Sudah satu bulan aku menyandang setatus baru sebagai Nyonya Kaffi. Tapi hubunganku dan Mas Adit seakan tanpa setatus. Laki-laki itu selalu bicara seperlunya padaku. Itu pun mengenai Jovan. Hanya saat hari libur Adit ada di rumah. Selebihnya sering dihabiskan di kantor.
Pagi ini seperti biasa, sebelum Mas Adit bangun dan keluar dari ruang kerja, aku lebih dulu menyiapkan keperluannya, lalu ke kamar Jovan untuk mengecek keadaannya.
Hari ini aku ingin mencoba menyiapkan sarapan, karena Bi Inah sudah kembali ke kediaman Umi. Wanita itu sengaja dikirim ke rumah ini agar bisa membantu Nazwa saat dia hamil.
Aku memutuskan akan membuat Nasi goreng ala kadarnya. Jujur, ini pertama kalinya aku mencoba memasak sendiri. Selama ini aku hanya mebantu Bi Inah sebisaku. Jadi, apa yang harus kusiapkan lebih dulu, aku pun tak mengerti. Akhirnya aku memilih mengeluarkan semua yang ada di kulkas.
Dalam kebingungan, sebuah suara b
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"(Al-Ahzab:59)***************Aku mematut diri di depan cermin. Kutatap wajah yang kini telah berbalut hijab berwarna pech itu. Ada rasa berdebar saat aku mengenakannya. Wanita di depan sana lebih cantik dari yang biasa aku lihat. Lebih terasa terlindungi dan terasa aman. Tapi disatu sisi, aku belum merasa pantas, sementara akhlakku saja masih jauh dari kata sempurna.Tiba-tiba suara panggilan terdengar. Mas Adit menyuruhku untuk cepat turun."Kay, Cepat! Umi sudah lama menunggu!""Ya, sebentar!" jawabku tergesa.
Sabar memang tak ada batas.Tapi perlu diingat, bahwa manusia juga punya titik lelah dan titik jenuh. Dimana sabar tak bisa lagi mengambil alih.************Sore ini rumah terasa begitu sepi. Hanya ada aku dan Jovan, karena tadi pagi Yani ijin pulang ke Bogor, menengok ibunya yang sakit. Aku memilih di rumah saja untuk menjaga Jovan. Anakku sedang terlelap sekarang. Dia terlihat nyaman berada di dekapanku. Tidurnya bahkan tak terusik sama sekali.Dering phonsel terdengar beberapa saat kemudian, aku yang nyaris tertidur terpaksa bangkit walau enggan. Tertera nama Delilah di layar. Aku tersenyum lebar dan buru-buru mengangkatnya."Asalamualaikum, De.""Waalaikumsalam, Kayla! Bagaimane kabar? Kenapa kau tak balik-balik lagi ke sini?" Suara Delilah ter
Bersikaplah sebagai laki-laki sejati. Jaga apa yang sudah Allah amanahkan padamu, sebelum kamu menyesal saat dia pergi. Dan berusahalah menerimanya jadi bagian hidupmu. Jika dia tak sesempurna yang kamu mau, maka tugasmu adalah meluruskan. Bukan menghakimi. Perlu kamu ingat, Allah selalu punya alasan terbaik dari setiap takdir-Nya.**********Dua bulan sudah kami menikah. Tapi aku masih bertahan dengan sikap tak acuh. Bahkan aku jarang sekali berbicara pada Kayla, jika bukan karena masalah Jovan.Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku mengabaikannya hanya karena rasa bersalah. Tapi aku benar-benar tak bisa berada di dekat Kayla terlalu lama. Karena setiap kali melihat wajah itu, yang terbayang dalam ingatanku adalah tangisan Nazwa. Aku bahkan selalu menghabiskan watu di dalam ruang kerja hingga akhirnya tertidur di sana.
Rumah tangga yang kujalani terasa lebih indah setelah hari itu. Dan semuanya berjalan seperti seharusnya. Mas Adit berubah jadi lebih hangat. Dia bersikap sebagai suami yang baik, seperti janjinya.Rasanya tak ada yang lebih indah selain pemandangan ini setiap pagi. Aku melihat dua jagoanku tertidur dengan posisi yang sangat lucu. Jovan dengan kakinya yang menendang wajah Mas Adit. Dan Suamiku malah terlihat tak terganggu dengan tidur Jovan. Ah, bahagianya sudah bisa menyebut dia suami. Rasanya kata sakinah yang dulu aku impikan kini telah terwujud.Dan ngomong-ngoming soal Jovan, aku dan Mas Adit memutuskan Jovan tidur bersama kami. Kalian jangan berpikir macam-macam. Karena hubunganku dan Mas Adit belum sampai tahap 'itu'. Entahlah, baik aku atau dia masih sama-sama gamang dengan perasaan ini. Jadi biar kami jalani apa adanya dulu.Tiba-tiba Jovan menggerak-gerakan tubuhnya. Oh, bayiku sekarang sudah menginjak usia
Seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Hari ini aku dan Mas Adit akan berlibur ke tempat Ayah, di daerah Jawa Tengah.Setelah sekitar enam jam perjalanan, dikarenakan Mas Adit tak bersedia menggunakan pesawat, dengan alasan agar bisa menikmati waktu berdua. Akhirnya kami sampai di depan rumah Ayah. Kulihat Ayah dan dua adikku sudah menanti kedatangan kami."Asalamualsikum," sapa ku dan Mas Adit bersamaan. Lalu aku memeluk Ayah.Aku sungguh merindukan laki-laki yang membesarkan diriku sepenuh hati ini. Ku tatap Ayah yang terlihat lebih kurus. Tak terasa air mata menetes kala mengingat beberapa tahun terakhir aku tak mengurusnya."Maafkan Kayla, lama nggak jenguk Ayah.""Ck, kamu ini sudah menikah, masih saja cengeng. Ayah tahu kalian sibuk." Ayah memaklumi."Maafkan Adit juga, Yah, baru sempat datang," ujar Mas Adit sambil menyalami Ayah, dan mencium punggung tangannya.
jangan pernah berani mencintai orang lain atau membayangkannya, ketika kamu telah memiliki suami. Karena itu sama saja kamu berzina. ***********Waktu seakan berjalan dengan lambat. Ketika untuk kesekian kalinya aku dihadapkan pada takdir-Nya yang begitu rumit.Aku pikir, aku telah melupakan Dimas semenjak Mas Adit mulai berubah. Tapi nyatanya saat kami dipertemukan lagi, Ada banyak perasaan yang membuat aku tak mengerti dengan diri sendiri.Kulirik Mas Adit yang sedang serius mengendarai mobilnya. Dia tak bergeming sama sekali. Semenjak hari dimana Dimas datang kerumahku, sikap Mas Adit berubah. Laki-laki itu lebih banyak diam. Walau sesekali masih menggodaku.Aku teringat kejadian dua hari lalu. Yang menghancurkan acara liburan kami di rumah Ayah.Dimas berdiri dan menatapku dengan s
Setelah acara pertemuanku dan Dimas, aku memutuskan untuk bergegas pergi. Tapi suara pesan masuk membuatku terpaksa merogoh phonsel di dalam tas dengan susah payah. Pasalnya Jovan tertidur dalam gendongan.Geandra MichaellaKay, aku sudah sampai di Jakarta nih, kamu ke sini yah. Ke apartemenku saja. Aku tunggu! Awas kalau tidak datang.Aku tersenyum membaca chat Gea. Bergegas aku bangkit, setelah lebih dulu menyuruh pak Amin, sopir pribadi ku. Untuk membawakan barang-barang belanjaan.Mobil melaju menembus kemacetan jalan untuk menuju ke kawasan elit Mega Kuningan.Aku memasuki apartemen mewah berlantai Empat puluh. Lebih dulu aku melapor pada loby. Sistem keamanan di apartemen ini sangat ketat. Untuk bertamu pun tak bisa sembarang orang."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya seorang scurity."Ah, saya ingin bertemu Ibu
Kamu adalah bagian dari kesabaranku. Yang ingin kusegerakan dalam setiap kesemogaan.*******Aku memasuki kediamanku dengan rasa lelah yang mendera. Selain lelah hati aku juga lelah pikiran. Kenapa pemikiran laki-laki itu susah sekali ditebak. Dia pikir aku ini punya hati sekuat apa? Benar-benar keterlaluan. Terserah dia ingin mendiamkan aku sampai kapan. Aku tak peduli.Setelah menyerahkan Jovan pada Yani, aku memutuskan menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Kutarik napas panjang. Rasanya tak ada yang lebih menyenangkan dari ini. Lama-lama mata terasa semakin berat, hingga kesadaran benar-benar membawaku ke alam mimpi.Bias cahaya putih terasa menyilaukan mata. Aku merasa seperti dibawa menembus dimensi lain. Tiba-tiba aku telah berada disebuah tempat dengan hamparan danau di, dan rumput hijau yang membentang, dengan pohon-pohon pi
Dimas memacu mobilnya menuju perumahan elit daerah Kemayoran. Di sampingnya Adiba duduk dengan tenang tanpa terusik sama sekali. Setelah acara makan siang mereka terganggu dengan kehadiran Aqifa, Dimas mengantar Adiba pulang ke rumah tantenya. "Apa Aqifa itu kekasihmu?" Adiba penasaran dengan hubungan dua polisi itu. Pasalnya semenjak awal Adiba datang ke kantor Dimas, Aqifa selalu memasang wajah judes di depannya. Belum lagi tatapan mata wanita itu pada Dimas yang terlihat jelas menyimpan rasa. Hanya orang bodoh yang tak bisa menyadari itu. Hal itu diperkuat dengan kejadian tadi saat mereka makan. Aqifa bahkan bersikap seolah ia tahu segalanya soal Dimas. Seakan secara tak langsung ingin memberi tahu Adiba jika ia lebih mengenal laki-laki itu. Sebagai sesama wanita, Adiba jelas tahu gelagat seperti itu. Aqifa tengah merasa terancam dengan kehadirannya.“Dari diamnya kamu, aku sudah tahu jawabannya. Dia benar kekasihmu, kan? Sepertinya dia tahu banyak mengenai kamu. Yang Pak Arsen be
Dimas terbangun dari tidur karena merasa ada seseorang yang membelai lembut rambutnya. Ia mengerjapkan mata berusaha melihat siapa gerangan yang mengusik tidurnya tengah malam. Betapa kaget ia mendapati Halimah, almarhumah ibu, sedang tersenyum menatapnya. Pakaian serba putih yang dikenakan wanita itu membuatnya terlihat lebih cantik.Halimah menyentuh bahu putranya. "Ayo, ikut Ibu,” ucap Halimah lembut.Senyum ibunya menenangkan Dimas. Senyum itulah yang dulu selalu menguatkan Dimas saat ia terpuruk dan menemani masa kecilnya. Senyum yang paling Dimas rindukan. "Ke mana, Bu?" Dimas penasaran. "Ibu ingin mengenalkan kamu pada calon istrimu."Jawaban Halimah mengagetkan Dimas. Meski begitu ia tetap mengikuti ibunya. Laki-laki itu merasa dibawa menembus dimensi lain dan tiba-tiba telah berada di sebuah taman yang sangat indah dengan bung-bunga bermekaran sejauh matanya memandang. Seorang wanita mengenakan gaun putih yang menjuntai hingga mata kaki, dengan kerudung besar yang menutupi
Suara tangis kesedihan terdengar memenuhi lorong rumah sakit. Seorang wanita paruh baya menangis di depan jenazah anak perempuannya yang terbujur kaku dengan kondisi mengenaskan karena sudah tak bisa dikenali. Para dokter forensik yang mengelilingi hanya bisa tertunduk, ikut merasakan duka wanita itu. “Aling, bangun! Jangan tinggalkan Mama! Bangun!" May menangis histeris."Sudah, Tante. Ikhlaskan Aling pergi," bujuk Adiba berusaha menguatkan tantenya agar wanita itu tenang."Tante nggak akan pernah tenang sebelum laki-laki brengsek itu mendapat hukuman setimpal!" teriak May lagi. Adiba menarik tantenya ke pelukan. "Ya, laki-laki itu pasti akan mendapat ganjarannya. Tente tenanglah."May berurai air mata dalam dekapan keponakannya. Adiba menepuk-nepuk punggung wanita itu agar tak limbung. Hingga tiba-tiba sepasang suami istri datang dan menginterupsi tangisan mereka."Diba," panggil wanita paruh baya yang mengenakan baju syar'i, lalu berjalan dengan langkah lebar mendekati Adiba dan
Dimas tiba di kantor Bareskrim Mabes Polri. Beberapa anak buahnya sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. "Selamat pagi, Pak," sapa anak buahnya, Hendra, yang terlihat sedang sibuk menata beberapa dokumen. "Pagi." Dimas duduk di kursi kebesarannya. Ia meraih sebuah dokumen dan membukanya. “Akhir-akhir ini banyak sekali kasus pelecehan terhadap anak di bawah umur. Manusia sudah mirip binatang sekarang, miris," sambung Dimas dari ruangannya yang disekat dengan kaca transparan.Seorang wanita mengenakan hijab masuk menenteng plastik keresek hitam di tangannya. "Asalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab semua yang ada di sana serentak. "Eh, ada bidadari surga datang," celetuk Anjar yang duduk di sebelah Hendra.Wanita itu tersenyum, lalu berjalan menghampiri meja Dimas. "Saya membawa sarapan untuk Bapak," ujarnya seraya meletakkan bungkusan yang ia bawa di sebelah papan nama bertuliskan AKP. DIMAS ARSENA."Terima kasih, Fa. Tapi maaf, kebetulan tadi saya sudah sarapan."Senyum w
Dua tahun kemudian ...Seorang laki-laki duduk termenung di atas sajadah. Matanya terpejam, sementara pipinya basah oleh air mata. Kedua tangannya menengadah ke atas sebagai wujud penghambaan diri. Ia sadar dirinya hanyalah makhluk-Nya yang lemah dan butuh Dia lebih dari apa pun.Saat seperti inilah yang selalu membuatnya merasa jauh lebih baik. Saat orang lain terlelap dalam mimpi, sementara ia akan bangun lalu menceritakan segala bentuk keluh kesahnya pada Dzat yang telah memberinya hidup hingga hari ini. Meski hidup yang ia jalani hanya dipenuhi rasa hampa, sebisa mungkin Dimas tak mengeluh. Kepasrahannya sedikit mengurangi rasa hampa yang membawa pada kesepian yang terasa menyesakkan dada.Sudah tiga tahun semenjak ibu kandungnya meninggal, Dimas hidup sendiri di rumah dua lantai itu. Rumah yang dibelinya untuk mendiang sang ibu sekaligus ia persiapkan untuk keluarga kecilnya nanti. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Sebab calon istrinya malah menikah dengan laki-laki lain.Dim
PROLOG (Spin Of JoL)Dimas tengah duduk di sebuah bangku taman rumah sakit. Laki-laki itu mengusap wajah gusar, lalu menengadahkan kepala ke atas langit, menatap bulan yang tampak bersinar terang. Malam ini langit begitu cerah, berbanding terbalik dengan hatinya. Tak sebaik yang terlihat, laki-laki bermata tajam itu mengembuskan napas berat. Sudah lima belas hari Kayla dirawat di rumah sakit setelah insiden penculikan. Dimas lega karena setelah semua berakhir, Kayla akan hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Lantas, bagaimana dengan dirinya? Apakah ia akan tetap seperti ini? Terus hidup dalam kesendirian dan kegelisahan?Saat pikiran laki-laki itu tengah gundah, seseorang menepuk lembut bahunya. Dimas mendengkus begitu tahu siapa gerangan yang mengganggu acara melamunnya.“Hey, Polisi Narsis! Sedang apa bengong di sini?” seru Adiba mengagetkan. “Ck! Kepo.”Jawaban singkat Dimas membuat Adiba mengerucutkan bibir. Namun, wanita yang tampak cantik dengan balutan long dress berwarna p
Sudah dua bulan semenjak Adit dan Kayla keluar dari rumah sakit setelah insiden penculikan itu. Hidup mereka menjadi lebih tenang. Berita terakhirnya, Danu dijatuhi hukuman mati atas kepemilikannya mengenai pabrik narkotika dan juga kasus-kasus yang menjeratnya. Kayla dan Adit bernapas lega untuk hal yang satu ini. Kayla menghela napas lelah untuk ke sekian kalinya, berkali-kali kepalanya melirik pintu depan berharap orang yang dia telepon segera datang menjemput. Merasa lelah, wanita itu memutuskan mengirim pesan pada orang yang ditunggu. Mas dimana? jadi menjemput Kay apa tidak? Beberapa saat menunggu, pesan yang dia kirim tak kujung dibalas, Kayla kembali mengembuskan napas lelah. Benar-benar tak mengerti dengan tingkah suaminya. Pasalnya sudah sebulan ini tingkah Adit mulai aneh, setiap kali ada janji dengannya pasti berakhir tak pernah tepat waktu atau bahkan batal. Kayla mulai curiga, di memutuskan untuk menghubungi nomor suaminya saja. Beberapa saat mencoba tetap tak diangga
Kayla mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menembus masuk ke dalam retina. Samar-samar dilihatnya langit-langit kamar berwarna putih dengan bau obat yang sangat menyengat. Kepalanya berdenyut, tubuhnya benar-benar terasa remuk seakan baru saja ditindih batu berton-ton beratnya.Wanita yang kini terlihat pucat itu, mengernyitkan dahi, merasa bingung dengan situasi ini. Pasalnya hal terakhir yang diingatnya adalah saat dia berada di sebuah Villa dengan Danu yang menyekapnya, lalu Adit datang untuk menolong. Hingga dia mendengar suara letusan senjata api. Kayla mulai diserang rasa takut saat mengingat Adit.Menyadari mungkin saja suaminya dalam keadaan tak baik, wanita itu mencoba bangun sambil memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut."Mas Adit," gumam Kayla dengan suara cukup keras, hingga membuat beberapa orang yang ada di kamar itu terlonjak kaget, dan langsung menghampirinya.
Beberapa jam sebelumnya. Danu menatap Kayla dengan wajah merah padam karena menahan amarah. Wanita di depannya benar-benar tak memiliki rasa takut sedikit pun dengan ancaman pria tua itu. Dia bahkan masih saja mengarahkan mata coklatnya dengan berani meski berkali-kali pria itu memukulnya."Jadi, kau benar-benar tak mau menyembah di kakiku dan meminta ampun?" tanya Danu untuk yang terakhir kali."Cih! Jangan mimpi! Aku tak sudi meminta ampun pada manusia bejat sepertimu! Memang kau ini siapa?! Setelah apa yang kau lakukan pada Nazwa, kau berhak untuk sebuah hukuman!""Dasar jalang sialan!" Danu berteriak marah sambil menampar Kayla kuat-kuat, hingga ujung bibir wanita itu berdarah. Kayla bukanya merasa takut, malah semakin menyunggingkan senyum meremehkan ke arah Danu."Dengar aku, Jalang!" Danu menarik rambut Kayla, tapi wanita itu masih tak bergeming, bahkan tetap setia