Berita yang baru saja dikabarkan Dimas membuatku tak bisa berpikir waras. Sialnya di jam-jam begini jalanan Jakarta akan mengalami macet. Aku mengumpat dan memukul setir mobil merasa benar-benar frustasi.
Aku hanya ingin cepat sampai ke rumah sakit dan melihat keadaan Kayla. Di tengah rasa frustasi, aku melihat seorang laki-laki memarkirkan motor ninja di depan restorant. Buru-buru kubelokkan mobil ke arahnya dan menghampiri laki-laki itu.
“Mas, boleh saya minta tolong." Melihat laki-laki di depanku terlihat bingung, aku memutuskan mengatur napas lebih dulu agar bisa menjelaskan maksud pertanyaan barusan.
“tolong ... pinjami saya motor. Saya harus cepat-cepat bertemu istri saya. Dia baru saja mengalami kecelakaan,”
“jika Mas merasa tak percaya. Ini kartu nama saya, ini mobil saya, akan saya jadikan jaminan. Asal Mas mau meminjamkan motor ini.”
Laki-la
Aku mencintaimu karena Allah. Sebab dari awal aku mau memutuskan menikah juga bukan karena harta. Tapi karena aku tulus ingin menggapai sakinah bersamamu************Setelah obrolan dengan Dimasselesai, aku memutuskan kembali ke ruangan Kayla. Saat aku masuk sudah ada Abi di sana. Sementara Kayla sudah terlihat lebih baik.“Abi di sini?”“Kamu kenapa pergi begitu saja tanpa memberi tahu Abi, kalau Kayla kecelakaan?”Abi berkata dengan nada kesal.“Maaf, Bi, Adit tadi terlalu panik. Mendengar kabar tentang Kayla, hingga tak memikirkan hal lain.”“Ya sudah, Abi dan Umi pulang dulu. Jovan biar umi yang jaga. Kamu jangan lupa kabari mertuamu tentang Kayla,” ujar Umi mengingatkan. Yang hanya kujawab dengan anggukan.“Terima kasih
Kupijat pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Masalah yang terjadi sekarang ini benar-benar telah menguras energi dan pikiran. Bagaimana tidak? Satu masalah belum selesai muncul lagi masalah baru. Aku bisa terima jika niat Om Danu hanya ingin menghancurkan perusahaan. Tapi masalahnya si keparat itu juga mulai mengancam nyawa Kayla.Aku tak akan pernah memaafkannya jika sampai dia melukai Kayla lebih dari ini. Mau tak mau aku benar-benar harus menyetujui usul Dimas tentang Kayla, demi keamanannya. Setelah obrolan kami tadi, laki-laki itu memutuskan lebih dulu bergegas menuju ke rumah sakit dan membawa barang-barang istriku.Sementara ada hal yang harus kukerjakan terlebih dulu di rumah. Om Jatmiko memberi tahu, ada beberapa kasus kecurangan yang terjadi di daerah pertambangan. Kepalaku benar-bear ingin pecah mendengar kabar itu. Aku teringat pembicaraan dengan Dimas setengah jam yang lalu."Aku pikir keadaan di sini memang s
Sudah dua hari semenjak aku di rawat. Rasanya sangat membosankan berada di sini dan hanya berbaring seperti orang penyakitan. Sementara keadaanku bahkan sehat wal afiat.Aku tak habis pikir dengan sikap Mas Adit yang semakin aneh setiap harinya. Belum lagi masalah Dimas yang tiba-tiba selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Terlebih setelah pembicaraan kami kemarin. Semakin menambah kecurigaanku mengenai hal yang sedang di sembunyikan Mas Adit. Ingatanku berputar pada kejadian kemarin."Mas ingin kamu tinggal di pesantren Ustaz Fredrik setelah keluar dari sini. Mas akan membicarakan ini dengan Adiba dan ayahnya besok." Aku terdiam dan menatap Mas Adit bingung. Apa maksudnya dia bicara seperti itu?"Pesantern Ustaz Fredrik? Berarti rumah Kak Adiba?" tanyaku memastikan. Barangkali yang dimaksud orang lain. Mas Adit hanya menjawab pertanyaan tadi dengan anggukan kecil. Sambil memainkan rambutku dan sesekali merapikannya.
Mobil yang ku naikin bersama Kak Adiba melaju meninggalkan rumah sakit. Aku terus melafalkan istighfar melihat betapa macetnya Jakarta siang ini. Tak ada celah untuk mobil bergerak sedikit saja, sementara waktu yang kumiliki tak banyak. Mengingat Mas Adit mungkin saja sedang kesusahan menangani para pendemo itu. "Astaghfirallah, ayo lah, Kak! Apa kita nggak bisa menyalip?" Seruku frustrasi. "Sabar, Kay. Kamu kan lihat mobil di depan nggak bergerak dari tadi," jawab Adiba sambil membunyikan klakson, "Kamu yang tenang. Sebentar lagi kita sampai kok," sambungnya, berusaha membuat aku tak panik. Aku menghembuskan napas lelah mendengar ucapan itu. Ini sudah dua jam semenjak kami pergi dari rumah sakit. Perjuanganku mengecoh Dimas dan para anak buahnya juga lumayan sulit. Kenapa mesti terjebak di sini juga. Aku teringat kejadian di rumah sakit tadi. Setelah Dimas Pergi, aku meminta bantuan
Setelah terjadi kegaduhan di kantor akibat kedatanganku, aku gegas menemui mereka di depan gerbang untuk melakukan wawancara dengan beberapa wartawan. Kami memutuskan mengadakan konfrensi pers hari ini juga guna meredam opini publik yang terlanjur keliru.Aku menarik napas dalam, mengamati beberapa orang di depan sana. Ada perwakilan dari keluarga korban, dan perwakilan dari masyarakat sekitar daerah pertambangan.Negosiasi dengan mereka berjalan alot, karena ada beberapa orang yang terus saja memprofokasi. Mas Adit duduk di sebelah kananku, sementara Abi di sebelah kiri. Ada Om Jatmiko, Dimas, pengacara keluarga, dan beberapa petinggi perusahaan, beserta wartawan yang sengaja kami izinkan masuk.Pertemuan di adakan di lounge atau gathering yang cukup luas. Dengan sebuah jendela besar terdapat di samping kiri. Mungkin jika ke adaanya tak seperti sekarang, aku akan berdecak kagum menikmati pemanda
Aku terbangun dari tidur saat jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Kami sampai di resort ini sekitar tengah malam. Karena terlebih dulu berjalan-jalan di Bali. Kulirik Kayla yang masih terlelap di sampingku dengan selimut yang membalut tubuhnya.Dia pasti sangat lelah hingga tidur sepulas itu. Aku memutuskan tak membangunkan dia. Setelah mengecup keningnya, aku beranjak ke kamar mandi dan mengambil wudu. SSetelahselesai salat malam dan salat subuh, aku keluar untuk menanti matahari terbit. Resort ini termasuk jaringan bisnis keluarga Kaffi.Denganlanskaptropis yang tenang di sekelilingnya. Sebenarnya penginapan ini lebih bisa disebutcamp, karena menawarkan pondok-pondok pantai dengan balkon pribadi yang menyuguhkan pemandangan laut. Berkonsepback to natur, dengan suasana pedesaan khas Lombok. Akomodasiini berjarak tiga kilo meter dari Tanjung Ringgit. Layanan antar-jemput bandara satu ara
Seorang pria paruh baya terlihat duduk di kursi kebesaran, sembari menyilangkan kaki dia menyunggingkan senyum sinis. Sementara tangan kanannya memegang cerutu, sesekali menghisapnya. Tatatapan dingin yang dia arahkan semakin membuat anak buah di depannya terlihat takut.Pria itu bangkit, menghampiri si anak buah, kemudian mengepulkan asap dari cerutu yang dihisap. Wajah tanpa ekspresi itu justru membuat laki-laki di depannya memasang sikap waspada.Dan benar saja, Dia melayangkan bogem mentah pada perut sang anak buah setelahnya. Belum puas sampai di sana, bahkan setelah melihat orang di depan tersungkur, dia kembali menendangnya, hingga terdengar suara rintih kesakitan."Dasar bodoh! Hanya kuperintah membereskan seorang saja kalian tak becus!" hardik pria itu."Ma-maafkan saya, Bos. Saya tidak tahu jika para polisi yang berjaga itu telah mengintai kami.""Apa gunanya kalian kubayar. Jika
Adit berjalan dengan gontai memasuki rumah. Laki-laki itu terlihat sangat berantakan, rambut acak-acakan, serta bulu-bulu halus di dagunya dibiarkan memanjang. Ditambah kantung matanya yang terlihat menghitam, menambah daftar jika dia sudah pantas disebut manusia gua.Jangan tanyakan tingkat kewarasannya, karena beruntung sekali laki-laki itu memiliki pertahanan diri yang kuat agar tetap terjaga. Meski selama empat hari ini dia kurang istirahat.Ya, sudah empat hari ini dia dan Dimas berusaha mencari keberadaan Kayla di seluruh penjuru Jakarta dan juga sekitarnya. Tapi hasilnya nihil, Kayla tak ditemukan.Adit mulai dihantui rasa takut. Dia memejamkan matanya mencoba menggapai bayangan Kayla yang terus menari-nari dalam benaknya. Lalu menyapu pandangan ke penjuru rumah. Tempat dulu dia dan Kayla selalu menghabiskan waktu, bahkan di wastafel tempatnya berdiri, semua terlihat bayangan Kayla.Adit mulai terta
Dimas memacu mobilnya menuju perumahan elit daerah Kemayoran. Di sampingnya Adiba duduk dengan tenang tanpa terusik sama sekali. Setelah acara makan siang mereka terganggu dengan kehadiran Aqifa, Dimas mengantar Adiba pulang ke rumah tantenya. "Apa Aqifa itu kekasihmu?" Adiba penasaran dengan hubungan dua polisi itu. Pasalnya semenjak awal Adiba datang ke kantor Dimas, Aqifa selalu memasang wajah judes di depannya. Belum lagi tatapan mata wanita itu pada Dimas yang terlihat jelas menyimpan rasa. Hanya orang bodoh yang tak bisa menyadari itu. Hal itu diperkuat dengan kejadian tadi saat mereka makan. Aqifa bahkan bersikap seolah ia tahu segalanya soal Dimas. Seakan secara tak langsung ingin memberi tahu Adiba jika ia lebih mengenal laki-laki itu. Sebagai sesama wanita, Adiba jelas tahu gelagat seperti itu. Aqifa tengah merasa terancam dengan kehadirannya.“Dari diamnya kamu, aku sudah tahu jawabannya. Dia benar kekasihmu, kan? Sepertinya dia tahu banyak mengenai kamu. Yang Pak Arsen be
Dimas terbangun dari tidur karena merasa ada seseorang yang membelai lembut rambutnya. Ia mengerjapkan mata berusaha melihat siapa gerangan yang mengusik tidurnya tengah malam. Betapa kaget ia mendapati Halimah, almarhumah ibu, sedang tersenyum menatapnya. Pakaian serba putih yang dikenakan wanita itu membuatnya terlihat lebih cantik.Halimah menyentuh bahu putranya. "Ayo, ikut Ibu,” ucap Halimah lembut.Senyum ibunya menenangkan Dimas. Senyum itulah yang dulu selalu menguatkan Dimas saat ia terpuruk dan menemani masa kecilnya. Senyum yang paling Dimas rindukan. "Ke mana, Bu?" Dimas penasaran. "Ibu ingin mengenalkan kamu pada calon istrimu."Jawaban Halimah mengagetkan Dimas. Meski begitu ia tetap mengikuti ibunya. Laki-laki itu merasa dibawa menembus dimensi lain dan tiba-tiba telah berada di sebuah taman yang sangat indah dengan bung-bunga bermekaran sejauh matanya memandang. Seorang wanita mengenakan gaun putih yang menjuntai hingga mata kaki, dengan kerudung besar yang menutupi
Suara tangis kesedihan terdengar memenuhi lorong rumah sakit. Seorang wanita paruh baya menangis di depan jenazah anak perempuannya yang terbujur kaku dengan kondisi mengenaskan karena sudah tak bisa dikenali. Para dokter forensik yang mengelilingi hanya bisa tertunduk, ikut merasakan duka wanita itu. “Aling, bangun! Jangan tinggalkan Mama! Bangun!" May menangis histeris."Sudah, Tante. Ikhlaskan Aling pergi," bujuk Adiba berusaha menguatkan tantenya agar wanita itu tenang."Tante nggak akan pernah tenang sebelum laki-laki brengsek itu mendapat hukuman setimpal!" teriak May lagi. Adiba menarik tantenya ke pelukan. "Ya, laki-laki itu pasti akan mendapat ganjarannya. Tente tenanglah."May berurai air mata dalam dekapan keponakannya. Adiba menepuk-nepuk punggung wanita itu agar tak limbung. Hingga tiba-tiba sepasang suami istri datang dan menginterupsi tangisan mereka."Diba," panggil wanita paruh baya yang mengenakan baju syar'i, lalu berjalan dengan langkah lebar mendekati Adiba dan
Dimas tiba di kantor Bareskrim Mabes Polri. Beberapa anak buahnya sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. "Selamat pagi, Pak," sapa anak buahnya, Hendra, yang terlihat sedang sibuk menata beberapa dokumen. "Pagi." Dimas duduk di kursi kebesarannya. Ia meraih sebuah dokumen dan membukanya. “Akhir-akhir ini banyak sekali kasus pelecehan terhadap anak di bawah umur. Manusia sudah mirip binatang sekarang, miris," sambung Dimas dari ruangannya yang disekat dengan kaca transparan.Seorang wanita mengenakan hijab masuk menenteng plastik keresek hitam di tangannya. "Asalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab semua yang ada di sana serentak. "Eh, ada bidadari surga datang," celetuk Anjar yang duduk di sebelah Hendra.Wanita itu tersenyum, lalu berjalan menghampiri meja Dimas. "Saya membawa sarapan untuk Bapak," ujarnya seraya meletakkan bungkusan yang ia bawa di sebelah papan nama bertuliskan AKP. DIMAS ARSENA."Terima kasih, Fa. Tapi maaf, kebetulan tadi saya sudah sarapan."Senyum w
Dua tahun kemudian ...Seorang laki-laki duduk termenung di atas sajadah. Matanya terpejam, sementara pipinya basah oleh air mata. Kedua tangannya menengadah ke atas sebagai wujud penghambaan diri. Ia sadar dirinya hanyalah makhluk-Nya yang lemah dan butuh Dia lebih dari apa pun.Saat seperti inilah yang selalu membuatnya merasa jauh lebih baik. Saat orang lain terlelap dalam mimpi, sementara ia akan bangun lalu menceritakan segala bentuk keluh kesahnya pada Dzat yang telah memberinya hidup hingga hari ini. Meski hidup yang ia jalani hanya dipenuhi rasa hampa, sebisa mungkin Dimas tak mengeluh. Kepasrahannya sedikit mengurangi rasa hampa yang membawa pada kesepian yang terasa menyesakkan dada.Sudah tiga tahun semenjak ibu kandungnya meninggal, Dimas hidup sendiri di rumah dua lantai itu. Rumah yang dibelinya untuk mendiang sang ibu sekaligus ia persiapkan untuk keluarga kecilnya nanti. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Sebab calon istrinya malah menikah dengan laki-laki lain.Dim
PROLOG (Spin Of JoL)Dimas tengah duduk di sebuah bangku taman rumah sakit. Laki-laki itu mengusap wajah gusar, lalu menengadahkan kepala ke atas langit, menatap bulan yang tampak bersinar terang. Malam ini langit begitu cerah, berbanding terbalik dengan hatinya. Tak sebaik yang terlihat, laki-laki bermata tajam itu mengembuskan napas berat. Sudah lima belas hari Kayla dirawat di rumah sakit setelah insiden penculikan. Dimas lega karena setelah semua berakhir, Kayla akan hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Lantas, bagaimana dengan dirinya? Apakah ia akan tetap seperti ini? Terus hidup dalam kesendirian dan kegelisahan?Saat pikiran laki-laki itu tengah gundah, seseorang menepuk lembut bahunya. Dimas mendengkus begitu tahu siapa gerangan yang mengganggu acara melamunnya.“Hey, Polisi Narsis! Sedang apa bengong di sini?” seru Adiba mengagetkan. “Ck! Kepo.”Jawaban singkat Dimas membuat Adiba mengerucutkan bibir. Namun, wanita yang tampak cantik dengan balutan long dress berwarna p
Sudah dua bulan semenjak Adit dan Kayla keluar dari rumah sakit setelah insiden penculikan itu. Hidup mereka menjadi lebih tenang. Berita terakhirnya, Danu dijatuhi hukuman mati atas kepemilikannya mengenai pabrik narkotika dan juga kasus-kasus yang menjeratnya. Kayla dan Adit bernapas lega untuk hal yang satu ini. Kayla menghela napas lelah untuk ke sekian kalinya, berkali-kali kepalanya melirik pintu depan berharap orang yang dia telepon segera datang menjemput. Merasa lelah, wanita itu memutuskan mengirim pesan pada orang yang ditunggu. Mas dimana? jadi menjemput Kay apa tidak? Beberapa saat menunggu, pesan yang dia kirim tak kujung dibalas, Kayla kembali mengembuskan napas lelah. Benar-benar tak mengerti dengan tingkah suaminya. Pasalnya sudah sebulan ini tingkah Adit mulai aneh, setiap kali ada janji dengannya pasti berakhir tak pernah tepat waktu atau bahkan batal. Kayla mulai curiga, di memutuskan untuk menghubungi nomor suaminya saja. Beberapa saat mencoba tetap tak diangga
Kayla mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menembus masuk ke dalam retina. Samar-samar dilihatnya langit-langit kamar berwarna putih dengan bau obat yang sangat menyengat. Kepalanya berdenyut, tubuhnya benar-benar terasa remuk seakan baru saja ditindih batu berton-ton beratnya.Wanita yang kini terlihat pucat itu, mengernyitkan dahi, merasa bingung dengan situasi ini. Pasalnya hal terakhir yang diingatnya adalah saat dia berada di sebuah Villa dengan Danu yang menyekapnya, lalu Adit datang untuk menolong. Hingga dia mendengar suara letusan senjata api. Kayla mulai diserang rasa takut saat mengingat Adit.Menyadari mungkin saja suaminya dalam keadaan tak baik, wanita itu mencoba bangun sambil memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut."Mas Adit," gumam Kayla dengan suara cukup keras, hingga membuat beberapa orang yang ada di kamar itu terlonjak kaget, dan langsung menghampirinya.
Beberapa jam sebelumnya. Danu menatap Kayla dengan wajah merah padam karena menahan amarah. Wanita di depannya benar-benar tak memiliki rasa takut sedikit pun dengan ancaman pria tua itu. Dia bahkan masih saja mengarahkan mata coklatnya dengan berani meski berkali-kali pria itu memukulnya."Jadi, kau benar-benar tak mau menyembah di kakiku dan meminta ampun?" tanya Danu untuk yang terakhir kali."Cih! Jangan mimpi! Aku tak sudi meminta ampun pada manusia bejat sepertimu! Memang kau ini siapa?! Setelah apa yang kau lakukan pada Nazwa, kau berhak untuk sebuah hukuman!""Dasar jalang sialan!" Danu berteriak marah sambil menampar Kayla kuat-kuat, hingga ujung bibir wanita itu berdarah. Kayla bukanya merasa takut, malah semakin menyunggingkan senyum meremehkan ke arah Danu."Dengar aku, Jalang!" Danu menarik rambut Kayla, tapi wanita itu masih tak bergeming, bahkan tetap setia