biasanya, dadanya sesak hingga Rania kesulitan untuk bernafas. Tangan wanita itu menggenggam erat telapak tangan Abrisam. Belum lagi disisi lainnya ada Leon yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Sungguh, kondisi seperti apa kali ini!! "Mama … " lirih Rania. Grace mendekat, dia pun menatap Adhitama dengan tatapan tidak suka. "Ini kenapa Ayahmu ada disini!!" katanya dengan nada sombing. Rania berdehem. "Pengen ngajakin Ayah keliling mall aja, Ma." Jawaban Rania yang terkesan asing, membuat Abrisam mengerutkan keningnya. Tidak biasanya wanita itu berkata seperti itu di depan banyak orang. Bahkan suara Rania juga berubah tidak selembut biasanya. Grace yang menyadari ada Abrisam dan yang lain pun tersenyum. Sikap Grace itu berubah drastis ketika melihat Bagas yang terus menatapnya.
Guling ke sana guling kemari, akhirnya Rania pun merasa bosan. Dia bangun dari rebahannya dan memutuskan untuk keluar kamar. Ternyata diluar sana sedang hujan deras tambah ada nagin. Sedangkan rania yang kameranya di depan harusnya tau dong kalau tengah hujan? tapi sayangnya telinga wanita itu dengan cantiknya tertutup earpods, hingga suara air jatuh di samping kamarnya tidak tau, belum lagi gorden kamar nya juga tertutup begitu juga jendela kacanya. Sehingga angin dingin tak mampu dia rasakan. Adhitama yang melihat putrinya keluar kamar pun menatap Rania dengan heran. Dia meminta Rania untuk duduk di sampingnya, dimana Adhitama telah menyiapkan makanan untuk putri kesayangannya. Ya, setelah berbicara dengan Abrisam jika dia akan pergi gym, Rania tak sungguh-sungguh pergi nge gym. Dia hanya pergi ke rumah Adhitama dan numpang tidur. Terus, ketika Rania bilang jika dia berangkat dengan Leon itu juga berbohong, karena nyatanya Rania malah lebih memilih naik taksi online saja. Dan kali
"Nona Rana mau kemana?" tanya Bagas yang minat Rania turun dari tangga. Rania yang menenteng tas besar pun menghampiri Bagas sambil mengundurkan rambutnya. "Mau nge gym." Alis Bagas mengkerut, dia lihat Antosan yang hanya diam saja sambil menikmati kopi susu buatan mbok Atun. Semenjak hal itu, dimana Abrisam yang marah karena Rania lebih perhatian dengan Leon. Mengantarkan pria itu ke rumah sakit, sampai membantu Leon minum obat pula. Siapa juga yang tidak kesal dengan sikap itu. Baik sih boleh tapi ya dilihat dong baiknya sama siapa dulu, masa iya sama semua orang juga!! "Kok tumben banget, biasanya diajak jalan pagi sama Tuan Abri nggak mau." "Kenapa? Nggak boleh lagi!!" sentak Rania. Bagas menggeleng, bukan tidak boleh. Hanya saja kan masalahnya Rania itu malas olahraga. Mendadak pengen nge gym kan aneh, tau kan dunia gym itu kayak apa? Sudah dipastikan Rania juga tidak memiliki member untuk masuk. "Biarkan saja Gas. Kalau perlu kamu antara dia." kata Abrisam tenang. Rania s
Mata Leon mendelik sempurna ketika Rania beradaptasi di hadapannya, wanita itu juga meminta sopir taksi online untuk berhenti sejenak. Selain tidak ingin terjadi insiden yang tak dii ginian Rania, wanita itu juga tidak ingin menyiksa Leon dengan lama. Ya, Rania menjejalkan obat itu untuk masuk ke dalam mulut Leon dengan paksa. Jika tidak begini, Rania yakin Leon tidak akan sembuh tanpa minum obat. Rontaan Leon yang lebih kuat dari nya tak membuat Rania menyerah. Dia sama sulitnya seperti Abrisam. Jika minum vitamin dia akan cepat, tapi jika obat … sudah dipastikan Rania harus turun tangan agar obat itu bisa masuk ke dalam mulut Abrisam.Leon sempat kaget dengan sikap Rania yang bar-bar dan berani melakukan itu pada Leon. Padahal jika dilihat doa sangat kalem dan tidak banyak tingkah. Tapi kali ini sungguh, Leon terkejut dengan sikap Rania yang tadi. Obat itu masuk dengan sempurna di mulut Leon. Bahkan ketika Leon memeluk pinggang wanita itu dan meremas nya, dia sama sekali tidak mer
Kembali menebus obat, Rania sudah melihat Leon yang duduk dengan wajah cemberut nya. Wanita itu mendekat, sambil membawa satu kantong plastik berwarna putih gelap dan dia berikan pada Leon. "Ayo sini ponselku." tagih Rania. Leon memberikan ponsel itu dengan cepat. "Maaf." hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Leon. Sungguh, dia sendiri juga tidak tahu kata maaf itu untuk apa. Yang jelas, jika tadi dia tidak mengambil ponsel Rania, mungkin hal ini tidak akan terjadi dengan dirinya. "Gak papa." jawab Rania seadanya, sambil melihat ponselnya yang sepi layaknya kuburan. Abrisam tak menelponnya, begitu juga dengan Bagas yang tak menelponnya balik juga. "Kamu udah gak papa?" Rania menatap Leon dengan tatapan memohon, lebih tepatnya, memastikan jika pria itu baik-baik saja dan tidak ada luka dalam."Aku gak papa. Cuma ini pusing aja kepala aku." Tentu saja pusing, jangankan kebentur motor. Itu jidat kalau kebentur meja atau yang lain aja pusingnya minta ampun, apalagi ini. "Bisa p
Lagi, lagi Rania harus kembali berurusan dengan Leon. Entah datangnya dari mana pria itu mendadak muncul di hadapannya layaknya jelangkung. Dan pada akhirnya Rania pun tersenyum paksa sambil menikmati es coklat yang ada di tangannya. "Kita ketemu lagi." katanya dengan penuh percaya diri. "Kebetulan sekali, kamu lagi apa disini?" tanyanya. Ini tidak kebetulan, dimana ada Rania selalu saja ada Leon. Bahkan Rania sempat berpikir jika Leon sekali mengikuti kemanapun Rania pergi. Pergi belanja, pergi ke rumah ayah dan ibunya, atau mungkin pergi kemanapun Rania inginkan dan selalu ada Leon. Sebenarnya dia itu punya kesibukan lainnya tidak sih? Mungkin kalau satu atau dua kali Rania masih bisa memaklumi. Tapi kalau berkali-kali mana bisaaaaa!!! Yang ada Rania mendadak curiga dia menjadi penguntit Rania. Sebenarnya apa yang dia inginkan dari Rania. "Iya kebetulan nya berkali-kali ya." ini bukan sebuah jawaban, tapi sebuah sindiran agar Leon tahu jika apa yang dia lakukan itu salah.
Rania meremas kertas yang ada di tangannya, jantungnya kembali berdebar kencang ketika melihat Abrisam dan juga Bagas sedang dalam mode serius. Wanita itu akhirnya membalik badannya dan hendak pergi, mungkin bukan saatnya dia membicarakan hal ini. Tapi … "Nona Rana … " panggilan itu langsung membuat Rania memoleh, dia pun tersenyum ketika Bagas yang memanggilnya. "Mau ada penting dengan Tuan Abri?" ujarnya. Rania menggeleng. "Aku aku ada penting sama kamu." "Sama saya?" beo Bagas menunjuk dirinya sendiri. Abrisam berdehem, dia pun bangkit dari duduknya dan mengambil tongkat miliknya. "Kalau begitu aku pergi dulu." "Mas Abri jangan pergi!!" seru Rania mendadak. "Katanya mau ada penting sama Bagas?" Bukan berarti Abrisam harus pergi kan? Dia hanya meminta bantuan Bagas untuk mengambilkan surat motor milik Gaby. Siang tadi ketika dia mengantar Gaby belanja ada beberapa polisi yang menghentikan banyak pengendara roda dua. Rania pikir apa, taunya malah mereka memberi surat cinta pad
Gaby melihat kertas cinta ini dengan pasrah, duit mana lagi nanti untuk mengambil STNK nya. Sedangkan hari ini dia sudah merilis apa saja yang akan dibeli di pusat belanja ini. Tapi yang ada … "Nanti biar aku aja uang ambil. Kan aku yang salah bukan kamu." kata Rania. "Tapi Ran masalahnya itu kan motor aku." Masalah motor siapa itu gak penting. Rania mengambil surat cinta itu dan menyimpannya. Dia akan meminta Bagas untuk mengambil surat ini nanti atau besok, agar bisa diantar ke rumah Gaby dengan cepat. Sekarang yang harus mereka lakukan hanya satu, masuk ke pusat belanja ini dan membeli apapun yang Gaby inginkan. Gaby masih menunjukan wajah cemberut nya, tapi disini Rania mencoba untuk menghibur nya dan mengatakan jika semuanya baik-baik saja. Gaby tidak perlu khawatir atau apapun itu, semuanya akan teratasi dengan benar. Abrisam juga tidak akan marah, siapa tahu saja setelah ini Abrisam mau mengeluarkan surat mengemudi untuk Rania. "Yaudah kalau begitu. Ayo kita belanja." Ber
Mumpung lagi libur kerja, Gaby meminta Ranka untuk menemaninya belanja. Tentu dengan izin Abrisam, wanita itu sudah menunggu Gaby di depan rumahnya sambil membawa helm. Tersenyum sumringah ketika melihat Gaby dari kejauhan yang terlihat mencolok, Rania pun langsung melambaikan tangannya ke arah Gaby. "Akhirnya sampai juga." keluh Gaby yang terlihat lelah di hadapan Rania. "Mau masuk dulu, Gab? Minum atau apa gitu." tawar Rania. Gaby menggeleng. "Gak deh, nanti kita bisa beli teh cup disana." Rania terkekeh, dia pun langsung duduk di boncengan Gaby dan memakai helmnya dengan benar. Tapi yang ada Gaby malah meminta Rania untuk turun. "Kenapa Gab?" "Bonceng Rania." "Oalah, bilang dong kirain ada apa." Tertawa kecil, Gaby pun menggeser duduknya ke belakang. Hingga Rania duduk di depan dan mulai menjalankan motornya dengan pelan. Untung saja pusat belanja yang ada diskonnya itu tidak jauh dari rumah Rania. Tapi lumayan jauh dari rumah Gaby, yang harus ngebut dulu baru sampai di rum
Pertarungan itu begitu panas dan cukup memakan waktu yang cukup lama. Tidak hanya satu atau dua kali, tapi berkali-kali hingga membuat kedua belah pihak merasa lelah dengan nafas yang nyaris putus. Mengabaikan teriakan banyak orang hanya untuk meminta mereka makan malam bersama. Kali ini, ketika mereka turun tak ada satupun lampu yang menyala, tidak ada satu orangpun yang keluar dari kamar mereka. Menutup kembali pintu kamarnya, Rania kembali mendekati Abrisam. "Mas sepi banget." kata Rania berbisik, seolah dia takut jika ada orang lain yang mendengar ucapannya. "Kamu udah turun ke bawah?" Rania menggeleng. "Nggak aku cuma ngintip dari pintu." Abrisam mendengus, harusnya Rania turun kebawah memastikan jika ada orang dibawah sana atau tidak. Atau mungkin … ada makanan malam yang mereka susakan untuk Rania dan juga Abrisam. Tapi nyatanya Rania malah hanya menyembuhkan kepalanya tanpa mau turun ke bawah dan melihat situasi rumah. Rania meringis, dia pun menggunakan baju yang tadi y